24 Hours With
My Boss
Hari pertamaku bekerja di kantor
CFC. Celana berwarna hitam terbalut sepanjang kaki dengan ujung bertutupkan
sepatu boot berwarna senada. Warna hitam selalu menjadi seperti sebuah seragam
dinas bagi sebagian besar bodyguard.
Kesibukan London di Selasa pagi memaksaku harus berangkat lebih awal dari jam
kerja.
Semalaman – sesuai dengan perkiraanku – aku sama sekali
tidak dapat memejamkan mata. Semua insiden yang berlangsung sepanjang hari
Senin kemarin telah memicu hormon kewanitaanku yang terkubur jauh di dasar
hipotalamus telah disekresikan secara berlebihan menuju semua organ dalam
ragaku dan memberontak untuk segera dipuaskan. Beruntung, orgasme yang selama
ini aku takutkan belum terjadi dan aku akan mengutuk diriku menjadi bidadari
jika hal yang paling aku takutkan – orgasme tanpa adanya Tobias – itu terjadi.
Aku mendesah pelan dan kembali fokus pada jalanan yang belum begitu ramai di
jam yang masih terlalu pagi ini.
Gedung CFC masih semegah pertama kali aku datang dan
dengan lesu aku bergerak memasuki kantor bosku, Tobias. Saat aku memasuki area
auditorium, karyawan CFC mendadak menghentikan langkahnya dan semua mata
tertuju padaku. Lajuku yang mantap berganti dengan langkah yang gemetar dengan
semua perhatian berlebihan – yang bagiku mengerikan – dan tentu saja aku
mengetahui alasannya. Kejadian kemarin masih membekas tidak hanya bagiku tapi
bagi mereka. Tapi apakah mereka tidak paham? Bos penggoda seperti Tobias tentu
pernah mengajak wanita dan menggandengnya bukan? Mengapa mereka seantusias ini hanya
karena kejadian kemarin? Dengan gugup, aku melanjutkan perjalananku menuju
lantai 30 tempat dimana bosku bersarang – ah, maksudku bekerja.
“Selamat pagi, Alice” sapa Bella yang juga baru saja
datang.
“Selamat pagi, Bella” sapaku sambil menekan tombol lift
menuju lantai 30. Kami berdua masuk ke dalam lift dengan tujuan yang sama.
“Aku heran dengan karyawan lain. Mereka menatapku seolah
aku adalah pencuri saja” ujarku yang memang tidak menyukai basa-basi pada Bella
yang terperanjat mendengar ocehanku.
“Ah.. Itu.. Abaikan saja” jawab Bella yang kedengaran
gugup dan dengan tangan yang gemetar dia membetulkan letak kacamata persegi
yang dikelilingi bingkai berwarna hitam.
“Abaikan? Jika kejadian itu hanya untuk kemarin saja, aku
akan dengan senang hati melupakannya” keluhku. Merasa kegerahan karena
memikirkan perlakuan karyawan CFC yang berlebihan, aku melepaskan ujung kancing
kemejaku paling atas.
“Mungkin itu semacam terapi shock bagi mereka” lanjut
Bella dengan kekeh kecil yang kentara sekali dibuat-buat.
“Apa mereka tidak pernah melihat bosnya menggandeng
wanita lain?” aku mengerang pelan.
Ting! Pintu lift membuka di lantai 30 dan dengan cepat
Bella menghambur keluar.
“Sampai nanti, Al” ucapnya buru-buru dan meninggalkanku
menuju ruang kerjanya. Mataku mengatup melihat tingkah Bella yang aneh dan
menghela cepat napas.
“Good Morning, Miss Keith” sebuah panggilan menghentikan
langkahku, getaran suara yang aku kenal membuat sakit seluruh tubuhku. “Terlalu
menyenangkan untuk selalu bertemu denganmu”
Siapa lagi yang mampu membuatku memerah karena malu dan
bergairah kalau bukan bersumber dari suara Bass yang khas dan menaklukan dari
Tobias. Aku melihatnya berjalan beriringan bersama 2 orang yang aku menebaknya
adalah karyawan khusus seperti Bella. Sapaan tadi, aku tidak mampu menemukan
kekuatan untuk menjauhkan diri darinya. Itu sama sekali tidak membantu karena
aku hari ini secara resmi bekerja padanya dan perhatiannya tadi adalah
semata-mata padaku, tubuh tegap dan kerasnya memancarkan kesan memperlihatkan
kebutuhan yang aku inginkan. Sepagi ini? Ayolah Alice, jangan bertindak konyol!
“Kau tahu aturan pertama jika kau bekerja padaku?”
suaranya yang tenang berkebalikan denganku yang menyentuh batas ‘kacau balau’
“Selalu menjawab anda, sir” bisikku. Aku mengutuk pada
ucapan yang keluar dari pita suaraku yang selalu saja berupa desahan yang
menandakan aku begitu berhasrat padanya. Ini tidak adil!
“Dan aku sangat menyukaimu saat kau berbisik seperti itu”
ucapnya tersenyum penuh arti dengan sebuah kedipan mata halus dan dia melanjutkan
langkah menuju kantornya. Aku menelan ludah yang secara tiba-tiba berubah
menjadi batu dengan susah payah dan sedikit berlari mengikuti bos baruku.
“Duduk Miss Keith” ucapnya bukan sebuah permintaan
melainkan keharusan dan aku duduk secara naluri mematuhi perintahnya sebelum
pikiranku bangun meminta keberatan. Tentu, aku tidak mampu mengatakan jika aku
keberatan. Aku mengambil napas dalam-dalam dan memilih memalingkan wajahku
sejenak dari mata intensnya yang menakutkan namun memikat.
“Ada beberapa hal yang perlu kau tahu berkaitan dengan
insiden yang membuat…” posisi duduknya sedikit diubah dan kini berhadap lurus
denganku dan aku semakin canggung dengan arahan tatapannya yang mendominasi.
“Membuat kita hampir terbunuh” suaranya yang terdengar
kini kembali berambisi dan waspada.
“Aku ingin ada perubahan dengan statusmu yang adalah bodyguard pribadiku” mataku melebar saat
Tobias mengucapkan kata perubahan. Apa aku dipecat?
“Maksud anda, sir? Saya dipecat?” gumamku terbata.
Dengan senyum yang jarang diperlihatkannya pada seluruh
karyawan – kecuali aku, sekarang – dia memejamkan mata sejenak dan kembali
menatapku dengan mata yang menyipit karena tertahan oleh senyumnya yang
menawan. Hidungku mengerut menahan rangsangan yang diberikan dari perubahan
sikap Tobias secara mendadak dan itu menyiksaku.
“Bukan.. Bukan pemecatan. Hanya saja, karena kau bodyguard pribadiku, aku ingin kau dalam
24 jam sehari selalu berada dekat denganku, menjagaku” tuturnya tenang.
Bagai petir yang menyambar di siang bolong – eh, bukan di
pagi yang bolong – namun bukan petir yang mengirimkan medan listrik yang
sanggup membuat siapa saja akan tewas seketika jika tersengat namun petir ini
mengirimkan medan magnet yang membuat dewi batinku saling merapat dan membuat
sebuah gerakan menggelombang seperti supporter sepak bola yang melihat tim
kesayangannya memenangkan kejuaraan dan aku mendapati mulutku menganga lebar
mendengar kalimat ‘24 jam sehari selalu berada dekat denganku’. Dekat dengan
Tobias? Dekat dengan manusia yang membuatku hampir gila karena memikirkannya
sepanjang waktu? Selama 24 jam sehari yang itu berarti setiap saat? Ya Tuhan…
Pertama kalinya aku menyebutkan nama Tuhan selama karierku yang tanpa ampun
membunuh orang dan aku yang adalah orang ateis, hanya karenanya aku menyebut
nama Tuhan? Ya Tuhan… Dan ini kedua kalinya. Maafkan aku selama ini jauh
darimu. Tiba-tiba saja aku berubah menjadi seorang yang beragama.
“Bagaimana bisa?” ucapku tanpa sadar
“Mudah. Aku telah menyampaikan keinginanku ini ke
atasanmu bahwa kau diijinkan untuk terus menjagaku. Pekerjaanmu di MI6 untuk
sementara digantikan oleh rekan kerjamu” ujarnya yang selalu tampil rileks.
‘Ayah! Kau keterlaluan! Aku memang terpukau oleh segala
karisma yang dimiliki Tobias, tapi bukan berarti aku menjadi orang yang maniak
pada Tobias dan berusaha centil di depannya. Apa yang dipikirkan ayah
sebenarnya? Aku heran, orangtua yang aneh menyuruh anaknya bergenit di depan
bosnya? GILA?! Astaga, apa yang aku pikirkan?’ Aku mengerjapkan mata dan
kembali pada realita dengan Tobias masih menatapku dengan kening mengerut.
“Lalu tempat tinggal saya?” ucapku sekarang dengan
kesadaran penuh
“Semua kebutuhanmu sudah disediakan. Kamar untukmu juga sudah
tersedia. Kau akan tinggal di apartemenku” sekali lagi kejutan dari Tobias
berhasil menjatuhkan imageku yang
percaya diri menjadi bukan apa-apa.
“Tapi sir..” ucapanku terhenti saat tubuh Tobias mulai
merapat padaku. Hukuman itu, sial! Naluri aku menggeser dudukku menjauhi Tobias
dan aku menatap dagunya bergerak kasar.
“Baik, sir” gumamku pasrah sambil menggigit bibir
bawahku. Aku mendengar sebuah geraman kecil darinya dan sedetik yang lalu
dehaman dari tenggorokan Tobias membuyarkan konsentrasiku.
“Kau akan aku antar pulang sekarang dan.. mungkin kau
harus mengemasi beberapa hal yang penting dari apartemenmu” telunjuknya
bergerak menuju bawah hidungnya dan ibu jarinya menopang dagu menunjukkan
keagungan dan kekuasaan. Telunjuk itu mulai mengusap area antara bibir atas dan
hidung secara perlahan dan hanya dengan seperti itu kedua tanganku yang menumpu
di atas lutut mengepal erat menahan agar aku tidak lepas kendali.
“Sekarang sir?” tanyaku ragu dan masih saja menggigit
bibir bawahku.
“Mari Miss Keith. Aku tidak suka berbasa-basi” tangannya
yang kokoh menggenggam tanganku dan memaksa kakiku berjalan cepat keluar dari
kantornya dan menghempaskanku ke dalam lift.
Setelah pintu lift tertutup, hawa dingin dan menggetarkan
kembali memenuhi setiap pori-pori di sekujur kulit dan segala bentuk serapah
relah berkumandang di hati.
“Miss Keith..” panggil Tobias lirih
“Panggil saja saya Alice, sir” pintaku yang gelisah
ditimpa tatapannya.
Dia sesaat tersenyum dan kembali mengalihkan pandangannya
seperti meneliti kondisi interior lift.
“Alice” panggilnya dan aku malah berjengit mendengarnya
memanggilku. Secara reflex aku menggigit bibir bawahku dan kedua tanganku
terkepal sebagai bentuk defensif dari sebuah penyerangan. Jika ditanya siapa
yang menyerang, dia adalah tubuhku sendiri!
“Yes sir?”
“Aku suka saat kau memanggilku sir dengan suara seperti
itu” ujarnya sarat dengan rayuan. Gigiku saling bergemeletuk, gugup. ‘Suara
seperti apa?’ gumamku penasaran namun aku tidak berani mengungkapkannya.
“Namun aku lebih suka dengan suaramu itu ketika kau
memanggil namaku” kepalanya menoleh perlahan dan aku melihat seperti ada sapuan
angin meniup rambutnya yang panjang bagi ukuran laki-laki dan terkesan
berantakan tapi aku justru menganggap itu seksi dan cukup membuat tarikan
lembut pada rambut itu dengan kedua tanganku.
“Mr. Currey?” aku mencoba memenuhi rasa sukanya saat dia
mengatakan bahwa dia lebih suka jika aku memanggil namanya dan apa yang aku
dapatkan? Dia mendengus menahan tawa saat aku selesai memanggil namanya.
‘Bukankah itu yang dia suka? Mengapa dia justru tertawa?
Dan – aku memaksa lagi air liur masuk ke dalam kerongkonganku – melihat dia
semakin memancarkan ketampanan pada wajahnya saat tertawa’ aku merasakan malu
luar biasa dengan ocehanku memanggilnya Mr. Currey. Percaya diriku ini
sepertinya perlu dipangkas.
“Namaku Tobias, Alice. Kau tidak mengalami amnesia, kan?”
godanya dan lagi-lagi aku harus mengalami petaka! Aku tersipu dan hanya mampu
menundukkan kepala.
Ting! Pintu lift membuka di ground floor.
“Silakan, Al” tubuhnya menggeser ke samping memintaku
untuk melangkah terlebih dahulu. Dengan kikuk, aku berjalan. Aroma harum yang
khas dari tubuh Tobias menggelitikku dan bulu tengkukku kembali berdiri.
Langkahku terhenti saat memandang sebuah mobil yang
kelewat mewah sedang terpampang manis persis di depan pintu masuk CFC. Ferrari
keluaran terbaru berwarna silver, mobil paling mahal, paling cepat dan paling
mewah yang pernah ada. Tobias membuka pintu depan penumpang tapi dia sama
sekali tidak masuk.
“Alice? Silakan” salah satu alisku terangkat dan ujung
mulutku berkedut. Bukankah aku ini bodyguardnya?
“Sir, mobil saya?” aku mencoba mengulur waktu berharap
Tobias berubah pikiran.
“Aku ingin kau masuk ke dalam mobil ini” perintahnya
tegas dan tajam dan seperti seorang anak kecil yang takut ayahnya marah besar,
aku berjalan dan merangsekkan tubuhku ke dalam kursi depan penumpang tanpa
membantah sedikitpun. Tobias telah duduk di kursi pengemudi dan dengan sigap
mendekatkan tubuhnya padaku. Mataku melebar was-was, kupu-kupu dalam perutku
memberontak dan hatiku telah mencapai mulut dan siap terlempar keluar. Sebuah
senyum misterius yang terukir tidak mencapai 3 inchi dari mulutku tersungging.
Klek! Sebuah bunyi mengisi relung kesunyian di antara kami dan
suara itu berasal sabuk pengaman yang Tobias pasangkan di tubuhku. Terdengar
suara tawa riuh dari dasar medulla oblongataku yang berkata ‘Kau pikir dia akan
menciummu? Hahahaha… Dia hanya memasangkan sabuk pengaman, bodoh!’ Rasa kecewa
untuk pertama kalinya menyelimutiku sejak pertama kali aku bertemu Tobias.
“Memastikan kau tidak akan kemana-mana, Al” ucapnya dan kini
mulai menjalankan mobil paling indah dan paling mewah yang pernah aku naiki.
“Sebelum ke apartemenmu, aku ingin sarapan dulu” suaranya
mengisi jeda lamunanku dan aku merasakan laju mobil memelan dan berhenti di
sebuah restoran cepat saji. Aku sedikit heran seorang kaya raya dan merupakan
MD perusahaan multinasional yang tersebar di segala penjuru dunia memilih
sarapan di restoran cepat saji dan bukannya restoran mahal yang biasanya orang
kaya lakukan. Ayah benar dia unik dan jika aku boleh menambahkan dia tidak
hanya unik tapi juga perhatian. ‘Perhatian?’ pemikiran sinting apa lagi ini?
Aku memilih memesan kentang goreng dan diet coke karena aku sudah sarapan di
apartemen tadi pagi. Aku sekilas melirik pesanan Tobias yang membeli cukup
banyak makanan. Pizza, burger dan dia juga memesan kentang goreng sama
sepertiku. Tidakkah dia takut tubuhnya yang membuat semua pria iri akan berubah
menjadi buncit di perutnya dan lipatan-lipatan akan bermunculan di area yang
akan membuatnya tidak lagi tampan? Tapi sepertinya dia memang tidak peduli.
Kami memilih duduk di kursi yang tidak di kelilingi
banyak orang yang letaknya sedikit tersembunyi jauh dari pintu masuk.
“Aku menduga kau pasti bertanya-tanya mengapa aku memesan
begitu banyak makanan, bukan? Kau pasti juga berpikir apakah aku tidak takut
gemuk, kan?” duga Tobias tepat dan aku mengangguk jujur.
“Aku tidak pernah bermasalah soal menjaga tubuhku. Aku
hanya ingin selalu terlihat sehat dan bugar”
“Tapi makanan ini tidak sehat, sir” sanggahku dengan
pernyataannya.
“Bagiku selama itu mengenyangkan maka sehat” jawabnya
santai
“Apa anda tidak sibuk sir? Sebenarnya saya bisa melakukan
ini sendiri dan anda dapat bekerja tanpa terganggu” aku membuka penutup cokeku dan meminumnya sedikit.
“Aku senang menemanimu” dan dia kembali melahap
makanan pesanannya dengan semangat. Aku menatapnya tanpa ada balasan tatapan
dari Tobias karena dia sibuk mengunyah makanannya. ‘Geli rasanya menyaksikan
bosku seperti orang yang tidak makan selama 5 hari’ aku tersenyum tanpa sadar.
***
Penthouse Tobias menakjubkan! Tembok yang merupakan dominasi kaca
memungkinkan pemiliknya menikmati keindahan matahari saat terbit maupun
tenggelam tanpa dihalangi bangunan pencakar langit lainnya. Kolam renang dan
beberapa pohon rindang yang terletak di luar menambah kesan kesejukan. Ruangan
tamu yang didekorasi dengan sofa berwarna coklat muda dengan karpet putih dan
beberapa lukisan abstrak menambah kesan elegan. Sebelum Tobias mempersilakanku
menuju kamar yang akan menjadi tempat tidurku, aku sempat diajaknya menuju
dapur dan ruang makan tanpa ada sekat yang membatasi.
“Anda sendiri, sir?” tanyaku tanpa pikir panjang
Matanya menajam dan berkilat saat mendengar pertanyaan
konyolku.
“Secara umum, ya, aku tinggal sendiri”
“Secara umum?” sepertinya aku mulai suka mencampuri
urusan orang lain.
“Ada Mrs. Martin yang membantu membersihkan apartemen dan
melakukan hal rumah tangga lainnya. Tapi setelah dia selesai mengerjakannya,
dia pulang ke rumahnya” jelasnya lancar dan tenang
“Begitu?” mataku menjelajah setiap bagian tempat Tobias
yang mengagumkan.
“Namun aku tidak akan merasa sendirian lagi” aku
merasakan hembusan napas menerpa leher belakangku dan aku seutuhnya menyadari
bahwa Tobias sudah berdiri tepat di belakangku. Cepat-cepat aku menoleh supaya
aku memperoleh jarak darinya. Sinyal berbahaya sudah menyala jauh di bawah
sadarku dan aku telah menanggapi sinyal itu dengan baik.
“Kau akan menemaniku” ucapnya penuh makna tersembunyi dan
lagi-lagi aku harus menggigit bibir bawahku.
Dia menghela napas, matanya terpejam dan kedua tangannya
menarik kasar rambut coklatnya. Langkahnya seperti kesetanan dan aku waspada
dengan perubahan gelagatnya yang menjadi ganas.
Dia menarik tanganku tanpa menyakitiku dan aku bergidik
saat tubuhku sudah menempel erat padanya. Kedua tangannya memegang pipiku
sehingga aku menatap lurus ke dalam matanya yang abu-abu berkilat dan semakin
menggelap.
“Seharian aku harus menahan ini dan aku sudah tidak tahan
lagi. Kau benar-benar membuatku gila Miss Keith!”
“Sir, saya mohon lepaskan saya” sekejap saja semua ilmu
bela diri seakan lenyap dari otakku dan gerakan reflek sepertinya sedang tidur
siang.
“Panggil namaku!” teriaknya
“Mr. Currey, saya mohon” suaraku tercekat ketika bibir
Tobias mulai mendekat.
“Namaku, Alice” suaranya melirih
“Tobias, ku mohon” suaraku tercekik dan kedua mataku
terpejam.
“Yah, Alice. Aku menyukainya” desahnya. Spontan aku
membuka mata dan sebuah senyuman tergambar jelas di bibirnya yang hendak
seperti menciumku kemudian perlahan dia melepaskanku. Tangannya menggapai
tanganku dengan mantap dan mendudukanku pada kursi meja makan yang cukup luas
untuk 10 orang.
Kursi Tobias dihadapkan padaku. Tangan kanannya menjadi
tumpuan pada permukaan meja kayu yang halus, jari-jari panjang elegannya
mengelus dengan irama tertentu di atasnya. Aku melihat sekelebat pergelangan
tangannya diujung manset dan untuk beberapa alibi sinting, pemandangan kulit
yang bagai emas sedikit terlihat dengan hamburan sinar rambut coklat gelapnya
membuat organ intimku berdenyut memohon perhatian. Dia terlihat sangat jantan!
“Kau menyukainya?”
“Ya” jawabku langsung. Keningnya berkerut dan mataku
mengerjap menyadari ambiguitas pertanyaannya dan aku secara blak-blakan
menjawab ya? ’Ya atas apa? Atas pemikiran seks yang baru saja melintas?’
“Ya?” tuntutnya
“Uumm.. Ya saya menyukai apartemen anda” kedua ujung
mulutku tertarik ke belakang. Betapa cerdasnya aku memanipulasi pembicaraan.
“Bagus. Aku sangat berharap kau akan betah tinggal di
sini dan menjagaku dengan baik”
“Ikut aku. Akan aku tunjukkan kamarmu” selalu dengan menggandeng
tanganku dia membawaku ke sebuah kamar yang sangat besar dengan tempat tidur
yang megah. Aku melihat beberapa pintu di kamar itu.
“Aku harap kau menyukainya”
“Aku sangat menyukainya” aku tersenyum lebar ke arahnya
dan kembali memperhatikan seluruh kamarku dengan seksama.
“Alice” serunya.
“Yes, sir?” aku melihatnya mendatangiku. Cara dia
bergerak begitu indah dan bergairah dengan arogan dan itu luar biasa
merangsang. Tempat yang tepat dan dengan pria yang luar biasa tepat. Aku tidak
bisa membayangkannya tidak berhubungan seks dengan sempurna dan tiba-tiba saja
tubuhku menjadi agresif dengan hal ini, mengambil apa yang dia inginkan dengan
cara yang membuat para wanita menjadi brutal untuk menyerahkan, bertekuk lutut
padanya.
‘Apa aku termasuk wanita yang akan dengan mudah bertekuk
lutut di hadapannya? Mungkin hatiku sudah lama kalah tapi jangan sampai aku
memperlihatkan kekalahanku!’ tekadku dalam hati.
“Apa kau pernah berhubungan seks?” Pertanyaan itu
meluncur begitu saja dari mulutnya dan aku membutuhkan beberapa waktu untuk
memprosesnya dengan otak yang ala kadarnya jika ditanya soal seks seperti yang
baru saja terlontar dari mulutnya.
Aku menarik napas dalam-dalam. “Sepertinya itu pertanyaan
pribadi, sir dan saya rasa itu bukan urusan anda”
Dia memandangku dan aku kembali melihat sesuatu yang aku kenali saat pertama
kali aku berjumpa dengannya yaitu begitu besarnya kekuatan, kekuasaan dan
kontrol yang sekeras baja.
“Begitukah?” tubuhnya yang menjulang telah tepat berdiri
di hadapanku.
“Saya adalah bodyguard
anda. Itu kontrak kerja kita” aku mencoba memberi teguran dari penjelasanku.
“Aku tahu kontrak itu dengan baik, Miss Keith” katanya
tajam. ‘Oh sekarang kita kembali dengan Miss Keith dan Mr. Currey?’
kewaspadaanku tidak berkurang sedikitpun.
Tobias mencium bibirku cepat dan dia beranjak menuju
pintu kamar sebelum kesadaranku kembali. Aku terpana dengan gerakannya yang
begitu mengejutkan.
“Aku ada di ruang kerjaku. Kau boleh menikmati kamar
barumu” ujarnya dengan senyuman puas dan pintu itu tertutup.
‘Ya Tuhan, apa aku akan mati cepat dengan serangan
jantung karena kejutan-kejutan yang dibuat oleh lelaki itu? Apa aku masih bisa
melihat matahari besok pagi ketika aku menyadari bahwa aku mulai hari ini tidak
hanya resmi menjadi bodyguardnya
tetapi tinggal seatap dengannya, orang yang menjadi alasan utama kerja
jantungku meningkat lebih cepat?’
“Aku pasti masih bermimpi.. Aww!” erangku kesakitan
karena mencubit pipi terlalu keras.
“Tidak! Ini kenyataan bahwa aku telah tinggal bersama
Tobias”
000
Kamar yang sekarang aku tempati benar-benar sangat mewah
dan sangat jauh dibandingkan dengan yang ada di apartemen dulu. Semua perabotan
terlihat mahal. Aku melongok pada jam digital yang ada di nakas tempat tidur
menunjukkan pukul 4 sore.
“Luar biasa bisa berdiri di sini” gumamku. Mataku
menjelajah seluruh ruangan dan mulai menapaki setiap sudut kamar. Aku membuka
salah satu pintu dan menemukan kamar mandi super mewah yang belum pernah aku
lihat sebelumnya. Dinding kamar mandi didominasi oleh warna hitam dan putih.
Warna klasik yang disukai oleh para eksekutif muda. Gagang pintu dan kran air
yang terbuat dari perak, kabinet dengan kaca sangat besar dan wastafel
berbentuk setengah lingkaran terbuat dari marmer mengkilat. Bathup dan ruang bilas yang hanya
disekat oleh kaca yang cukup ditempati oleh 4 orang.
Perasaan ingin tahu yang menjalar pada kamar mandi
membuatku tidak sabar untuk mencobanya dan aku segera melepas pakaian kerja dan
mulai menikmati relaksasi dari air hangat yang mengucur deras dari shower mengalir deras menuju tengkuk.
Aku memejamkan mata dan merasakan bahwa menjadi orang kaya kadang menyenangkan.
Tidak selalu menyenangkan jika harus berhadapan dengan segala hingar bingar
pekerjaan yang menumpuk dan bukannya pesta pora dan sepertinya Tobias menjadi
salah satu si maniak kerja. Aku tersenyum menyadari spekulasi sepihak dari otak
cerdasku yang menilai Tobias si maniak kerja. Tapi jelas, dia memang seperti
itu. Usianya terlampau muda untuk mampu meraih kesuksesan sedemikian gila
dengan berbagai perusahaan dengan berbagai bidang dan tersebar di seluruh
dunia. Ini pencapaian yang luar biasa! Aku yakin, orang tuanya akan cepat mati
karena kebanggaan yang tidak akan pernah cukup bagi putranya itu. Putranya yang
tampan dengan tubuh sempurna yang dibalut setelan kemeja putih yang hari ini
dia kenakan.
“Tobias...” desahku sambil memeluk tubuhku yang mendadak
merinding saat nama itu melintas di pikiran. Manusia paling sempurna, tubuh
indah, dadanya yang kokoh dan aku kembali membuka akses paling kotor dalam pikiran.
Betapa indah jika Tobias melepaskan pakaiannya saat ini dengan aliran-aliran
air yang meliuk-liuk di kulit coklat emasnya yang menawan. Pijatan dari
tangannya mungkin akan mengurangi lelah pada pundakku.
Pernahkah dia
memakai kamar mandi ini? Sebuah pertanyaan
harapan mulai menguasai. Jika dia pernah menggunakannya maka aku bisa merasakan
kehadirannya dalam angan-angan yang memabukkan. Membayangkan menyentuhku saat
ini. Secara naluri dengan hasrat yang meletup-letup dan memaksa untuk segera
dipuaskan, aku mulai membawa tanganku meraba organ paling sensitif dan mulai
merasakan ketegangan memasuki mengirimkan sinyal kejut ke seluruh saraf dengan
kuantitas yang berlipat-lipat di sekujur tubuh.
Hampir satu jam aku menghabiskan waktu mengguyur tubuhku
dengan kemewahan kamar mandi dan buaian lembut air yang menjatuhi setiap area
tubuhku sekaligus pengaruh sensual yang meracuni dan tiba-tiba saja aku hampir
saat sebuah ketukan pintu menghancurkan sensasi paling erotis yang pernah ada
dalam benakku.
“Alice, kau di dalam?” suara yang baru saja menjadi obyek
erotisku mengetuk pintu dengan suaranya yang hampir membuatku terjatuh saat
meraih handuk dan membalutkannya dengan acak. Aku mematikan keran dan berlari
menuju balik pintu, menekannya erat dan menyadari ternyata aku tidak
menguncinya.
“Ya, sir”
ucapku gugup dan tetap menekan pintu itu agar tidak dibuka. Tanganku satunya
mencengkram erat handuk seakan-akan orang yang ada dibalik pintu itu akan
memaksa membuka.
“Kau masih lama di dalam?” suaranya dalam. Ada kekhawatiran
terselip dari pertanyaannya yang singkat.
“Tidak, sir”
aku mempererat handuk yang menutupi tubuhku. Kakiku mendadak berubah menjadi
lentur dan tulang-tulang yang berguna menyangga seluruh tubuh mendadak musnah
dan meninggalkan onggokan daging tak berbentuk. Aku merasakan pintu semakin
menekan seperti hendak terbuka paksa.
Jangan!
“Saya... saya akan segera selesai, sir” ujarku terbata.
“Aku akan menunggumu di ruang makan” dan langkah kaki
menjauh terdengar.
“Sialan dia!” aku mendesah lega mendengar Tobias mentup
pintu kamar dan aku segera keluar dari kamar mandi, memilih kaos lengan panjang
berwarna biru cerah dan celana jeans. Aku menatap muka pada cermin rias dan
mengikat secara berantakan rambut hitamku dan melesat keluar menyusul Tobias.
Aku menemukan Tobias sedang duduk di ruang makan.
Keanggunan terpancar dari gaya duduknya yang elegan. Kedua jari telunjuk
menempel pada ujung hidungnya seperti sedang memikirkan sesuatu. Langkah kakiku
yang terburu telah memancingnya keluar dari zona imajinasinya dan beralih
menatapku dengan kadar intenitas yang tidak pernah berkurang dan selalu
berhasil membuatku berjengit sekaligu berjingkrak dalam hati atas sikapnya yang
mungkin hanya ditujukan padaku.
Rasa percaya
diri ini perlu dipangkas! Seorang milyuner macam Tobias pasti orang penggoda.
Segala fisik yang dimilikinya sudah membuatnya merasa cukup pantas untuk
predikat seorang pria penggoda!
“Kau menyukai makan malam ini?” tanyanya sambil menunjuk
makanan yang telah tersedia di atas meja makan.
Aku duduk di samping Tobias dan memperhatikan terlalu
banyak jenis makanan yang disajikan. Ini tentu cukup untuk disantap oleh lima
orang! Aku mengendik pada Tobias dan dia
tersenyum mengerti maksudku.
“Kau tidak harus menghabiskan semuanya. Aku tahu kau
tidak akan sanggup. Hanya habiskan apa yang kau ambil. Kau tentu mengerti masih
banyak orang yang kelaparan di dunia?” Senyum itu tidak pernah menghilang
bahkan saat dia berkhotbah tentang kelaparan. Sosok sepertinya peduli dengan
hal itu? Sungguh kenyataan yang membuatku harus meletakkan rasa hormat paling
tinggi baginya dan aku membalas senyumnya dengan anggukan dan meraih beberapa
masakan khas eropa salmon butter sauce
dan asparagus risotto.
Kami menikmati makan malam kami dalam keheningan.
Sesekali aku melihat Tobias menikmati makanannya dengan bersemangat seperti
seseorang yang tidak makan seharian dan aku selalu tersenyum menyaksikannya
yang seperti itu – jauh dari kesan kemewahan dan elegan. Aku telah menghabiskan
makanan yang aku pilih. Tobias telah mendahuluiku dan sekarang dia menuju dapur
dan mengambil sesuatu dari tempat penyimpanan anggur. Beberapa saat dia
menimbang dan akhirnya memutuskan meraih sebotol anggur berwarna merah darah.
“Anggur merah?” tebakku saat dia menuangkan cairan dalam
botol itu ke dua gelas dengan bentuk menggelembung cukup besar dan
memberikannya salah satunya padaku. Dengan ahli dia menggoyang-goyangkan gelas
itu dan sesekali menghirup aroma anggur itu. Aku mencoba melakukan hal yang
sama dan sensasi dari bau alkohol yang terkandung dari anggur ini membuatku
tidak sabar untuk menenggaknya.
“Wine punya
karakteristik yang berbeda-beda baik rasa, aroma, tingkat alkohol dan tentu
warnanya” ujarnya dan sedikit demi sedikit dia meminum anggur itu dan aku
mengikuti jejaknya.
Aku sedikit bergidik dengan rasa wine yang aku rasakan.
Rasanya sedikit asam dan pahit, dengan aroma yang kuat. Aroma yang kuat dan
menghasilkan sensasi kehangatan di tenggorokan setelah diminum pada after
taste-nya membuatku ingin merasakannya lagi dan lagi.
“Jenis ini disukai oleh kebanyakan orang Italia” ucapnya
dan memperhatikan reaksiku saat mencicip anggur yang dipilihnya.
“Jenis apa ini?” tanyaku ingin tahu.
“Campo alla Sughera Arnione” jelasnya dan kembali meminum
anggurnya dengan kenikmatan tergurat di wajahnya yang rileks.
“Kau bisa melihatnya, red-wine
ini berwarna merah pekat dan saat kau meminumnya˗”
“Kehangatan. Rasa rempahnya membuat tubuhku hangat” aku
menatap gelas anggur itu dan mengutarakan apa yang baru saja menjadi sensasi
baru menikmati anggur paling enak yang aku rasakan.
“Benar sekali. Kehangatan yang menyenangkan” katanya
dengan sebuah pernyataan yang implisit sekaligus ambigu dan aku menunduk gugup
bahwa yang dimaksudkannya masih berkaitan dengan hasrat yang terpuaskan.
“Sir–”
“Kau memanggilku sir, anda dan segala formalitas hanya
saat di kantor atau bertemu dengan rekan bisnisku!” selanya tajam dan aku tidak
lagi memprotes ucapannya.
“Baik sir, maksudku- Tobias” gumamku kikuk.
“Kau menikmati acara mandimu?” tanyanya tiba-tiba.
Terlalu mengejutkan untuk permulaan yang sudah
menyenangkan! Dia menanyakanku tentang
acara mandiku? Gila dia! Apa aku akan menjawab “Kau tahu Tobias, saat aku mandi
aku menjadikanmu objek paling erotis yang pertama kali terjadi dalam hidupku!”
Tolol jika aku berani seperti itu.
Aku melonggarkan tenggorokanku yang baru saja tersumpal
oleh pertanyaan Tobias.
“Tentu! Kamar mandi itu luar biasa. Luas, elegan, dan
–um, mewah” ucapku ragu.
Aku melihat Tobias bersandar pada kursinya tanpa melepas
pandangannya. “Boleh suatu hari nanti aku ikut?” tanyanya dengan sejuta petir
menyambar dalam imajinasiku.
“Apa maksudmu?” tanyaku defensif dan suaraku meninggi
waspada.
“Aku suka kau yang seperti ini” lanjutnya yang
meninggalkan jejak-jejak tanda tanya yang terus berserakan di otakku.
Dia memang
penggoda sejati!
“Bergabung menikmati acara mandi tentu saja. Apalagi?”
dan aku susah payah menelan liurku yang berubah menjadi sebongkah kayu besar.
“Kau tahu peraturannya–”
“Tentu–” lanjutnya dan dia bangkit berdiri mencondongkan
tubuhnya mendekat pada wajahku.
“Aku orang yang taat pada peraturan, Alice dan kau–”
“Kuharap kau juga begitu” bisiknya dengan wajah semakin
mendekat padaku, kepalanya miring ke samping dan tampak aku mengetahui
gelagatnya aku berdiri dan wajahnya sekarang menghadapi perutku.
Aku harus
tegas! Dia tidak bisa mempermainkanku lebih dari ini!
Oya? Bukankah
hormon seksualmu perlu dipuaskan?
Suara busuk itu kembali menyeruak.
“Maaf aku–”
Dia menegakkan kembali tubuhnya. Wajahnya tanpa ekspresi
dan itu malah membuatku merasakan kelu pada lidahku.
“Beristirahatlah. Kau harus bekerja besok” ucapnya datar dan
dia pergi meninggalkanku. Meninggalkan rasa sakit yang entah mengapa membuatku
ingin mengejarnya dan memutar kembali waktu, mengijinkannya melakukan apapun
yang dia inginkan sehingga rasa sakit ini mungkin akan hilang.
“Ada apa denganku?” ucapku dan mengakhiri hari luar biasa
mengejutkan dalam sejarah hidupku ini dengan rasa sakit yang tidak beralasan.
Apapun terjadi
karena ada alasan–
Dan aku mulai memperhatikan semua omong kosong yang
tercipta dari sudut hatiku paling dalam setelah sekian tahun menutupnya
rapat-rapat.
Apakah
sekarang hatiku sudah mulai bekerja layaknya hati yang memiliki nurani? Aku
sudah melukai banyak orang dalam hidupku dan sekarang, apakah nurani masih
tersisa dalam diriku?
Kamar yang sekarang aku tempati benar-benar sangat mewah
dan sangat jauh dibandingkan dengan yang ada di apartemen dulu. Semua perabotan
terlihat mahal. Aku melongok pada jam digital yang ada di nakas tempat tidur
menunjukkan pukul 4 sore.
“Luar biasa bisa berdiri di sini” gumamku. Mataku
menjelajah seluruh ruangan dan mulai menapaki setiap sudut kamar. Aku membuka
salah satu pintu dan menemukan kamar mandi super mewah yang belum pernah aku
lihat sebelumnya. Dinding kamar mandi didominasi oleh warna hitam dan putih.
Warna klasik yang disukai oleh para eksekutif muda. Gagang pintu dan kran air
yang terbuat dari perak, kabinet dengan kaca sangat besar dan wastafel
berbentuk setengah lingkaran terbuat dari marmer mengkilat. Bathup dan ruang bilas yang hanya
disekat oleh kaca yang cukup ditempati oleh 3 orang.
Perasaan ingin tahu yang menjalar pada kamar mandi
membuatku tidak sabar untuk mencobanya dan aku segera melepas pakaian kerja dan
mulai menikmati relaksasi dari air hangat yang mengucur deras dari shower mengalir deras menuju tengkuk.
Aku memejamkan mata dan merasakan bahwa menjadi orang kaya kadang menyenangkan.
Tidak selalu menyenangkan jika harus berhadapan dengan segala hingar bingar
pekerjaan yang menumpuk dan bukannya pesta pora dan sepertinya Tobias menjadi
salah satu si maniak kerja. Aku tersenyum menyadari spekulasi sepihak dari otak
cerdasku yang menilai Tobias si maniak kerja. Tapi jelas, dia memang seperti
itu. Usianya terlampau muda untuk mampu meraih kesuksesan sedemikian gila dengan
berbagai perusahaan dengan berbagai bidang dan tersebar di seluruh dunia. Ini
pencapaian yang luar biasa! Aku yakin, orang tuanya akan cepat mati karena
kebanggaan yang tidak akan pernah cukup bagi putranya itu. Putranya yang tampan
dengan tubuh sempurna yang dibalut setelan kemeja putih yang hari ini dia
kenakan.
“Tobias...” desahku sambil memeluk tubuhku yang mendadak
merinding saat nama itu melintas di pikiran. Manusia paling sempurna, tubuh
indah, dadanya yang kokoh dan aku kembali membuka akses paling kotor dalam
pikiran. Betapa indah jika Tobias melepaskan pakaiannya saat ini dengan
aliran-aliran air yang meliuk-liuk di kulit coklat emasnya yang menawan.
Pijatan dari tangannya mungkin akan mengurangi lelah pada pundakku.
Pernahkah dia
memakai kamar mandi ini? Sebuah
pertanyaan harapan mulai menguasai. Jika dia pernah menggunakannya maka aku
bisa merasakan kehadirannya dalam angan-angan yang memabukkan. Membayangkan
menyentuhku saat ini. Secara naluri dengan hasrat yang meletup-letup dan
memaksa untuk segera dipuaskan, aku mulai membawa tanganku meraba organ paling
sensitif dan mulai merasakan ketegangan memasuki mengirimkan sinyal kejut ke
seluruh saraf dengan kuantitas yang berlipat-lipat di sekujur tubuh.
Hampir satu jam aku menghabiskan waktu mengguyur tubuhku
dengan kemewahan kamar mandi dan buaian lembut air yang menjatuhi setiap area
tubuhku sekaligus pengaruh sensual yang meracuni dan tiba-tiba saja aku hampir
saat sebuah ketukan pintu menghancurkan sensasi paling erotis yang pernah ada
dalam benakku.
“Alice, kau di dalam?” suara yang baru saja menjadi obyek
erotisku mengetuk pintu dengan suaranya yang hampir membuatku terjatuh saat
meraih handuk dan membalutkannya dengan acak. Aku mematikan keran dan berlari
menuju balik pintu, menekannya erat dan menyadari ternyata aku tidak
menguncinya.
“Ya, sir”
ucapku gugup dan tetap menekan pintu itu agar tidak dibuka. Tanganku satunya
mencengkram erat handuk seakan-akan orang yang ada dibalik pintu itu akan
memaksa membuka.
“Kau masih lama di dalam?” suaranya dalam. Ada
kekhawatiran terselip dari pertanyaannya yang singkat.
“Tidak, sir”
aku mempererat handuk yang menutupi tubuhku. Kakiku mendadak berubah menjadi
lentur dan tulang-tulang yang berguna menyangga seluruh tubuh mendadak musnah
dan meninggalkan onggokan daging tak berbentuk. Aku merasakan pintu semakin
menekan seperti hendak terbuka paksa.
Jangan!
“Saya... saya akan segera selesai, sir” ujarku terbata.
“Aku akan menunggumu di ruang makan” dan langkah kaki
menjauh terdengar.
“Sialan dia!” aku mendesah lega mendengar Tobias mentup
pintu kamar dan aku segera keluar dari kamar mandi, memilih kaos lengan panjang
berwarna biru cerah dan celana jeans. Aku menatap muka pada cermin rias dan
mengikat secara berantakan rambut hitamku dan melesat keluar menyusul Tobias.
Aku menemukan Tobias sedang duduk di ruang makan.
Keanggunan terpancar dari gaya duduknya yang elegan. Kedua jari telunjuk
menempel pada ujung hidungnya seperti sedang memikirkan sesuatu. Langkah kakiku
yang terburu telah memancingnya keluar dari zona imajinasinya dan beralih
menatapku dengan kadar intenitas yang tidak pernah berkurang dan selalu
berhasil membuatku berjengit sekaligu berjingkrak dalam hati atas sikapnya yang
mungkin hanya ditujukan padaku.
Rasa percaya
diri ini perlu dipangkas! Seorang milyuner macam Tobias pasti orang penggoda.
Segala fisik yang dimilikinya sudah membuatnya merasa cukup pantas untuk
predikat seorang pria penggoda!
“Kau menyukai makan malam ini?” tanyanya sambil menunjuk
makanan yang telah tersedia di atas meja makan.
Aku duduk di samping Tobias dan memperhatikan terlalu
banyak jenis makanan yang disajikan. Ini tentu cukup untuk disantap oleh lima
orang! Aku mengendik pada Tobias dan dia
tersenyum mengerti maksudku.
“Kau tidak harus menghabiskan semuanya. Aku tahu kau
tidak akan sanggup. Hanya habiskan apa yang kau ambil. Kau tentu mengerti masih
banyak orang yang kelaparan di dunia?” Senyum itu tidak pernah menghilang
bahkan saat dia berkhotah tentang kelaparan. Sosok sepertinya peduli dengan hal
itu? Sungguh kenyataan yang membuatku harus meletakkan rasa hormat paling
tinggi baginya dan aku membalas senyumnya dengan anggukan dan meraih beberapa
masakan khas eropa seperti salmon butter
sauce dan asparagus risotto.
Kami menikmati makan malam kami dalam keheningan. Sesekali
aku melihat Tobias menikmati makanannya dengan bersemangat seperti seseorang
yang tidak makan seharian dan aku selalu tersenyum menyaksikannya yang seperti
itu – jauh dari kesan kemewahan dan elegan. Aku telah menghabiskan makanan yang
aku pilih. Tobias telah mendahuluiku dan sekarang dia menuju dapur dan
mengambil sesuatu dari tempat penyimpanan anggur. Beberapa saat dia menimbang
dan akhirnya memutuskan meraih sebotol anggur berwarna merah darah.
“Anggur merah?” tebakku saat dia menuangkan cairan dalam
botol itu ke dua gelas dengan bentuk menggelembung cukup besar dan
memberikannya salah satunya padaku. Dengan ahli dia menggoyang-goyangkan gelas
itu dan sesekali menghirup aroma anggur itu. Aku mencoba melakukan hal yang
sama dan sensasi dari bau alkohol yang terkandung dari anggur ini membuatku
tidak sabar untuk menenggaknya.
“Wine punya
karakteristik yang berbeda-beda baik rasa, aroma, tingkat alkohol dan tentu
warnanya” ujarnya dan sedikit demi sedikit dia meminum anggur itu dan aku
mengikuti jejaknya.
Aku sedikit bergidik dengan rasa wine yang aku rasakan.
Rasanya sedikit asam dan pahit, dengan aroma yang kuat. Aroma yang kuat dan
menghasilkan sensasi kehangatan di tenggorokan setelah diminum pada after taste-nya membuatku ingin
merasakannya lagi dan lagi.
“Jenis ini disukai oleh kebanyakan orang Italia” ucapnya
dan memperhatikan reaksiku saat mencicip anggur yang dipilihnya.
“Jenis apa ini?” tanyaku ingin tahu.
“Campo
alla Sughera Arnione” jelasnya dan
kembali meminum anggurnya dengan kenikmatan tergurat di wajahnya yang rileks.
“Kau bisa melihatnya, red-wine
ini berwarna merah pekat dan saat kau meminumnya˗”
“Kehangatan. Rasa rempahnya membuat tubuhku hangat” aku
menatap gelas anggur itu dan mengutarakan apa yang baru saja menjadi sensasi
baru menikmati anggur paling enak yang aku rasakan.
“Benar sekali. Kehangatan yang menyenangkan” katanya
dengan sebuah pernyataan yang implisit sekaligus ambigu dan aku menunduk gugup
bahwa yang dimaksudkannya masih berkaitan dengan hasrat yang terpuaskan.
“Sir--”
“Kau memanggilku sir, anda dan segala formalitas hanya
saat di kantor atau bertemu dengan rekan bisnisku!” selanya tajam dan aku tidak
lagi memprotes ucapannya.
“Baik sir, maksudku- Tobias” gumamku kikuk.
“Kau menikmati acara mandimu?” tanyanya tiba-tiba.
Terlalu mengejutkan untuk permulaan yang sudah
menyenangkan! Dia menanyakanku tentang
acara mandiku? Gila dia! Apa aku akan menjawab “Kau tahu Tobias, saat aku mandi
aku menjadikanmu objek paling erotis yang pertama kali terjadi dalam hidupku!”
Tolol jika aku berani seperti itu.
Aku melonggarkan tenggorokanku yang baru saja tersumpal
oleh pertanyaan Tobias.
“Tentu! Kamar mandi itu luar biasa. Luas, elegan, dan
–um, mewah” ucapku ragu.
Aku melihat Tobias bersandar pada kursinya tanpa melepas
pandangannya. “Boleh suatu hari nanti aku ikut?” tanyanya dengan sejuta petir
menyambar dalam imajinasiku.
“Apa maksudmu?” tanyaku defensif dan suaraku meninggi
waspada.
“Aku suka kau yang seperti ini” lanjutnya yang
meninggalkan jejak-jejak tanda tanya yang terus berserakan di otakku.
Dia memang
penggoda sejati!
“Bergabung menikmati acara mandi tentu saja. Apalagi?”
dan aku susah payah menelan liurku yang berubah menjadi sebongkah kayu besar.
“Kau tahu peraturannya–”
“Tentu–” lanjutnya dan dia bangkit berdiri mencondongkan tubuhnya
mendekat pada wajahku.
“Aku orang yang taat pada peraturan, Alice dan kau ... kuharap
kau juga begitu” bisiknya dengan wajah semakin mendekat padaku, kepalanya
miring ke samping dan tampak aku mengetahui gelagatnya aku berdiri dan wajahnya
sekarang menghadapi perutku.
Aku harus
tegas! Dia tidak bisa mempermainkanku lebih dari ini!
Oya? Bukankah
hormon seksualmu perlu dipuaskan?
Suara busuk itu kembali menyeruak.
“Maaf aku–”
Dia menegakkan kembali tubuhnya. Wajahnya tanpa ekspresi
dan itu malah membuatku merasakan kelu pada lidahku.
“Beristirahatlah. Kau harus bekerja besok” dan dia pergi
meninggalkanku. Meninggalkan rasa sakit yang entah mengapa membuatku ingin
mengejarnya dan memutar kembali waktu, mengijinkannya melakukan apapun yang dia
inginkan sehingga rasa sakit ini mungkin akan hilang.
“Ada apa denganku?” ucapku dan mengakhiri hari luar biasa
mengejutkan dalam sejarah hidupku ini dengan rasa sakit yang tidak beralasan.
Apapun terjadi
karena ada alasan–
Dan aku mulai memperhatikan semua omong kosong yang
tercipta dari sudut hatiku paling dalam setelah sekian tahun menutupnya
rapat-rapat.
Apakah
sekarang hatiku sudah mulai bekerja layaknya hati yang memiliki nurani? Aku
sudah melukai banyak orang dalam hidupku dan sekarang, apakah nurani masih tersisa
dalam diriku?
“Pukul lebih
keras lagi, Alice!” Teriakan K menggaung begitu dekat dengan telingaku.
Aku
menghantamkan pukulan untuk kesekian puluh kali ke sandsack yang ada di
hadapanku. Peluh mengucur deras dan pandanganku mengabur. Sudah lebih dari 5
jam ayah menyuruhku untuk terus memukul dan memukul sandsack itu. Kelelahan dan
rasa sakit hati luar biasa melanda dan memenuhi setiap detak jantung dan
hembusan napasku. Terlalu meyakitkan, K! Terlalu menyakitkan! Memori itu seakan
menjadi luka yang tidak akan pernah menutup dan terus menerus tergores dan
menimbulkan infeksi yang tidak akan pernah berkesudahan. Rasa sakit yang kau
munculkan membuatku sesak dan apakah ini tujuanmu? Membuatku mengejarnya yang
memusnahkan nasib bahagiaku dan tergantikan oleh kesendirian dan dendam yang
tiada habisnya? Jika memang demikian, kau telah berhasil mendidikku menjadi
seorang pembunuh!
Aku
menyayangimu K karena kaulah satu-satunya orang yang aku miliki. Kau
menyayangiku sepenuh hatimu, mengajarkanku banyak hal dan membuatku menjadi
wanita tangguh dan tegar, membuatku tertawa di saat memori kehilangan itu
menyeruak dan menggerogoti kehidupanku menjadi rapuh dan mudah terkalahkan.
“Lihat
baik-baik dia!” Tangan K menjambak rambutku dan membawa paksa wajahku menatap
sebuah potret seorang lelaki yang sebaya dengan ayah tertempel pada sandsack.
Rambutnya hitam dan terpangkas rapi. Wajahnya tegas namun matanya begitu cerah
secerah lautan yang jernih.
“Dia! Dia
pembunuh ibumu! Pembunuh ayah! Kau mengerti?” Bentak K dan sekali lagi
memaksaku untuk memukul potret itu.
Kekejaman yang
bertubi-tubi menumpuk di dalam hatiku yang telah lama membeku. Di usiaku yang
baru saja selesai menyelesaikan masa sekolah menengah atas, aku dipilih secara
khusus oleh security service agent untuk menjalani pelatihan sebagai agen
khusus. Pelatihan beladiri, senjata, sky-diving, manipulasi, dan hal-hal
lainnya telah aku ikuti ditambah sesi khusus yang diajarkan K. Agen K adalah
teman akrab ayahku saat mereka masih bekerja bersama dan akhirnya dia mengangkatku
menjadi anaknya saat aku masih berusia tidak lebih dari satu tahun. Semua
kebahagian telah direnggut dariku.
“Dia telah
mengambil ibumu, ayahmu, dan bahkan dengan kejam membunuh kakak perempuanmu!”
Suara K menggaung tiada pernah berkurang. Amarah yang meledak akibat kehilangan
sahabat yang dia cintai sama sepertiku telah memupuk dendam dalam hatinya dan
telah berimbas memasuki relung hatiku dan turut serta membentuk dendam pada
Dean Reeves. Pembunuh, perebut, pemusnah seluruh kebahagiaanku, kebahagiaan K,
dan dia bahkan tega merenggut nyawa kakakku yang menurut K masih berusia 4
tahun saat semuanya tergeletak mati tidak berdaya.
“Pembunuh!”
Sebuah hantaman keras merobohkan kantung pasir itu dan terlempar sejauh
beberapa meter dari tempatnya tergantung.
“Bagus, Alice!
Kau harus menjadi kuat karena kau tidak tahu siapa yang akan kau hadapi nanti!”
Suara K penuh peringatan, cengkramannya pada bahuku mengetat dan sesi latihan
dengannya berakhir dengan keringat, air mata dan napas yang terengah-engah ditambah
rasa amarah dan dendam yang menguak meminta untuk segera dibalaskan.
@@@
Aku menggeliat saat sinar matahari
menembus kaca yang secara otomatis akan terbuka tirainya pada jam-jam tertentu.
Kehangatannya membelaiku dan aku sedikit enggan untuk membangkitkan diri dan
menelungkan tubuhku lebih dalam, mengangkat tinggi-tinggi selimut.
Drrtt... ddrrtt... ddrrtt...
Ponselku bergetar di atas meja dan aku terpaksa
meninggalkan posisi paling nyaman dan meraih ponsel yang memunculkan ada pesan
baru.
Dari : Ayah
Pesan : Semoga hari pertamamu bekerja menyenangkan!
Sial! Aku harus bekerja hari ini!
Ide
sialan menjadi bodyguard adalah hal
paling tidak terduga dalam hidupku!
Aku? Bagaimana bisa? Tidak lebih dari 10 orang sepertiku
di Inggris. Aku diciptakan menjadi hebat dan ditugaskan dalam misi-misi
berbahaya dan sekarang aku malah terjebak dengan manusia paling menjengkelkan
karena aku menjadi lemah hari demi hari jika aku terus berada dekat dengannya.
Dia seperti penghisap energi dan sedikit demi sedikit aku menjadi bergantung
padanya.
Pukul 7 pagi aku telah bersiap
dengan seragam tugasku yang memang membuatku nyaman bergerak. Selalu dengan
mengenakan celana dan warna hitam menjadi favoritku.
“Selamat pagi, sir!” Aku menyapa
Tobias yang baru saja melintas di depanku saat aku hendak menuju dapur dan
berniat untuk memasakkan sesuatu untuknya.
Tobias hanya mengangguk dan berlalu
begitu saja. Aku menatap bingung ke arahnya. Apakah dia masih tersinggung
dengan sikapku kemarin? Tapi aku bodyguardnya!
Apa yang dia lakukan kepadaku tidak selebihnya sikap seorang bos pada
bawahannya. Sudut mulutku berkedut dan aku tidak akan memedulikan sikap
dinginnya itu lagi.
“Selamat pagi, Miss Keith.” Seorang wanita yang berusia mungkin sudah lebih dari
50 tahun dengan baju sederhana menyapaku dari dalam dapur.
“Mrs. Martin?”
Tebakku. Wajah meksiko yang kental dengan warna kulit coklat gelap menambah
kesan manis pada wajahnya yang sudah mulai menua.
Dia tersenyum dan keriput di ujung matanya mulai tercetak
semakin tebal. “Saya senang akhirnya Mr. Currey
ada yang menemani.” ujarnya dan aku tersenyum kikuk.
Dan itu
pertanda bahwa neraka semakin mendekati hidupku atau malahan aku telah berada
di dalamnya.
“Anda ingin sarapan apa, Miss Keith?” tanya Mrs. Martin.
“Anda tidak perlu repot-repot Mrs___”
“Julia, please?”
“Maksudku Julia, anda tidak perlu merepotkan diri___”
“Saya merasa senang anda di sini menemani Mr. Currey, Miss Keith.” Senyumnya tidak pernah pudar dari wajahnya. Dia sedang
memotong-motong sesuatu seperti daging saat aku mendekatinya berniat untuk
membantunya.
“Tidak perlu, Miss
Keith”
“Tolong panggil saya Alice dan janganlah terlalu formal.
Saya menjadi tidak nyaman” Mohonku padanya.
“Baiklah. Alice, apa kau ingin bacon?” Tawarnya yang sekarang sedang memasukkan beberapa roti ke
dalam toaster.
“Terimakasih, Julia”
“Sama-sama, Alice”
Aku mulai merapat dan menengok masakan Julia yang
sepertinya luar biasa menggiurkan. Aku melihat omelet dengan madu yang tertuang
dan membuat perutku bergemerucuk menuntut pasokan makan.
Hanya perlu waktu 15 menit semua makanan seperti bacon, omelet, roti panggang dan jus
jeruk telah siap. Aku membantu Julia membawakan beberapa makanan tersebut ke
meja makan dan melihat Tobias telah duduk dengan gaya paling indah – seperti
biasa – dengan koran di hadapannya dan I-phone
tergenggam di tangan kirinya.
Aura kegelisahan mendadak melingkupi meja makan. Aku
melirik pada Julia dengan makna ‘tolong aku’ tersirat dalam tatapanku padanya
namun dia hanya tersenyum dan bergegas kembali ke dapur.
Apa sebaiknya aku
mengikuti Julia dan memilih makan di meja untuk pembantu? Aku menggigit bibir bawahku dan belum memutuskan untuk
juga beranjak dari tempatku berdiri atau tetap mematung menyaksikan Tobias yang
masih sibuk dengan I-phonenya.
Tobias menegakkan kepalanya miring
dan menatapku dengan sebuah alis terangkat. “Kau ingin menjadi manekin
selamanya di situ?” Suaranya datar dan aku gelagapan saat menyadari tatapan
Tobias benar-benar berubah kepadaku.
Tamat
riwayatmu, Alice!
“Aku lebih baik bersama Julia___”
“Aku menyuruhmu untuk sarapan di meja ini!” Ujarnya tanpa
menatapku dan telah mengambil beberapa potong roti panggang dan mulai
memasukkan roti itu ke dalam mulutnya.
Ragu-ragu aku duduk menjauh darinya dan mengambil omelet.
Susah payah aku menelan makanan yang kupilih ke dalam saluran kerongkonganku
dan aku memutuskan untuk tidak menghabiskannya. Suasana hatiku mendadak buruk
dan aku sangat mengetahui apa yang menyebabkan keburukan ini. Dia, lelaki yang
duduk dua kursi dariku.
“Apa kau mulai suka menyia-nyiakan sesuatu?” Matanya
menatapku tajam. Kedua tangannya yang semula sibuk menusukkan garpu ke dalam
roti berhenti. Perhatiannya yang kelewat mengerikan membuat merinding sebagian
besar tubuhku.
“Aku kenyang.” Jawabku singkat.
“Kenyang? Apa kau tadi sudah makan?” Nada suaranya
semakin ketus dan kemarahan hampir mencapai titik didihku.
Aku melap mulutku dan bangkit dari tempat duduk. Aku harus menjauh darinya sekarang atau
mungkin tangan kananku akan mendarat pada pipinya yang menawan. “Aku akan
menunggumu di___”
“Habiskan!”
“Aku ini hanya bodyguardmu
bukan seseorang yang kau suruh-suruh untuk hal sepele!” Teriakku berang. Dia
telah memicu amarah yang tertahan.
Amarah? Amarah
karena apa? Apa karena dia mengacuhkanmu alih-alih memperhatikanmu seperti
biasanya? Aku mengangguk tanpa Tobias
sadari.
Aku bukan
orang yang munafik di depanmu! Kau harus tahu itu! Balasku pada sisi dari diriku yang selalu kontra dengan
segala hal yang aku lakukan ataupun ucapkan.
Mata Tobias melebar sesaat dan sejenak yang lalu kembali
normal. Napasku tersengal menyaksikan betapa luar biasa ekspresi Tobias. Aku
mengira dia pasti memperoleh juara pertama saat mengikuti kelas memanipulasi
karakter serta ekspresi dan dia telah berhasil mengubah ekspresi sedemikian
cepat. Dia bangkit berdiri dengan ketenangan dan berjalan melewatiku menuju
ruang kerjanya.
Dia
benar-benar membuat tekanan darahku meningkat! Aku menatap sinis ke arahnya meski aku tahu percuma. Dia
tidak akan tahu seberapa kesalnya aku dengan perubahan sikapnya.
Aku berusaha menjaga jarak dengannya hanya untuk
membuatku mampu bersikap profesional. Dia terlalu buruk untuk kinerjaku. Saat
bersamanya, terlalu sering kegagalan yang aku alami. Aku tidak pernah meleset
dalam hal menembak, aku tidak pernah merasakan hal yang bernama rasa bersalah,
aku tidak pernah merasa terintimidasi karena selama ini akulah yang selalu
mengintimidasi!
Dengan kasar aku menggeret kembali kursi yang aku
tempati. Berapa lama lagi aku harus menghadapi bos paling menjengkelkan yang
pernah aku tahu? Ayah harus bertanggung jawab padaku! Jika aku pulang dalam
keadaan tidak utuh, maka dia adalah orang yang pertama kali aku incar!
Rekomendasi pekerjaan yang aku idam-idamkan malah berbuntut pada jebakan paling
sensual yang aku alami!
Aku memperhatikan semua makanan yang tersaji di atas meja
makan. Piring Tobias telah bersih. Dia selalu memperhatikan pola makannya.
Apakah dia
akan selalu begitu jika suasana hatinya terlalu buruk atau terlalu senang?
Aku mulai tertarik dengan koran yang Tobias baca. Sebuah headline berita menunjukkan ada 2 anak
laki-laki negro tengah mengais-ngais makanan di tumpukan sampah yang ada pada
sebuah area yang sekelilingnya terlihat berantakan. Pada headline itu bertuliskan Kelaparan
di Somalia yang tak pernah ada habisnya.
Aku meraih koran itu dan membacanya dengan seksama.
NAIROBI, Kekeringan dan kelaparan menimpa penduduk di Somalia,
hingga Kamis (4/8/12). Bencana ini telah menewaskan lebih dari 29.000 anak
balita dalam tiga bulan ini. Jumlah ini begitu mencengangkan, suatu
bencana kemanusiaan terparah dalam krisis di Tanduk Afrika itu.
PBB telah
mengatakan sebelumnya bahwa puluhan ribu orang telah tewas akibat kekeringan
yang terburuk di Somalia dalam 60 tahun ini. PBB mengatakan 640.000 anak
kekurangan gizi akut, suatu statistik yang dapat mengidikasikan bahwa
angka kematian anak akan naik.
Theresa
Luther, pejabat lembaga bantuan pemerintah AS di depan komite Kongres AS di
Washington, Rabu, bahwa AS memperkirakan lebih dari 29.000 anak balita Somalia
selatah tewas dalam 90 hari terakhir. Jumlah itu berdasarkan survei gizi
dan kematian yang diverifikasi oleh Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
(CDCP) AS.
PBB juga pada
hari Rabu menyatakan tiga daerah baru masuk dalam di zona kelaparan Somalia,
sehingga jumlah wilayah menjadi lima di seluruh Somalia selatan. Dari populasi
sekitar 7,5 juta, PBB mengatakan 3,2 juta warga Somalia sangat membutuhkan
bantuan darurat.
Distribusi
bantuan telah diberikan___
Mataku terhenti saat sebuah foto menutupi area kalimat
yang sedang aku baca. Aku mendongak dan melihat Tobias sudah berdiri tegap di
sampingku. Tobias menyuruhku untuk melihat foto yang dia tunjukkan kepadaku.
Aku meraihnya dan mengamati dengan teliti satu lembar foto yang berisi anak
laki-laki yang sedang tersenyum bahagia. Kedua anak itu berwajah cerah, saling
merangkul dan baju yang mereka kenakan sangat pas dan membuat mereka begitu
tampan. Aku tersenyum menatapnya.
Anak-anak yang
manis. Batinku berucap.
Kedua anak itu adalah negro. Tunggu!
Aku meraih kembali koran yang tadi aku baca. Aku meneliti
detail wajah dari foto koran dan membandingkannya dengan foto yang diberikan
Tobias kepadaku. Mereka anak yang sama?
Kedua alisku bertaut dan aku menggeleng tidak mengerti ke arah Tobias.
“Ini___” Tobias menunjuk anak yang di sebelah
kiri dengan telunjuknya. “Dia bernama Xaxi. Dia berusia 10 tahun.” Gumamnya.
Raut wajahnya teduh dan sebuah senyuman kecil terpoles di bibirnya.
“Dan yang ini Xayi. Dia masih berusia 7 tahun. Mereka
kakak beradik.” Lanjut Tobias. Suaranya stabil dan aku memperhatikan setiap
penjelasan dari Tobias.
“Mereka anak-anakku”