Sabtu, 20 April 2013

My Stark Shadows - Bab 1 -

"Kau main apa?" Aku menatap seorang anak laki-laki yang memakai kaos berlubang-lubang berwarna putih pucat dan celana pendek berwarna merah pudar.

Matanya berwarna hijau cerah, rambutnya yang berwarna gelap dan berantakan ironi dengan tubuh kecilnya tidak sesuai dengan umurnya yang 10 tahun. Dia diam saja tidak menjawab pertanyaanku. 
"Hei?" panggilku sekali lagi.

Perlahan dia mulai menatapku. Dia memandangku seolah aku bukanlah mahkluk yang berasal dari dunia ini. Kemudian dia mulai memandang sekeliling, seperti seorang anak yang sedang khawatir jika dia sedang melakukan tindakan nakal dan melarikan diri dari orang tuanya. Setelah dirasa aman, dia mulai bermain mobil-mobilannya yang sudah usang itu lagi.

Sebal rasanya tidak didengarkan olehnya, maka aku mendekat ke arahnya dan mulai bermain bersamanya walau dia sama sekali tidak berbicara dan melihat kepadaku. Aku mulai meraih sendok yang tergeletak tidak jauh dari anak laki-laki itu dan mulai mengeruk-eruk tanah dan aku mulai membangun sebuah rumah tanah. Kami berdua bermain dalam diam.

"Christin Erin Granger!" Aku terkejut dan menghentikan pembangunan rumahku dan aku juga melihat anak laki-laki itu juga tersentak dari keasyikannya bermain mobil-mobilan.

"Christin, Pulang!" Aku melihat ayah memanggilku dari balik pekarangan rumah.

"Aku datang, Ayah!" teriakku padanya. 

Aku tidak langsung bergegas, tetapi masih melihat anak laki-laki itu. 

"Aku akan kembali lagi!" janjiku kepadanya. 

Dia tidak memperhatikanku dan lebih memilih asyik bermain dengan mobil-mobilannya. Aku berlari menuju rumah. Ayah telah berdiri di pintu belakang rumah. 

Ayah adalah seorang pensiunan anggota CIA yang sangat disegani oleh anggota-anggota lain. Dia sangat tinggi, memiliki mata biru seperti milikku. Rambutnya hampir habis karena mungkin dia terlalu banyak berpikir. Aku sangat menyayanginya. Dia pun juga. Hanya aku yang dia punya. Dia melatihku seni beladiri meski usiaku masih 6 tahun. Dia mengajariku banyak hal.

Pengalamannya menjadi anggota terbaik CIA dia ceritakan kepadaku. Namun hari ini dia memelototiku. 

Oh tidak! Apa salahku? 

Aku berjalan gontai masuk ke rumah. Ayah mengikutiku dari belakang. 

"Apa yang kau lakukan bersama anak kotor itu?" teriak ayah kepadaku. 

Aku hanya diam saja. Aku tidak berani memandangnya. Aku menatap tanganku dan memainkan jari-jari. 

"Lihat ayah, Christin!" Aku terkesiap dan menatapnya. 

Aku takut tapi juga marah. Apa salahku bermain dengan anak itu? Aku kesepian. Aku membutuhkan teman dan hanya dia yang selalu ada di halaman belakang dan dia juga sendiri! Ayah melemparkan tangan ke kepala yang kini tak berambut lagi. 

"Oh, Christin, ayah sangat khawatir kepadamu. Ayah mencarimu kemana-mana dan ternyata kau bermain dengan anak itu. Christin, jangan!" Ayah terlihat gusar. Aku tidak mengerti mengapa dia begitu cemas aku bermain dengan anak itu. 

"Ayah, aku ingin seorang teman, aku kesepian," kataku lirih kepadanya dan aku tahu ucapanku ini telah menyetuh hatinya. 

Ayah menatapku dengan penuh sayang dan mulai membelai rambut coklatku yang panjang. 

"Christin sayang, kau tidak harus bermain dengannya," ayah memohon. 

Aku masih bingung dengan ucapan ayah ini. 

"Ayah, dia tidak menyakitiku. Bahkan dia sama sekali tidak berbicara denganku," ucapku kepadanya sambil mengalungkan tanganku ke lehernya. 

Ayah memelukku dengan erat kemudian perlahan melepaskanku dan menatapku dalam-dalam. 

"Benarkah dia tidak berbicara denganmu?" Ayah mengejapkan matanya kepadaku dan aku menganggukkan kepalaku dengan tulus. 

"Ayah, bolehkah aku berteman dengannya? Aku merasa kesepian ketika ayah harus pergi jauh."

Untuk anak seumurku aku harus kehilangan sesosok ibu dalam kejadian kecelakaan ketika usiaku 1 tahun. 

Ya, ayah telah menceritakan hal-hal yang tidak semua anak berusia 6 tahun dapat memahami cerita ini dari ayah. Kehilangan ibu, aksi-aksi ayahu sebagai anggota CIA, pertahanan diri, teknologi canggih, kecakapan berbicara. Ayah telah memberikanku banyak hal yang belum pernah anak berusia 6 tahun manapun pernah menerimanya. 

Ayah menatapku sekali lagi "Baiklah kalau itu maumu, tapi ayah berharap kamu dapat menjaga dirimu. Ayah selalu mengkhawatirkanmu, selalu." Ayah memejamkan matanya dan memelukku dengan erat. 

"Tenang ayah, aku akan selalu menjaga diriku baik-baik. Aku menyayangi ayah." Aku pun memelukknya erat. 

Saat ini pukul 9 malam dan aku bersama ayah pergi mengantarkanku ke tempat tidur. 

Ayah mengecup keningku. "Selamat malam, Sayang." 

"Selamat malam ayah. Aku menyayangimu," kataku lirih. 

Ayah mematikan lampu kamarku dan segera aku terlelap dalam tidurku. 


Aku melihat anak laki-laki itu, manatapku dengan perasaan ketakutan dan mengharapkan pertolonganku. Aku meraih tangannya, dia menggenggam erat tanganku. Tanpa ada kata terucap di antara kami berdua. Namun perlahan aku merasakan genggaman itu makin lama makin lemah dan anak laki-laki itu menghilang menjadi kabut. 


"Jangan pergiiii!" teriakku. 

Aku terengah-engah dan panik. Keringatku bercucuran, aku merasakan bajuku basah. Aku melihat sekelilingku dan aku sadar bahwa itu hanyalah mimpi. Aku terkejut. Aku memimpikannya. Memimpikan bocah bermata hijau itu dan aku berteriak karena aku kehilangannya. 

Apa maksud mimpi ini? Perlahan aku menenangkan diriku dan aku sama sekali tidak perlu cemas lagi bahwa aku masih berada di kamar dan sepertinya ayah tidak mendengarkan teriakanku. 

Aku melihat jam weker yang ada di meja samping tempat tidur. Jam 3 pagi! Aku mencoba kembali tidur namun aku masih memikirkan mimpiku namun akhirya aku tertidur kembali. 

Esok paginya aku bangun. Aku menggeliat masih setengah tertidur aku bangun dan melihat jam weker. 

Jam 6 pagi. Hmmm, aku bertanya-tanya apakah ayah sudah bangun? Aku mulai bangit dan menuju ke kamar mandi. Aku mencuci mataku dan mulai menggosok gigiku. Kebiasaan ini telah diajarkan oleh ayah setiap aku bangun tidur dan lagi aku selalu malu ketika aku harus berbicara padahal aku baru saja bangun tidur. Mulut yang bau selalu menghantuiku setiap kali harus diajak berbicara dan aku lebih memilih diam atau segera berlari ke kamar mandi untuk menyikat gigi. 

Udara dingin sekali di bulan November ini. Aku membuka tirai jendela dan aku tertegun. Anak itu lagi! Dia sedang asyik bermain ayunan yang dibuatkan ayah untukku. Dan dia sendiri lagi! Aku bertanya-tanya apa dia juga kesepian seperti aku? Apa dia tidak mempunyai saudara? Aku tidak pernah dia dipanggil oleh siapapun, aku tidak pernah melihatnya bersama siapapun. Aku hanya melihat bahwa dia tinggal di rumah yang sangat besar dan banyak orang laki-laki yang masuk ke rumah itu. Aku tidak tahu siapa mereka. Mungkin ayahnya? Mungkin pamannya? Atau saudaranya? Yah mungkin itu. 

Aku segera berlari menyusulnya. Menuruni tangga dengan hati-hati agar tidak membangunkan ayah. Setelah mencapai halaman belakang rumah aku masih dapat melihatnya bermain ayunan. Dia mengayunkan ayunan itu semakin lama semakin tinggi. Aku terus memperhatikannya. 

Braggghh!!! 

"Aaargghh!" teriak anak itu. 

Aku bergegas menuju ke arahnya, panik sekaligus khawatir. Aku melihatnya terkapar bersama tali ayunan yang putus di atasnya. Di merintih kesakitan. Rintihannya tidak cukup keras untuk mengalihkan perhatian orang yang lewat di jalan depan rumah. Aku segera mendekatinya namun dia justru menjauhiku. Aku mendekat lagi namun kali ini dia diam saja dan masih memegang siku tangan kanannya yang berdarah dan penuh debu. Aku memegang tangan kanannya. Awalnya dia enggan ku pegang namun akhirnya dia membiarkanku memegangnya. 

"Sakit?" tanyaku. 

Dia mengangguk kecil. Ada air mata di ujung matanya dan aku tahu pasti itu sangat sakit. 

"Tunggu sebentar!" perintahku padanya. 

Aku berlari secepat mungkin ke dapur dan mengambil kotak p3k yang sering aku gunakan untuk bermain bersama boneka-bonekaku. Aku mengambil mangkok plastik dan segera mengisinya dengan air. Aku mengambil kain handuk kecil di samping meja makan dan segera kembali ke anak itu. 

Dia masih diam di tempatnya dan masih memegang siku tangan kanannya yang berdarah. Aku bertimpuh pada kakiku dan mulai mencuci handuk kecil yang kubawa tadi dalam air dan mulai membersihkan lukanya. Dia merintih kesakitan namun dia tahan. Perlahan aku mulai meniup-niup lukanya berharap apa yang aku lakukan dapat mengurangi rasa sakit itu. 

Aku menatap mata hijau cerahnya dengan rambut hitam yang berantakan dan dia menatapku juga. Aku membuka perban dan menuangkan cairan obat luka ke sikunya dan mulai membalut lukanya. Memang tidak rapi, tapi aku harap darah pada lukanya tidak mengalir terus menerus. Dia menatapku terus. Akhirnya aku selesai mengobatinya. Dia tetap menatapku. 

"Terimakasih," ucapnya tiba-tiba. 

Aku terkejut sekaligus senang. Akhirnya dia berbicara. Dia berbicara kepadaku. 

"Sama-sama," balasku. 

Aku mengulurkan tanganku "Christin... Christin Granger." Dia menjabat tanganku namun sama sekali tidak berkata apa-apa. 

Aku sebal sekali tetapi aku senang, akhirnya dia berbicara kepadaku. Dia bangkit berdiri dan berlari kembali ke rumahnya. Aku melongo, berkata dalam hati apakah hanya terimakasih? Hei aku ingin tahu namamu mata hijau! 

Aku sedih melihatnya sama sekali tidak memandangku lagi. Harapanku memiliki sahabat seperti hilang, padahal aku berharap aku bisa tahu namanya, bermain dengannya, menghabiskan waktu dengannya. Aku membereskan handuk kecilku yang penuh noda darah dan debu dengan air yang tersisa dan memasukkan semua peralatan p3kku dalam tas. 

Aku berdiri dan melangkah pulang. Sebelum aku mulai berjalan terdengar langkah kaki berlari ke arahku dan melihatnya. 

Melihatnya kembali! 

Dia membawa sebuah boneka burung usang berwarna putih namun kumal penuh debu. Dia mengulurkan boneka itu kepadaku. Aku masih menatapnya dan beralih ke boneka itu. Aku tidak mengerti apa yang sedang dia lakukan. 

"Ambillah!" katanya. 

Aku terkejut lalu aku mengulurkan tanganku dan menerima burung itu. 

"Untuk apa ini?" tanyaku kepadanya. 

"Sebagai ungkapan terimakasihku karena kau telah menolongku," ucapnya sambil tersenyum tulus kepadaku. 

Oh, apakah dia bisa menjadi temanku sekarang? Bisakah? Harapan itu kembali ada. 

"Maukah kau berteman denganku?" ucapku tanpa pikir. 

"Tentu saja!" jawabnya riang. 

Ayah, aku punya teman sekarang!  

Hari-hari aku lalui bermain bersamanya. Berkejar-kejaran, bermain layangan, bahkan bermain boneka-bonekaku. Aku memberi nama boneka burung pemberiannya Greenty karena anak itu memiliki warna mata hijau cerah yang paling aku sukai. Dan dia menyukai nama itu. Kami sangat senang bermain bersama. Menghabiskan waktu bersama. Ayah telah menjadi jauh lebih ramah terhadap anak itu. Dan sampai sekarang aku masih belum tahu namanya. Aku tidak pernah memanggilnya karena dia selalu mengunjungiku. Dia tidak pernah menyiggung tntang namanya maka aku putuskan ku beri dia nama "CG (SiJey)" bukan dari singkatan namaku tapi dari kata Cool and Green. Anak yang memiliki mata hijau dan begitu dingin dan dia memanggilku Grangy! Nama yang tidak umum aku dengar tapi entah mengapa aku menyukainya. Sangat menyukainya. 

Salju telah memenuhi seluruh daratan. Aku dan CG bermain di halaman belakang bersama ayah. Selama aku mengenal CG aku tidak pernah sekalipun melihat keluarganya keluar dari rumah dan aku pun tidak mempermasalahkannya. Hingga suatu saat di bulan Januari di tahun berikutnya aku tidak melihatnya lagi mengunjungiku. Sudah 3 hari dia tidak mengunjungiku dan aku mulai mengkhawatirkannya. 

"Ayah, mengapa CG tidak mengunjungiku lagi?" aku bertanya kepada ayah. 

"Entahlah Christin, ayah pun mencemaskannya," jawab ayah yang juga mencemaskan CG. 

"Cobalah ayah datang ke rumahnya dan temui dia. Aku merindukannya," pintaku pada ayah. 

"Baiklah ayah akan mencoba ke rumahnya besok." Aku memeluk ayah erat-erat. 

Paginya, masih setengah bangun aku tidak langsung ke kamar mandi. Aku membuka tirai berharap CG ada di bawah pohon di tempat biasa dia menungguku untuk pergi bermain dan 4 hari ini aku tidak melihatnya lagi. Namun pagi ini aku melihatnya! Ya aku melihatnya. 

Aku segera bergegas berlari keluar rumah dan menemuinya. Terengah-engah aku menatapnya. 

"Dari mana saja kau? Aku menunggumu tapi 4 hari ini kau tidak ada!" Suaraku bergetar akibat marah, rindu, kesal bercampur menjadi satu kepadanya. 

Namun bukan penjelasan yang ku terima namun tatapan ketakutan dan linangan air mata. 

"Maukah kau menikah denganku?" tanyanya tak terduga. 

Menikah? Namun aku segera mengiyakan ajakannya.

"Ya," gumamku.

"Tunggulah aku, kau mau?" tanyanya sekali lagi. 

Tunggu?

Setelah 4 hari dia tidak muncul kemudian dia datang hari ini dan memintaku menikahinya dan kemudian meyuruhku untuk menunggunya. Ada apa ini? Terdengar ada mobil polisi berdatangan ke rumahnya banyak sekali dan ayah berlari ke arahku. Aku masih belum dapat memahami semua ini. 

"Maukah kau menungguku?" tanyanya lagi dan seperti mendesakku untuk menjawabnya segera. 

Aku mengangguk sekali lagi. “Apa kau akan pergi lagi?" tanyaku yang masih belum mengerti dirinya.  

Aku melihat mata CG berair. "Kau menangis?" CG hanya diam memandangku seperti ingin mengucapkan sesuatu sebelum seorang wanita datang menghambur bersama ayah yang menggandeng tanganku.

Wanita itu tinggi berbaju putih, berambut pirang dan berombak datang bersama polisi dan berbicara kepada ayah. Aku merasa ketakutan namun CG meraih tanganku meletakkannya didadanya. 

"Tunggu aku," pintanya dengan lirih. Aku mengangguk namun aku sama sekali tidak mengerti semua ini. Kemudian tiba-tiba ayah menggendongku melepaskan genggaman CG dan membawaku menjauhi CGku.

“Tidak ... Tidakkkk! Aku tidak mau jauh dari CG. CG!” teriakku sambil meronta-ronta dari pelukan ayah.

CG kemudian dibawa oleh wanita itu. Aku tidak tahu CG pergi kemana namun dia pergi. Pergi dengan wanita itu. 



"Tidaaakkkkkk... jangannn pergiiiiii!!!" teriakku.

Jumat, 19 April 2013

Hening.

"Kau ingin makan sesuatu?"

Lelaki yang ada di hadapanku, yang sedang duduk sambil menatap fokus pada lembaran kertas bertuliskan reaksi-reaksi kimia dan bahasa obat-obatan lainnya, sama sekali tidak menjawabku.

"Ethan!"

Dengan malas, lelaki itu mendongak, memberi tatapan layu dan mengangguk sekali lalu kembali membaca kumpulan kertas itu.

"Kau ingin makan apa?"

Hening...

"Et-han," ucapku mulai terdengar putus asa. Ingin rasanya mengeplak kepalanya yang ditutupi rambut blonde itu dengan panci penggorengan yang ada di dapur.

Bunyi kertas yang dibolak-balik mengisi keheningan diantara kami. Ethan masih berkutat pada kertas itu dengan ekspresi datar.

Sesak rasanya jika diacuhkan seperti ini. Lelaki itu benar-benar menyebalkan!

"Aku akan memasak ayam panggang untuk makan malam kita,"

Hening...

Apa aku ini sedang hidup di kuburan? Cukup sabar aku menghadapinya selama seminggu ini. Pria pendiam yang membuatku menelan ludah berkali-kali karena ketampanannya tapi juga mengumpat sesering mungkin karena sepertinya aku hidup bersama orang bisu ...dan tuli!

Sepertinya memang aku harus lebih bersabar padanya. Aku mendesah berat lalu berpaling menuju dapur dengan perasaan dongkol.

Bunyi pisau yang memotong seledri mengisi keheningan yang selalu menjadi ciri khas rumah ini. Ah, maksudku rumah Ethan. Seandainya saja Ethan tahu bahwa kelakuannya membuatku tertekan, aku frustasi dengan sikap diamnya. Apa aku ini dia anggap batu nisan? Alat pendengar yang menghubungkan telingaku dengan pemutar musik I-pod memperdengarkan lagu kesukaanku, seize the day.

Saat mencapai refren, aku bernyanyi keras, berharap keheningan rumah ini pudar meski hanya aku yang memenuhinya. Memenuhi keheningan ini dengan teriakanku. Toh, tidak akan ada yang mendengar mengingat Ethan memiliki kondominium kelewat besar, mewah, dan yang terpenting -dan sepertinya dia menyukainya- adalah jauh dari kebisingan.

Aku tidak peduli dia terganggu. Aku malah bersyukur dia terganggu dan setidaknya cap 'kuburan' di rumah ini luruh karena ocehan dan teriakanku.

Aku memasukkan beberapa rempah ke dalam panci yang berisi air yang sudah mendidih. "Sabar Lave, sabar...." aku mengelus dada dan kembali berkutat pada bawang bombay dan lagi bernyanyi lagu berikutnya.

"Seize the day or die regretting the time you lo--," suaraku berhenti dan berganti kekagetan luar biasa saat sebuah tangan menepuk bahuku.

Terkejut? Jelas! Pertama kali aku merasa hidup bersama mahkluk hidup lain.

Aku menoleh dan menemukan Ethan menatapku datar. Tanpa babibu, Ethan menggeser tubuhku dan merebut pisau yang kugenggam. Dalam diam, Ethan mulai mengiris bawang bombay dan beberapa lainnya.

Keterkejutanku belum berakhir saat Ethan membuka mulutnya dan bibirnya meliuk-liuk.

Ini benar-benar Ethan, kan?

Ethan berbalik menatapku dengan tatapan dinginnya. Hah! Apalagi sekarang? Aku masih diam dalam keterkejutanku.

Tiba-tiba saja Ethan menangkup kedua pipiku dan melepas alat pendengar yang menempel sedari tadi di telingaku.

"Kau tidak boleh pakai itu." Ethan memberi kesan bahwa dia peduli padaku. Dan itu kata-kata paling panjang yang pernah kudengar dari mulutnya yang kukira sudah karatan karena tidak pernah digunakan untuk berbicara.

"Kau ... Ethan ..., kan?" Heran? Terkejut? Pasti! Dia itu mayat! Mayat karena tidak pernah berbicara. Tapi sekarang? Ya Tuhan suaranya benar-benar indah!

"Iya."

Dia ... berbicara. Setelah aku mengenalnya selama seminggu akhirnya dia berbicara? Apa dia tidak akan mengacuhkanku lagi?

Bodoh! Waktumu bersamanya tinggal 1 minggu lagi. Maklumi saja! Sisi lain dariku memberi peringatan.

Benar. Ini semua benar. Dan terasa menyakitkan saat tahu jika hari final itu tiba. Hari dimana kami selesai menjadi pasangan pura-pura di depan orang tua Ethan yang khawatir putranya penganut homogen.

Entah sejak kapan aku mulai tertarik padanya. Sebagai perempuan kadang aku tidak mengerti rasa tertarik itu muncul. Ethan sama sekali tidak pernah berkomunikasi padaku bahkan ketika orang tuanya datang mengunjungi kami. Hanya bedanya, komunikasi yang dia tunjukkan lebih pada tingkah laku yang manja tanpa suara jika berhadapan dengan orang tuanya.

Menyebalkan? Tentu. Dan lebih menyebalkan lagi ketika tahu bahwa kepura-puraan ini malah menjebakku lebih dalam pada aura Ethan yang pendiam.

Dunia kejam, huh? Membuatku tertarik pada lelaki yang bahkan tidak berbicara padaku sama sekali?

"Et-han," panggilku saat melihatnya masih berkonsentrasi mengiris buah apel dan jeruk untuk salad.

Bunyi dehaman terdengar dan hatiku mencelos.

Dia hanya berbicara 2 kalimat dan sekarang, dia lagi-lagi diam. Aku menatap makanan yang sudah matang dan tanpa sadar tersenyum. Senyum yang teramat pilu jika definisi berlebihan yang diinginkan.

"Tolong bawakan ini ke meja. Aku akan mengambil peralatan makan kita," Ethan menatapku sejenak lalu bergegas melakukan apa yang aku pinta. Membawa ayam panggang, buah-buahan dan minuman dingin menuju ruang makan.

Aku menyerah.

Rasa searah itu menyakitkan dan lebih menyakitkan jika orang yang membuat kita merasakan rasa itu berada di dekat kita dan parahnya menganggap kita hanya angin, hanya batu nisan, hanya dengungan lebah. Aku seperti hidup seorang diri tanpa tahu apa yang akan Ethan lakukan dan apa yang sedang Ethan pikirkan.

Sebulir air mata jatuh dan aku mengusap cepat.

Aku menyerah.

Jika Ethan menginginkan keheningan, aku akan membantunya. Tinggal 1 minggu lagi maka hidupku akan kembali normal.

Iya, kan?

Ethan sudah menanti dengan manis di ruang makan. Kertas-kertas yang menjadi pasangannya tidak tampak. Di bibirnya seulas senyum tampak dan beberapa detik yang lalu hilang.

Aku mengerjap untuk memastikan senyuman tadi dan aku tahu itu mungkin hanya imajinasiku saja.

Ethan? Tersenyum? Semua hantu akan takut jika itu terjadi.

Kami makan dalam hening.

Dan inilah aku. Aku akan memulainya sesuai skenario Ethan. Hening tanpa kata. Hening tanpa ekspresi. Sama seperti yang Ethan lakukan padaku.

Tidak! Bukan balas dendam. Ini semata agar besok saat aku dan Ethan mengakhiri kepura-puraan ini, rasa ngilu pada hatiku tidak akan sesakit yang aku takutkan.

"La-ven-der?" Aku tersentak saat suara indah itu kembali bergaung. Aku menoleh pada Ethan yang sudah selesai makan dan kini menatapku dengan senyuman.

Dia ... Ethan, kan?

"Kenapa ... diam?" suaranya terdengar kaku saat berbicara.

Butuh waktu beberapa detik sebelum menyadari aku belum menjawab pertanyaannya.

"Kenapa kau juga diam?" Demi seluruh pikiran frustasiku, itulah yang ingin aku tanyakan pada Ethan sejak awal. Mengapa dia mengacuhkanku?

Ethan sejenak ragu karena aku melihat mulutnya membuka lalu menutup lagi.

Bungkam lagi, huh?

Aku yang terlalu lelah dengan sikap Ethan melambaikan bendera putih dalam imajinasiku dan berteriak dalam hati 'aku menyerah, Ethan.'

Berniat menghindari Ethan, aku bangkit dan memberesi peralatan makan yang kotor dan aku bisa menangis dalam hati sepuasnya tanpa Ethan tahu. Heh, lagi pula apa pedulinya?

"Aku ... suka ... kamu," Langkahku terhenti. Bunyi macam apa yang menggema barusan?

"Aku ... suka ... Lavender," Aku kembali menatap Ethan yang masih duduk dengan kepala menunduk.

"Aku ... Aku suka saat Lavender bicara, saat Lavender ... berteriak. Aku ... suka Lavender." Wajah Ethan memerah, "Aku diam karena..." Ethan bergerak tidak nyaman saat aku tidak bergeming dan terus memperhatikannya. "Karena aku suka Lavender. Aku suka suara Lavender dan ingin terus menikmatinya. Aku ingin menggunakan waktu 2 minggu ini untuk mendengar Lavender sepenuhnya. Karena setelah itu ... Aku mungkin tidak akan mendengar suara Lavender lagi."

Aquila, Bukan Aquilaku



Berhenti! Berhenti berada di pikiranku. Membatin namamu saja sudah cukup membuatku tertekan! "Isna! Buka pintunya!" gedoran pintu bertalu. Pandanganku yang mengabur akibat airmata dan tenagaku yang terkuras karena berlari jauh, membuatku hanya mampu tersenyum. 

Ini nyata. Itu Aquila. Hanya saja dia bukan Aquilaku. 



Mataku terbuka pelan. Kudapati sebuah ruang gelap dan posisiku terikat pada sebuah kursi dengan mulut tersumpal. "Selamat datang, Isna. Selamat datang di dunia yang penuh dengan ketidak-adilan." sebuah suara maskulin bergaung dari pengeras suara yang ada di atas pintu.

Mataku berputar cepat dan tiba-tiba menjadi was-was. Kusaksikan di hadapanku sebuah cermin persegi panjang berukuran besar. Dan saat itu juga sebuah pantulan lain terbentuk dari cermin itu dan aku melihat... Aquila? 

Aquilaaaa! Batinku menjerit berusaha memanggilnya namun percuma. Teriakanku tidak akan pernah terdengar olehnya karena mulutku tersumpal. Aquila terlihat kacau dengan tuksedo hitamnya. Matanya sendu, rambutnya kusut, dan dia meski masih terlihat menawan, tapi ekspresinya datar.

Aquila... Aquilaku! Jeritku lagi. 

"Kenapa kau tidak datang?" Aku mendengar suaramu yang menceracau.

Apakah kau mabuk, Aquila? Siapa yang kau maksud tidak— 

Kesadaran memenuhi setiap sudut saraf memoriku. Hari ini adalah ulang tahun Aquilaku. Dan dia memintaku untuk datang ke acara ulang tahunnya. Ya Tuhan! Dan sekarang aku malah terjebak di sini! Aku meronta sekuat tenaga melepaskan jeratan yang membatasiku tapi sia-sia. 

Aquila! Aku di sini! Tanganku ngilu dan aku meyakini luka lecet dan lebam pasti sudah mengukir indah di pergelangan tanganku. Tapi aku tidak peduli! Aku ingin bebas dan berlari menuju Aquila.
Sebuah ketukan lembut terdengar di pintu lain. Aku melihat kau duduk telentang pada sebuah sofa empuk berwarna putih gading. Matamu terpejam namun sedetik yang lalu aku mendengar kau mengiyakan ketukan itu. 

Seorang wanita muda berparas ayu, dandanan glamor dengan lingerie berwarna hijau dan hitam membungkus payudaranya yang sintal. Batinku menjerit saat matamu membuka, menatap awas pada wanita itu. Aquila, pergi! 

"Bolehkah—" sebelum wanita itu berucap, kau berlari ke arahnya dan dengan kasar, kau memagut bibir merah wanita itu. 

Aquila... Sebulir airmata menuruni lekuk pipiku. Rasa dingin menyeruak dan sebuah bilah pisau tak kasat mata menusuk sesuatu yang tertanam di dada kiriku. Sakit. 

"Sir...." Wanita itu mendesah, memanggilmu penuh godaan. Pagutanmu semakin keras dan tubuhmu mendorongnya pada sebuah dinding. Hentikan! Hentikan! Aku menggeleng keras. Aku tidak ingin melihatnya lagi! 

Cukup lama kalian saling mencumbu dengan ciuman yang membara hingga kau mengangkat tubuhnya, melingkarkan kaki wanita itu pada pinggangmu dan membawa ke tempat tidur besar tak jauh dari sofa. Kau menindihnya. Erangan nikmat keluar dari mulut wanita itu. Wajahmu tak kelihatan. Kau terlalu sibuk menikmati bibir, hidung, dan sekarang kau menciumi lehernya dengan liar. Tanganmu menjelajah payudaranya dan dengan cekatan, kau telah menangkup sepasang payudara indah dengan puting kecoklatan.

Aku melihatmu, Aquila. Sekarang aku bisa melihatmu. Wajahmu penuh hasrat namun tak satupun erangan keluar dari mulutmu. Aku sakit. Aku sakit. Bisakah adegan ini segera berakhir? 

Aku kembali pada kesadaranku saat wanita itu menggulingkanmu dan bergantian menindihmu. Dengan genit, wanita itu melepaskan tuksedomu. Aku tidak sanggup! Kumohon, siapa saja, hentikan ini! Airmata sudah deras berderai dan rasa marah menyeruak di hatiku. 

Kini aku melihat dua pasang manusia tak terbalut sehelai benang. Wanita itu mulai menggodamu dengan jilatannya yang menggoda hingga untuk pertama kalinya kau mengerang saat wanita laknat itu mulai menghisap milikmu. Mataku terpejam dan aku tidak ingin melihatnya lagi. Aku tidak peduli! 

"Buka matamu atau kubunuh lelaki itu!" Suara maskulin dari pengeras suara itu kembali terdengar. Aku memaksa mataku membuka dan kini wanita itu telah beralih posisi seperti orang merangkak dan kau tepat berada di belakangnya. 

Aquila hentikan! Sebuah kekuatan terakhir berhasil melonggarkan ikatanku dan terburu-buru aku melepaskan ikatan yang lain, melepaskan sumpalan mulutku dan menghambur ke pintu, menggedornya. "Buka pintunya!" teriakku di sela isak tangis yang akhirnya terlepas.

Aquila... Bagaimana bisa kau ... Melakukannya? Di depanku? Apa kau marah padaku? Tapi kenapa? Kenapa kau sanggup melakukannya ... Di hadapanku? 

Pintu terbuka dan aku menemukan kedua manusia itu terkejut.

Kau menatapku. Perasaan bersalah darimu, namun rasaku membeku. Aku berlari keluar. Ini percuma! Siapa aku? Siapa aku di matanya? Dia terlalu indah. Dia terlalu megah untukku yang tidak berharga.



"Isna, kumohon, buka pintunya!" aku membuka pintu kamar mandi dan menemukanmu semakin parah dari awal tadi aku melihatmu. Kau memelukku erat namun aku tidak membalasnya. 

Jadilah dingin, hatiku. Jadilah dingin. 

"Apa yang kau lakukan di dalam hotel itu?" tanyamu. Terlalu sakit saat ini mendengarmu dan aku hanya mampu memejamkan mataku tanpa menjawab apapun. Kesunyian dan rasa dingin. 

"Isna, jawab aku!" senang dan sedih saat mendengar suaramu. Sebuah senyuman tersungging dari bibirku hingga akhirnya tubuhku terhuyung dan aku masih mendengar teriakanmu. Namun luka tusukan di perutku yang tidak terlihat olehmu karena gaun hitam dan syal yang kukenakan menjauhkan kesadaranku sedikit demi sedikit. 

"Maafkan aku, Isna. Kumohon, tetap bersamaku. Bicaralah!" bunyi sirene masih memenuhi gendang telingaku. Genggamanmu yang hangat -dulu- semakin lama mendingin hingga akhirnya menyisakan kedukaan karena terkhianati. "Isna!" 

Aku menatap langit-langit mobil ambulan dengan kesadaran yang semakin lama berkurang hingga semua hanya terlihat putih. Semua terlambat, Aquila. Terlambat.

Conffes to Hessel

"Hi, tampan!"

"Kau! Pergi sana!" ucapnya melambai padaku. Aku menyukainya saat tangannya melambai seperti itu. Suaranya yang khas seperti mahkluk lemah pada umumnya.

"Tidak mau!"

"Akika gak mau sindang deketin ya!"

Aku terkikik saat logatnya keluar dari mulutnya. Dia begitu lucu. Aku mengambil napas dalam sambil memejamkan mata. "Hessel, do you wanna be my lover?" Gila, kan? Tapi inilah aku. Bukan aku namanya kalau gila.

Hessel menatapku tak percaya. "Yei gila?" suaranya melambai lagi dan aku memberikan tatapan serius padanya. Aku benar-benar bersungguh-sungguh.

Hessel membungkam. "Kau bohong," suaranya sedikit jantan meski aku tahu sisi wanitanya masih membayangi. Aku meyakinkannya lewat tatapanku. "Kenapa kau ingin aku menjadi kekasihmu?"

Aku tersenyum padanya. Dia tak lagi dingin padaku. Dingin dengan caranya. "Kau membuatku selalu tertawa dengan caramu. Kau membuatku berbeda dengan caramu meski kau tidak menyadarinya. Aku suka kamu, Hessel. Tak masalah meski kau tidak suka. Aku selalu suka semua caramu. Kau spesial di mataku."

Pencarian Sophie



“Udin!” Aku mendengar Emak memanggilku saat pekerjaan penting sedang menuntut perhatian lebih.

“Entar, Mak!” teriakku sembari terus berkonsentrasi. Pekerjaan ini terlalu penting melebihi seorang bodyguard menjaga seorang presiden!

Langkah kaki setengah berlari menghampiri tempat dimana aku bekerja. “Diiin! Bantuin Emak!” Suara cempreng emak memasuki lubang telingaku dan berhasil membuat membran timpaniku bergetar – dan bahkan bergoyang ngebor ala Inul Dara-ngibul. “Elu ngapain sih di dalem lama bener? Semedi? Cari wangsit?” Suara Emak tak kalah tinggi dari seriosa manapun dan membuat pekerjaanku tertahan sejenak.

“Suruh ngapain sih, Maaak?” tanyaku kesal sambil terus berkutat sendirian.

“Bantuin Emak nyariin Sophie,” tukas Emak.

“Ya elah, Mak! Dia bisa pulang sendiri ...” balasku sama-sama berteriak.

Gedoran pintu mulai terdengar. “Kalo elu masih semedi, Emak guyur pake air!” ancam Emak. Aku mendengus sebal karena acara paling sakralku tertunda gegara Sophie.

“Tapi ini belom kelar, Mak,” kilahku mencari alasan.

“Buang hajat lama bener daah! Lo buang hajat apa gali lubang?” geram Emak.

“Ya buang hajatlah, M--”

Byuurr! Hantaman segayung air sukses mendarat di sekujur tubuhku sebelum penyerangan mulut bersama Emak di pagi hari dimulai.

“Emaaakk!”

“Makanya cepetan,” suara kaki Emak menjauh dari lokasi kesayanganku di pagi hari. Dengan enggan, aku menyelesaikan acara meeting-ku di kamar mandi tercinta dengan baju yang sudah kuyup.
Setelah terlihat tampan dengan setelan kaos gombrong aku  keluar rumah. Belum genap jarum pendek melaju ke angka 6 pagi, aku berjalan menyusuri lembah dan perbukitan, menyelami samudra – dan sepertinya ini kelewat berlebihan.

“Nyi Sanak!” Teriakku memanggil sesosok punggung wanita yang membuat ‘Togar’ di bawah sana menggelinjang. Tubuh itu menoleh dan betapa terkejutnya diriku saat mengetahui siapa dibalik tubuh bohai itu.

“Sapri?”

“Oi, Din!” Sapanya dengan suara khas lelaki. 

Sialan si Sapri! Untung si Togar sudah kembali terlelap di sana.

“Itu kenapa pake baju heboh begini?” Tanyaku menyaksikan baju berwarna merah jambu yang dikenakan Sapri begitu ketat dan perjalanan mencari kitab suci, eh maksudnya Sophie-pun sekali lagi tertunda.

Sapri tersenyum kegirangan sambil berputar-putar layaknya model papan atas. “Seksi, nggak?” suaranya mendadak berubah menjadi genit dan dengan sikap defensif aku memasang jurus kamekameha.

“Jijik, Pri!” Aku bergidik sedangkan Sapri hanya terkekeh.

“Lo ngapain pagi-pagi begini udah pake baju gituan?” Aku melangkah mundur untuk menjaga jarak dari sentuhan mautnya.

“Suka-suka, Lo sendiri ngapain pagi-pagi gini udah keluyuran?” Suaranya kembali seperti lelaki dan aku berjengit menahan geli.

Sapri terbatuk, “Ih, cin ... suka godain eke deh,” suara wanita paling mengerikanpun terdengar dan tanpa tedeng aling-aling aku memasang jurus kaki seribu sebelum belaian Sapri menjamah lebih jauh pada tubuhku yang kekar dan berototkan tulang ini.

Napasku terengah-engah. Kelelahan karena menghindari Sapri kampret itu. Aku melihat ke sekeliling dan beberapa ibu-ibu menjinjing tas belanjaan yang mungkin baru pulang dari pasar.

“Eh, Bocah!” Teriakku pada seorang bocah lelaki yang melintasiku dengan sepeda jengki ala punk. “Lo liat Sophie?” tanyaku penuh harap. Bocah laki-laki dengan ingus saling berlarian keluar dari lubang hidungnya berhenti, menyetandarkan sepedanya dan menatapku hampa – dan cukup lama.

Ini anak mudeng gak sih? Batinku berucap.

“Abang ngomong sama saya?” Sebuah pukulan mendarat di kepalanya yang botak kinclong namun itu hanya ada dalam imajinasiku.

Ya iyalaaahhh .... Emang sama sapa lagi? Sama rumput yang bergoyang? Ebiet G. Abecede dong! Aku mengutuk dalam hati.

Aku mengangguk kaku.

“Tadi sih aku liat di sono, Bang,” katanya dengan menunjuk ke arah lapangan dengan telunjuk kanannya sedangkan telapak tangan kirinya sibuk mengusap ingusnya yang sudah mencapai bibir.
“Makasih,” jawabku dingin sambil bersiap menuju lapangan.

“Bagi permen dong, Bang!” Sebuah genggaman menahanku melanjutkan perjalanan. Aku menoleh dan menatap horor genggaman bocah itu.

Itukan abis dibuat lap ingus!

Aku menepis keras-keras dan melesat pergi tanpa menyadari kubangan di depanku dan ... Lumpur sukses berpindah dari kubangan itu menuju kaos hitam yang aku kenakan sekaligus nyeri di pantat karena aku terpeleset.

“Sial bener hari ini!” Aku mengumpat keras.

Eeeemmbeekk ....

Aku mendongak saat menyaksikan Sophie tengah menyapaku di ujung lapangan sepak bola di kampungku.

“Sophieee!” Teriakku sambil berlari dan melupakan rasa nyeri yang menyerang tubuhku. Melihat sosok Sophie membuatku lega karena mungkin kesialanku hari ini berakhir. Sosok yang aku cari akhirnya kutemukan. “Emak mencarimu, Phie,” kataku lembut sambil mengusap kepalanya.

Eeemmmbbeekk ....

Aku tersenyum mendengar balasan rasa rindu dan kelegaanku dari suara tenor Sophie, kambing gembel kesayangan Emak.

“Ayo, pulang!” Aku menggeret tambang yang menjulur panjang dari leher Sophie dan berjalan pulang berdampingan bersama Sophie.
Eemmbbbeeekk ....