Jumat, 25 April 2014

Kisah Banshee by. Maria Chrisna



KISAH BANSHEE

Aku melihatmu meski tidak mampu menyentuhmu. Kau sekarang yang berdiri tegak memandang langit kelam dengan awan mendung yang menggantung. Rintik hujan kecil membasahi tubuhmu yang kekar. Namun itu semua hanya tipu muslihatmu. Aku mampu merasakan jiwa yang rapuh dan goyah. Jiwa yang ingin menggapai cabang yang kuat agar dia mampu betahan. Dan itu adalah jiwamu.
Kau menatap sendu pada langit. Aku merasakan napasmu mulai sesak dan matamu memerah. Rintik air telah membasahi seluruh tubuhmu dan aku mulai tidak tenang di tempat dimana aku nyaris berdiri jika aku memiliki kaki, di sebuah tangkai besar pada pohon yang sudah tumbuh selama ratusan tahun.
Kau melangkah mendekati tempat aku ‘berpijak’. Langkahmu mantap, sedangkan aku malah ingin mengusirmu sejauh mungkin agar tidak mendekati ‘rumahku’ dengan mengirimkan hawa yang lebih dingin dari tetesan air hujan. Aku semakin gusar. Aku mulai melayang-layang mendekatimu karena aura yang aku sebarkan tidak mampu menghentikanmu.
Tidak! Tidak! Aku memperingatimu. Aku berteriak meski kau tidak akan mendengar suaraku.
Matamu menyusuri tangkai-tangkai pohon yang telah menemaniku lebih dari seabad. Semakin sendu matamu saat telapak tenganmu yang memutih pucat menyusur batang pohon itu.
Jangan! Jangan! Aku mulai menyebarkan aura astral untuk membuatmu menyadari kehadiranku. Kulihat tubuhmu merinding.
Apakah aku berhasil membuatmu menyadari keberadaanku?
“Kau diam?” suaramu bergetar.
Apa kau menggigil kedinginan? Atau kau ketakutan? Dan dengan siapa kau berbicara?
Aku menoleh ke segala arah, mencari mahkluk mortal lain yang mungkin kau ajak bicara. Tidak ada satupun. Tidak ada satu pun manusia atau mahkluk hidup lain–selain pohon ini– yang mendengarmu. Hanya ada aku dan suara rintik hujan yang tidak begitu deras.
Kau mengangkat wajahmu yang kuyu. Sepasang lingkaran hitam memenuhi area kelopak matamu.
“Bukankah seharusnya kau melakukan tugasmu?” katamu parau diselingi tawa yang terdengar dipaksakan.
“Aku menginginkanmu bersuara. Itu tugasmu, kan? Berteriak ... mengaduh ... merintih ...,” suaramu semakin lirih dan seperti kehilangan kekuatan, tubuhmu roboh, bersimpuh pada tanah basah.
Aku melayang-layang semakin gusar melihat kondisimu yang sangat buruk. Kau seperti manusia putus asa dengan kadar yang berlipat-lipat.
Kau benar! Aku seharusnya merintih, berteriak, mengaduh, dan menangis di rumah yang tidak jauh dari pohon ini berdiri. Yah, seharusnya aku melakukan tugasku yang telah menjadi takdirku–jika memang aku masih memiliki takdir–sejak dahulu kala, sejak aku tidak lagi menggunakan kakiku untuk berjalan, sejak udara tidak lagi mengisi paru-paruku, sejak aku menjadi mahkluk abadi yang baru.
“Menangislah! Kumohon,” ratapmu pilu yang bahkan membuatku iri dengan suara kepedihanmu yang melebihi milikku.
Aku tidak ingin melakukannya! Aku tidak mau!
“Kau tidak ingin melakukannya?” tanyamu. Kubalas pertanyaanmu dengan sekali anggukan.
“Kenapa?” tanyamu kembali dengan suara lantang.
Kenapa?
Kau kira aku tahu jawabannya?
Aku tidak lagi memiliki hati. Aku juga tidak lagi memiliki rasa. Tapi mengapa saat melihatmu duduk di teras rumah itu sambil sesekali menatap lama berlembar-lembar kertas yang kaupegang, aku merasa sangat senang? Bukankah seharusnya aku tidak memiliki rasa? Aku sudah ... mati.
Mungkinkah aku ... menyukaimu?
Tidak mungkin. Aku tidak memiliki hati, kan?
“Kau tidak mungkin menyalahi kodratmu.”
Aku tahu. Aku sangat tahu. Rasa ini hanya ilusi sama seperti aku yang nyaris hanya ilusi tapi aku memiliki eksistensi. Eksistensi yang diragukan sebagian manusia.
Kau terbatuk berkali-kali dan aku merasakan rasa lain lagi. Rasa ... sakit.
Kau bangkit lagi dan berjalan tertatih-tatih mendekatiku. Aku semakin tidak menentu. Apa kau bisa merasakanku? Bahkan ... melihatku? “Ya,” kau bersuara.
Aku menggeleng. Tidak mungkin! Tidak mungkin! Kau tidak bisa melihatku.
“Aku akan mati. Kau sangat tahu itu,” selidikmu dan aku merasa putus asa saat ucapanmu seperti menyalahkanku karena aku tidak melakukan tugasku dengan baik.
Aku memang tidak ingin melakukannya meski perintah itu telah diperdengarkan kepadaku. Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku tidak ingin kau menghilang dan eksistensiku tidak mampu lagi mencari keberadaanmu yang pada akhirnya akan berbeda dunia dariku.
Kau tidak akan mengerti betapa sakitnya diriku–jika rasa sakit tepat untuk definisiku–saat aku harus meraung, menangis, dan meratap di bawah jendela rumahmu seperti yang kulakukan pada rumah lain yang nyawanya siap lepas dari raganya, mati.
Tapi aku tidak bisa melakukannya padamu. Aku tahu rasaku tidak akan mampu menggapaimu karena kita hidup di dunia yang berbeda.
Banshee, aku tahu kau seharusnya melakukannya saat aku divonis mati.”
Hentikan! Aku tidak ingin kau mati!
“Mengapa kau tidak memberiku pertanda? Apa aku akan hidup?” tanyamu sarat ketidakpercayaan. Kau frustasi, aku melihatmu saat kau membanting semua barang-barangmu di rumah. Penyakitmu akan merenggutmu dan juga merenggut bahagiaku.
Kau sekarang berdiri tepat di depanku, menatapku. Atau seolah-olah menatapku.
Aku mahkluk dingin. Jauhi aku atau kau akan semakin sakit.
“Aku tidak peduli jika aku harus mati cepat.” Kau bohong. Aku mampu merasakan detak jantungmu yang memacu lebih cepat saat kau berkata mati.
“Menangislah, Banshee! Menangislah sehingga aku tahu aku akan mati.” Kau menangis, meraung seperti orang kesetanan yang terluka. Sama seperti aku. Aku setan yang terluka mendengar jeritanmu yang memilukan.
Satu alasan yang membuatku tidak ingin melakukan tugasku adalah ... aku takut kau mati.
Aku mati dan seharusnya aku bahagia jika kau mati. Aku dan kau bisa bersatu, tidak lagi dipisahkan oleh dunia yang berbeda, kan?
Tapi tidak. Ini berbeda.
Aku mati karena aku menyalahi aturan kematian. Aku mengakhiri hidupku dengan pilihanku sendiri bukan karena kuasa-Nya. Dan sekarang, aku terjebak dalam diri Banshee kekal dan aku tidak tahu apakah kekekalan dengan eksistensiku ini akan berakhir.
Berbeda dengan dirimu. Kau ditakdirkan untuk segera mati. Mati karena penyakitmu. Itu keinginan-Nya dan kau tidak mampu mematahkan kekuatan-Nya. Kau yang ditakdirkan mati akan mati. Dan ketika kau mati, kau tidak akan lagi mampu kulihat bahkan mampu kucari. Jiwamu akan mengangkasa, menembus langit menuju tempat dimana para jiwa yang mati karena kuasa-Nya berkumpul. Tempat layak dan bukan sepertiku, terjebak untuk waktu yang tidak ada habisnya.
Aku tidak ingin kau mati. Mati karena kuasa-Nya. Itu akan membuatku tidak lagi bisa melihatmu. Dunia kita akan semakin berbeda.
Alasan itulah aku tidak ingin menangis. Menangis di bawah jendela rumahmu. Aku tidak ingin kau menanamkan keyakinan bahwa kau akan segera mati. Tidak. Kau tidak akan mati. Seandainya aku memiliki raga, aku akan berlari memelukmu, memberikan kehangatan paling dalam yang mampu aku berikan untuk membantu menopang kesedihanmu. Tapi aku tak memilikinya.
Banshee, kumohon, menangislah agar aku mampu berpasrah diri. Pasrah akan jiwaku yang akan direnggut. Yakinkan aku seperti yang kau lakukan pada si tua itu,” kau berujar letih namun tak lagi pedih.
Apakah aku harus berpisah denganmu?
Aku melihat wajahmu yang semakin pucat karena dingin dan sakitmu.
Jika aku memiliki rasa senang, sakit, dan putus asa ... Mampukah ada lagi satu rasa yang bisa kumiliki?
Keikhlasan. Keikhlasan melepasmu pergi bersama jiwa lain yang layak berada di tempat yang sebenarnya. Bukan di dunia ini melainkan dunia jauh di atas sana.
Dan aku mulai menangis, meraung, dan meratap ... untukmu.

Tamat.

Catatan : Banshee berasal dari mitologi Irlandia dan biasanya dikenal sebagai roh wanita. Berdasarkan legenda, banshee akan berkeluyuran di luar rumah sambil meraung-raung jika seseorang di dalam rumah itu akan meninggal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar