KISAH BANSHEE
Aku
melihatmu meski tidak mampu menyentuhmu. Kau sekarang yang berdiri tegak
memandang langit kelam dengan awan mendung yang menggantung. Rintik hujan kecil
membasahi tubuhmu yang kekar. Namun itu semua hanya tipu muslihatmu. Aku mampu merasakan
jiwa yang rapuh dan goyah. Jiwa yang ingin menggapai cabang yang kuat agar dia
mampu betahan. Dan itu adalah jiwamu.
Kau
menatap sendu pada langit. Aku merasakan napasmu mulai sesak dan matamu
memerah. Rintik air telah membasahi seluruh tubuhmu dan aku mulai tidak tenang
di tempat dimana aku nyaris berdiri jika aku memiliki kaki, di sebuah tangkai
besar pada pohon yang sudah tumbuh selama ratusan tahun.
Kau
melangkah mendekati tempat aku ‘berpijak’. Langkahmu mantap, sedangkan aku
malah ingin mengusirmu sejauh mungkin agar tidak mendekati ‘rumahku’ dengan
mengirimkan hawa yang lebih dingin dari tetesan air hujan. Aku semakin gusar.
Aku mulai melayang-layang mendekatimu karena aura yang aku sebarkan tidak mampu
menghentikanmu.
Tidak!
Tidak! Aku memperingatimu. Aku berteriak meski kau tidak akan mendengar
suaraku.
Matamu
menyusuri tangkai-tangkai pohon yang telah menemaniku lebih dari seabad.
Semakin sendu matamu saat telapak tenganmu yang memutih pucat menyusur batang
pohon itu.
Jangan!
Jangan! Aku mulai menyebarkan aura astral untuk membuatmu menyadari
kehadiranku. Kulihat tubuhmu merinding.
Apakah
aku berhasil membuatmu menyadari keberadaanku?
“Kau
diam?” suaramu bergetar.
Apa
kau menggigil kedinginan? Atau kau ketakutan? Dan dengan siapa kau berbicara?
Aku
menoleh ke segala arah, mencari mahkluk mortal lain yang mungkin kau ajak
bicara. Tidak ada satupun. Tidak ada satu pun manusia atau mahkluk hidup
lain–selain pohon ini– yang mendengarmu. Hanya ada aku dan suara rintik hujan
yang tidak begitu deras.
Kau
mengangkat wajahmu yang kuyu. Sepasang lingkaran hitam memenuhi area kelopak
matamu.
“Bukankah
seharusnya kau melakukan tugasmu?” katamu parau diselingi tawa yang terdengar
dipaksakan.
“Aku
menginginkanmu bersuara. Itu tugasmu, kan?
Berteriak ... mengaduh ... merintih ...,” suaramu semakin lirih dan seperti
kehilangan kekuatan, tubuhmu roboh, bersimpuh pada tanah basah.
Aku
melayang-layang semakin gusar melihat kondisimu yang sangat buruk. Kau seperti
manusia putus asa dengan kadar yang berlipat-lipat.
Kau
benar! Aku seharusnya merintih, berteriak, mengaduh, dan menangis di rumah yang
tidak jauh dari pohon ini berdiri. Yah, seharusnya aku melakukan tugasku yang
telah menjadi takdirku–jika memang aku masih memiliki takdir–sejak dahulu kala,
sejak aku tidak lagi menggunakan kakiku untuk berjalan, sejak udara tidak lagi
mengisi paru-paruku, sejak aku menjadi mahkluk abadi yang baru.
“Menangislah!
Kumohon,” ratapmu pilu yang bahkan membuatku iri dengan suara kepedihanmu yang
melebihi milikku.
Aku
tidak ingin melakukannya! Aku tidak mau!
“Kau
tidak ingin melakukannya?” tanyamu. Kubalas pertanyaanmu dengan sekali
anggukan.
“Kenapa?”
tanyamu kembali dengan suara lantang.
Kenapa?
Kau
kira aku tahu jawabannya?
Aku
tidak lagi memiliki hati. Aku juga tidak lagi memiliki rasa. Tapi mengapa saat
melihatmu duduk di teras rumah itu sambil sesekali menatap lama
berlembar-lembar kertas yang kaupegang, aku merasa sangat senang? Bukankah
seharusnya aku tidak memiliki rasa? Aku sudah ... mati.
Mungkinkah
aku ... menyukaimu?
Tidak
mungkin. Aku tidak memiliki hati, kan?
“Kau
tidak mungkin menyalahi kodratmu.”
Aku
tahu. Aku sangat tahu. Rasa ini hanya ilusi sama seperti aku yang nyaris hanya
ilusi tapi aku memiliki eksistensi. Eksistensi yang diragukan sebagian manusia.
Kau
terbatuk berkali-kali dan aku merasakan rasa lain lagi. Rasa ... sakit.
Kau
bangkit lagi dan berjalan tertatih-tatih mendekatiku. Aku semakin tidak
menentu. Apa kau bisa merasakanku? Bahkan ... melihatku? “Ya,” kau bersuara.
Aku
menggeleng. Tidak mungkin! Tidak mungkin! Kau tidak bisa melihatku.
“Aku
akan mati. Kau sangat tahu itu,” selidikmu dan aku merasa putus asa saat
ucapanmu seperti menyalahkanku karena aku tidak melakukan tugasku dengan baik.
Aku
memang tidak ingin melakukannya meski perintah itu telah diperdengarkan
kepadaku. Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku tidak ingin kau menghilang dan
eksistensiku tidak mampu lagi mencari keberadaanmu yang pada akhirnya akan
berbeda dunia dariku.
Kau
tidak akan mengerti betapa sakitnya diriku–jika rasa sakit tepat untuk
definisiku–saat aku harus meraung, menangis, dan meratap di bawah jendela
rumahmu seperti yang kulakukan pada rumah lain yang nyawanya siap lepas dari
raganya, mati.
Tapi
aku tidak bisa melakukannya padamu. Aku tahu rasaku tidak akan mampu menggapaimu
karena kita hidup di dunia yang berbeda.
“Banshee, aku tahu kau seharusnya
melakukannya saat aku divonis mati.”
Hentikan!
Aku tidak ingin kau mati!
“Mengapa
kau tidak memberiku pertanda? Apa aku akan hidup?” tanyamu sarat
ketidakpercayaan. Kau frustasi, aku melihatmu saat kau membanting semua
barang-barangmu di rumah. Penyakitmu akan merenggutmu dan juga merenggut
bahagiaku.
Kau
sekarang berdiri tepat di depanku, menatapku. Atau seolah-olah menatapku.
Aku
mahkluk dingin. Jauhi aku atau kau akan semakin sakit.
“Aku
tidak peduli jika aku harus mati cepat.” Kau bohong. Aku mampu merasakan detak
jantungmu yang memacu lebih cepat saat kau berkata mati.
“Menangislah,
Banshee! Menangislah sehingga aku
tahu aku akan mati.” Kau menangis, meraung seperti orang kesetanan yang
terluka. Sama seperti aku. Aku setan yang terluka mendengar jeritanmu yang
memilukan.
Satu
alasan yang membuatku tidak ingin melakukan tugasku adalah ... aku takut kau
mati.
Aku
mati dan seharusnya aku bahagia jika kau mati. Aku dan kau bisa bersatu, tidak
lagi dipisahkan oleh dunia yang berbeda, kan?
Tapi
tidak. Ini berbeda.
Aku
mati karena aku menyalahi aturan kematian. Aku mengakhiri hidupku dengan
pilihanku sendiri bukan karena kuasa-Nya. Dan sekarang, aku terjebak dalam diri
Banshee kekal dan aku tidak tahu
apakah kekekalan dengan eksistensiku ini akan berakhir.
Berbeda
dengan dirimu. Kau ditakdirkan untuk segera mati. Mati karena penyakitmu. Itu
keinginan-Nya dan kau tidak mampu mematahkan kekuatan-Nya. Kau yang ditakdirkan
mati akan mati. Dan ketika kau mati, kau tidak akan lagi mampu kulihat bahkan
mampu kucari. Jiwamu akan mengangkasa, menembus langit menuju tempat dimana
para jiwa yang mati karena kuasa-Nya berkumpul. Tempat layak dan bukan
sepertiku, terjebak untuk waktu yang tidak ada habisnya.
Aku
tidak ingin kau mati. Mati karena kuasa-Nya. Itu akan membuatku tidak lagi bisa
melihatmu. Dunia kita akan semakin berbeda.
Alasan
itulah aku tidak ingin menangis. Menangis di bawah jendela rumahmu. Aku tidak
ingin kau menanamkan keyakinan bahwa kau akan segera mati. Tidak. Kau tidak
akan mati. Seandainya aku memiliki raga, aku akan berlari memelukmu, memberikan
kehangatan paling dalam yang mampu aku berikan untuk membantu menopang
kesedihanmu. Tapi aku tak memilikinya.
“Banshee, kumohon, menangislah agar aku
mampu berpasrah diri. Pasrah akan jiwaku yang akan direnggut. Yakinkan aku
seperti yang kau lakukan pada si tua itu,” kau berujar letih namun tak lagi
pedih.
Apakah
aku harus berpisah denganmu?
Aku
melihat wajahmu yang semakin pucat karena dingin dan sakitmu.
Jika
aku memiliki rasa senang, sakit, dan putus asa ... Mampukah ada lagi satu rasa
yang bisa kumiliki?
Keikhlasan.
Keikhlasan melepasmu pergi bersama jiwa lain yang layak berada di tempat yang
sebenarnya. Bukan di dunia ini melainkan dunia jauh di atas sana.
Dan
aku mulai menangis, meraung, dan meratap ... untukmu.
Tamat.
Catatan
: Banshee berasal dari mitologi Irlandia dan biasanya dikenal sebagai
roh wanita. Berdasarkan legenda, banshee akan berkeluyuran di luar rumah sambil
meraung-raung jika seseorang di dalam rumah itu akan meninggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar