Selasa, 02 April 2013

Double Me Agent - Bab 3 -



BLACK COUNTRY

Mulutku seakan terkunci. Aku menatap Tobias yang sedang tersenyum tenang.
Tidak ada tanda-tanda kelucuan terukir di mata Tobias.
“Kau sudah memiliki anak?” Tanyaku kelu.
Dia menatapku seolah-olah aku mencoba menyangkal pernyataannya yang dia ucapkan.
“Ya, Al. Mereka anak-anakku.” Tegasnya. Foto-foto yang terhampar telah diambil Tobias dan dengan hati-hati dia melangkah pergi meninggalkanku.
“Tunggu!” Panggilku. Cukup 2 hari sudah membuatku bersikap kurang ajar pada bosku tapi inilah tabiatku.
Tobias menghentikan langkahnya dan menoleh kepadaku.
“Tidak mungkin mereka anakmu.” Sanggahku setengah berlari.
“Apa itu masalah untukmu?” Ucapnya datar. Rasa kelu yang aku rasakan sama sekali tidak berkurang.
“Tidak mungkin kau memiliki anak negro. Meski kau menikah dengan seorang negro sekalipun, itu tidak akan mungkin menghasilkan­___    
“Anak negro, maksudmu?” Selanya dengan dahi berkerut dan aku mengangguk.
Apa aku sedang berharap bahwa Tobias sedang mempermainkanku? Atau malah aku sedang membuktikan pada diriku bahwa aku tidak ingin dia mempunyai anak?
“Secara hukum, mereka adalah anak-anakku.” Jawabnya singkat dan meneruskan langkahnya. “Oh ya, bersiaplah. Kita akan pergi ke suatu tempat.” Sebuah senyuman misterius terbentuk di bibirnya yang berhasil membuat hati serta jantungku melompat terkejut dan kegirangan.
“Kita akan kemana?” Tanyaku bingung.
Tobias berhenti di depan pintu ruang kerjanya. Matanya berputar sembari mengerutkan hidung seksinya dan kembali menatapku.
“Kau akan mengetahuinya nanti.” Jawabnya dan raganya sudah tertelan pintu yang menutup.
“Selalu dengan kejutan!” Ucapku gemas.

000ooo000

Mobil BMW individual seri 7 berwarna hitam metalik membawa kami menuju bandara London Heathrow. Doug menemani kami sebagai pengemudi sedangkan aku dengan sedikit paksaan dari Tobias, duduk dengan manis di samping Tobias di kursi penumpang.
Aku tidak tahu apa direncanakan oleh Tobias. Dia tidak menyuruhku untuk mengepak beberapa baju.
“Aku tidak—”
“Tidak masalah. Kita bisa membelinya nanti.” Penggal Tobias yang mengerti aku kebingungan karena ajakannya yang tidak dapat diprediksi.
30 menit kemudian kami tiba di bandara internasional Heathrow. Situasinya begitu ramai meski ini adalah hari Rabu. 2 hari pasca aku bekerja pada Tobias dan 2 hari aku merasa tidak melakukan apapun yang berguna. Aku merindukan sesi latihanku bersama K. Aku merindukan barretaku meski saat inipun aku membawanya. Aku merindukan rekan kerjaku dan bahkan aku merindukan kantor sempitku di MI6.
Apa yang aku lakukan di sini? Aku tidak lebih seperti penjaga bayi bukan bodyguard!
Benar! Tapi bayi yang kau jaga saat ini telah menjadi manekin ... Oh, Tidak! Obyek erotismu. Imajinasi paling tak tersentuh dari semua hal yang terjadi dalam hidupmu!
Benar saja! Suara sumbang paling memuakkan itu telah mengalahkanku telak dengan skor tak berhingga dan nol!
Sejak kapan aku memiliki pikiran picik dan kotor tentang seks? Hanya saat mataku bertemu matanya – saat itu!
Sekarang? Sepertinya tanpa kehadirannya sekalipun aku langsung bisa merasakan sentuhannya yang memabukkan.
“Alice?” Aku tersadar dari lamunanku dan melihat Tobias sudah keluar dari mobil dan membukakan pintu samping mobil serta mengulurkan tangannya padaku.
Perlakuan yang berlebihan.
Aku meraihnya dan turut serta mengikuti langkah Tobias menuju dalam bandara.
Perjalanan kami menjauh dari keramaian. Tentu saja, seorang Tobias Currey tentu memiliki akses khusus apapun itu. Dataran Eropa, Amerika, Australia, dan sedikit Asia akan dengan mudah dimasukinya mengingat kelimpahan perusahaan yang tidak hanya satu jenis tetapi mungkin aku akan lelah menyebutkannya.
Sebuah jet besar bertuliskan Currey Avion telah tampak di sudut bandara yang khusus untuk penerbangan pribadi. Nilai untuk pesawat itu dari dalam saat aku memasukinya adalah benar-benar asombroso! Luar biasa!
Desain paling mewah dengan warna emas, perak, hitam, dan putih diatur sedemikian rupa dari interior sofa panjang, meja bar, dan fasilitas mewah lainnya sehingga terlihat cocok. Sudut mulutku berkedut menahannya agar tidak menganga.
Jelas aku tidak pernah mendapatkan fasilitas semewah ini baik dalam masa perekrutanku di markas – jelas tidak mungkin! Aku malah mendapatkan penyiksaan di sana! – maupun sesudah masa karantinaku di MI6.
“Kau menyukainya?” Tanya Tobias yang sudah duduk dengan anggunnya di sofa sedangkan aku tanpa sadar masih saja meneliti setiap sudut pesawatnya itu.
“Kau selalu menanyakan hal yang sama. ‘Apa aku menyukainya?’ Apa jawabanku memiliki dampak pada bisnismu?” Cukup dengan 2 hari telah membuatku berani pada Tobias. Pribadi kasarku sepertinya memang harus dipotong jika celah kebebasan diberikan padaku dan Tobias memberikan kebebasan itu. Kebebasan ketika tidak ada seorangpun relasinya di sekitar kami.
“Ya,” jawabnya sambil tersenyum penuh arti, “Penilaianmu kadang membuatku merasa bergairah,” sambungnya.
Demi apapun yang bisa menjalankan logika! Apa yang baru saja dia katakan? Mulutku menganga meski akses gigi seri sudah secara refleks menggigit sebagian kecil bibir bawah.
Perlahan aku duduk di sampingnya. “Apa otakmu hanya berisi pikiran gairah saat menanyakan apa aku menyukainya atau tidak?” Ambiguitas meningkat seiring sebelah alisku terangkat dan senyuman menggoda terbentuk dari mulutku.
Senyum Tobias semakin misterius dan tatapannya menjadi tidak terbaca. Duduknya perlahan bergeser mendekatiku dan serta merta aku merapatkan diri dengan menutup akses paling berharga dari diriku. Dada.
“Aku harus mengatakannya padamu. Kau selalu membuatku merasa bergairah,” katanya begitu dekat dengan telingaku. Hembusan napasnya berhasil mengirimkan jenis narkoba baru yang belum teridentifikasi. Jenis narkoba yang membuatku kegelian, ketagihan tanpa merasakan efek sakau yang membuat tubuhku sekarat.
“Begitu?” Aku mencoba menguatkan benteng pertahananku yang terombang-ambing oleh hempasan angin yang dibuat oleh Tobias.
Wajah Tobias semakin lama semakin mendekat dan ini jelas membuatku merasa tidak nyaman tapi juga menginginkan.
“Kita akan pergi kemana?” Tanyaku mencoba mencegahnya melakukan hal yang aku inginkan.
“Kita akan menjemput Xaxi dan Xayi,” desahnya tanpa terganggu sekalipun oleh ocehanku. Mataku berkedip tidak beraturan saat mulut Tobias hampir menyentuh mulutku. Adrenalin telah kembali terpompa dan degup jantung sialan itu semakin meronta-ronta. “Kuharap kau menyukainya,” tangannya mengelus lembut pipiku dan tengkukku bergidik dengan sentuhannya.
“Sir, jika—”
“Apa kau perlu diingatkan soal hukuman itu?” Mulutnya sedikitpun tidak menjauh.
Mataku berkedip cukup lama dalam pejaman kurang lebih 3 detik saat mengingat kembali hukuman paling aneh yang pernah aku terima.
“Tidak!” Gumamku tegas.
“Sir, anda membuat saya tidak nyaman,” erangku mencoba mencari pembebasan.
Tobias menarik tanganku sehingga aku bangkit berdiri. “Perjalanan ini akan panjang. Kau harus beristirahat.”
“Tunggu, Tobias!” Aku menepis pegangannya.
Ini harus segera diperbaiki!
Tatapan Tobias bingung tapi tetap tenang.
“Kita harus berbicara soal pekerjaan yang kau berikan padaku.”
“Bukankah Bella sudah memberikan salinan tugas apa saja yang akan kau lakukan?” Ujarnya tenang dengan wajah yang sedikit sekali menunjukkan ekspresi.
“Iya, aku tahu itu. Hanya saja selama 2 hari ini aku sama sekali tidak melakukan apa yang tertulis dalam salinanmu! Aku merasa tidak nyaman juga bingung. Kau memperlakukanku—”
“Begitu baik?” Selanya cepat dan aku mengangguk.
“Apa kau ingin aku menjadi bos yang kasar terhadapmu?”
“Bukan, itu juga bukan—”
“Kaulah yang sekarang membuatku bingung, Al,” katanya yang berhasil membuatku bungkam. Dia benar! Akulah yang membuatnya bingung sekarang dan ... sikapnya juga membuatku bingung.
“Aku hanya merasa kau tahu memakan gaji buta?” ujarku salah tingkah saat kernyitan dahi sekaligus senyum menggoda tersungging di bibirnya.
“Kau sudah menyelamatkan nyawaku satu kali sekaligus membuatku kehilangan nyawa melihatmu bertindak sesuka hati saat itu,” memori di kantor Tobias pertama kali menyerang masuk. Pertama kalinya seorang lelaki mengintimidasiku dan tidak sebaliknya.
Aku terkekeh mendengarnya. Kekehan yang kentara dibuat-buat.
“Baiklah, kuharap kau segera istirahat karena perjalanan kita akan panjang.” Tobias menggeretku menuju sebuah ruangan lebih dalam. Ada sebuah pintu dan saat Tobias membukanya, aku mendapati sebuah tempat tidur cukup luas dengan perlengkapan ruang tidur lainnya yang tak kalah mewah seperti kamar yang aku tempati di apartemen Tobias.
“Apa kau akan bertanya ‘apa aku menyukainya?’ lagi?” Godaku saat mata Tobias bertemu mataku. Kekehan keluar dari bibirnya dan aku ikut tertawa melihat wajahnya yang berbeda. Sisi lembut dan perhatian dari sosok Tobias.
“Tidak karena aku tahu jawabannya. Kau selalu mengatakan kata ya!” Jawabnya penuh percaya diri.
“Beristirahatlah, Al!” Gumamnya dan cepat kilat sebuah ciuman mendarat di keningku dan Tobias meninggalkanku dengan keadaan setengah sadar. Aku membeku sesaat untuk menerima rangsangan bahwa Tobias baru saja memberiku ciuman kening.
“A ... apa yang terjadi padamu, Al? Kau ... kau ... Sadarlah!” Aku menampar pipi kananku sekadar memenuhi kesadaran dengan rasa sakit sebagai obatku dari efek yang diberikan Tobias.

000

            Pesawat yang membawa kami mulai menukik dan mendarat. Aku melongok pada jendela kaca dan melihat tulisan megah Jommo Kenyata International Airport terpampang di atap gedung utama bandara.
“Kenya?” Kernyitku bingung dan beranjak untuk menyusul Tobias. Aku menemukannya sedang membuka beberapa dokumen di sofa yang kami duduki sebelumnya dengan segelas air putih dingin yang mengembun. Mata Tobias sama sekali tidak berpindah dari berlembar-lembar kertas yang dipegangnya. Tidak ada kernyitan di dahi yang biasanya dimiliki para kesekutif yang memikirkan naik turunnya saham mereka atau kaca mata menggantung di hidungnya. Tobias selalu terlihat keren!
Tobias menoleh padaku. Selalu dengan senyuman yang menarik seperti magnet. Aku menghampirinya dan duduk di hadapannya. “Tidurmu nyenyak?” Tanyanya sembari meraih gelas berisi air putih itu dan menengguk seluruh isinya.
Pesawat kami mendarat di bandara internasional Kenya. Saat kami memijakkan kaki di sana, aku merasakan hawa panas menyengat di sekujur tubuhku. Tengkukku serasa terbakar. Seseorang dari arah kejauhan dengan mengendarai sebuah mobil Jeep berhenti di depan tangga pesawat. Tobias memberikan perintah untukku masuk ke kursi penumpang sedangkan dia mengambil alih kemudi. Aku sempat memprotesnya karena aku bekerja padanya namun sekali lagi dia menyentakkan tubuhku sehingga beringsut masuk ke dalam jeep itu dengan sedikit kesal.
Kami memasuki area jalanan utama di Kenya. Lalu lintas di jalanan utama begitu lengang. Hal ini berbeda jauh dengan London yang merupakan kota padat. Tobias yang kini mengenakan kacamata hitam begitu fokus menyetir. Orang-orang lalu lalang dengan menggunakan berbagai macam transportasi. Mobil di kota itu sepertinya masih merupakan sesuatu yang sangat mewah karena banyak pengendara yang aku jumpai masih menggunakan sepeda dan beberapa dari mereka ada yang memodifikasi motor mereka sehingga muat untuk dinaiki lebih dari 3 orang.
“Kita akan kemana?”
“Kedubes Inggris telah menyediakan tempat kita beristirahat. Lokasi itu lebih aman mengingat—”
“Ya, Kenya khususnya Nairobi menurut sumber merupakan salah satu negara dengan lokasi yang dimungkinkan adanya transaksi yang kau tahu illegal.” Selaku mengerti dengan situasi yang sedang terjadi di benua hitam itu. “Kapan kita akan menemui Xaxi dan Xayi?” Tanyaku sambil menatap pemandangan yang sekarang memasuki hamparan savana kering.
“Besok,” kata Tobias singkat. Kami berbelok ke sebuah jalanan dan menemukan sebuah bangunan dengan tulisan British High Commision terukir di dinding banguna itu. Banguna itu tidak tinggi dengan corak tajam pada dindingnya seperti lipatan-lipatan. Beberapa petugas menjaga ketat area tersebut dengan pagar besi tebal berwarna hitam tertutup rapat.
Mobil kedua di belakang kami menyusul ke depan. Doug – orang kepercayaan Tobias – turun dari mobilnya dan berbicara pada salah satu petugas berkulit hitam dengan seragam berwarna hitam lengkap topi barret menambah kesan disiplin yang kental. Tobias dan aku yang berhenti beberapa meter dari Doug beranjak turun dan menemui petugas itu.
“Selamat sore, sir!” Sapa petugas itu, “Nama saya Lowe,” lanjutnya. “Silakan, Pak Richard Crweet telah menanti anda di dalam,” katanya dengan logat bahasa inggris yang masih kaku namun cukup membuat kami mengerti.
“Terima kasih,” balas Tobias. Kami melangkah lebih dalam lagi setelah pengamanan pada kami selesai diperiksa di bagian resepsionis.
“Silakan kemari, sir, miss” pinta Lowe.
Kami masuk ke sebuah ruangan berbentuk persegi yang cukup luas dengan dekorasi sederhana berwarna kuning gading dan interior minimalis. Kami melihat seorang pria dengan kulit berwarna hitam dengan rambut yang seluruhnya putih dan memperlihat dahi yang lebar tengah tersenyum lebar sekaligus menjabat tangan kami erat. “Senang sekali anda berkunjung kemari Tuan Currey,” senyumannya tidak pernah surut. Dia mengangguk sekilas saat tangannya meraih tanganku.
“Saya Richard,” ujarnya.
“Alice,” balasku.
Kami langsung disuguh makanan yang menggoda untuk segera dicerna. Aku lapar.
“Apakah surat-surat itu sudah selesai?” Tanya Tobias dengan wajah serius.
“Sudah, sir. Apakah anda menginginkan mereka berada di sini besok?”
“Aku yang akan menjemputnya,” jawab Tobias. Aku memperhatikan mereka dengan kadar yang sedikit. Perutku sudah mulai memberontak untuk segera diisi asupan gizi atau aku juga akan menyusul Xaxi dan Xayi mengalami kelaparan tingkat akut.
“Tapi sir, anda akan mengalami masalah saat anda melewati wilayah sepanjang jalan Nairobi dan Mogashidu akan berbahaya karena—”
“Kita bisa menggunakan jalur udara,” selaku, “Apa kelompok Alshabab masih aktif bergerak hingga sekarang?”
“Masih, miss,” raut wajah Richard berubah cemas, “itu akan berbahaya sekali, sir” lanjutnya.
“Doug bisa menyediakan pesawat kecil untuk kami,”
“Saat ini pesawat kami sedang dalam perbaikan,” Richard bergerak tidak nyaman dengan pandangan dari si penguasa Tobias. Aura Tobias yang mendikte benar-benar membuat manusia manapun bahkan seorang dubes serba salah.
Tobias bernafas cepat, “Siapkan mobil terbaik kalian dan beberapa pengamanan seperlunya,” ujarnya dingin.
Aku melihat laki-laki tua itu bergidik dan terkejut mendengar nada suara Tobias dan segera mengangguk saat kata terakhir Tobias selesai terucap.
“A ... anda se ... sekalian pa ... pasti kelelahan. Kami telah menyiapkan kamar terbaik,” kata Richard terbata. Jelas sekali wajah Tobias telah menyorotkan sinar kekecewaan dan dengan percaya diri dia bangkit. Kedua tangannya telah dimasukkan dalam kantong dan menatapku dengan ekspresi yang berbeda saat dia menatap Richard. Dia selalu tersenyum – hanya untukku.
“Silakan, sir,” kami keluar dari ruangan itu dan menuju lorong.
Tidak jauh dari tempat kami mengobrol tadi, Richard yang berada di depan sebagai penunjuk jalan berhenti di dua pintu yang megah dengan ukiran unik khas Afrika. “Ini kamar anda, sir,” ucapnya seraya membuka pintu itu dengan sedikit membungkuk. Tobias yang kelewat percaya diri itu sambil lalu masuk ke dalam ruangan itu dan serta merta menyentakkan tanganku untuk ikut masuk ke dalam ruangannya.
“Lepaskan saya, sir!” Ucapku sopan mengingat perjanjian antara aku dan Tobias ketika kami sedang bersama rekan bisnis – mungkin lebih tepatnya orang asing.
Tobias tidak melonggarkan sedikitpun pegangannya pada pergelangan tanganku. Langkahnya mantap meski aku melirik sekilas Richard yang melongo menyaksikan si penguasa melenggang dengan anggun.
Pintu itu kini menutup. “Maukah kau menemaniku malam ini? Hanya untuk malam ini,” pintanya yang kini menatapku dengan pandangan sendu.
“Tapi—”
“Kumohon,” suaranya mengecil. Wajahnya menunduk dan sebagian tertutup rambut poni miliknya yang panjang. Aku merasakan tubuhnya sedikit bergetar dan aku tidak sanggup untuk menolaknya.
Inikah sisi lain dari sang mega? Sisi lemah yang aku sendiri tidak mengerti? Tentu aku tidak mengerti. Aku baru mengenalnya dan inilah sisi baru Tobias yang ... sendu.
Aku mengangguk dan meletakan telapakku yang lain ke punggung tanggannya yang masih saja menggenggamku. “Aku akan menemanimu,” bisikku. Wajahnya terangkat dengan sebuah senyum kecil menghiasinya.
Dia terlihat seperti anak kecil jika wajahnya seperti itu.

“Letakkan di situ saja, Doug!” Teriak Tobias dari dalam kamar mandi. Kaos berlengan panjang berwarna putih, celana jeans baru, sepatu boot dan perlengkapanku telah disediakan Doug.
Thanks, Doug!” sapaku padanya. Pria berdarah Rusia dari logatnya berbicara bahasa inggris itu jarang sekali terlihat dan jarang pula tersenyum. Dia terlihat garang dengan sudut matanya yang meruncing. Matanya yang berwarna hijau dengan semburat oranye membuatnya indah namun juga mengerikan. Sekali dia tersenyum padaku saat ini sebagai balasan ucapan terima kasihku malah membuatku berkerenyit. Hanya senyuman dan dia menutup pintu itu.
“Sudah berapa lama lelaki itu bekerja pada Tobias?” Gumamku seorang diri.
“Hei nona pemalas, mandi bergegaslah mandi! Kau ... Bau!” Tobias mengetuk ujung kepalaku pelan dan aku tersadar dari pemikiranku akan sikap Doug – aku bahkan tidak tahu nama lengkapnya. Aku mengaduh pelan dan mengusap kepalaku di area bekas ketukan Tobias.
Ada apa dengan pria dingin ini? Sikapnya sejak memasuki kamar ini terlihat seperti anak kecil. Sepertinya ada yang salah dengan makanannya tadi pagi atau perjalanan panjang membuat otaknya sedikit terganggu.
“Berhentilah seperti itu,” gumamku dan aku berakhir pada air hangat yang keluar dari pemancar air.
Hangat ... menyegarkan ... menggoda ... menggaitahkan ....
Hentikan, Wanita mesum! Aku tersentak dengan apa yang baru saja terlintas dalam pikiranku. Suara gemericik air masih mengguyur tubuhku.
Mengapa lelaki itu selalu saja hadir di setiap sudut waktu, tempat, dan bahkan situasi yang tidak pas?
Tidak pas? Maksudmu saat kau mandi?
Oh, berhentilah mencaciku untuk hari ini! Aku sudah sangat senang suara terkutuk yang datang entah darimana itu seharian ini tidak berkoar.
“Al?” Ketukan lembut membuatku lagi-lagi tersentak. Tobias.
“Aku akan selesai,” teriakku sambil menarik handuk dan membelitkannya. Dengan sedikit berlari aku menyambar kasar baju yang Doug berikan tadi.
Tampilanku acak-acakan sekali! Rambut basahku dengan sembrono aku ikat sehingga masih ada saja rambut nakal yang tergerai di leher.
Saat aku membuka pintu, aku menemukan Tobias telah terbaring di tempat tidur yang berukuran cukup besar. Matanya menatap langit-langit dan segera berpindah padaku begitu dia menyadari aku sudah selesai dengan urusanku di kamar mandi.
“Kemarilah,” perintahnya untuk duduk di sisi ranjangnya. Dengan patuh aku mendatanginya. “Apa mereka akan menyukaiku?” Gumamnya masih terus memandangiku dengan mata keraguan.
“Xaxi dan Xayi?” kataku, “Tentu, mereka akan memiliki ayah yang baik,” aku mencoba memberikan keteguhan. Pria ini saat pertama kali aku bertemu dengannya hingga hari ini telah berhasil membuatku takjub. Dingin, angkuh, dan otoriter sekaligus pendikte paling memuakkan telah menampakkan sisi sosial paling luar biasa.
“Aku harap aku mampu menjadi ayah yang baik bagi mereka,” tangannya mencari-cari sesuatu dan sepertinya telah menemukannya – tanganku. “Tapi aku tidak bisa merawat mereka sendiri,” sambungnya dan hal ini membuatku menganga. Sebuah ungkapan menggantung itu membuatku was-was. “Aku membutuhkan seseorang yang juga bisa merawat mereka,”
“Aku kira Julia akan dengan senang hati membantu,” kataku gugup. Kakiku saling berketuk cepat. Aku bukan pengasuh anak! Aku agen khusus dari MI6! Tidak lebih dari 10 orang sepertiku!
“Kau ...,” jeda panjang saat Tobias dengan berat mengambil nafas dan menghelanya cepat-cepat, “Kau benar, Al!” Tubuhnya bergerak menjauhiku dan tangannya terlepas dari punggung tanganku. “Tidurlah di sini dan jangan khawatir, kau tidak akan terganggu denganku. Aku menjamin tubuhmu tidak akan tersentuh olehku.” Tubuhnya membelakangiku di sisi yang berlawanan. Tiba-tiba saja hatiku seperti ada yang menggores dan meninggalkan rasa ngilu yang tidak kunjung hilang.
Aku menaiki ranjang itu, membawa selimut menutupi tubuhku hingga dagu. Terlalu hening malam itu. Aku menoleh pada sisi kiriku dan sebuah pandangan berwarna putih terpantul ke pupilku menampakkan punggung Tobias yang kokoh. Tubuhnya sama sekali tidak bergerak dan lagi-lagi sesuatu di hatiku bergolak.
Bisakah kau membalikkan tubuhmu itu sehingga aku bisa memandangimu?
Pemikiran bodoh! Aku memutar tubuhku dan kami saling memunggi satu sama lain.
Selamat malam, Toby.

4 komentar:

  1. ini blog mu tohhh...kerennnn,apa nantinya akan meneruskan cerita ini disini atau diwattpad juga???

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hi Rina, dua-duanya sedang kupertimbangkan. Keamanannya sedang aku pelajari dulu. Tapi untuk sekarang mungkin aku akan mengutamakan blog dulu biar gak mati. Hehehehe

      Hapus