BLACK COUNTRY
Mulutku seakan terkunci. Aku menatap Tobias yang sedang
tersenyum tenang.
Tidak ada
tanda-tanda kelucuan terukir di mata Tobias.
“Kau sudah memiliki anak?” Tanyaku kelu.
Dia menatapku seolah-olah aku mencoba menyangkal
pernyataannya yang dia ucapkan.
“Ya, Al. Mereka anak-anakku.” Tegasnya. Foto-foto yang
terhampar telah diambil Tobias dan dengan hati-hati dia melangkah pergi
meninggalkanku.
“Tunggu!” Panggilku. Cukup 2 hari sudah membuatku
bersikap kurang ajar pada bosku tapi inilah tabiatku.
Tobias menghentikan langkahnya dan menoleh kepadaku.
“Tidak mungkin mereka anakmu.” Sanggahku setengah
berlari.
“Apa itu masalah untukmu?” Ucapnya datar. Rasa kelu yang
aku rasakan sama sekali tidak berkurang.
“Tidak mungkin kau memiliki anak negro. Meski kau menikah
dengan seorang negro sekalipun, itu tidak akan mungkin menghasilkan___ ”
“Anak negro, maksudmu?” Selanya dengan dahi berkerut dan
aku mengangguk.
Apa aku sedang
berharap bahwa Tobias sedang mempermainkanku? Atau malah aku sedang membuktikan
pada diriku bahwa aku tidak ingin dia mempunyai anak?
“Secara
hukum, mereka adalah anak-anakku.” Jawabnya singkat dan meneruskan langkahnya.
“Oh ya, bersiaplah. Kita akan pergi ke suatu tempat.” Sebuah senyuman misterius
terbentuk di bibirnya yang berhasil membuat hati serta jantungku melompat
terkejut dan kegirangan.
“Kita
akan kemana?” Tanyaku bingung.
Tobias
berhenti di depan pintu ruang kerjanya. Matanya berputar sembari mengerutkan
hidung seksinya dan kembali menatapku.
“Kau
akan mengetahuinya nanti.” Jawabnya dan raganya sudah tertelan pintu yang
menutup.
“Selalu
dengan kejutan!” Ucapku gemas.
000ooo000
Mobil
BMW individual seri 7 berwarna hitam metalik membawa kami menuju bandara London
Heathrow. Doug menemani kami sebagai pengemudi sedangkan aku dengan sedikit
paksaan dari Tobias, duduk dengan manis di samping Tobias di kursi penumpang.
Aku
tidak tahu apa direncanakan oleh Tobias. Dia tidak menyuruhku untuk mengepak
beberapa baju.
“Aku
tidak—”
“Tidak
masalah. Kita bisa membelinya nanti.” Penggal Tobias yang mengerti aku
kebingungan karena ajakannya yang tidak dapat diprediksi.
30
menit kemudian kami tiba di bandara internasional Heathrow. Situasinya begitu ramai meski ini adalah hari Rabu. 2
hari pasca aku bekerja pada Tobias dan 2 hari aku merasa tidak melakukan apapun
yang berguna. Aku merindukan sesi latihanku bersama K. Aku merindukan barretaku
meski saat inipun aku membawanya. Aku merindukan rekan kerjaku dan bahkan aku merindukan
kantor sempitku di MI6.
Apa
yang aku lakukan di sini? Aku tidak lebih seperti penjaga bayi bukan bodyguard!
Benar! Tapi bayi yang kau jaga saat ini telah menjadi
manekin ... Oh, Tidak! Obyek erotismu. Imajinasi paling tak tersentuh dari
semua hal yang terjadi dalam hidupmu!
Benar
saja! Suara sumbang paling memuakkan itu telah mengalahkanku telak dengan skor
tak berhingga dan nol!
Sejak
kapan aku memiliki pikiran picik dan kotor tentang seks? Hanya saat mataku
bertemu matanya – saat itu!
Sekarang?
Sepertinya tanpa kehadirannya sekalipun aku langsung bisa merasakan sentuhannya
yang memabukkan.
“Alice?”
Aku tersadar dari lamunanku dan melihat Tobias sudah keluar dari mobil dan
membukakan pintu samping mobil serta mengulurkan tangannya padaku.
Perlakuan yang berlebihan.
Aku
meraihnya dan turut serta mengikuti langkah Tobias menuju dalam bandara.
Perjalanan
kami menjauh dari keramaian. Tentu saja, seorang Tobias Currey tentu memiliki
akses khusus apapun itu. Dataran Eropa, Amerika, Australia, dan sedikit Asia
akan dengan mudah dimasukinya mengingat kelimpahan perusahaan yang tidak hanya
satu jenis tetapi mungkin aku akan lelah menyebutkannya.
Sebuah
jet besar bertuliskan Currey Avion telah tampak di sudut bandara yang khusus
untuk penerbangan pribadi. Nilai untuk pesawat itu dari dalam saat aku
memasukinya adalah benar-benar asombroso!
Luar biasa!
Desain
paling mewah dengan warna emas, perak, hitam, dan putih diatur sedemikian rupa
dari interior sofa panjang, meja bar, dan fasilitas mewah lainnya sehingga
terlihat cocok. Sudut mulutku berkedut menahannya agar tidak menganga.
Jelas
aku tidak pernah mendapatkan fasilitas semewah ini baik dalam masa perekrutanku
di markas – jelas tidak mungkin! Aku malah mendapatkan penyiksaan di sana! –
maupun sesudah masa karantinaku di MI6.
“Kau
menyukainya?” Tanya Tobias yang sudah duduk dengan anggunnya di sofa sedangkan
aku tanpa sadar masih saja meneliti setiap sudut pesawatnya itu.
“Kau
selalu menanyakan hal yang sama. ‘Apa aku menyukainya?’ Apa jawabanku memiliki
dampak pada bisnismu?” Cukup dengan 2 hari telah membuatku berani pada Tobias.
Pribadi kasarku sepertinya memang harus dipotong jika celah kebebasan diberikan
padaku dan Tobias memberikan kebebasan itu. Kebebasan ketika tidak ada
seorangpun relasinya di sekitar kami.
“Ya,”
jawabnya sambil tersenyum penuh arti, “Penilaianmu kadang membuatku merasa
bergairah,” sambungnya.
Demi
apapun yang bisa menjalankan logika! Apa yang baru saja dia katakan? Mulutku
menganga meski akses gigi seri sudah secara refleks menggigit sebagian kecil
bibir bawah.
Perlahan
aku duduk di sampingnya. “Apa otakmu hanya berisi pikiran gairah saat
menanyakan apa aku menyukainya atau tidak?” Ambiguitas meningkat seiring
sebelah alisku terangkat dan senyuman menggoda terbentuk dari mulutku.
Senyum
Tobias semakin misterius dan tatapannya menjadi tidak terbaca. Duduknya
perlahan bergeser mendekatiku dan serta merta aku merapatkan diri dengan
menutup akses paling berharga dari diriku. Dada.
“Aku
harus mengatakannya padamu. Kau selalu membuatku merasa bergairah,” katanya
begitu dekat dengan telingaku. Hembusan napasnya berhasil mengirimkan jenis
narkoba baru yang belum teridentifikasi. Jenis narkoba yang membuatku kegelian,
ketagihan tanpa merasakan efek sakau yang membuat tubuhku sekarat.
“Begitu?”
Aku mencoba menguatkan benteng pertahananku yang terombang-ambing oleh hempasan
angin yang dibuat oleh Tobias.
Wajah
Tobias semakin lama semakin mendekat dan ini jelas membuatku merasa tidak
nyaman tapi juga menginginkan.
“Kita
akan pergi kemana?” Tanyaku mencoba mencegahnya melakukan hal yang aku
inginkan.
“Kita
akan menjemput Xaxi dan Xayi,” desahnya tanpa terganggu sekalipun oleh
ocehanku. Mataku berkedip tidak beraturan saat mulut Tobias hampir menyentuh
mulutku. Adrenalin telah kembali terpompa dan degup jantung sialan itu semakin
meronta-ronta. “Kuharap kau menyukainya,” tangannya mengelus lembut pipiku dan
tengkukku bergidik dengan sentuhannya.
“Sir,
jika—”
“Apa
kau perlu diingatkan soal hukuman itu?” Mulutnya sedikitpun tidak menjauh.
Mataku
berkedip cukup lama dalam pejaman kurang lebih 3 detik saat mengingat kembali
hukuman paling aneh yang pernah aku terima.
“Tidak!”
Gumamku tegas.
“Sir,
anda membuat saya tidak nyaman,” erangku mencoba mencari pembebasan.
Tobias
menarik tanganku sehingga aku bangkit berdiri. “Perjalanan ini akan panjang.
Kau harus beristirahat.”
“Tunggu,
Tobias!” Aku menepis pegangannya.
Ini harus segera diperbaiki!
Tatapan
Tobias bingung tapi tetap tenang.
“Kita
harus berbicara soal pekerjaan yang kau berikan padaku.”
“Bukankah
Bella sudah memberikan salinan tugas apa saja yang akan kau lakukan?” Ujarnya
tenang dengan wajah yang sedikit sekali menunjukkan ekspresi.
“Iya,
aku tahu itu. Hanya saja selama 2 hari ini aku sama sekali tidak melakukan apa
yang tertulis dalam salinanmu! Aku merasa tidak nyaman juga bingung. Kau
memperlakukanku—”
“Begitu
baik?” Selanya cepat dan aku mengangguk.
“Apa
kau ingin aku menjadi bos yang kasar terhadapmu?”
“Bukan,
itu juga bukan—”
“Kaulah
yang sekarang membuatku bingung, Al,” katanya yang berhasil membuatku bungkam.
Dia benar! Akulah yang membuatnya bingung sekarang dan ... sikapnya juga
membuatku bingung.
“Aku
hanya merasa kau tahu memakan gaji buta?” ujarku salah tingkah saat kernyitan
dahi sekaligus senyum menggoda tersungging di bibirnya.
“Kau
sudah menyelamatkan nyawaku satu kali sekaligus membuatku kehilangan nyawa
melihatmu bertindak sesuka hati saat itu,” memori di kantor Tobias pertama kali
menyerang masuk. Pertama kalinya seorang lelaki mengintimidasiku dan tidak
sebaliknya.
Aku
terkekeh mendengarnya. Kekehan yang kentara dibuat-buat.
“Baiklah,
kuharap kau segera istirahat karena perjalanan kita akan panjang.” Tobias
menggeretku menuju sebuah ruangan lebih dalam. Ada sebuah pintu dan saat Tobias
membukanya, aku mendapati sebuah tempat tidur cukup luas dengan perlengkapan
ruang tidur lainnya yang tak kalah mewah seperti kamar yang aku tempati di
apartemen Tobias.
“Apa
kau akan bertanya ‘apa aku menyukainya?’ lagi?” Godaku saat mata Tobias bertemu
mataku. Kekehan keluar dari bibirnya dan aku ikut tertawa melihat wajahnya yang
berbeda. Sisi lembut dan perhatian dari sosok Tobias.
“Tidak
karena aku tahu jawabannya. Kau selalu mengatakan kata ya!” Jawabnya penuh
percaya diri.
“Beristirahatlah,
Al!” Gumamnya dan cepat kilat sebuah ciuman mendarat di keningku dan Tobias
meninggalkanku dengan keadaan setengah sadar. Aku membeku sesaat untuk menerima
rangsangan bahwa Tobias baru saja memberiku ciuman kening.
“A
... apa yang terjadi padamu, Al? Kau ... kau ... Sadarlah!” Aku menampar pipi
kananku sekadar memenuhi kesadaran dengan rasa sakit sebagai obatku dari efek
yang diberikan Tobias.
000
Pesawat yang membawa kami mulai menukik dan mendarat. Aku
melongok pada jendela kaca dan melihat tulisan megah Jommo Kenyata International Airport terpampang di atap gedung utama
bandara.
“Kenya?”
Kernyitku bingung dan beranjak untuk menyusul Tobias. Aku menemukannya sedang
membuka beberapa dokumen di sofa yang kami duduki sebelumnya dengan segelas air
putih dingin yang mengembun. Mata Tobias sama sekali tidak berpindah dari
berlembar-lembar kertas yang dipegangnya. Tidak ada kernyitan di dahi yang
biasanya dimiliki para kesekutif yang memikirkan naik turunnya saham mereka
atau kaca mata menggantung di hidungnya. Tobias selalu terlihat keren!
Tobias
menoleh padaku. Selalu dengan senyuman yang menarik seperti magnet. Aku
menghampirinya dan duduk di hadapannya. “Tidurmu nyenyak?” Tanyanya sembari
meraih gelas berisi air putih itu dan menengguk seluruh isinya.
Pesawat
kami mendarat di bandara internasional Kenya. Saat kami memijakkan kaki di
sana, aku merasakan hawa panas menyengat di sekujur tubuhku. Tengkukku serasa
terbakar. Seseorang dari arah kejauhan dengan mengendarai sebuah mobil Jeep berhenti di depan tangga pesawat.
Tobias memberikan perintah untukku masuk ke kursi penumpang sedangkan dia
mengambil alih kemudi. Aku sempat memprotesnya karena aku bekerja padanya namun
sekali lagi dia menyentakkan tubuhku sehingga beringsut masuk ke dalam jeep itu dengan sedikit kesal.
Kami
memasuki area jalanan utama di Kenya. Lalu lintas di jalanan utama begitu
lengang. Hal ini berbeda jauh dengan London yang merupakan kota padat. Tobias
yang kini mengenakan kacamata hitam begitu fokus menyetir. Orang-orang lalu
lalang dengan menggunakan berbagai macam transportasi. Mobil di kota itu
sepertinya masih merupakan sesuatu yang sangat mewah karena banyak pengendara
yang aku jumpai masih menggunakan sepeda dan beberapa dari mereka ada yang
memodifikasi motor mereka sehingga muat untuk dinaiki lebih dari 3 orang.
“Kita
akan kemana?”
“Kedubes
Inggris telah menyediakan tempat kita beristirahat. Lokasi itu lebih aman mengingat—”
“Ya,
Kenya khususnya Nairobi menurut sumber merupakan salah satu negara dengan
lokasi yang dimungkinkan adanya transaksi yang kau tahu illegal.” Selaku
mengerti dengan situasi yang sedang terjadi di benua hitam itu. “Kapan kita
akan menemui Xaxi dan Xayi?” Tanyaku sambil menatap pemandangan yang sekarang
memasuki hamparan savana kering.
“Besok,”
kata Tobias singkat. Kami berbelok ke sebuah jalanan dan menemukan sebuah
bangunan dengan tulisan British High
Commision terukir di dinding banguna itu. Banguna itu tidak tinggi dengan
corak tajam pada dindingnya seperti lipatan-lipatan. Beberapa petugas menjaga
ketat area tersebut dengan pagar besi tebal berwarna hitam tertutup rapat.
Mobil
kedua di belakang kami menyusul ke depan. Doug – orang kepercayaan Tobias –
turun dari mobilnya dan berbicara pada salah satu petugas berkulit hitam dengan
seragam berwarna hitam lengkap topi barret menambah kesan disiplin yang kental.
Tobias dan aku yang berhenti beberapa meter dari Doug beranjak turun dan
menemui petugas itu.
“Selamat
sore, sir!” Sapa petugas itu, “Nama saya Lowe,” lanjutnya. “Silakan, Pak
Richard Crweet telah menanti anda di dalam,” katanya dengan logat bahasa
inggris yang masih kaku namun cukup membuat kami mengerti.
“Terima
kasih,” balas Tobias. Kami melangkah lebih dalam lagi setelah pengamanan pada
kami selesai diperiksa di bagian resepsionis.
“Silakan
kemari, sir, miss” pinta Lowe.
Kami
masuk ke sebuah ruangan berbentuk persegi yang cukup luas dengan dekorasi
sederhana berwarna kuning gading dan interior minimalis. Kami melihat seorang
pria dengan kulit berwarna hitam dengan rambut yang seluruhnya putih dan
memperlihat dahi yang lebar tengah tersenyum lebar sekaligus menjabat tangan
kami erat. “Senang sekali anda berkunjung kemari Tuan Currey,” senyumannya
tidak pernah surut. Dia mengangguk sekilas saat tangannya meraih tanganku.
“Saya
Richard,” ujarnya.
“Alice,”
balasku.
Kami
langsung disuguh makanan yang menggoda untuk segera dicerna. Aku lapar.
“Apakah
surat-surat itu sudah selesai?” Tanya Tobias dengan wajah serius.
“Sudah,
sir. Apakah anda menginginkan mereka berada di sini besok?”
“Aku
yang akan menjemputnya,” jawab Tobias. Aku memperhatikan mereka dengan kadar
yang sedikit. Perutku sudah mulai memberontak untuk segera diisi asupan gizi
atau aku juga akan menyusul Xaxi dan Xayi mengalami kelaparan tingkat akut.
“Tapi
sir, anda akan mengalami masalah saat anda melewati wilayah sepanjang jalan
Nairobi dan Mogashidu akan berbahaya karena—”
“Kita
bisa menggunakan jalur udara,” selaku, “Apa kelompok Alshabab masih aktif
bergerak hingga sekarang?”
“Masih,
miss,” raut wajah Richard berubah cemas, “itu akan berbahaya sekali, sir” lanjutnya.
“Doug
bisa menyediakan pesawat kecil untuk kami,”
“Saat
ini pesawat kami sedang dalam perbaikan,” Richard bergerak tidak nyaman dengan
pandangan dari si penguasa Tobias. Aura Tobias yang mendikte benar-benar
membuat manusia manapun bahkan seorang dubes serba salah.
Tobias
bernafas cepat, “Siapkan mobil terbaik kalian dan beberapa pengamanan
seperlunya,” ujarnya dingin.
Aku
melihat laki-laki tua itu bergidik dan terkejut mendengar nada suara Tobias dan
segera mengangguk saat kata terakhir Tobias selesai terucap.
“A
... anda se ... sekalian pa ... pasti kelelahan. Kami telah menyiapkan kamar
terbaik,” kata Richard terbata. Jelas sekali wajah Tobias telah menyorotkan
sinar kekecewaan dan dengan percaya diri dia bangkit. Kedua tangannya telah
dimasukkan dalam kantong dan menatapku dengan ekspresi yang berbeda saat dia
menatap Richard. Dia selalu tersenyum – hanya untukku.
“Silakan,
sir,” kami keluar dari ruangan itu dan menuju lorong.
Tidak
jauh dari tempat kami mengobrol tadi, Richard yang berada di depan sebagai
penunjuk jalan berhenti di dua pintu yang megah dengan ukiran unik khas Afrika.
“Ini kamar anda, sir,” ucapnya seraya membuka pintu itu dengan sedikit
membungkuk. Tobias yang kelewat percaya diri itu sambil lalu masuk ke dalam
ruangan itu dan serta merta menyentakkan tanganku untuk ikut masuk ke dalam
ruangannya.
“Lepaskan
saya, sir!” Ucapku sopan mengingat perjanjian antara aku dan Tobias ketika kami
sedang bersama rekan bisnis – mungkin lebih tepatnya orang asing.
Tobias
tidak melonggarkan sedikitpun pegangannya pada pergelangan tanganku. Langkahnya
mantap meski aku melirik sekilas Richard yang melongo menyaksikan si penguasa
melenggang dengan anggun.
Pintu
itu kini menutup. “Maukah kau menemaniku malam ini? Hanya untuk malam ini,”
pintanya yang kini menatapku dengan pandangan sendu.
“Tapi—”
“Kumohon,”
suaranya mengecil. Wajahnya menunduk dan sebagian tertutup rambut poni miliknya
yang panjang. Aku merasakan tubuhnya sedikit bergetar dan aku tidak sanggup
untuk menolaknya.
Inikah
sisi lain dari sang mega? Sisi lemah yang aku sendiri tidak mengerti? Tentu aku
tidak mengerti. Aku baru mengenalnya dan inilah sisi baru Tobias yang ...
sendu.
Aku
mengangguk dan meletakan telapakku yang lain ke punggung tanggannya yang masih
saja menggenggamku. “Aku akan menemanimu,” bisikku. Wajahnya terangkat dengan
sebuah senyum kecil menghiasinya.
Dia
terlihat seperti anak kecil jika wajahnya seperti itu.
“Letakkan
di situ saja, Doug!” Teriak Tobias dari dalam kamar mandi. Kaos berlengan
panjang berwarna putih, celana jeans baru, sepatu boot dan perlengkapanku telah
disediakan Doug.
“Thanks, Doug!” sapaku padanya. Pria
berdarah Rusia dari logatnya berbicara bahasa inggris itu jarang sekali
terlihat dan jarang pula tersenyum. Dia terlihat garang dengan sudut matanya yang
meruncing. Matanya yang berwarna hijau dengan semburat oranye membuatnya indah
namun juga mengerikan. Sekali dia tersenyum padaku saat ini sebagai balasan
ucapan terima kasihku malah membuatku berkerenyit. Hanya senyuman dan dia
menutup pintu itu.
“Sudah
berapa lama lelaki itu bekerja pada Tobias?” Gumamku seorang diri.
“Hei
nona pemalas, mandi bergegaslah mandi! Kau ... Bau!” Tobias mengetuk ujung
kepalaku pelan dan aku tersadar dari pemikiranku akan sikap Doug – aku bahkan
tidak tahu nama lengkapnya. Aku mengaduh pelan dan mengusap kepalaku di area
bekas ketukan Tobias.
Ada
apa dengan pria dingin ini? Sikapnya sejak memasuki kamar ini terlihat seperti
anak kecil. Sepertinya ada yang salah dengan makanannya tadi pagi atau
perjalanan panjang membuat otaknya sedikit terganggu.
“Berhentilah
seperti itu,” gumamku dan aku berakhir pada air hangat yang keluar dari
pemancar air.
Hangat
... menyegarkan ... menggoda ... menggaitahkan ....
Hentikan, Wanita mesum! Aku tersentak dengan apa yang baru saja terlintas dalam pikiranku. Suara
gemericik air masih mengguyur tubuhku.
Mengapa
lelaki itu selalu saja hadir di setiap sudut waktu, tempat, dan bahkan situasi
yang tidak pas?
Tidak pas? Maksudmu saat kau mandi?
Oh,
berhentilah mencaciku untuk hari ini! Aku sudah sangat senang suara terkutuk
yang datang entah darimana itu seharian ini tidak berkoar.
“Al?”
Ketukan lembut membuatku lagi-lagi tersentak. Tobias.
“Aku
akan selesai,” teriakku sambil menarik handuk dan membelitkannya. Dengan
sedikit berlari aku menyambar kasar baju yang Doug berikan tadi.
Tampilanku
acak-acakan sekali! Rambut basahku dengan sembrono aku ikat sehingga masih ada
saja rambut nakal yang tergerai di leher.
Saat
aku membuka pintu, aku menemukan Tobias telah terbaring di tempat tidur yang
berukuran cukup besar. Matanya menatap langit-langit dan segera berpindah
padaku begitu dia menyadari aku sudah selesai dengan urusanku di kamar mandi.
“Kemarilah,”
perintahnya untuk duduk di sisi ranjangnya. Dengan patuh aku mendatanginya.
“Apa mereka akan menyukaiku?” Gumamnya masih terus memandangiku dengan mata
keraguan.
“Xaxi
dan Xayi?” kataku, “Tentu, mereka akan memiliki ayah yang baik,” aku mencoba
memberikan keteguhan. Pria ini saat pertama kali aku bertemu dengannya hingga
hari ini telah berhasil membuatku takjub. Dingin, angkuh, dan otoriter
sekaligus pendikte paling memuakkan telah menampakkan sisi sosial paling luar
biasa.
“Aku
harap aku mampu menjadi ayah yang baik bagi mereka,” tangannya mencari-cari
sesuatu dan sepertinya telah menemukannya – tanganku. “Tapi aku tidak bisa
merawat mereka sendiri,” sambungnya dan hal ini membuatku menganga. Sebuah
ungkapan menggantung itu membuatku was-was. “Aku membutuhkan seseorang yang
juga bisa merawat mereka,”
“Aku
kira Julia akan dengan senang hati membantu,” kataku gugup. Kakiku saling
berketuk cepat. Aku bukan pengasuh anak! Aku agen khusus dari MI6! Tidak lebih
dari 10 orang sepertiku!
“Kau
...,” jeda panjang saat Tobias dengan berat mengambil nafas dan menghelanya
cepat-cepat, “Kau benar, Al!” Tubuhnya bergerak menjauhiku dan tangannya
terlepas dari punggung tanganku. “Tidurlah di sini dan jangan khawatir, kau
tidak akan terganggu denganku. Aku menjamin tubuhmu tidak akan tersentuh
olehku.” Tubuhnya membelakangiku di sisi yang berlawanan. Tiba-tiba saja hatiku
seperti ada yang menggores dan meninggalkan rasa ngilu yang tidak kunjung
hilang.
Aku
menaiki ranjang itu, membawa selimut menutupi tubuhku hingga dagu. Terlalu
hening malam itu. Aku menoleh pada sisi kiriku dan sebuah pandangan berwarna
putih terpantul ke pupilku menampakkan punggung Tobias yang kokoh. Tubuhnya
sama sekali tidak bergerak dan lagi-lagi sesuatu di hatiku bergolak.
Bisakah
kau membalikkan tubuhmu itu sehingga aku bisa memandangimu?
Pemikiran
bodoh! Aku memutar tubuhku dan kami saling memunggi satu sama lain.
Selamat
malam, Toby.
ini blog mu tohhh...kerennnn,apa nantinya akan meneruskan cerita ini disini atau diwattpad juga???
BalasHapusHi Rina, dua-duanya sedang kupertimbangkan. Keamanannya sedang aku pelajari dulu. Tapi untuk sekarang mungkin aku akan mengutamakan blog dulu biar gak mati. Hehehehe
Hapuskerennn....>.<
BalasHapusMakasih... :)
Hapus