Jumat, 25 April 2014

Night Song



Night Song

Layar televisi masih menampilkan sejumlah acara film tengah malam. Karena perut yang mendadak merasa lapar, aku berniat membuat mi rebus. Aktivitasku terhenti saat keponakanku, yang awalnya terlelap di kasur, kini bangun lalu berjalan menuju meja makan di dapur untuk meraih sebotol air minum.
Dia terlihat sangat lelah. Sekujur tubuhnya basah karena keringat, air dalam botol pun ludes ditenggaknya tak kurang dari tiga menit. Tidak hanya itu, dia meraih beberapa biskuit yang tersedia di samping botol tadi dan memakannya dengan lahap. Sedikit aneh. Malam ini tidak panas malah cenderung dingin dan seingatku bocah perempuan empat tahun itu melahap cukup banyak makanan sore tadi.
“Kak ...,” begitu aku memanggilnya sambil mematikan kompor lalu mendatanginya yang masih mengunyah biskuit. “Keringat Kakak banyak. Bajunya jadi basah.”
Setelah menelan biskuit cepat, bocah itu menyahut, “Kakak capek, Tante.”
Sebelah alisku terangkat; heran dengan ucapannya. “Capek?” tanyaku. “Kakak kok capek?” aku mencoba menanyainya lebih lanjut.
Anak itu berjalan kembali ke kamar mungkin untuk melanjutkan tidurnya. Aku segera mengikutinya dari belakang dan melupakan mi yang nyaris belum kusentuh. Ayah dan ibunya sedang pergi dan hanya kami berdua yang ada di rumah. Jujur saja, aku takut berada di rumah ini. Kautahu ... aku seperti ‘orang asing’ di rumah ini bagi ‘pemiliknya’.
“Tadi Kak Wulan abis jalan-jalan,” ucapnya tak acuh. Wulan sudah berbaring lagi. Paras cantik dan pipi tembamnya itu tidak mengalihkan rasa penasaranku.
“Kak Wulan jalan-jalan?” Aku berusaha membuatnya berbicara. “Kapan?”
“Ini tadi, lo!” Dia terlihat jengkel. “I am very tired, Aunty.”
Mataku melebar seketika. Dia bilang apa tadi?!
“Kakak bisa bahasa inggris?” tanyaku terkejut—dan mendadak merasa takut tanpa alasan.
Yes, I can.
Dia baru empat tahun! Aku menjerit dalam hati.
“Kak ...,” panggilku lagi. Titik ingin-tahuku memuncak. “Kakak jalan-jalan kemana terus sama siapa?”
Tiba-tiba terdengar derik pintu membuka. Bukan dari pintu kamar kami. Apakah ayah dan ibunya pulang? Aku mulai berharap ada orang lain di sini. Ingat! Orang dan bukannya ....
“Sama Mas Henri,” celetuk bocah itu. Dia tersenyum sambil memperlihatkan giginya yang hitam dan gigis.
Mas Henri? Siapa dia?
That’s him, Aunty!” teriaknya ceria. Telunjuknya mengarah ke pintu kamar yang masih menutup.
Bulu romaku meremang. Tidak ada siapapun.
London bridge is falling down ... falling down ... falling down ....
Sebuah nyanyian terdengar dan aku melihat Wulan bangkit sambil menggerakkan lehernya ke kiri dan kanan. Dialah yang bernyanyi. Hanya saja suaranya berbeda. Mulai melengking dan aku semakin khawatir.
“Kak!” Kuraih kedua bahunya lalu mengguncang sedikit kasar.
Wulan tetap bernyanyi semakin keras. “London bridge is falling down ... falling down ... falling down ....” Lalu tawa nyaring menyusul dari pita suaranya.
“Wulan, berhenti!” teriakku ketakutan.
Dia berhenti. Mata hitamnya menatapku dengan gerakan leher pelan dari semula menatap langit-langit. “Don’t be scared, Aunty!” Dan lagi-lagi teriakan yang memekakkan telinga keluar dari tenggorokannya.
Kedua telingaku kututup rapat dengan telapak tangan dan mataku terpejam. Ada yang salah dengan bocah ini! Kumulai merangkai doa di hati. Pelan-pelan, aku membuka mataku.
Wulan hilang!
“Wulan!” aku berteriak dan berlari keluar kamar.
“Hi ... hi ... hi ....” suara tawa melengking muncul dari arah tangga berputar di dapur lalu disusul langkah kaki berlari. Begitu berisik.
“Wulan!” panggilku lagi. Jantungku berdegup kencang; takut terjadi hal buruk pada bocah itu.
Sial bagiku karena rumah ini begitu jauh dari rumah tetangga. Aku yakin tidak ada orang yang mendengar teriakanku.
“Wulan!” panggilku sekali lagi nyaris frustasi.
Aku sudah mencari di ruang tengah; tamu; makan dan kamar tamu. Semua kosong. Aku memberanikan diri menuju dapur dan mulai menaiki tangga berputar untuk mencari keberadaan Wulan di lantai atas.
“Wulan ....” Suaraku bergetar. Khawatir dan takut berkecamuk.
“Aku di sini, Tante.” Suara anak perempuan menggaung nyaring. Kepalaku menoleh untuk mencari asal suara yang seperti berasal dari satu-satunya ruangan di lantai atas.
“Lan, Mama sebentar lagi pulang. Jangan main lagi, ah!” Aku mencoba menutupi rasa takut dengan percakapan. Tak ada yang menyahut.
“Tanteku sayang ... Tanteku malang ....” Ada suara bersyair; mendayu seperti nyanyian nina-bobo di dalam ruangan lantai atas itu.
Aku melangkah begitu pelan agar tidak menimbulkan suara tapi suara degup jantungku seakan menimbulkan berisik. Kata kakakku—Ibu Wulan—kamar itu hanya dipakai untuk meletakkan pakaian bersih yang belum disetrika. Kubuka pintu dan berusaha agar engselnya tidak menimbulkan bunyi. Malam ini terlalu sunyi. Tak ada suara binatang. Malah lagu bahasa inggris anak-anak yang mengisi keheningan.
Saat pintu membuka, aku melihat sesosok tengah duduk memunggungiku. Dari postur tubuh, dia seorang laki-laki mengenakan pakaian warna putih. Bahunya bidang dan memiliki rambut cepak. Beberapa saat kemudian, dia bangkit dan berjalan sambil terus memunggungiku hingga ... aku harus menahan jeritan saat sosok itu menembus tembok lalu hilang.
“Wu-lan,” bisikku ketakutan. Ada sesuatu yang menarik ujung celanaku dan ketakutanku mulai menjadi. Kuputar pandanganku ke bawah untuk melihat siapa yang menarikku dan ..., “Wulan!” Aku langsung berhambur memeluknya erat. Mengusap punggungnya memastikan dia memang berada dalam pelukannku. Dia aman ... dia aman ... dia aman. “Kakak enggak apa-apa, ‘kan?” Aku meneliti setiap tubuhnya. Tak ada luka di sana. Dia baik-baik saja. Aku bersyukur dia baik-baik saja.
“Tante?” Ada suara lain tapi itu bukan dari depanku melainkan dari sisi lain dimana aku berdiri di pintu kamar. Jauh beberapa langkah dari tempat aku berpijak. Dan saat itulah mataku lagi-lagi terkejut. Wulan!
Kualihkan pandanganku pada Wulan yang baru saja kupeluk. Hilang! Lalu siapa tadi? Gemetar hebat menyerang tubuhku. Aku tidak peduli! Aku harus menemukan Wulan! Aku kembali berlari menuju Wulan yang memanggilku.
Dia nyata. Aku merengkuhnya lalu menggendong Wulan menuju kamar di bawah. Setengah berlari, kuturuni tangga dengan jantung yang seperti siap melompat dari tempatnya. Aku bisa merasakan degup jantung Wulan yang normal. Setelah masuk kamar, kukunci pintu kamar dan melihat Wulan duduk di tepi kasur tak beranjang dengan tatapan bingung. “Kakak dari mana?” tanyaku bingung dan aku ingin segera tahu jawabannya.
Wulan tidak segera menjawabku. Pandangannya menerawang. “Kak ....” Kugoyang badannya agar fokus menatapku tapi tetap saja dia diam. Bungkam.
Sedetik kemudian mulutnya membuka dan ...
London bridge is falling down ... falling down ... falling down ....
“Wulan, berhenti bernyanyi itu!” perintahku frustasi lalu membungkam mulutnya. “Berhenti! Tante enggak mau dengar!”
Dengungan masih terdengar dari mulut Wulan. Matanya menyipit seolah-olah memberikan senyuman meski mulutnya tertutup oleh telapak tanganku. Dengungan itu berhenti seiring mata Wulan yang mengatup.
“Wulan ...?”  Aku mulai panik melihat tubuhnya tidak lagi bergerak. “Wulan, bangun!” Kugerakkan secara kasar tubuhnya tapi tetap tidak ada respon. Ya, Tuhan! Jangan ... jangan!
Hi, Aunty!” Aku menoleh pada pintu kamar yang sudah menjeplak padahal aku ingat sudah menguncinya. Dan di situ, Wulan berdiri sambil tersenyum. Di sisinya berdiri seorang lelaki setengah baya berperawakan bulai dengan pakaian zaman dulu sedang menggandengnya.
Thank you for bringing her to me,” kata lelaki itu lalu menghilang bersamaan dengan Wulan.
Tubuhku terpaku melihat tubuh Wulan yang mulai membiru. Di kepalaku hanya terisi bunyian yang membuatku mendesah lega. Tak ada lagi nyanyian keparat itu. Tak akan ada lagi ketakutan. Aku aman ... dan ... Wulan ... Aku meratap pilu melihat tubuhnya di pangkuanku.
Cukup lama aku terdiam dalam isak tangis yang tertahan. Bahkan suara teriakan dari seorang wanita yang begitu kukenal tak mampu membuatku berpaling dari raga bocah itu.
Selang beberapa waktu, suara sirene memenuhi gendang telinga. Ada beberapa orang yang menyeretku secara paksa. Namun aku tidak takut. Harapanku menjadi nyata. Aku tidak lagi sendirian. Ada orang lain di rumah ini. Dan aku tidak takut lagi.

TAMAT.

Kisah Banshee by. Maria Chrisna



KISAH BANSHEE

Aku melihatmu meski tidak mampu menyentuhmu. Kau sekarang yang berdiri tegak memandang langit kelam dengan awan mendung yang menggantung. Rintik hujan kecil membasahi tubuhmu yang kekar. Namun itu semua hanya tipu muslihatmu. Aku mampu merasakan jiwa yang rapuh dan goyah. Jiwa yang ingin menggapai cabang yang kuat agar dia mampu betahan. Dan itu adalah jiwamu.
Kau menatap sendu pada langit. Aku merasakan napasmu mulai sesak dan matamu memerah. Rintik air telah membasahi seluruh tubuhmu dan aku mulai tidak tenang di tempat dimana aku nyaris berdiri jika aku memiliki kaki, di sebuah tangkai besar pada pohon yang sudah tumbuh selama ratusan tahun.
Kau melangkah mendekati tempat aku ‘berpijak’. Langkahmu mantap, sedangkan aku malah ingin mengusirmu sejauh mungkin agar tidak mendekati ‘rumahku’ dengan mengirimkan hawa yang lebih dingin dari tetesan air hujan. Aku semakin gusar. Aku mulai melayang-layang mendekatimu karena aura yang aku sebarkan tidak mampu menghentikanmu.
Tidak! Tidak! Aku memperingatimu. Aku berteriak meski kau tidak akan mendengar suaraku.
Matamu menyusuri tangkai-tangkai pohon yang telah menemaniku lebih dari seabad. Semakin sendu matamu saat telapak tenganmu yang memutih pucat menyusur batang pohon itu.
Jangan! Jangan! Aku mulai menyebarkan aura astral untuk membuatmu menyadari kehadiranku. Kulihat tubuhmu merinding.
Apakah aku berhasil membuatmu menyadari keberadaanku?
“Kau diam?” suaramu bergetar.
Apa kau menggigil kedinginan? Atau kau ketakutan? Dan dengan siapa kau berbicara?
Aku menoleh ke segala arah, mencari mahkluk mortal lain yang mungkin kau ajak bicara. Tidak ada satupun. Tidak ada satu pun manusia atau mahkluk hidup lain–selain pohon ini– yang mendengarmu. Hanya ada aku dan suara rintik hujan yang tidak begitu deras.
Kau mengangkat wajahmu yang kuyu. Sepasang lingkaran hitam memenuhi area kelopak matamu.
“Bukankah seharusnya kau melakukan tugasmu?” katamu parau diselingi tawa yang terdengar dipaksakan.
“Aku menginginkanmu bersuara. Itu tugasmu, kan? Berteriak ... mengaduh ... merintih ...,” suaramu semakin lirih dan seperti kehilangan kekuatan, tubuhmu roboh, bersimpuh pada tanah basah.
Aku melayang-layang semakin gusar melihat kondisimu yang sangat buruk. Kau seperti manusia putus asa dengan kadar yang berlipat-lipat.
Kau benar! Aku seharusnya merintih, berteriak, mengaduh, dan menangis di rumah yang tidak jauh dari pohon ini berdiri. Yah, seharusnya aku melakukan tugasku yang telah menjadi takdirku–jika memang aku masih memiliki takdir–sejak dahulu kala, sejak aku tidak lagi menggunakan kakiku untuk berjalan, sejak udara tidak lagi mengisi paru-paruku, sejak aku menjadi mahkluk abadi yang baru.
“Menangislah! Kumohon,” ratapmu pilu yang bahkan membuatku iri dengan suara kepedihanmu yang melebihi milikku.
Aku tidak ingin melakukannya! Aku tidak mau!
“Kau tidak ingin melakukannya?” tanyamu. Kubalas pertanyaanmu dengan sekali anggukan.
“Kenapa?” tanyamu kembali dengan suara lantang.
Kenapa?
Kau kira aku tahu jawabannya?
Aku tidak lagi memiliki hati. Aku juga tidak lagi memiliki rasa. Tapi mengapa saat melihatmu duduk di teras rumah itu sambil sesekali menatap lama berlembar-lembar kertas yang kaupegang, aku merasa sangat senang? Bukankah seharusnya aku tidak memiliki rasa? Aku sudah ... mati.
Mungkinkah aku ... menyukaimu?
Tidak mungkin. Aku tidak memiliki hati, kan?
“Kau tidak mungkin menyalahi kodratmu.”
Aku tahu. Aku sangat tahu. Rasa ini hanya ilusi sama seperti aku yang nyaris hanya ilusi tapi aku memiliki eksistensi. Eksistensi yang diragukan sebagian manusia.
Kau terbatuk berkali-kali dan aku merasakan rasa lain lagi. Rasa ... sakit.
Kau bangkit lagi dan berjalan tertatih-tatih mendekatiku. Aku semakin tidak menentu. Apa kau bisa merasakanku? Bahkan ... melihatku? “Ya,” kau bersuara.
Aku menggeleng. Tidak mungkin! Tidak mungkin! Kau tidak bisa melihatku.
“Aku akan mati. Kau sangat tahu itu,” selidikmu dan aku merasa putus asa saat ucapanmu seperti menyalahkanku karena aku tidak melakukan tugasku dengan baik.
Aku memang tidak ingin melakukannya meski perintah itu telah diperdengarkan kepadaku. Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku tidak ingin kau menghilang dan eksistensiku tidak mampu lagi mencari keberadaanmu yang pada akhirnya akan berbeda dunia dariku.
Kau tidak akan mengerti betapa sakitnya diriku–jika rasa sakit tepat untuk definisiku–saat aku harus meraung, menangis, dan meratap di bawah jendela rumahmu seperti yang kulakukan pada rumah lain yang nyawanya siap lepas dari raganya, mati.
Tapi aku tidak bisa melakukannya padamu. Aku tahu rasaku tidak akan mampu menggapaimu karena kita hidup di dunia yang berbeda.
Banshee, aku tahu kau seharusnya melakukannya saat aku divonis mati.”
Hentikan! Aku tidak ingin kau mati!
“Mengapa kau tidak memberiku pertanda? Apa aku akan hidup?” tanyamu sarat ketidakpercayaan. Kau frustasi, aku melihatmu saat kau membanting semua barang-barangmu di rumah. Penyakitmu akan merenggutmu dan juga merenggut bahagiaku.
Kau sekarang berdiri tepat di depanku, menatapku. Atau seolah-olah menatapku.
Aku mahkluk dingin. Jauhi aku atau kau akan semakin sakit.
“Aku tidak peduli jika aku harus mati cepat.” Kau bohong. Aku mampu merasakan detak jantungmu yang memacu lebih cepat saat kau berkata mati.
“Menangislah, Banshee! Menangislah sehingga aku tahu aku akan mati.” Kau menangis, meraung seperti orang kesetanan yang terluka. Sama seperti aku. Aku setan yang terluka mendengar jeritanmu yang memilukan.
Satu alasan yang membuatku tidak ingin melakukan tugasku adalah ... aku takut kau mati.
Aku mati dan seharusnya aku bahagia jika kau mati. Aku dan kau bisa bersatu, tidak lagi dipisahkan oleh dunia yang berbeda, kan?
Tapi tidak. Ini berbeda.
Aku mati karena aku menyalahi aturan kematian. Aku mengakhiri hidupku dengan pilihanku sendiri bukan karena kuasa-Nya. Dan sekarang, aku terjebak dalam diri Banshee kekal dan aku tidak tahu apakah kekekalan dengan eksistensiku ini akan berakhir.
Berbeda dengan dirimu. Kau ditakdirkan untuk segera mati. Mati karena penyakitmu. Itu keinginan-Nya dan kau tidak mampu mematahkan kekuatan-Nya. Kau yang ditakdirkan mati akan mati. Dan ketika kau mati, kau tidak akan lagi mampu kulihat bahkan mampu kucari. Jiwamu akan mengangkasa, menembus langit menuju tempat dimana para jiwa yang mati karena kuasa-Nya berkumpul. Tempat layak dan bukan sepertiku, terjebak untuk waktu yang tidak ada habisnya.
Aku tidak ingin kau mati. Mati karena kuasa-Nya. Itu akan membuatku tidak lagi bisa melihatmu. Dunia kita akan semakin berbeda.
Alasan itulah aku tidak ingin menangis. Menangis di bawah jendela rumahmu. Aku tidak ingin kau menanamkan keyakinan bahwa kau akan segera mati. Tidak. Kau tidak akan mati. Seandainya aku memiliki raga, aku akan berlari memelukmu, memberikan kehangatan paling dalam yang mampu aku berikan untuk membantu menopang kesedihanmu. Tapi aku tak memilikinya.
Banshee, kumohon, menangislah agar aku mampu berpasrah diri. Pasrah akan jiwaku yang akan direnggut. Yakinkan aku seperti yang kau lakukan pada si tua itu,” kau berujar letih namun tak lagi pedih.
Apakah aku harus berpisah denganmu?
Aku melihat wajahmu yang semakin pucat karena dingin dan sakitmu.
Jika aku memiliki rasa senang, sakit, dan putus asa ... Mampukah ada lagi satu rasa yang bisa kumiliki?
Keikhlasan. Keikhlasan melepasmu pergi bersama jiwa lain yang layak berada di tempat yang sebenarnya. Bukan di dunia ini melainkan dunia jauh di atas sana.
Dan aku mulai menangis, meraung, dan meratap ... untukmu.

Tamat.

Catatan : Banshee berasal dari mitologi Irlandia dan biasanya dikenal sebagai roh wanita. Berdasarkan legenda, banshee akan berkeluyuran di luar rumah sambil meraung-raung jika seseorang di dalam rumah itu akan meninggal.


Permainan Hati by. Maria Chrisna



Permainan Hati

Kau mendengus sinis. Salah satu ujung mulutmu terangkat. Mata coklatmu menatapku dengan tatapan menghina yang frontal.
“Bahkan orang itu, yang entah apa jenis kelaminnya, mampu kau taklukan?” Seorang gadis yang berdiri tidak jauh darimu berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.
Buku yang sedang kubaca telah koyak karena remasan tanganku yang terlalu kuat. Meski seharian ini aku telah berusaha mengalihkan perhatianku dari masalah ini, tetap saja suara orang-orang di sekitar membuatku muak. Namun apa yang mereka katakan benar. Dan karena kebenaran itu, aku menjadi lebih muak pada diriku sendiri.
Kulirik dari sudut mata apa yang sedang dirimu dan gadis itu lakukan. Kalian begitu bangga terhadap hal yang baru saja kalian mainkan.
Hebat! Hebat!
Aku tersenyum kecut mengingat memori itu. Memori yang membuatku mengunci hati rapat-rapat agar tidak ada lagi yang mampu mempermainkannya.
***
‘Lapar pun.’
Sebuah tulisan muncul pada layar ponselku. Tersenyum geli, aku membalas pesan itu.
‘Tidur pun,’ ketikku lalu cepat-cepat menekan enter pada keypad ponsel sambil terkikik menahan geli.
Dua detik berlalu dan ponselku kembali berdering dengan pesan yang kuharap darimu. Dan benar saja ....
(‘_) mBoh.. (‘_) mBoh...,’ balasmu.
Kuputar bola mataku begitu melihat emoticon yang sedang booming. Dengan sedikit rasa gemas, kutekan beberapa kata berbunyi, ‘Makan, dong.’
Tiga detik ... tiga menit ... lima menit ....
Sudah lebih dari lima kali aku menengok ponsel yang masih saja menampilkan layar yang gelap. Menandakan tidak adanya pesan yang masuk.
Jengkel merasa diabaikan, aku mengirim lagi beberapa pesan bertuliskan, ‘Sudah makan?’
“Hoi!” Sebuah tangan menepuk bahuku kencang dan nyaris saja membuat ponsel yang sedang kupegang terlempar.
Aku menoleh dan menemukan sahabat paling menyebalkan yang kukenal sejak semester pertama.
“Masih saja kau berhubungan dengannya?” tanya Liana yang memberikanku tatapan datar namun hal itu justru membuatku salah tingkah. Tanpa menunjukkan ekspresi, gadis itu mampu menebak secara tepat apa yang sedang aku lakukan.
Aku mengangguk enggan.
“Apa kau benar-benar yakin menyukainya?” Liana mulai dengan interogasinya yang membuatku semakin tidak nyaman.
Aku memang menyukaimu. Lalu kenapa? Kau memberikan banyak perhatian padaku. Itu alasan yang cukup bagiku menyukaimu, ‘kan?
Jujur, jauh di dalam lubuk hatiku, aku merasa kau juga mengalami rasa yang sama sepertiku.
Liana mendesah panjang. “Jika kau suka, bilang padanya!”
Aku tidak berniat menyahut semua ucapan Liana. Masalah yang sedang kuhadapi tidak semudah orang kentut.
“Terkadang rasa suka perlu diungkapkan, Yu,” Liana melanjutkan. “Atau kau masih memegang teguh adat timur bahwa memalukan jika wanita mengungkapkan rasa sukanya terlebih dahulu pada si pria?”
Ucapan Liana lagi-lagi tepat mengenai sasarannya. Aku mengerang tertahan bahwa kenyataan itu membuat dadaku ngilu.
“Bodoh, Yu. Kau akan kehilangannya jika masih memegang adat tidak masuk akal itu.”
“Aku hanya tidak habis pikir. Bagaimana bisa hanya dengan ini,” Aku mengangkat ponsel dan menatapnya tidak fokus, “aku bisa suka padanya?” Aku mengambil napas dalam-dalam berusaha mengusir rasa sesak. “Aku hanya berani menatapnya dari jauh saat aku melihat Raziel di kampus.” Kualihkan pandanganku dari sekumpulan anak-anak kampus yang baru saja melintas ke arah Liana yang sibuk membaca buku. “Li, bagaimana bisa aku semakin suka padanya hanya lewat ponsel?”
“Entahlah. Bukankah dunia sudah gila? Nikmati saja kegilaan itu,” Liana menjawab santai. Dia seperti tidak mengerti bahwa aku takut jika harus mengungkapkan rasa sukaku padahal jelas aku mengenal dan menjadi dekat dengamu melalui ponsel.
Bukankah itu sinting?
“Aku tidak ingin kau menyesal, Yu.”
***
“Raz ...,” Kugigit bibir bawahku menahan gugup yang mendera.
Kau menatapku dengan sebelah alis terangkat, menunggu kelanjutan ucapanku. Sebuah batu seperti menyumbat tenggorokanku sehingga tak sepatah kata keluar dari mulut ini.
“Aku ...,” lagi-lagi suaraku bergetar.
Perlahan aku mampu melihat senyum tipis terbentuk pada bibirmu dan segala apa yang ingin kuucapkan ... hilang melihat ukiran senyum itu.
“Kau ingin bilang bahwa kau suka aku, ‘kan?”
Aku terhenyak saat sebuah kalimat meluncur begitu saja dari bibir yang baru saja memberikan senyum memesona hingga membuatku mengalami amnesia sejenak.
“Maaf, Yu. Aku tidak bisa.”
“Kenapa? Bukankah kau memberikan perhatian padaku?” ucapku polos. Aku masih saja berharap bahwa segala perhatian yang kau berikan walau hanya melalui ponsel adalah nyata.
“Aku tidak menyukaimu. Dan segala perhatian yang kuberi bukan berarti aku menyukaimu, Yu.”
Ada yang membuat pandanganku kabur dan aku tahu airmata sudah mulai menggenang. Kutahan sekuat mungkin saat ragamu tidak beranjak dari tempat kita berpijak di bawah pohon.
“Jadi?” suaraku serak karena menahan airmata ini agar jangan meleleh apalagi di hadapanmu.
“Maaf, Yu. Hatiku sudah memilih yang lain.” Kau menatapku sendu. Antara rasa iba dan penyesalan, mungkin?
“Siapa?”
Kau tersenyum kecut. “Liana.”
***
“Bahkan orang itu, yang entah apa jenis kelaminnya, mampu kau taklukan?” Seorang gadis yang berdiri tidak jauh darimu berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.
Gadis itu Liana. Liana sahabatku yang sekarang kaurangkul dengan erat.
Kulihat Liana melirik ke arahku dengan senyum penuh kemenangan begitu juga kau.
Aku sadar bahwa orang-orang yang selalu menyebutku sebagai gadis dengan kelamin yang tidak jelas, telah dipermainkan.