Permainan Hati
Kau
mendengus sinis. Salah satu ujung mulutmu terangkat. Mata coklatmu menatapku
dengan tatapan menghina yang frontal.
“Bahkan
orang itu, yang entah apa jenis kelaminnya, mampu kau taklukan?” Seorang gadis
yang berdiri tidak jauh darimu berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.
Buku
yang sedang kubaca telah koyak karena remasan tanganku yang terlalu kuat. Meski
seharian ini aku telah berusaha mengalihkan perhatianku dari masalah ini, tetap
saja suara orang-orang di sekitar membuatku muak. Namun apa yang mereka katakan
benar. Dan karena kebenaran itu, aku menjadi lebih muak pada diriku sendiri.
Kulirik
dari sudut mata apa yang sedang dirimu dan gadis itu lakukan. Kalian begitu
bangga terhadap hal yang baru saja kalian mainkan.
Hebat! Hebat!
Aku
tersenyum kecut mengingat memori itu. Memori yang membuatku mengunci hati rapat-rapat
agar tidak ada lagi yang mampu mempermainkannya.
***
‘Lapar
pun.’
Sebuah
tulisan muncul pada layar ponselku. Tersenyum geli, aku membalas pesan itu.
‘Tidur
pun,’ ketikku lalu cepat-cepat menekan enter
pada keypad ponsel sambil terkikik
menahan geli.
Dua
detik berlalu dan ponselku kembali berdering dengan pesan yang kuharap darimu.
Dan benar saja ....
‘╮(‘╯_╰)╭ mBoh.. ╮(‘╯_╰)╭ mBoh...,’
balasmu.
Kuputar
bola mataku begitu melihat emoticon
yang sedang booming. Dengan sedikit
rasa gemas, kutekan beberapa kata berbunyi, ‘Makan, dong.’
Tiga
detik ... tiga menit ... lima menit ....
Sudah
lebih dari lima kali aku menengok ponsel yang masih saja menampilkan layar yang
gelap. Menandakan tidak adanya pesan yang masuk.
Jengkel
merasa diabaikan, aku mengirim lagi beberapa pesan bertuliskan, ‘Sudah makan?’
“Hoi!”
Sebuah tangan menepuk bahuku kencang dan nyaris saja membuat ponsel yang sedang
kupegang terlempar.
Aku
menoleh dan menemukan sahabat paling menyebalkan yang kukenal sejak semester
pertama.
“Masih
saja kau berhubungan dengannya?” tanya Liana yang memberikanku tatapan datar
namun hal itu justru membuatku salah tingkah. Tanpa menunjukkan ekspresi, gadis
itu mampu menebak secara tepat apa yang sedang aku lakukan.
Aku
mengangguk enggan.
“Apa
kau benar-benar yakin menyukainya?” Liana mulai dengan interogasinya yang
membuatku semakin tidak nyaman.
Aku
memang menyukaimu. Lalu kenapa? Kau memberikan banyak perhatian padaku. Itu
alasan yang cukup bagiku menyukaimu, ‘kan?
Jujur,
jauh di dalam lubuk hatiku, aku merasa kau juga mengalami rasa yang sama
sepertiku.
Liana
mendesah panjang. “Jika kau suka, bilang padanya!”
Aku
tidak berniat menyahut semua ucapan Liana. Masalah yang sedang kuhadapi tidak
semudah orang kentut.
“Terkadang
rasa suka perlu diungkapkan, Yu,” Liana melanjutkan. “Atau kau masih memegang
teguh adat timur bahwa memalukan jika wanita mengungkapkan rasa sukanya
terlebih dahulu pada si pria?”
Ucapan
Liana lagi-lagi tepat mengenai sasarannya. Aku mengerang tertahan bahwa
kenyataan itu membuat dadaku ngilu.
“Bodoh,
Yu. Kau akan kehilangannya jika masih memegang adat tidak masuk akal itu.”
“Aku
hanya tidak habis pikir. Bagaimana bisa hanya dengan ini,” Aku mengangkat
ponsel dan menatapnya tidak fokus, “aku bisa suka padanya?” Aku mengambil napas
dalam-dalam berusaha mengusir rasa sesak. “Aku hanya berani menatapnya dari
jauh saat aku melihat Raziel di kampus.” Kualihkan pandanganku dari sekumpulan
anak-anak kampus yang baru saja melintas ke arah Liana yang sibuk membaca buku.
“Li, bagaimana bisa aku semakin suka padanya hanya lewat ponsel?”
“Entahlah.
Bukankah dunia sudah gila? Nikmati saja kegilaan itu,” Liana menjawab santai.
Dia seperti tidak mengerti bahwa aku takut jika harus mengungkapkan rasa sukaku
padahal jelas aku mengenal dan menjadi dekat dengamu melalui ponsel.
Bukankah itu sinting?
“Aku
tidak ingin kau menyesal, Yu.”
***
“Raz
...,” Kugigit bibir bawahku menahan gugup yang mendera.
Kau
menatapku dengan sebelah alis terangkat, menunggu kelanjutan ucapanku. Sebuah
batu seperti menyumbat tenggorokanku sehingga tak sepatah kata keluar dari
mulut ini.
“Aku
...,” lagi-lagi suaraku bergetar.
Perlahan
aku mampu melihat senyum tipis terbentuk pada bibirmu dan segala apa yang ingin
kuucapkan ... hilang melihat ukiran senyum itu.
“Kau
ingin bilang bahwa kau suka aku, ‘kan?”
Aku
terhenyak saat sebuah kalimat meluncur begitu saja dari bibir yang baru saja
memberikan senyum memesona hingga membuatku mengalami amnesia sejenak.
“Maaf,
Yu. Aku tidak bisa.”
“Kenapa?
Bukankah kau memberikan perhatian padaku?” ucapku polos. Aku masih saja
berharap bahwa segala perhatian yang kau berikan walau hanya melalui ponsel
adalah nyata.
“Aku
tidak menyukaimu. Dan segala perhatian yang kuberi bukan berarti aku
menyukaimu, Yu.”
Ada
yang membuat pandanganku kabur dan aku tahu airmata sudah mulai menggenang.
Kutahan sekuat mungkin saat ragamu tidak beranjak dari tempat kita berpijak di
bawah pohon.
“Jadi?”
suaraku serak karena menahan airmata ini agar jangan meleleh apalagi di
hadapanmu.
“Maaf,
Yu. Hatiku sudah memilih yang lain.” Kau menatapku sendu. Antara rasa iba dan
penyesalan, mungkin?
“Siapa?”
Kau
tersenyum kecut. “Liana.”
***
“Bahkan
orang itu, yang entah apa jenis kelaminnya, mampu kau taklukan?” Seorang gadis
yang berdiri tidak jauh darimu berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.
Gadis
itu Liana. Liana sahabatku yang sekarang kaurangkul dengan erat.
Kulihat
Liana melirik ke arahku dengan senyum penuh kemenangan begitu juga kau.
Aku
sadar bahwa orang-orang yang selalu menyebutku sebagai gadis dengan kelamin
yang tidak jelas, telah dipermainkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar