Jumat, 25 April 2014

Permainan Hati by. Maria Chrisna



Permainan Hati

Kau mendengus sinis. Salah satu ujung mulutmu terangkat. Mata coklatmu menatapku dengan tatapan menghina yang frontal.
“Bahkan orang itu, yang entah apa jenis kelaminnya, mampu kau taklukan?” Seorang gadis yang berdiri tidak jauh darimu berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.
Buku yang sedang kubaca telah koyak karena remasan tanganku yang terlalu kuat. Meski seharian ini aku telah berusaha mengalihkan perhatianku dari masalah ini, tetap saja suara orang-orang di sekitar membuatku muak. Namun apa yang mereka katakan benar. Dan karena kebenaran itu, aku menjadi lebih muak pada diriku sendiri.
Kulirik dari sudut mata apa yang sedang dirimu dan gadis itu lakukan. Kalian begitu bangga terhadap hal yang baru saja kalian mainkan.
Hebat! Hebat!
Aku tersenyum kecut mengingat memori itu. Memori yang membuatku mengunci hati rapat-rapat agar tidak ada lagi yang mampu mempermainkannya.
***
‘Lapar pun.’
Sebuah tulisan muncul pada layar ponselku. Tersenyum geli, aku membalas pesan itu.
‘Tidur pun,’ ketikku lalu cepat-cepat menekan enter pada keypad ponsel sambil terkikik menahan geli.
Dua detik berlalu dan ponselku kembali berdering dengan pesan yang kuharap darimu. Dan benar saja ....
(‘_) mBoh.. (‘_) mBoh...,’ balasmu.
Kuputar bola mataku begitu melihat emoticon yang sedang booming. Dengan sedikit rasa gemas, kutekan beberapa kata berbunyi, ‘Makan, dong.’
Tiga detik ... tiga menit ... lima menit ....
Sudah lebih dari lima kali aku menengok ponsel yang masih saja menampilkan layar yang gelap. Menandakan tidak adanya pesan yang masuk.
Jengkel merasa diabaikan, aku mengirim lagi beberapa pesan bertuliskan, ‘Sudah makan?’
“Hoi!” Sebuah tangan menepuk bahuku kencang dan nyaris saja membuat ponsel yang sedang kupegang terlempar.
Aku menoleh dan menemukan sahabat paling menyebalkan yang kukenal sejak semester pertama.
“Masih saja kau berhubungan dengannya?” tanya Liana yang memberikanku tatapan datar namun hal itu justru membuatku salah tingkah. Tanpa menunjukkan ekspresi, gadis itu mampu menebak secara tepat apa yang sedang aku lakukan.
Aku mengangguk enggan.
“Apa kau benar-benar yakin menyukainya?” Liana mulai dengan interogasinya yang membuatku semakin tidak nyaman.
Aku memang menyukaimu. Lalu kenapa? Kau memberikan banyak perhatian padaku. Itu alasan yang cukup bagiku menyukaimu, ‘kan?
Jujur, jauh di dalam lubuk hatiku, aku merasa kau juga mengalami rasa yang sama sepertiku.
Liana mendesah panjang. “Jika kau suka, bilang padanya!”
Aku tidak berniat menyahut semua ucapan Liana. Masalah yang sedang kuhadapi tidak semudah orang kentut.
“Terkadang rasa suka perlu diungkapkan, Yu,” Liana melanjutkan. “Atau kau masih memegang teguh adat timur bahwa memalukan jika wanita mengungkapkan rasa sukanya terlebih dahulu pada si pria?”
Ucapan Liana lagi-lagi tepat mengenai sasarannya. Aku mengerang tertahan bahwa kenyataan itu membuat dadaku ngilu.
“Bodoh, Yu. Kau akan kehilangannya jika masih memegang adat tidak masuk akal itu.”
“Aku hanya tidak habis pikir. Bagaimana bisa hanya dengan ini,” Aku mengangkat ponsel dan menatapnya tidak fokus, “aku bisa suka padanya?” Aku mengambil napas dalam-dalam berusaha mengusir rasa sesak. “Aku hanya berani menatapnya dari jauh saat aku melihat Raziel di kampus.” Kualihkan pandanganku dari sekumpulan anak-anak kampus yang baru saja melintas ke arah Liana yang sibuk membaca buku. “Li, bagaimana bisa aku semakin suka padanya hanya lewat ponsel?”
“Entahlah. Bukankah dunia sudah gila? Nikmati saja kegilaan itu,” Liana menjawab santai. Dia seperti tidak mengerti bahwa aku takut jika harus mengungkapkan rasa sukaku padahal jelas aku mengenal dan menjadi dekat dengamu melalui ponsel.
Bukankah itu sinting?
“Aku tidak ingin kau menyesal, Yu.”
***
“Raz ...,” Kugigit bibir bawahku menahan gugup yang mendera.
Kau menatapku dengan sebelah alis terangkat, menunggu kelanjutan ucapanku. Sebuah batu seperti menyumbat tenggorokanku sehingga tak sepatah kata keluar dari mulut ini.
“Aku ...,” lagi-lagi suaraku bergetar.
Perlahan aku mampu melihat senyum tipis terbentuk pada bibirmu dan segala apa yang ingin kuucapkan ... hilang melihat ukiran senyum itu.
“Kau ingin bilang bahwa kau suka aku, ‘kan?”
Aku terhenyak saat sebuah kalimat meluncur begitu saja dari bibir yang baru saja memberikan senyum memesona hingga membuatku mengalami amnesia sejenak.
“Maaf, Yu. Aku tidak bisa.”
“Kenapa? Bukankah kau memberikan perhatian padaku?” ucapku polos. Aku masih saja berharap bahwa segala perhatian yang kau berikan walau hanya melalui ponsel adalah nyata.
“Aku tidak menyukaimu. Dan segala perhatian yang kuberi bukan berarti aku menyukaimu, Yu.”
Ada yang membuat pandanganku kabur dan aku tahu airmata sudah mulai menggenang. Kutahan sekuat mungkin saat ragamu tidak beranjak dari tempat kita berpijak di bawah pohon.
“Jadi?” suaraku serak karena menahan airmata ini agar jangan meleleh apalagi di hadapanmu.
“Maaf, Yu. Hatiku sudah memilih yang lain.” Kau menatapku sendu. Antara rasa iba dan penyesalan, mungkin?
“Siapa?”
Kau tersenyum kecut. “Liana.”
***
“Bahkan orang itu, yang entah apa jenis kelaminnya, mampu kau taklukan?” Seorang gadis yang berdiri tidak jauh darimu berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.
Gadis itu Liana. Liana sahabatku yang sekarang kaurangkul dengan erat.
Kulihat Liana melirik ke arahku dengan senyum penuh kemenangan begitu juga kau.
Aku sadar bahwa orang-orang yang selalu menyebutku sebagai gadis dengan kelamin yang tidak jelas, telah dipermainkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar