Sabtu, 23 Maret 2013

Double Me Agent - Bab 1 -

Devil Man


Dorrr!!
Sebuah tembakan baru saja melesat dari barreta yang tergenggam erat di kedua tanganku. Peluru itu melesat menuju sebuah titik tengah berwarna merah dalam sebuah papan lingkaran yang berjarak 100 meter dari tempat aku meletuskan tembakan.
Suara tembakan itu cukup membuat telinga berdenging dan untungnya aku memakai peralatan keamanan pada pelatihan kali ini.
“Tepat seperti biasa, Alice” sebuah suara serak dan berat menyeruak dan sebuah tangan menepuk bahku pelan. aku menoleh pada suara yang memanggilku dan melihat seorang laki-laki berusia 50an tahun tersenyum bangga kepadaku.
Aku mengangkat salah satu ujung bibirku membentuk seringai tajam ke arahnya. dan kembali menatap lingkaran papan yang ada di depan. Tanganku terangkat dengan sebuah baretta tergenggam erat. AKu berkonsentrasi menatap sasaran itu dan sedikit menyipitkan mata kananku.
Dorrrr!
Sebuah letusan tembakan kembali menggaung dan melesatkan peluru yang ada di dalam baretta milikku. peluru itu melesat menuju – lagi-lagi – ke titik tengah yang berwarna merah itu dan aku tersenyum simpul melihat hasil tembakanku.
“Alice” panggil suara yang sama dan aku meletakkan baretta di meja yang ada di samping kananku, melepaskan pelindung telinga, kacamata berwarna kuning dan sabuk tempat penyimpan senjata dari pinggang.
“Ada apa, Dad?” Tanya lembut padanya.
Laki-laki itu adalah ayahku. Dia bernama Alex Keith, dia memiliki garis wajah yang tegas dan rahang persegi. Alis matanya tajam dan iris matanya berwarna coklat gelap. Rambutnya yang hitam dan rapi menambah ketegasan sosok pria yang begitu aku puja. 
Ayahku yang lebih dikenal dengan sebutan ‘K’ juga merupakan seorang kepala dinas di Secret Intelligence Service (SIS) yang dikenal dengan nama MI6. MI6 merupakan badan intelijen eksternal Britania Raya. Dinas ini bekerja dibawah arahan Komite Intelijen Gabungan (JIC), dan bekerja sama dengan Dinas Keamanan (Security Service), Markas Komunikasi Pemerintah (GCHQ) dan Staf Intelijen Pertahanan (DIS). Markas MI6 berpusat di Vauxhall Cross, London, Inggris. 
“Kau sudah berlatih cukup keras. Kau harus makan, sayang” ucapnya penuh kasih sayang.
“Baiklah” keluhku. Aku begitu senang latihan menembak di markas seperti  sekarang yang aku lakukan. Markas MI6 memang sangat luas dan area ini sangat tertutup bagi orang-orang penting sekalipun. Aku bekerja sebagai anggota divisi dinas keamanan di MI6. Keahlian yang aku kuasai membuatku dengan cepat masuk ke level S dalam organisasi tersebut.
Level seseorang yang bekerja di SIS terbagi-bagi dalam beberapa level yaitu level C, B dan yang tertinggi adalah level A. Level S merupakan level spesial yang melebihi dari level tertinggi yaitu level A. Level S merupakan asset berharga bagi negara. MI6 hanya memiliki tidak lebih dari 10 orang dengan level S. Ayah sendiri hanya mencapai level A namun dedikasi dan kesetiaan terhadap negara membuatnya dianugerahi memimpin MI6.
“Kau ingin makan apa, Alice?” tawar ayah. Kami sudah melangkahkan kaki keluar dari area markas menuju parkiran mobil Mercedes mewah milik ayah dan berniat untuk makan malam.
“Terserah kau, Dad” gumamku tidak semangat.
“Baiklah” Ayah memacu mobilnya menembus kemacetan di kota London dan mengemudikannya ke daerah City of Westminster yang terletak di distrik West End dan berhenti di sebuah restoran bertuliskan Royal Restaurant.
Suasana Royal Restaurant cukup luas dengan dekorasi warna yang sebagian besar menjunjung warna elegan coklat tua dan krem. Pengunjung di restoran ini tidak begitu padat. Mungkin karena ini bukanlah malam minggu. Kami memilih tempat duduk yang terletak di sudut yang berlawanan dengan pintu masuk restoran.
Seorang pelayan wanita setengah baya mengenakan pakaian serba berwarna putih dengan renda rumit di sepanjang kancingnya datang ke tempat kami duduk.
Aku mendesah begitu tidak berselera.
“Kau pesan apa sayang?” tanya ayah.
“red wine, please” gumamku.
“You have to eat, darl!” ujar ayah tajam.
“Fine, Steak please” pelayan itu mencatat pesanan kami dengan terburu-buru.
“Sama” ujar ayah pada pelayan itu dan pelayan itu kembali terburu-buru kembali untuk memberikan pesanan kami.
“Hari ini kau terlihat tidak bersemangat. Ada apa?” salah satu alis ayah terangkat dan menatapku penuh tanda tanda tanya.
“Pekerjaan, Dad. Apa lagi? Aku bosan selalu berada di kantor. Tidak bisakah aku bekerja di luar kantor sehingga aku tidak lagi merasa sesak napas berhadapan dengan ruangan yang memperkecil gerakku?” aku berkeluh kesah dan mulutku mengerucut.
“You’ll get it!” ujar ayah yang tentu saja membuatku menoleh padanya terlalu keras sehingga leher terasa sedikit sakit.
“Apa maksud ayah?” tanyaku memicingkan mata. Aku tidak suka ayah yang bercanda tapi sepertinya wajah itu tidak menunjukkan tanda-tanda kebohongan.
“Kau akan ditugaskan sebagai seorang bodyguard” ujar ayah. Pesanan kami datang dan lagi-lagi wanita paruh baya sebelumnya yang membawakan makanan kami.
Bodyguard?” aku mendengus mendengar ucapan ayah. Dia begitu menikmati makanannya tanpa memedulikan dahiku yang semakin lama mengerut bingung.
“Ayah, kau pasti bercanda. Aku.. Oh come on, Dad! Aku agen dengan level S bekerja sebagai bodyguard?” aku menusuk sepotong steak dan memasukkannya ke dalam mulutku dengan enggan.
“Tidak. Aku serius” gumam ayah singkat sambil menyesap red-wine perlahan.
“Apa aku akan menjadi bodyguard perdana menteri?” ujarku penuh harap namun terdengar skeptis.
“Lebih dari itu.
“Uhukkk… Uhukkk” aku terbatuk saat mendengar berita lain lagi dari ayah.
“Lalu?” aku menuntutnya. Pria tua ini! Apa dia terlalu banyak menonton telenovela sehingga mudah sekali mendramatisir keadaan? Aku memutar mataku kesal!
“Kau akan menemuinya besok pagi” ujarnya dan kembali melanjutkan makan.
“Dimana?” tanyaku tajam. Benar-benar! Dia membuatku semakin jengkel!
“Hehhh… tidak bisakah ini kita bicarakan di kantor saja? Lihatlah, ayah sedang mencoba menikmati makan malam kita!” desah ayah kesal.
“Dan tidakkah ayah tahu? Ayah membuatku mati penasaran!” aku lebih kesal.
“Baiklah….” Akhirnya pria ini menyerah! Aku terkekeh dalam hati.
“Kau akan bertemu dengannya di Currey Fortune Corp” ujarnya yang sekarang memandangku dengan tatapan kesal.
“CFC? Siapa orang CFC yang membutuhkan bodyguard?” tanyaku semakin penasaran.
“Mr. Tobias Currey” ujarnya dan meraih gelasnya dan mencium aroma red-wine.
“Siapa dia?” tanyaku benar-benar kesal pada pria ini.
“Kau akan mengetahuinya besok. Tapi kau harus tahu sesuatu!” suara ayah tajam.
“Kau harus menjadi agen MI6. Awasi orang itu baik-baik!” ucapnya tegas
“Memangnya ada apa, Dad?” alisku saling bertaut.
“Kau tahu Dean Revees?” ujar ayah dengan wajah yang menjadi merah menahan marah dan dia berhasil memancing kemarahanku.
“Aku tidak akan pernah lupa siapa dia, Dad!” geramku menahan amarah yang tiba-tiba menyeruak dan menguasaiku.
“Kau akan mendapat kejutan dengan bekerja sebagai bodyguard Tobias Currey” terbentuk seringai kecil di bibir ayah dan aku semakin bingung dibuatnya.
“Aku tidak ingin kau bertindak gegabah, anakku. Atur emosimu ketika kau bekerja dengannya! Dia orang yang… sedikit… unik” jelas ayah.
Aku tidak menghabiskan makananku dan memikirkan kembali ucapan ayah.
***

Setelah semalaman mengerjakan tugas membosankan dari kantor aku segera bersiap-siap menuju CFC. Tempat dimana aku akan bertemu dengan calon bos baruku. Aku menyisir rambut hitamku dan menatap mata biruku melalui cermin dan tersenyum melihatnya.
Aku tinggal terpisah dengan ayah. Aku tinggal di sebuah apartemen yang cukup luas jika hanya untukku seorang. Aku memang tinggal sendiri karena aku menyukai kesendirian. Apartemen yang aku tempat bernuansa kontemporer dan aku mendekorasinya sendiri sesuai keinginanku.
Tidak terlalu banyak perabotan yang mewah dan semua peralatan pada umumnya seperti ruang tamu dengan sofa berwarna hijau dengan motif abstrak rumit. Sebuah kamar utama untukku dan sebuah ruang kerja yang dilengkapi dengan perpustakaan kecil. Sederhana tapi aku menikmatinya.
Aku berjalan keluar menuju lift dan menekan tombol ground.
Penjaga pintu yang sudah begitu akrab denganku tersenyum dan menyapaku. “Selamat pagi, Miss Keith. Ingin saya panggilkan taksi?” ujarnya ramah.
“Tidak, Taylor. Aku membawa mobilku” aku tersenyum ke arahnya.
Aku memilih mengenakan celana kain yang mengetat sepanjang kakiku dan mengenakan blazer hitam dan blus putih sederhana di dalamnya. Sepatu boot berwarna hitam menjadi pilihanku.
Aku melangkah keluar dari bawah serambi kaca pintu modern yang entah bagaimana bisa menyatu dengan usia bangunan dan bangunan-bangunan tetangganya, aku menikmati susasana yang relatif tenang disekitar apartemenku yang memiliki pepohonan yang berjajar sebelum aku mencapai kesibukan dan arus lalu lintas. Sekarang pukul 7 pagi dan 1 jam lagi aku akan bertemu dengan Tobias Currey.
AKu tidak mengetahui seluk beluk calon bosku ini karena fokus dari calon pekerjaanku yang baru berkaitan dengan Dean Revees. Aku tidak mengetahui hubungan Tobias ini dengan Dean tapi setidaknya aku bisa berada dekat dengan Dean. Orang yang sangat aku benci seumur hidupku!
Tidak ada gunanya kembali gusar dan frustasi dengan cerita lama itu, aku memilih untuk segera memasuki mobil Fortuner berwarna hitam milikku. Hasil kerja kerasku selama 2 tahun dan begitu membuatku bangga saat menatapnya.
Aku sengaja telah memilih untuk memotong pendek perjalanan selama waktu sibuk pada hari Senin, jadi aku senang ketika aku tiba di Gedung Currey Fortune Corp, yang merupakan sebuah bangunan pencakar langit dengan jumlah lantai sebanyak 30 lantai, dalam tiga puluh menit.
Aku memarkirkan mobilku di sebuah area lahan parkir terbuka. Saku mendongak menatap gedung pencakar langit yang begitu megah dan sangat tinggi. Puncaknya mengerucut dan berkilau diterpa sinar matahari. Semua aspek dari gedung ini berwarna gelap termasuk kaca yang digunakan. Bangunan yang ada di samping kanan kirinya mampu membuat bangunan ini menjadi keagungan tersendiri dan aku cukup terpana melihatnya.
Aku berjalan memasuki gedung itu. Kesan pertama dari dalam gedung ini adalah luar biasa. Interior gedung ini memiliki pintu bergulir berhias bingkai baja yang menakjubkan, dengan dinding dan lantai marmer keemasaan begitu berbeda saat dilihat dari luar, dan meja keamanan yang dicat aluminium dan pintu putar.
Aku menarik kartu pengenalku saat dua orang pria bersetelan hitam dan membaca pengenalku. Salah satu dari mereka menyunggingkan senyum ramahnya dan aku mengangguk penuh percaya diri padanya dan mengambil kembali kartu pengenalku.
Aku memasuki sebuah lift yang lagi-lagi membuatku terpana dengan interior detail. Karpet berwarna merah dan langit-langit berwarna emas begitu menghiasi lift ini. Pemilik perusahaan ini benar-benar memiliki selera luar biasa.
Aku sedang berjalan menuju sebuah ruang pertemuan seperti yang telah dijanjikan sebelumnya ketika seorang wanita langsing berambut coklat terlihat kesulitan membawa setumpuk kertas dan akhirnya tersandung oleh sebuah partisi yang tidak sejajar dengan lantai. Kertas yang dibawanya berhamburan. Aku melihat orang-orang di sekitarnya rampak terganggu dengan jalanan yang menghalangi dan memilih menghindari wanita itu seolah-olah tidak melihatnya.
Aku mendesah kesal pada mereka dan segera berjongkok membantu wanita itu mengumpulkan kertas-kertas yang berceceran.
“Terimakasih” katanya dengan senyum yang terburu-buru.
Aku tersenyum kepadanya. “Tidak masalah”
Aku baru saja berjongkok untuk meraih beberapa kertas lainnya yang tergeletak di dekat pintu masuk lift ketika aku berhadapan dengan sepasang sepatu oxford hitam mewah terbalut celana panjang hitam. Aku mendengus kesal melihatnya dan menunggu sebentar untuk orang itu bergerak keluar dari jalanku tapi ternyata dia tidak bergeming, aku mendongakkan leherku untuk memungkinkan arah tatapanku melihat sosok yang berdiri di hadapanku. 
Setelan jas kastom berhasil membuat tubuhku sedikit bergetar namun aku berusaha menjaga rasa percaya diriku, tapi tubuh yang tinggi, ramping, kuat dan memiliki aroma yang menggelitik yang berada di dalamnya membuatnya begitu menggairahkan. Namun, semenggairahkan apapun semua kelelakian yang megah dan elegan itu, aku begitu terpana sepersekian detik pada apapun dalam dirinya, wajahnya dan untuk pertama kalinya dalam hidupku aku benar-benar menyerah kalah dalam hal yang aku sendiri tidak mengerti mengapa aku merasa kalah.
Dia mendekatkan wajahnya dengan membungkuk sempurna dan penuh keagungan yang penuh dengan keeleganan dan langsung menatapku. Matanya yang begitu intens, maskulinitas yang terpancar kuat dalam dirinya menambah kesan kekuatan dalam wajahnya dan berhasil membuat hatiku bergetar, darahku berdesir tak ada henti-hentinya. Aku membisu dan hanya bisa terpana, tertegun menatap keindahan sempurna dari dirinya.
Aku menelan ludahku untuk meredakan tenggorokan yang tiba-tiba saja tersumpal oleh hatiku yang meloncat-loncat dan bereaksi secara naluri, aku bergeser mundur dan mengakibatkan tubuhku terjungkal dengan pantat berdebam cukup keras. Aku mengernyit sekilas pada pantat tapi aku hampir tidak merasakan sakit pada pantat dan siku yang menjadi penopang tubuhku. Aku terlalu sibuk menatap, terpaku, tertegun oleh orang di depanku. Rambut coklat gelap seperti dark coklat yang lezat membingkai wajah yang mempesona itu. Struktur tulang pada wajah itu akan membuat seniman pelukis dan pematung menangis dengan penuh sukacita, sementara mulut tergores kuatnya dan begitu menggiurkan, hidung seperti pisau tajam yang siap melukai, dan mata abu-abu intens membuatnya tampak seksi dan membuatku harus menelan ludah sekali lagi. Matanya itu menyipit sedikit, sementara wajahnya diatur supaya terlihat tenang dan penuh keagungan. 
Dia mengenakan baju kemeja dan jas hitam dan dasi yang sempurna dengan iris matanya yang penuh dengan kecerdasan. Matanya meneliti dan menilai, dan menembus kedalam mataku. Detak jantungku bertambah cepat, bibirku terbuka untuk memberikan napas yang jadi lebih cepat dan udara lebih banyak memasuki paru-paru. Dia berbau sangat harum dan baunya begitu menggiurkan untuk dicicipi. Ludahku hampir saja meleleh dan secepat kilat aku merapatkan bibirku . Aku merasa kelu sekarang.
Dia mengulurkan tangannya padaku, memperlihatkan manset onyx dan jam tangan berwarna hitam pekat yang tampak sangat mahal. Dengan nafas tertahan, aku meletakkan tanganku yang sedikit gemetar dalam tangannya. Jantungku melompat ketika cengkeramannya diperkuat. Sentuhannya terasa mengirimkan sejumlah arus listrik yang membuatku sedikit berjengit, arus itu juga mengirim kejutan ke lenganku yang mendirikan rambut di tengkukku. Dia tidak bergeming dan aku melihat sebuah garis kerutan mengisi jarak antara alis yang terpotong dengan arogan dan tetap dalam ketenangan.
“Apakah kau baik-baik saja?” suaranya begitu lembut, tenang dan menggoda dan cukup membuat kupu-kupu dalam perutku menari-nari dan membawa pikiranku ke hal-hal yang belum pernah aku masuki sebelumnya. Seks!
Sial! Umpatku dalam hati.
 Terlalu lama bibirku terbuka dan aku harus membasahi dengan menjilatinya.
I’m okay!” ucapku yang hanya berupa gumaman tidak jelas dan telinga mendekat ke arahku dan aku harus menggigit bibir bawahku menahan gelora yang muncul.
I’m okay,” ucapku sekali lagi. Dia menoleh ke arahku dengan jarak yang cukup dekat dan –sial!– mengapa ada pria yang diciptakan seperti ini? Dia berhasil mengobrak-abrik isi tubuhku! 
Dia lalu berdiri dengan keanggunan dan arogan, menarikku berdiri bersamanya. Kami mempertahankan kontak mata karena aku tidak bisa berpaling dari mata abu-abunya yang seperti magnet. Aku merasa tertarik oleh magnet itu dan mengikat tubuhku dengannya secara perlahan. Dia terlihat muda. Kurang dari tiga pulahan sepertinya tapi matanya penuh dengan ambisi. Tatapan yang keras, tajam dan brillian!
Aku berkedip dan kesadaran sepenuhnya menguasaiku dan sikap preventif aku menlepaskannya.
Tidak cukup dengan kata indah, dia ... memikat! Gumamku dalam hati.
Pria ini merupakan sosok yang mampu membuat para wanita dengan kasar melepas kemejanya, memaksa kancing-kancing itu terhempas lepas dari jahitannya dan bergumul dalam ranjang dengan aksi-aksi brutal, cakaran dan seprai yang berantakan.
Sial! Lagi-lagi ini! Apa yang kau pikirkan, Alice? Bentakku dalam hati
Aku merasa sangat kesal dengan diriku sendiri karena merasa canggung ketika dia sepenuhnya tenang.
Pergi kemana kau, hey percaya diri? Aku tiba-tiba sadar bahwa rasa percaya diri yang telah aku bangun saat menuju ke gedung ini telah lama menguap.
Dan mengapa rasa percaya diri itu menguap? Karena aku terpesona dengan pria sialan ini!
"Kau yakin?" kerut pada dahinya kembali terbentuk.
Wajahku kembali memanas. Betapa indahnya untuk tampil canggung dan kikuk di depan orang yang paling percaya diri dan anggun yang pernah aku temui melebihi aku yang adalah seorang agen level S. Dobel Sialan!
Aku mengangguk lemah tanpa bisa lagi berkata-kata.
“Jawab aku” suara perintah pertama yang keluar darinya membuatku ingin melakukan apapun untukknya.
“Ya,” bisikku.
Sadarlah, Alice! Bentak bawah sadarku.
Dia menatap kartu pengenalku yang ternyata telah terjatuh di lantai marmer. Kerut dahi itu tiba-tiba menghilang dan bibirnya terungging sebuah senyuman indah dan dia memberikan kartu pengenalku dengan senyumnya yang menawan dan tertuju padaku. Senyumnya yang pertama kali dan aku benar-benar lupa bagamana cara bernapas.
Seseorang! Tolong Aku! Aku berteriak karena pria ini begitu ancaman dalam hidupku, gairahku, dan hatiku!
Aku menerima kembali kartuku dengan tangan sepenuhnya masih bergetar. Aku menghindari jarinya agar tidak menyentuhnya namun aku gagal. Sengatan listrik itu kembali menyengat dan jantungku kembali berdetak lebih cepat dan lebih cepat.
“Miss Keith? Senang akhirnya bertemu anda” tangannya terulur kembali dan aku sejenak ragu menjabat tangannya melihat bagaimana pengaruhnya pada tubuhku yang mengerikan namun itu jelas tidak sopan. Aku menyentuhnya dan aku mengutuk dalam-dalam atas kecanggungan ini.
“Tobias Currey” ucapnya tajam.
Tanpa sadar mataku membelalak mendengar nama itu disebut. Dewi batinku seketika berlompatan sambil menari indah saat mengetahui calon bos atas diriku adalah sosok tampan yang telah menggetarkan hatiku lebih dari apapun dan memporak porandakan kewarasanku saat pertama kali bersentuhan dengannya.
“Anda yakin baik-baik saja?” suaranya menjadi cemas namun tetap saja menggoda. Tangannya mulai bergerak mendekati wajahku dan – entah apakah karena insting – aku mundur menjauhinya. Wajahnya terlihat sedikit mengeras namun segera diatur dengan sebuah kedipan mata dan ekspresinya sudah kembali seperti sebelumnya –tenang dan stabil – seperti tidak terjadi apa-apa.
“Saya baik-baik saja” ujarku yang hanya berupa bisikan dan tetap berusaha mencoba menyusun kembali rasa percaya diri yang sebelumnya roboh dengan segala maskulinitas yang dimiliki laki-laki itu.
“Ikut saya kalau begitu. Anda tentu kemari atas utusan dari pimpinan anda” suaranya mendominasi tanpa ada sebuah pernyataan seperti terbentuk dalam ucapannya yaitu ‘aku tidak dapat dibantah!’ Wajahnya menatapku masih seperti menilaiku dan tentu hal ini menambah rasa kegugupan dan sukses membuatku terintimidasi.
Aku mengangguk kaku di hadapannya karena aku merasa begitu canggung. Sepertinya aku sangat membutuhkan perawatan untuk belajar tidak merasa kalah di depan Tobias.
“Aku ingin kau selalu menjawabku!” suaranya perintahnya lembut namun tegas dan penuh keposesifan.
“Yes, sir” gumamku dalam artikulasi yang nyaris tanpa membuka mulut.
Dia mulai berjalan di sepanjang koridor lantai 30 dengan penuh keanggunan, arogansi dan seperti sosok malaikat mampu memicu gairahku – sial – aku mengutuk dalam hati. Langkahnya mantap, tatapannya lurus. Semua karyawan yang melintasinya terkejut sekaligus terpana melihat sang bos berjalan. Sesekali Tobias mengangguk kaku saat beberapa karyawannya menyapa. Hanya mengangguk tanpa ada seulas senyum di bibirnya! Aku mendengus sinis menatapnya namun rasa sinis yang timbul memacu pikiran lain dalam benakku yaitu kekaguman, gairah, seks, ranjang, bibir yang menawan, tubuh tanpa baju yang menempel, rambut yang berantakan, remasan tangan pada….
Alice! Hentikan! Bawah sadar membentak keras dengan hal-hal busuk yang baru saja terlintas.
Aku haus sentuhan pikiran bodoh! Aku menantang pikiran bawah sadar itu.
Tapi bukan berarti juga aku akan menjadi wanita murahan! Ucapku sinis pada pikiran bawah sadar.
Aku kembali ke dunia setelah bergelut melawan pikiran bawah sadar dan menatap punggung Tobias yang sudah melangkah jauh di depan. Dia begitu tidak peduli melihatku yang berkesusahan mengimbangi langkahnya yang panjang.
Aku memutar mata sebal dan mengalihkan pandanganku ke pemandangan kota London di lantai puncak gedung Currey Fortune Corp. Dari sini aku mampu melihat keindahan London yang tersohor seperti jam besar Big Ben dan sungai Thames yang jernih. Gedung-gedung pencakar langit lainnya seperti ‘minder’ bila dibandingkan dengan bangunan CFC yang mewah, megah dan artistik.
“Miss Keith” panggil suara seksi itu sekali lagi. Aku buru-buru menoleh pada asal suara yang memanggilku dan itu adalah suara Tobias yang sekarang sudah menghentikan langkahnya dan berdiri di sebuah pintu kaca hitam. Aku memperlebar langkahku untuk segera mencapai Tobias. Sejenak aku memberanikan diri memandangnya dan aku berani bersumpah seulas senyum baru saja tersungging di bibirnya yang ingin sekali aku kulum namun beberapa saat yang lalu telah hilang berganti dengan tatapan tajam dan menusuk ke dalam mataku.
Dia membukakan pintu yang terbuat dari kaca hitam pekat  dan pegangan baja silver mengkilat sehingga ruangan yang ada di dalamnya sama sekali tidak kelihatan. Dia mempersilakanku masuk ke sebuah ruangan yang begitu mewah dan elegan dan sepertinya ini adalah kantor Tobias itu dengan sebuah tulisan bertuliskan MD CFC tercetak di sebuah kaca bening di atas meja persegi panjang yang terbuat dari aspek kaca dan tiang kaki terbuat dari baja hitam. Dominasi warna yang menghiasi kantor ini berwarna elegan seperti hitam, putih dan coklat gelap. Temboknya terdiri dari kaca hitam mengkilat. Sofanya berbentuk L dan berwarna putih terletak di sudut berlawanan dengan pintu masuk kantor. Ada sebuah lemari yang cukup besar dengan arsip yang juga cukup banyak.
Aku membalikkan tubuhku hendak mengucapkan terimakasih pada Tobias karena mempersilakanku masuk namun sedetik aku menyaksikan karyawan yang ada di belakang Tobias saling berkasak-kusuk. Tobias seperti biasa, tidak peduli dengan kasak-kusuk itu dan menutup pintu itu dan sekarang sudah berada di depanku begitu dekat.
“Mari kita bicara soal pekerjaan, Miss Keith” desahnya begitu dekat dengan telingaku. Tengkukku bergidik mendengar suaranya yang lembut dan sarat akan seksualitas. Aku mengutuk pelan pada pemikiran ini dalam hati. Secepat kilat dia meraih tanganku dan menggenggam erat serta membawaku ke sofa yang ada di sudut kantornya. Aku menahan pekikanku saat dia membawaku – seperti menyeretku – menuju sofa itu.
“Duduklah, Miss Keith” itu bukanlah penawaran. Itu terdengar seperti – lagi-lagi – perintah yang tidak mampu diabaikan dari seorang yang benar-benar berkuasa, Tobias Currey. Aku menelan ludahku dan mendudukkan diri. Tobias juga duduk tepat di sampingku. Kakinya menyilang dan telunjuknya menyentuh ujung hidung dan matanya menelusur setiap inchi tubuhku.
“Anda diterima,” ucapnya tanpa ragu.
Keningku berkerut dan – bodohnya aku – mulutku sedikit terbuka mendengarnya yang benar-benar tanpa basa-basi.
Hey, wanita bodoh! Kau ini agen level S tapi lihat dirimu sekarang! You’re an idiot! Bawah sadar mencaci.
“Tapi sir…”
“Apa anda tidak mendengarkanku, Miss Keith? Anda diterima menjadi bodyguard pribadiku” ucapnya mimiknya penuh ambisi dan tidak terbantahkan.
“Pribadi?” suaraku tercekat dan aku benar-benar membutuhkan udara lebih banyak sekarang.
Dia mengangguk dan senyum yang berupa seringai menghiasi wajahnya.
Tiba-tiba aku melihat sesuatu yang aneh. Semua pikiran busuk yang melintas di otakku sirna. Aku melihat sebuah titik kecil merah mencurigakan tepat berada di sisi kanan kepala Tobias. Aku menyadari apa itu dan secara refleks tubuh Tobias aku tarik mendekat padaku sekuat tenaga.
Jleb! Jleb! Pyarrr!
Kaca hitam yang menjadi dinding kantor Tobias pecah. Kepingannya berhamburan berantakan. Aku meraih lengan Tobias menuju bawah sofa dan membalikkan sofa sebagai perlindungan dengan kasar. Aku menatap Tobias. Wajahnya terlihat sangat terkejut, nafasnya memburu begitu tegang. Dia hanya menatapku penuh ketakutan.
“Sir… Anda tidak apa-apa?” bisikku padanya. Dia mengangguk kaku ke arahku.
Aku melongok ke tempat arah dari tembakan tadi dan itu berasal dari puncak gedung sebelah kantor. Aku melihat dua orang mengenakan pakaian kerja seperti tukang bangunan yang sedang merenovasi dan aku memicingkan mata melihat ada sepucuk senjata jarak jauh dan aku mengenalinya. D3 dengan ujung berperedam. Mereka terlihat terburu-buru.
“Sir, maukah anda menunggu di sini?” pintaku memaksa padanya.
“Kau mau kemana?” suaranya berubah menjadi serak dan sarat kecemasan.
Aku tidak mendengar lagi pertanyaan Tobias. Aku menuju balkon luar di sekitar puing-puing kaca yang baru saja hancur terkena tembakan. Sepucuk senjata berupa barreta yang selalu tersimpan dalam saku celanaku secepat kilat sudah ku arahkan kepada para penembak jitu yang tengah buru-buru memasuki sebuah pintu bertuliskan exit.
Doorr! Dorrr!
Tembakan keduaku mengenai lengan kiri seorang penembak namun mereka berhasil lolos.
“Damned!” umpatku. Tembakanku selalu tepat sasaran namun kali ini, pengaruh Tobias membuat kemampuanku menurun.
Aku kembali menuju Tobias yang masih meringkuk di balik sofa yang terjungkal.
“Saya berhasil menembak salah satu lengan penembak tadi. Sir, saya akan mencari pertolongan, saya juga ingin mencari tahu siapa yang baru saja mencoba membunuh anda” jelasku sedikit terburu-buru.
“Aku saja” tegas Tobias. Dia meraih ponsel yang ada dalam celananya dan menekan sebuah nomor.
“Dou, Cari tahu siapa yang ada di puncak gedung Baker Ltd. Ada yang mencoba membunuhku. Ada luka tembakan pada lengan salah satu sniper itu!” Suaranya tegas dan mengerikan.
“Ganti semua kaca kantorku ini dengan kaca anti peluru! Ini keterlaluan!” Tobias berang.
Aku masih bungkam melihat setiap perintah terlontar dari mulutnya. Semua kontrol dan kekuasaan benar-benar menjadi identitasnya. Aku sebenarnya mampu melakukannya tapi dia begitu mendominasi dan aku seperti bukan apa-apa. Sebenarnya siapa yang bekerja pada siapa? Mulutku mengerucut, kesal.
Tobias menutup teleponnya. Wajahnya mengeras dan beralih menatapku. Dia meneliti setiap bagian wajahku dan menghembus lega. Aku memicingkan mata meminta penjelasan.
“Sir..” telunjuk Tobias mengarah pada hidungnya dan aku terdiam kembali. Wajahnya perlahan mendekat padaku.
“Kau siap dengan situasi seperti ini?” tanyanya penuh keraguan. Wajahnya tidak lagi memperlihatkan kontrol dan kekuasaan tapi sebuah ketakutan dan kecemasan.
“Saya terbiasa seperti ini, Sir” aku tersenyum simpul padanya dan berusaha meyakinkan Tobias bahwa aku cukup handal dalam hal menjaga sesuatu atau sekarang menjaga seseorang.
“Terbiasa?” pandangannya beralih menatap lantai dan pertanyaan tadi seperti membuatnya semakin cemas. Kami masih berada di balik perlindungan sofa dan meringkuk sedalam-dalamnya. Aku sama sekali heran hingga sekarang belum ada yang menyadari bahwa bosnya ini baru saja diserang dan nyawanya hampir saja melayang!
“Kita harus keluar dari sini, sir!” ajakku membuyarkan pikiran yang sepertinya sedang mengganggunya.
“Apakah sudah aman?” dia menatapku bukan lagi seperti seorang MD tapi seperti seorang bocah kecil yang sedang ketakutan jika tempat persembunyiannya ketahuan.
Aku mengangguk mantap padanya. Aku meraih pergelangannya dan dengan berjalan membungkuk keluar menuju pintu keluar kantor Tobias.
Saat kami mencapai di luar, aku sangat terkejut melihat suasana resepsionis maupun karyawan lain masih sibuk mengerjakan pekerjaannya seperti biasa dan mereka sama sekali tidak menyadari apa yang baru saja terjadi.
“Mr. Currey” seorang wanita paruh baya mendekati kami. Untuk ukuran wanita yang sudah berusia tua, dia cukup anggun dengan pakaian yang dikenakannya. Sebuah blazer sederhana berwarna hijau toska, dandanan yang sederhana dengan rambut disanggul rapi.
“Anda baik-baik saja?” tanyanya.
“Ya, Bella. Aku baik” ujar Tobias singkat. Tobias menarik tanganku tiba-tiba dan membawaku masuk lift.
“Sir..” aku terpekik pelan.
Semua karyawan menoleh melihat bosnya sedang menggeret tanganku. Tatapan mereka beragam. Ada yang sempat memekik pelan, mengernyit bingung, bahkan tatapan sinis dari para karyawan perempuan mengarah padaku seperti peluru ganas. Aku menelan ludah sembari berlari mengimbangi langkah Tobias. Gandengan tangan Tobias mengetat dan aku mulai merasakan linu pada pergelangan tangan.
Kembali… Dug … Dug … Dug ….
‘Uuurrggh! Bisakah jantung ini tidak berakselerasi sedemikian cepat hanya karena Tobias?’ aku mengeluh dalam hati.
Tobias menekan lift dan beberapa kode tambahan yang aku menduganya hanya pemilik MD ini yang tahu. Pintu lift terbuka dan dia dengan sigap membawaku masuk dan seperti masuk dalam lubang neraka, pintu lift tertutup.
‘Habislah aku bersama orang ini’ aku merutuk dalam hati.
Bruukkk!! Tubuhku terbanting pelan pada sisi dinding lift dan tubuh Tobias menindih tubuh depanku.
“Apa kau sudah tidak lagi peduli dengan nyawamu?” wajahnya tegang dan penuh amarah.
Aku membelalak dengan reaksinya sehingga ucapannya sama sekali tidak aku perhatikan.
“Apa kau sudah ingin mati?!” suaranya meninggi dan aku malah ketakutan. Ketakutan belum ada di kamusku dan baru kali ini aku merasakannya dan sialan rasanya begitu tidak enak.
“Sir…”
“Apa kau tahu begitu cemasnya aku melihat tindakanmu tadi? Apa kau sadar dengan yang kau lakukan, ha?!! Kau bisa saja mati!” suaranya keras dan murka. Aku tidak mengerti sikapnya. Bukankah aku adalah bodyguardnya sekarang?
“Itu tugasku sir. Tugasku melindungi anda!” teriakku meringis menahan rasa sakit ditimpa tubuh atletis Tobias.
“Persetan dengan tugas itu!”
“Tapi sir, saya bekerja untuk melindungi anda!”
“Aku tahu, aku tahu itu. Tapi tindakanmu tadi…” raut wajahnya memucat.
“Sir, siapa sebenarnya mereka? Apa yang mereka incar? Mereka secara terang-terangan mencoba membunuh anda!” aku nyaris berteriak di depan bosku.
“Ini bisnis, Miss. Keith. Banyak orang yang menginginkan nyawaku” suaranya melunak dan pegangan tangannya pada tanganku mulai mengendur tapi dia sama sekali tidak menjauh dariku –masih menghimpitku.
“Sir..”
“Jangan seperti itu lagi” suaranya kembali tegas. Kontrol telah menguasainya. Matanya intens dan berkilat ke arahku. Aroma lehernya yang begitu dekat dengan hidungku menelisik bulu tengkukku sekali lagi dan mengendap di setiap saraf sensoris dan motorisku.
Aku menatap lantai menekan rasa kegugupan yang tiba-tiba kembali menghantui.
“Alice..” aku mengernyit dan menatapnya. ‘Dia baru saja memanggil namaku?’
“Jangan membahayakan dirimu seperti tadi” suaranya melembut.
“Tapi saya….”
Bibir Tobias telah dulu berakhir pada mulutku yang siap memprotes ucapannya lagi.

“Sir… pppfftt..” selaku yang berusaha melepaskan bibir Tobias dariku.

Tobias semakin mendesak bibirku, mencengkeram kedua lenganku di kedua sisi kepalaku. Dia juga menghimpitku semakin erat ke dinding lift yang sepertinya berhenti entah mengapa. Aku kesulitan bernapas, tanganku berusaha memberontak dan kedua kakiku berusaha menjauhkan himpitan tubuh Tobias tapi percuma! Tubuhnya seperti terpatri kuat dan aku tidak lagi sekuat seperti agen level S. Tubuhnya yang atletis dan bau harum yang terpancar dari lehernya semakin membuatku tidak berdaya.

Pikiranku menceracau tidak jelas karena semua logikaku macet dan segala inderaku yang sensitif telah lemah berganti dengan gairah yang menuntut lebih. Hatiku bergejolak tidak menentu. Di satu sisi aku begitu mendamba pada pria sejuta kuasa dan adi daya yang mampu meluluhkan segala kekuatan dan keahlian yang aku miliki hanya dengan tatapan dan aromanya. Di sisi lain ini membuatku cemas karena jika aku menjadi tidak fokus karena pesonanya, aku menjadi tidak profesional! Aku malah takut dengan ketidakbecusanku ini malah membahayakannya. Dia adalah pengaruh paling membingungkanku dan dia ibarat sebuah target tembakan yang paling licik memanipulasi pikiran dan benakku.

Sialan Dia! Dan aku terpesona padanya, Double sialan!

Perlahan Tobias merenggangkan himpitannya dari tubuhku dan melemaskan cengkraman tangannya pada pergelanganku. Matanya yang setajam elang menusuk jauh ke dalam mataku seakan mencabik-cabik seluruh organ yang memberikanku kehidupan dan menggantikannya dengan sebuah organ gairah hasrat padanya. Mulutku harus membuka untuk memberikan ruang udara dalam jumlah besar agar memberikan oksigen yang banyak pada otakku sehingga kesadaran  segera menguasai.

“Itu hukuman untukmu karena…” suara Tobias yang lembut dan begitu dekat dengan daun telingaku mengirimkan sinyal yang membuat tengkukku berdiri. Dia adalah jelmaan iblis paling sempurna yang telah menggetarkan ragaku.

“pertama kau membahayakan jiwamu…” aku terperangah mendengar ucapan Tobias.‘Ciuman itu hukuman?’ aku menyakinkan pendengaran yang menangkap suara itu. Dia gila dan lagi-lagi pikiran tolol merangsek masuk dalam benak.

‘Kalau begitu aku akan membahayakan diriku sesuka hati sehingga kau, Tobias, wajib menciumku dan aku akan mendekapmu, menekan kepalamu erat sehingga bibirmu menempel kuat pada bibirku, memainkan rambutmu yang berantakan dan menggiurkan dengan tanganku yang bebas, mengelus punggungmu yang kokoh, menjelajahi semua bagian tubuhmu yang tertutup… Arrgh! Sialan! Pikiran busuk ini datang lagi!’ aku menggeram dalam tenggorokan dan merutuk pada lift yang sepertinya berhenti dan aku mencurigai Tobias merencanakan semua ini. Kode yang dia masukan tadi pasti mempengaruhi sistem kerja lift ini.

“dan..” mataku kembali membelalak saat kepala Tobias kembali miring dan benar saja! Dia menciumku lagi sebelum aku menyadarinya.

‘Hei Alice! Lawan dia! Jangan biarkan dia menciumimu sesuka hati seperti kau tidak punya harga diri! Kau wanita terhormat!’ bawah sadar telah beraksi memberikan peringatan yang segera membuatku tersadar.

Aku mendorong tubuh menjulang yang tinggi di hadapanku ini dengan sisa kekuatan yang ada dan berhasil melepas ciumannya.

“Apa yang anda lakukan, sir!” napasku tersengal karena asupan udara yang jarang memasuki sistem kerja pernapasan. Tobias menyeringai ke arahku

“Dan itu hukuman kedua karena kau terlalu banyak bicara”  aku mengerutkan hidungku saat dia mengatakan bahwa aku terlalu banyak bicara. Aku hanya meminta penjelasan.

“Sepertinya saya bukan bodyguard yang pantas untuk anda” suaraku membentuk sebuah peringatan dan itu berhasil memancingnya dengan mata yang membelalak Tobias mulai melangkah mundur menjauh dariku.

“Kau cukup pantas menjadi bodyguard pribadiku” ujarnya yang mulai cemas dengan sebuah peringatan dariku.

“Saya akan melapor pada atasan untuk menggantikan saya. Beliau akan mengirimkan utusan lainnya yang lebih hebat dan sanggup melindungi anda” aku mulai menikmati permainan ini. 

It’s my turn, my boss! Seringaiku dalam hati

“Tidak! Kau yang ku inginkan!” tegasnya dan telak aku telah memenangkan pertarungan ini. Dia menginginkanku sama seperti aku menginginkannya.

“Anda tidak menghormati saya. Saya tahu saya hanya seorang bodyguard tapi anda membuat saya tidak mampu bekerja dengan baik” tukasku. Ujung jari telunjuk hampir menekan tombol menuju ground floor namun terhalang oleh tangan Tobias. Aku menoleh menatapnya dan menemukan mata penuh intensitas itu kembali menusuk jauh ke dalam mataku.

It’s my fault, miss Keith” suaranya lirih dan permainan ini dimenangkan olehku! Aku terkekeh dalam hati.

“Bisakah anda tetap di sini?” suaranya kembali sopan dan dia kembali memanggilku dengan ‘Miss Keith’

Aku mengangguk pelan padanya. Aku tidak mungkin sanggup berada jauh darinya dalam beberapa hari ini dan aku bersumpah hari-hariku nanti akan dipenuhi pikiran-pikiran menggelora bersama bosku ini dan aku yakin jika aku mempertahankannya menggelayuti setiap area pikiran dan benakku maka tanpa kehadirannya sekalipun, dia sanggup membuatku orgasme hanya dengan membayangkannya.
“Baiklah. Lebih baik kita makan siang. Nanti Bella akan menyerahkan job description mengenai pekerjaanmu” jelasnya sambil menekan beberapa kode dan aku merasakan lift kembali bergerak. Tebakanku benar, kode itu memang mempengaruhi sistem kerja lift ini.
***
“Bagaimana pertemuanmu dengan bos barumu, Al?” tanya ayah yang sekarang berada di dapur apartemennya. Setelah menerima berkas dari Bella sekretarisnya dan melakukan hal yang tidak berguna seperti berbasa-basi dengan Tobias, aku meminta ijin untuk pulang sekedar memberitahukan kabar pada ayah bahwa aku diterima bekerja. Tentu saja ayah akan segera mengetahuinya, ayah adalah atasanku!
Aku berjalan menuju dapur. Apartemen ayah berbau begitu menggoda saat itu dan aku melihatnya sedang memasak sesuatu di penggorengan dan air liur dalam mulutku mulai keluar lebih banyak dan itu pertanda aku ingin makan makanan yang sedang dimasak oleh ayah. Daniel Bedingfield melantunkan lagu melankolis penuh penjiwaan melalui speaker sound yang ada di ruang tengah tentang rasa rindu seseorang. Aku melihat ayah bergoyang saat mengaduk-aduk sesuatu di atas kompor.

“Mengejutkan” jawabku seraya menuangkan anggur merah ke dalam gelas dengan malas. Terdengar bunyi ceklek pada kompor dan ayah sepertinya telah selesai memasak. Aku mendekat pada ayah dan melihat bahwa ayah memasak pasta yang terlihat sangat lezat. Perutku mulai mengeluarkan bunyi protes padahal saat makan siang tadi aku telah mengisinya dengan roasted chicken dan sekarang betapa luar biasanya aku. Perut macam apa yang aku miliki sekarang?

“Pernyataan yang di luar dugaan. Kau terpesona padanya?” aku memuntahkan kembali anggur yang sudah terasa nikmat di lidahku dan akibat dari tersedak mendenging mencapai kepalaku dan begitu menyakitkan.

“Apa yang ayah bicarakan?” aku menggigit bibir bawah dan mengelus tengkukku menahan rasa malu untuk mengakui bahwa apa yang dikatakan ayah adalah kebenaran mutlak.

“Dia tampan bukan?” aku mengerutkan hidung dan mulutku berusaha untuk tidak memedulikan ayah yang sepertinya sedang mencoba untuk menggodaku. Ayah mengatur mangkuk yang ada di meja makan. Aku melihat ada sedikit mie dan saus tomat segar dengan daging dan beberapa keju di atasnya. Makanan itu benar-benar membuatku semakin lapar dan melupakan ucapan ayah. Aku segera memegang sendok yang mencuat dari mangkuk dan memutuskan untuk berkonsentrasi pada makanan itu. Bentuk pengalihan pembicaraan yang sempurna!

“Kau tidak ingin berbagi cerita tentang pekerjaanmu dengan ayahmu ini?” tanya ayah di sela makannya.

“Tidak banyak yang bisa aku ceritakan, dad” ucapku dengan mulut penuh pasta.

“Seperti apa MD CFC? Apa dia tinggi? Apa dia pirang? Apa dia langsing?” ayah mendadak telah berubah menjadi seorang penggosip murahan yang biasanya berkumpul di sebuah salon yang juga murahan dan membicarakan hal-hal yang tidak penting.

Aku membasahi mulutku dengan anggur yang ada di samping kananku. “Tinggi, coklat gelap, tegap dan langsing dan tampan” Perutku tiba-tiba bergelanyar seperti saat bosku menyentuhku. Dalam pikiranku yang kembali membusuk, aku teringat wajah menggiurkannya sejelas berlian. Ini jelas-jelas tindakan kriminalitas bagi seorang pria untuk menjadi pemicu pikiran busuk padaku. Aku masih saja belum pulih dari kesadaran untuk menghadapi kenyataan bahwa kejadian menggetarkan telah terjadi beberapa waktu yang lalu.

Ayah mengatur duduknya dengan menyilangkan kedua kaki dan menumpu dagunya denga salah satu tangannya. Matanya yang berwarna coklat menatapku dengan seringai lebar menghiasi wajahnya dan aku mengutuk diri bahwa seorang ayah mampu membuatku memerah.

“Jadi apa yang selanjutnya terjadi?” ayah yang aku miliki memang bukan seperti ayah pada umumnya. Dia tidak akan terus menerus mengeluarkan kata bijaksana, tidak melarang ini dan itu. Dia jauh terlihat seperti temanku. Teman yang selalu menjadi tempatku mencurahkan isi hatiku dan kali ini dan untuk pertama kalinya dia berhasil menerka bahwa aku telah merasakan hal yang tidak pernah aku alami sebelumnya ketika aku bertemu dengan seorang pria yang sudah membuat dinding kejeniusan, percaya diri dan ketertutupanku goyah!

Aku mengangkat bahu pada pertanyaan ayah. “Tidak ada” ucapku yang sebenarnya sangat malu mengucapkan bahwa kami tadi berciuman di dalam lift dan aku merasa seperti orang paling bodoh di dunia dan agen level S yang selama ini aku sandang menjadi tidak ada artinya.

“Tidak ada?”

“Aku… Aku hanya bersikap profesional” jawabku yang telah memunculkan kecurigaan pada ayah.

‘Bersikap professional? Oh ayolah Alice. Kau berciuman dengan bosmu dan itu kau anggap professional? Lalu jika kau melayaninya apa itu juga bentuk profesionalisme kerja?’ suara kecil di dasar medulla oblongataku kembali menyeruak dan aku menekannya kembali agar tidak memecah konsentrasi pada pertanyaan ayah yang membuatku akan salah tingkah. Aku harus berhati-hati menjawabnya.

“Apa kau tidak mencoba menggodanya seperti bergenit-genit ke arahnya?” sebelah alis ayah terangkat dengan senyum menggoda tercetak tebal pada mulutnya.

“Apa maksud ayah?” ucapku menahan kesal.

“Hahaha… Wajahmu memerah, sayang!” aku kembali mengusap-usap tengkukku yang semakin menghangat dan ayah benar wajahku memerah.

“Dad, saat di kantor Mr. Currey ada kejadian yang membuat nyawanya hampir melayang. Ada 2 sniper yang mencoba membunuh Mr. Currey namun gagal. Aku berhasil menembak salah satu dari mereka. Ayah sudah mendengar berita ini?” tanyaku. Letak duduk ayah telah berubah. Wajahnya menekuk dan tangannya sekarang mengelus-elus ujung hidungnya secara perlahan. Matanya seperti tidak fokus menatap makanannya dan aku tergelitik dengan sikapnya yang tidak lagi menggodaku.

“Itulah bisnis.” raut wajahnya berubah seketika menjadi senyum yang terlalu dibuat-buat dan aku – tentu saja – tidak percaya dengan ucapan ayah. Pernyataan itu sama persis dengan yang diucapkan dengan Tobias dan aku semakin penasaran siapa dalang pelaku penembakan itu.

“Aku tahu ayah berbohong” ucapku dan berniat meninggalkan ruang makan. Selera makanku mendadak hilang dan aku merasa bahwa Tobias dan ayah menyembunyikan sesuatu dariku.

“Heh… Tidak salah jika IM6 memasukkanmu ke dalam jajaran level S. level A seperti ayah percuma berusaha menyembunyikan kebenaran. Ya, ayah sudah mengetahui kabar itu dan pihak CFC merahasiakannya bahkan hanya orang-orang tertentu dari CFC saja yang mengetahui kejadian memalukan itu” tangan ayah telah melayang menuju kening dan dia terlihat lelah dengan segala urusan pekerjaannya yang menyita waktu. Aku mendekatinya dan memeluknya dari belakang.

“Kau harus beristirahat, dad! Kau tampak semakin tua saja” ujarku. Tangan hangat ayah membelai lenganku perlahan.

“Dan kau juga. Lingkar hitam di bawah matamu membuatmu persis seperti mumi. Hanya saja kau tidak terbungkus perban di sekujur tubuhmu” aku memukul pelan pundak ayah dan dia terkekeh pelan.

“Kapan kau mulai bekerja?” tanya ayah yang sekarang benar-benar terlihat seperti seorang ayah yang peduli pada putrinya bukan lagi teman penggoda.

“Sebetulnya hari ini. Ayah benar.. Dia unik dan uummm… terkadang membuatku kesal dengan suara perintahnya yang tidak terbantahkan” tentu saja ada hal lain selain kata unik dan mengesalkan. Dia menggairahkan!

“Jiwa seorang diktator, heh?” aku mengangguk dan duduk di samping ayah.

“Aku rasa tidak masalah meski dia seorang diktator seperti Adolf Hitler yang jelas kau harus tetap fokus pada tujuan awalmu menjadi bodyguard dari Tobias Currey” kata Ayah.

“Sebenarnya apa hubungan Tobias dan Dean, Dad?” tanyaku tegas dan menuntut kejelasan.

“Suatu saat kau akan tahu hubungan mereka. MD perusahaan multinasional Tobias Currey dan Dean Reeves” suaranya lantang dan aku tahu ayah menahan amarah dari ucapannya itu.

“Dad, aku harus pulang”

“Kau tidak ingin menginap?”

Aku menggelengkan kepala dan telah bersiap meraih tas dan kunci mobil.

“Lain kali, dad. Aku harus menyiapkan mentalku terlebih dahulu sebelum menghadapi bos baruku itu besok” aku sangsi apa aku bisa menghadapinya dengan pengaruhnya yang tidak biasa terhadapku dan aku meyakini aku akan mengeluh akan bahaya yang akan mengancam kehidupanku. Bahaya yang ditimbulkan dari sang MD CFC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar