Dorrr!!
Sebuah tembakan baru saja melesat dari barreta yang
tergenggam erat di kedua tanganku. Peluru itu melesat menuju sebuah titik
tengah berwarna merah dalam sebuah papan lingkaran yang berjarak 100 meter dari
tempat aku meletuskan tembakan.
Suara tembakan itu cukup membuat telinga berdenging dan
untungnya aku memakai peralatan keamanan pada pelatihan kali ini.
“Tepat seperti biasa, Alice” sebuah suara serak dan berat
menyeruak dan sebuah tangan menepuk bahku pelan. aku menoleh pada suara yang
memanggilku dan melihat seorang laki-laki berusia 50an tahun tersenyum bangga
kepadaku.
Aku mengangkat salah satu ujung bibirku membentuk
seringai tajam ke arahnya. dan kembali menatap lingkaran papan yang ada di
depan. Tanganku terangkat dengan sebuah baretta tergenggam erat. AKu
berkonsentrasi menatap sasaran itu dan sedikit menyipitkan mata kananku.
Dorrrr!
Sebuah letusan tembakan kembali menggaung dan melesatkan
peluru yang ada di dalam baretta milikku. peluru itu melesat menuju – lagi-lagi
– ke titik tengah yang berwarna merah itu dan aku tersenyum simpul melihat
hasil tembakanku.
“Alice” panggil suara yang sama dan aku meletakkan
baretta di meja yang ada di samping kananku, melepaskan pelindung telinga,
kacamata berwarna kuning dan sabuk tempat penyimpan senjata dari pinggang.
“Ada apa, Dad?” Tanya lembut padanya.
Laki-laki itu adalah ayahku. Dia bernama Alex Keith, dia
memiliki garis wajah yang tegas dan rahang persegi. Alis matanya tajam dan iris
matanya berwarna coklat gelap. Rambutnya yang hitam dan rapi menambah ketegasan
sosok pria yang begitu aku puja.
Ayahku yang lebih dikenal dengan sebutan ‘K’ juga
merupakan seorang kepala dinas di Secret Intelligence Service (SIS) yang
dikenal dengan nama MI6. MI6 merupakan badan intelijen eksternal Britania Raya.
Dinas ini bekerja dibawah arahan Komite Intelijen Gabungan (JIC), dan bekerja sama dengan Dinas
Keamanan (Security Service), Markas Komunikasi Pemerintah (GCHQ) dan Staf Intelijen Pertahanan
(DIS). Markas MI6 berpusat di Vauxhall Cross,
London, Inggris.
“Kau sudah berlatih cukup keras. Kau harus makan, sayang”
ucapnya penuh kasih sayang.
“Baiklah” keluhku. Aku begitu senang latihan menembak di
markas seperti sekarang yang aku
lakukan. Markas MI6 memang sangat luas dan area ini sangat tertutup bagi
orang-orang penting sekalipun. Aku bekerja sebagai anggota divisi dinas
keamanan di MI6. Keahlian yang aku kuasai membuatku dengan cepat masuk ke level
S dalam organisasi tersebut.
Level seseorang yang bekerja di SIS terbagi-bagi dalam
beberapa level yaitu level C, B dan yang tertinggi adalah level A. Level S
merupakan level spesial yang melebihi dari level tertinggi yaitu level A. Level
S merupakan asset berharga bagi negara. MI6 hanya memiliki tidak lebih dari 10
orang dengan level S. Ayah sendiri hanya mencapai level A namun dedikasi dan
kesetiaan terhadap negara membuatnya dianugerahi memimpin MI6.
“Kau ingin makan apa, Alice?” tawar ayah. Kami sudah
melangkahkan kaki keluar dari area markas menuju parkiran mobil Mercedes mewah
milik ayah dan berniat untuk makan malam.
“Terserah kau, Dad” gumamku tidak semangat.
“Baiklah” Ayah memacu mobilnya menembus kemacetan di kota
London dan mengemudikannya ke daerah City of Westminster yang terletak di
distrik West End dan berhenti di sebuah restoran bertuliskan Royal Restaurant.
Suasana Royal Restaurant cukup luas dengan dekorasi warna
yang sebagian besar menjunjung warna elegan coklat tua dan krem. Pengunjung di
restoran ini tidak begitu padat. Mungkin karena ini bukanlah malam minggu. Kami
memilih tempat duduk yang terletak di sudut yang berlawanan dengan pintu masuk
restoran.
Seorang pelayan wanita setengah baya mengenakan pakaian
serba berwarna putih dengan renda rumit di sepanjang kancingnya datang ke
tempat kami duduk.
Aku mendesah begitu tidak berselera.
“Kau pesan apa sayang?” tanya ayah.
“red wine, please” gumamku.
“You have to eat, darl!” ujar ayah tajam.
“Fine, Steak please” pelayan itu mencatat pesanan kami dengan
terburu-buru.
“Sama” ujar ayah pada pelayan itu dan pelayan itu kembali
terburu-buru kembali untuk memberikan pesanan kami.
“Hari ini kau terlihat tidak bersemangat. Ada apa?” salah
satu alis ayah terangkat dan menatapku penuh tanda tanda tanya.
“Pekerjaan, Dad. Apa lagi? Aku bosan selalu berada di
kantor. Tidak bisakah aku bekerja di luar kantor sehingga aku tidak lagi merasa
sesak napas berhadapan dengan ruangan yang memperkecil gerakku?” aku berkeluh
kesah dan mulutku mengerucut.
“You’ll get it!” ujar ayah yang tentu saja membuatku
menoleh padanya terlalu keras sehingga leher terasa sedikit sakit.
“Apa maksud ayah?” tanyaku memicingkan mata. Aku tidak
suka ayah yang bercanda tapi sepertinya wajah itu tidak menunjukkan tanda-tanda
kebohongan.
“Kau akan ditugaskan sebagai seorang bodyguard” ujar ayah. Pesanan kami datang dan lagi-lagi wanita
paruh baya sebelumnya yang membawakan makanan kami.
“Bodyguard?” aku
mendengus mendengar ucapan ayah. Dia begitu menikmati makanannya tanpa
memedulikan dahiku yang semakin lama mengerut bingung.
“Ayah, kau pasti bercanda. Aku.. Oh come on, Dad! Aku
agen dengan level S bekerja sebagai bodyguard?”
aku menusuk sepotong steak dan memasukkannya ke dalam mulutku dengan enggan.
“Tidak. Aku serius” gumam ayah singkat sambil menyesap
red-wine perlahan.
“Apa aku akan menjadi bodyguard
perdana menteri?” ujarku penuh harap namun terdengar skeptis.
“Lebih dari itu.”
“Uhukkk… Uhukkk” aku terbatuk saat mendengar berita lain
lagi dari ayah.
“Lalu?” aku menuntutnya. Pria tua ini! Apa dia terlalu
banyak menonton telenovela sehingga mudah sekali mendramatisir keadaan? Aku
memutar mataku kesal!
“Kau akan menemuinya besok pagi” ujarnya dan kembali
melanjutkan makan.
“Dimana?” tanyaku tajam. Benar-benar! Dia membuatku
semakin jengkel!
“Hehhh… tidak bisakah ini kita bicarakan di kantor saja?
Lihatlah, ayah sedang mencoba menikmati makan malam kita!” desah ayah kesal.
“Dan tidakkah ayah tahu? Ayah membuatku mati penasaran!”
aku lebih kesal.
“Baiklah….” Akhirnya pria ini menyerah! Aku terkekeh
dalam hati.
“Kau akan bertemu dengannya di Currey Fortune Corp”
ujarnya yang sekarang memandangku dengan tatapan kesal.
“CFC? Siapa orang CFC yang membutuhkan bodyguard?” tanyaku semakin penasaran.
“Mr. Tobias Currey” ujarnya dan meraih gelasnya dan
mencium aroma red-wine.
“Siapa dia?” tanyaku benar-benar kesal pada pria ini.
“Kau akan mengetahuinya besok. Tapi kau harus tahu sesuatu!”
suara ayah tajam.
“Kau harus menjadi agen MI6. Awasi orang itu baik-baik!”
ucapnya tegas
“Memangnya ada apa, Dad?” alisku saling bertaut.
“Kau tahu Dean Revees?” ujar ayah dengan wajah yang
menjadi merah menahan marah dan dia berhasil memancing kemarahanku.
“Aku tidak akan pernah lupa siapa dia, Dad!” geramku
menahan amarah yang tiba-tiba menyeruak dan menguasaiku.
“Kau akan mendapat kejutan dengan bekerja sebagai bodyguard Tobias Currey” terbentuk
seringai kecil di bibir ayah dan aku semakin bingung dibuatnya.
“Aku tidak ingin kau bertindak gegabah, anakku. Atur
emosimu ketika kau bekerja dengannya! Dia orang yang… sedikit… unik” jelas
ayah.
Aku tidak menghabiskan makananku dan memikirkan kembali
ucapan ayah.
***
Setelah semalaman mengerjakan tugas membosankan dari
kantor aku segera bersiap-siap menuju CFC. Tempat dimana aku akan bertemu
dengan calon bos baruku. Aku menyisir rambut hitamku dan menatap mata biruku
melalui cermin dan tersenyum melihatnya.
Aku tinggal terpisah dengan ayah. Aku tinggal di sebuah
apartemen yang cukup luas jika hanya untukku seorang. Aku memang tinggal
sendiri karena aku menyukai kesendirian. Apartemen yang aku tempat bernuansa
kontemporer dan aku mendekorasinya sendiri sesuai keinginanku.
Tidak terlalu banyak perabotan yang mewah dan semua
peralatan pada umumnya seperti ruang tamu dengan sofa berwarna hijau dengan
motif abstrak rumit. Sebuah kamar utama untukku dan sebuah ruang kerja yang
dilengkapi dengan perpustakaan kecil. Sederhana tapi aku menikmatinya.
Aku berjalan keluar menuju lift dan menekan tombol
ground.
Penjaga pintu yang sudah begitu akrab denganku tersenyum
dan menyapaku. “Selamat pagi, Miss Keith. Ingin saya panggilkan taksi?”
ujarnya ramah.
“Tidak, Taylor. Aku membawa mobilku” aku tersenyum ke
arahnya.
Aku memilih mengenakan celana kain yang mengetat sepanjang
kakiku dan mengenakan blazer hitam dan blus putih sederhana di dalamnya. Sepatu
boot berwarna hitam menjadi pilihanku.
Aku melangkah
keluar dari bawah serambi kaca pintu modern yang entah bagaimana bisa menyatu
dengan usia bangunan dan bangunan-bangunan tetangganya, aku menikmati susasana
yang relatif tenang disekitar apartemenku yang memiliki pepohonan yang berjajar
sebelum aku mencapai kesibukan dan arus lalu lintas. Sekarang pukul
7 pagi dan 1 jam lagi aku akan bertemu dengan Tobias Currey.
AKu tidak
mengetahui seluk beluk calon bosku ini karena fokus dari calon pekerjaanku yang
baru berkaitan dengan Dean Revees. Aku tidak mengetahui hubungan Tobias ini
dengan Dean tapi setidaknya aku bisa berada dekat dengan Dean. Orang yang
sangat aku benci seumur hidupku!
Tidak ada
gunanya kembali gusar dan frustasi dengan cerita lama itu, aku memilih untuk
segera memasuki mobil Fortuner berwarna hitam milikku. Hasil kerja kerasku
selama 2 tahun dan begitu membuatku bangga saat menatapnya.
Aku sengaja
telah memilih untuk memotong pendek perjalanan selama waktu sibuk pada hari
Senin, jadi aku senang ketika aku tiba di Gedung Currey Fortune Corp, yang
merupakan sebuah bangunan pencakar langit dengan jumlah lantai sebanyak 30
lantai, dalam tiga puluh menit.
Aku memarkirkan
mobilku di sebuah area lahan parkir terbuka. Saku mendongak menatap gedung
pencakar langit yang begitu megah dan sangat tinggi. Puncaknya mengerucut dan
berkilau diterpa sinar matahari. Semua aspek dari gedung ini berwarna gelap
termasuk kaca yang digunakan. Bangunan yang ada di samping kanan kirinya mampu
membuat bangunan ini menjadi keagungan tersendiri dan aku cukup terpana
melihatnya.
Aku berjalan memasuki gedung itu. Kesan pertama dari dalam
gedung ini adalah luar biasa. Interior gedung ini memiliki pintu bergulir berhias
bingkai baja yang menakjubkan, dengan dinding dan lantai marmer keemasaan
begitu berbeda saat dilihat dari luar, dan meja keamanan yang dicat aluminium
dan pintu putar.
Aku menarik kartu pengenalku saat dua orang pria
bersetelan hitam dan membaca pengenalku. Salah satu dari mereka menyunggingkan
senyum ramahnya dan aku mengangguk penuh percaya diri padanya dan mengambil
kembali kartu pengenalku.
Aku memasuki sebuah lift yang lagi-lagi membuatku terpana
dengan interior detail. Karpet berwarna merah dan langit-langit berwarna emas
begitu menghiasi lift ini. Pemilik perusahaan ini benar-benar memiliki selera
luar biasa.
Aku sedang berjalan menuju sebuah ruang pertemuan seperti
yang telah dijanjikan sebelumnya ketika seorang wanita langsing berambut coklat
terlihat kesulitan membawa setumpuk kertas dan akhirnya tersandung oleh sebuah
partisi yang tidak sejajar dengan lantai. Kertas yang dibawanya berhamburan.
Aku melihat orang-orang di sekitarnya rampak terganggu dengan jalanan yang
menghalangi dan memilih menghindari wanita itu seolah-olah tidak melihatnya.
Aku mendesah kesal pada mereka dan segera berjongkok
membantu wanita itu mengumpulkan kertas-kertas yang berceceran.
“Terimakasih” katanya dengan senyum yang terburu-buru.
Aku tersenyum kepadanya. “Tidak masalah”
Aku baru saja
berjongkok untuk meraih beberapa kertas lainnya yang tergeletak di dekat pintu
masuk lift ketika aku berhadapan dengan sepasang sepatu oxford hitam mewah
terbalut celana panjang hitam. Aku mendengus kesal melihatnya dan menunggu
sebentar untuk orang itu bergerak keluar dari jalanku tapi ternyata dia tidak
bergeming, aku mendongakkan leherku untuk memungkinkan arah tatapanku melihat
sosok yang berdiri di hadapanku.
Setelan jas
kastom berhasil membuat tubuhku sedikit bergetar namun aku berusaha menjaga
rasa percaya diriku, tapi tubuh yang tinggi, ramping, kuat dan memiliki aroma
yang menggelitik yang berada di dalamnya membuatnya begitu menggairahkan.
Namun, semenggairahkan apapun semua kelelakian yang megah dan elegan itu, aku
begitu terpana sepersekian detik pada apapun dalam dirinya, wajahnya dan untuk
pertama kalinya dalam hidupku aku benar-benar menyerah kalah dalam hal yang aku
sendiri tidak mengerti mengapa aku merasa kalah.
Dia mendekatkan wajahnya dengan membungkuk sempurna dan
penuh keagungan yang penuh dengan keeleganan dan langsung menatapku. Matanya
yang begitu intens, maskulinitas yang terpancar kuat dalam dirinya menambah
kesan kekuatan dalam wajahnya dan berhasil membuat hatiku bergetar, darahku
berdesir tak ada henti-hentinya. Aku membisu dan hanya bisa terpana, tertegun
menatap keindahan sempurna dari dirinya.
Aku menelan ludahku untuk meredakan tenggorokan yang
tiba-tiba saja tersumpal oleh hatiku yang meloncat-loncat dan bereaksi secara
naluri, aku bergeser mundur dan mengakibatkan tubuhku terjungkal dengan pantat
berdebam cukup keras. Aku mengernyit sekilas pada pantat tapi aku hampir
tidak merasakan sakit pada pantat dan siku yang menjadi penopang tubuhku. Aku
terlalu sibuk menatap, terpaku, tertegun oleh orang di depanku. Rambut coklat
gelap seperti dark coklat yang lezat membingkai wajah yang mempesona itu.
Struktur tulang pada wajah itu akan membuat seniman pelukis dan pematung
menangis dengan penuh sukacita, sementara mulut tergores kuatnya dan begitu
menggiurkan, hidung seperti pisau tajam yang siap melukai, dan mata abu-abu
intens membuatnya tampak seksi dan membuatku harus menelan ludah sekali lagi.
Matanya itu menyipit sedikit, sementara wajahnya diatur supaya terlihat tenang
dan penuh keagungan.
Dia mengenakan
baju kemeja dan jas hitam dan dasi yang sempurna dengan iris matanya yang penuh
dengan kecerdasan. Matanya meneliti dan menilai, dan menembus kedalam mataku.
Detak jantungku bertambah cepat, bibirku terbuka untuk memberikan napas yang
jadi lebih cepat dan udara lebih banyak memasuki paru-paru. Dia berbau sangat
harum dan baunya begitu menggiurkan untuk dicicipi. Ludahku hampir saja meleleh
dan secepat kilat aku merapatkan bibirku . Aku merasa kelu sekarang.
Dia mengulurkan
tangannya padaku, memperlihatkan manset onyx dan jam tangan berwarna hitam
pekat yang tampak sangat mahal. Dengan nafas tertahan, aku meletakkan tanganku yang
sedikit gemetar dalam tangannya. Jantungku melompat ketika cengkeramannya
diperkuat. Sentuhannya terasa mengirimkan sejumlah arus listrik yang membuatku
sedikit berjengit, arus itu juga mengirim kejutan ke lenganku yang mendirikan
rambut di tengkukku. Dia tidak bergeming dan aku melihat sebuah garis kerutan
mengisi jarak antara alis yang terpotong dengan arogan dan tetap dalam
ketenangan.
“Apakah kau
baik-baik saja?” suaranya begitu lembut, tenang dan menggoda dan cukup membuat
kupu-kupu dalam perutku menari-nari dan membawa pikiranku ke hal-hal yang belum
pernah aku masuki sebelumnya. Seks!
Sial! Umpatku dalam hati.
Terlalu lama bibirku terbuka dan aku harus
membasahi dengan menjilatinya.
“I’m okay!”
ucapku yang hanya berupa gumaman tidak jelas dan telinga mendekat ke arahku dan
aku harus menggigit bibir bawahku menahan gelora yang muncul.
“I’m okay,”
ucapku sekali lagi. Dia menoleh ke arahku dengan jarak yang cukup dekat dan
–sial!– mengapa ada pria yang diciptakan seperti ini? Dia berhasil
mengobrak-abrik isi tubuhku!
Dia lalu
berdiri dengan keanggunan dan arogan, menarikku berdiri bersamanya. Kami
mempertahankan kontak mata karena aku tidak bisa berpaling dari mata abu-abunya
yang seperti magnet. Aku merasa tertarik oleh magnet itu dan mengikat tubuhku
dengannya secara perlahan. Dia terlihat muda. Kurang dari tiga pulahan
sepertinya tapi matanya penuh dengan ambisi. Tatapan yang keras, tajam dan brillian!
Aku berkedip
dan kesadaran sepenuhnya menguasaiku dan sikap preventif aku menlepaskannya.
Tidak cukup dengan kata indah, dia ... memikat! Gumamku dalam hati.
Pria ini
merupakan sosok yang mampu membuat para wanita dengan kasar melepas kemejanya,
memaksa kancing-kancing itu terhempas lepas dari jahitannya dan bergumul dalam
ranjang dengan aksi-aksi brutal, cakaran dan seprai yang berantakan.
Sial! Lagi-lagi ini! Apa yang kau pikirkan, Alice? Bentakku dalam
hati
Aku merasa
sangat kesal dengan diriku sendiri karena merasa canggung ketika dia sepenuhnya
tenang.
Pergi kemana kau, hey percaya diri? Aku tiba-tiba
sadar bahwa rasa percaya diri yang telah aku bangun saat menuju ke gedung ini
telah lama menguap.
Dan mengapa
rasa percaya diri itu menguap? Karena aku terpesona dengan pria sialan ini!
"Kau
yakin?" kerut pada dahinya kembali terbentuk.
Wajahku kembali
memanas. Betapa indahnya untuk tampil canggung dan kikuk di depan orang yang
paling percaya diri dan anggun yang pernah aku temui melebihi aku yang adalah
seorang agen level S. Dobel Sialan!
Aku mengangguk
lemah tanpa bisa lagi berkata-kata.
“Jawab aku”
suara perintah pertama yang keluar darinya membuatku ingin melakukan apapun
untukknya.
“Ya,” bisikku.
Sadarlah, Alice! Bentak bawah sadarku.
Dia menatap
kartu pengenalku yang ternyata telah terjatuh di lantai marmer. Kerut dahi itu
tiba-tiba menghilang dan bibirnya terungging sebuah senyuman indah dan dia
memberikan kartu pengenalku dengan senyumnya yang menawan dan tertuju padaku.
Senyumnya yang pertama kali dan aku benar-benar lupa bagamana cara bernapas.
Seseorang! Tolong Aku! Aku berteriak karena pria ini begitu
ancaman dalam hidupku, gairahku, dan hatiku!
Aku menerima
kembali kartuku dengan tangan sepenuhnya masih bergetar. Aku menghindari
jarinya agar tidak menyentuhnya namun aku gagal. Sengatan listrik itu kembali
menyengat dan jantungku kembali berdetak lebih cepat dan lebih cepat.
“Miss Keith?
Senang akhirnya bertemu anda” tangannya terulur kembali dan aku sejenak ragu
menjabat tangannya melihat bagaimana pengaruhnya pada tubuhku yang mengerikan
namun itu jelas tidak sopan. Aku menyentuhnya dan aku mengutuk dalam-dalam atas
kecanggungan ini.
“Tobias Currey”
ucapnya tajam.
Tanpa sadar mataku membelalak mendengar nama itu disebut.
Dewi batinku seketika berlompatan sambil menari indah saat mengetahui calon bos
atas diriku adalah sosok tampan yang telah menggetarkan hatiku lebih dari
apapun dan memporak porandakan kewarasanku saat pertama kali bersentuhan
dengannya.
“Anda yakin baik-baik saja?” suaranya menjadi cemas namun
tetap saja menggoda. Tangannya mulai bergerak mendekati wajahku dan – entah
apakah karena insting – aku mundur menjauhinya. Wajahnya terlihat sedikit
mengeras namun segera diatur dengan sebuah kedipan mata dan ekspresinya sudah
kembali seperti sebelumnya –tenang dan stabil – seperti tidak terjadi apa-apa.
“Saya baik-baik saja” ujarku yang hanya berupa bisikan
dan tetap berusaha mencoba menyusun kembali rasa percaya diri yang sebelumnya
roboh dengan segala maskulinitas yang dimiliki laki-laki itu.
“Ikut saya kalau begitu. Anda tentu kemari atas utusan
dari pimpinan anda” suaranya mendominasi tanpa ada sebuah pernyataan seperti
terbentuk dalam ucapannya yaitu ‘aku tidak dapat dibantah!’ Wajahnya menatapku
masih seperti menilaiku dan tentu hal ini menambah rasa kegugupan dan sukses
membuatku terintimidasi.
Aku mengangguk kaku di hadapannya karena aku merasa
begitu canggung. Sepertinya aku sangat membutuhkan perawatan untuk belajar
tidak merasa kalah di depan Tobias.
“Aku ingin kau selalu menjawabku!” suaranya perintahnya
lembut namun tegas dan penuh keposesifan.
“Yes, sir” gumamku dalam artikulasi yang nyaris tanpa
membuka mulut.
Dia mulai berjalan di sepanjang koridor lantai 30 dengan
penuh keanggunan, arogansi dan seperti sosok malaikat mampu memicu gairahku –
sial – aku mengutuk dalam hati. Langkahnya mantap, tatapannya lurus. Semua
karyawan yang melintasinya terkejut sekaligus terpana melihat sang bos
berjalan. Sesekali Tobias mengangguk kaku saat beberapa karyawannya menyapa. Hanya mengangguk tanpa ada seulas senyum di
bibirnya! Aku mendengus sinis menatapnya namun rasa sinis yang timbul
memacu pikiran lain dalam benakku yaitu kekaguman, gairah, seks, ranjang, bibir
yang menawan, tubuh tanpa baju yang menempel, rambut yang berantakan, remasan
tangan pada….
Alice!
Hentikan! Bawah sadar membentak keras
dengan hal-hal busuk yang baru saja terlintas.
Aku haus
sentuhan pikiran bodoh! Aku menantang
pikiran bawah sadar itu.
Tapi bukan
berarti juga aku akan menjadi wanita murahan! Ucapku sinis pada pikiran bawah sadar.
Aku kembali ke dunia setelah bergelut melawan pikiran
bawah sadar dan menatap punggung Tobias yang sudah melangkah jauh di depan. Dia
begitu tidak peduli melihatku yang berkesusahan mengimbangi langkahnya yang
panjang.
Aku memutar mata sebal dan mengalihkan pandanganku ke pemandangan
kota London di lantai puncak gedung Currey Fortune Corp. Dari sini aku mampu
melihat keindahan London yang tersohor seperti jam besar Big Ben dan sungai
Thames yang jernih. Gedung-gedung pencakar langit lainnya seperti ‘minder’ bila
dibandingkan dengan bangunan CFC yang mewah, megah dan artistik.
“Miss Keith” panggil suara seksi itu sekali lagi. Aku
buru-buru menoleh pada asal suara yang memanggilku dan itu adalah suara Tobias
yang sekarang sudah menghentikan langkahnya dan berdiri di sebuah pintu kaca
hitam. Aku memperlebar langkahku untuk segera mencapai Tobias. Sejenak aku
memberanikan diri memandangnya dan aku berani bersumpah seulas senyum baru saja
tersungging di bibirnya yang ingin sekali aku kulum namun beberapa saat yang
lalu telah hilang berganti dengan tatapan tajam dan menusuk ke dalam mataku.
Dia membukakan pintu yang terbuat dari kaca hitam
pekat dan pegangan baja silver mengkilat
sehingga ruangan yang ada di dalamnya sama sekali tidak kelihatan. Dia
mempersilakanku masuk ke sebuah ruangan yang begitu mewah dan elegan dan
sepertinya ini adalah kantor Tobias itu dengan sebuah tulisan bertuliskan MD CFC
tercetak di sebuah kaca bening di atas meja persegi panjang yang terbuat dari
aspek kaca dan tiang kaki terbuat dari baja hitam. Dominasi warna yang
menghiasi kantor ini berwarna elegan seperti hitam, putih dan coklat gelap.
Temboknya terdiri dari kaca hitam mengkilat. Sofanya berbentuk L dan berwarna
putih terletak di sudut berlawanan dengan pintu masuk kantor. Ada sebuah lemari
yang cukup besar dengan arsip yang juga cukup banyak.
Aku membalikkan tubuhku hendak mengucapkan terimakasih
pada Tobias karena mempersilakanku masuk namun sedetik aku menyaksikan karyawan
yang ada di belakang Tobias saling berkasak-kusuk. Tobias seperti biasa, tidak
peduli dengan kasak-kusuk itu dan menutup pintu itu dan sekarang sudah berada
di depanku begitu dekat.
“Mari kita bicara soal pekerjaan, Miss Keith” desahnya
begitu dekat dengan telingaku. Tengkukku bergidik mendengar suaranya yang
lembut dan sarat akan seksualitas. Aku mengutuk pelan pada pemikiran ini dalam
hati. Secepat kilat dia meraih tanganku dan menggenggam erat serta membawaku ke
sofa yang ada di sudut kantornya. Aku menahan pekikanku saat dia membawaku –
seperti menyeretku – menuju sofa itu.
“Duduklah, Miss Keith” itu bukanlah penawaran. Itu
terdengar seperti – lagi-lagi – perintah yang tidak mampu diabaikan dari
seorang yang benar-benar berkuasa, Tobias Currey. Aku menelan ludahku dan
mendudukkan diri. Tobias juga duduk tepat di sampingku. Kakinya menyilang dan
telunjuknya menyentuh ujung hidung dan matanya menelusur setiap inchi tubuhku.
“Anda diterima,” ucapnya tanpa ragu.
Keningku berkerut dan – bodohnya aku – mulutku sedikit
terbuka mendengarnya yang benar-benar tanpa basa-basi.
Hey, wanita
bodoh! Kau ini agen level S tapi lihat dirimu sekarang! You’re an idiot! Bawah sadar mencaci.
“Tapi sir…”
“Apa anda tidak mendengarkanku, Miss Keith? Anda diterima
menjadi bodyguard pribadiku” ucapnya
mimiknya penuh ambisi dan tidak terbantahkan.
“Pribadi?” suaraku tercekat dan aku benar-benar
membutuhkan udara lebih banyak sekarang.
Dia mengangguk dan senyum yang berupa seringai menghiasi
wajahnya.
Tiba-tiba aku melihat sesuatu yang aneh. Semua pikiran
busuk yang melintas di otakku sirna. Aku melihat sebuah titik kecil merah
mencurigakan tepat berada di sisi kanan kepala Tobias. Aku menyadari apa itu
dan secara refleks tubuh Tobias aku tarik mendekat padaku sekuat tenaga.
Jleb! Jleb!
Pyarrr!
Kaca hitam yang menjadi dinding kantor Tobias pecah.
Kepingannya berhamburan berantakan. Aku meraih lengan Tobias menuju bawah sofa
dan membalikkan sofa sebagai perlindungan dengan kasar. Aku menatap Tobias.
Wajahnya terlihat sangat terkejut, nafasnya memburu begitu tegang. Dia hanya
menatapku penuh ketakutan.
“Sir… Anda tidak apa-apa?” bisikku padanya. Dia
mengangguk kaku ke arahku.
Aku melongok ke tempat arah dari tembakan tadi dan itu
berasal dari puncak gedung sebelah kantor. Aku melihat dua orang mengenakan
pakaian kerja seperti tukang bangunan yang sedang merenovasi dan aku
memicingkan mata melihat ada sepucuk senjata jarak jauh dan aku mengenalinya.
D3 dengan ujung berperedam. Mereka terlihat terburu-buru.
“Sir, maukah anda menunggu di sini?” pintaku memaksa
padanya.
“Kau mau kemana?” suaranya berubah menjadi serak dan
sarat kecemasan.
Aku tidak mendengar lagi pertanyaan Tobias. Aku menuju
balkon luar di sekitar puing-puing kaca yang baru saja hancur terkena tembakan.
Sepucuk senjata berupa barreta yang selalu tersimpan dalam saku celanaku
secepat kilat sudah ku arahkan kepada para penembak jitu yang tengah buru-buru
memasuki sebuah pintu bertuliskan exit.
Doorr! Dorrr!
Tembakan keduaku mengenai lengan kiri seorang penembak
namun mereka berhasil lolos.
“Damned!” umpatku. Tembakanku selalu tepat sasaran namun
kali ini, pengaruh Tobias membuat kemampuanku menurun.
Aku kembali menuju Tobias yang masih meringkuk di balik
sofa yang terjungkal.
“Saya berhasil menembak salah satu lengan penembak tadi.
Sir, saya akan mencari pertolongan, saya juga ingin mencari tahu siapa yang
baru saja mencoba membunuh anda” jelasku sedikit terburu-buru.
“Aku saja” tegas Tobias. Dia meraih ponsel yang ada dalam
celananya dan menekan sebuah nomor.
“Dou, Cari tahu siapa yang ada di puncak gedung Baker
Ltd. Ada yang mencoba membunuhku. Ada luka tembakan pada lengan salah satu
sniper itu!” Suaranya tegas dan mengerikan.
“Ganti semua kaca kantorku ini dengan kaca anti peluru!
Ini keterlaluan!” Tobias berang.
Aku masih bungkam melihat setiap perintah terlontar dari
mulutnya. Semua kontrol dan kekuasaan benar-benar menjadi identitasnya. Aku
sebenarnya mampu melakukannya tapi dia begitu mendominasi dan aku seperti bukan
apa-apa. Sebenarnya siapa yang bekerja pada siapa? Mulutku mengerucut, kesal.
Tobias menutup teleponnya. Wajahnya mengeras dan beralih
menatapku. Dia meneliti setiap bagian wajahku dan menghembus lega. Aku memicingkan
mata meminta penjelasan.
“Sir..” telunjuk Tobias mengarah pada hidungnya dan aku
terdiam kembali. Wajahnya perlahan mendekat padaku.
“Kau siap dengan situasi seperti ini?” tanyanya penuh
keraguan. Wajahnya tidak lagi memperlihatkan kontrol dan kekuasaan tapi sebuah
ketakutan dan kecemasan.
“Saya terbiasa seperti ini, Sir” aku tersenyum simpul
padanya dan berusaha meyakinkan Tobias bahwa aku cukup handal dalam hal menjaga
sesuatu atau sekarang menjaga seseorang.
“Terbiasa?” pandangannya beralih menatap lantai dan
pertanyaan tadi seperti membuatnya semakin cemas. Kami masih berada di balik
perlindungan sofa dan meringkuk sedalam-dalamnya. Aku sama sekali heran hingga
sekarang belum ada yang menyadari bahwa bosnya ini baru saja diserang dan
nyawanya hampir saja melayang!
“Kita harus keluar dari sini, sir!” ajakku membuyarkan
pikiran yang sepertinya sedang mengganggunya.
“Apakah sudah aman?” dia menatapku bukan lagi seperti
seorang MD tapi seperti seorang bocah kecil yang sedang ketakutan jika tempat
persembunyiannya ketahuan.
Aku mengangguk mantap padanya. Aku meraih pergelangannya
dan dengan berjalan membungkuk keluar menuju pintu keluar kantor Tobias.
Saat kami mencapai di luar, aku sangat terkejut melihat
suasana resepsionis maupun karyawan lain masih sibuk mengerjakan pekerjaannya
seperti biasa dan mereka sama sekali tidak menyadari apa yang baru saja
terjadi.
“Mr. Currey” seorang wanita paruh baya mendekati kami.
Untuk ukuran wanita yang sudah berusia tua, dia cukup anggun dengan pakaian
yang dikenakannya. Sebuah blazer sederhana berwarna hijau toska, dandanan yang
sederhana dengan rambut disanggul rapi.
“Anda baik-baik saja?” tanyanya.
“Ya, Bella. Aku baik” ujar Tobias singkat. Tobias menarik
tanganku tiba-tiba dan membawaku masuk lift.
“Sir..” aku terpekik pelan.
Semua karyawan menoleh melihat bosnya sedang menggeret
tanganku. Tatapan mereka beragam. Ada yang sempat memekik pelan, mengernyit
bingung, bahkan tatapan sinis dari para karyawan perempuan mengarah padaku
seperti peluru ganas. Aku menelan ludah sembari berlari mengimbangi langkah Tobias.
Gandengan tangan Tobias mengetat dan aku mulai merasakan linu pada pergelangan
tangan.
Kembali… Dug … Dug … Dug ….
‘Uuurrggh! Bisakah jantung ini tidak berakselerasi
sedemikian cepat hanya karena Tobias?’ aku mengeluh dalam hati.
Tobias menekan lift dan beberapa kode tambahan yang aku
menduganya hanya pemilik MD ini yang tahu. Pintu lift terbuka dan dia dengan
sigap membawaku masuk dan seperti masuk dalam lubang neraka, pintu lift
tertutup.
‘Habislah aku bersama orang ini’ aku merutuk dalam hati.
Bruukkk!! Tubuhku terbanting pelan pada sisi dinding lift
dan tubuh Tobias menindih tubuh depanku.
“Apa kau sudah tidak lagi peduli dengan nyawamu?”
wajahnya tegang dan penuh amarah.
Aku membelalak dengan reaksinya sehingga ucapannya sama
sekali tidak aku perhatikan.
“Apa kau sudah ingin mati?!” suaranya meninggi dan aku
malah ketakutan. Ketakutan belum ada di kamusku dan baru kali ini aku
merasakannya dan sialan rasanya begitu tidak enak.
“Sir…”
“Apa kau tahu begitu cemasnya aku melihat tindakanmu
tadi? Apa kau sadar dengan yang kau lakukan, ha?!! Kau bisa saja mati!”
suaranya keras dan murka. Aku tidak mengerti sikapnya. Bukankah aku adalah bodyguardnya sekarang?
“Itu tugasku sir. Tugasku melindungi anda!” teriakku
meringis menahan rasa sakit ditimpa tubuh atletis Tobias.
“Persetan dengan tugas itu!”
“Tapi sir, saya bekerja untuk melindungi anda!”
“Aku tahu, aku tahu itu. Tapi tindakanmu tadi…” raut
wajahnya memucat.
“Sir, siapa sebenarnya mereka? Apa yang mereka incar?
Mereka secara terang-terangan mencoba membunuh anda!” aku nyaris berteriak di
depan bosku.
“Ini bisnis, Miss. Keith. Banyak orang yang menginginkan
nyawaku” suaranya melunak dan pegangan tangannya pada tanganku mulai mengendur
tapi dia sama sekali tidak menjauh dariku –masih menghimpitku.
“Sir..”
“Jangan seperti itu lagi” suaranya kembali tegas. Kontrol
telah menguasainya. Matanya intens dan berkilat ke arahku. Aroma lehernya yang
begitu dekat dengan hidungku menelisik bulu tengkukku sekali lagi dan mengendap
di setiap saraf sensoris dan motorisku.
Aku menatap lantai menekan rasa kegugupan yang tiba-tiba
kembali menghantui.
“Alice..” aku mengernyit dan menatapnya. ‘Dia baru saja
memanggil namaku?’
“Jangan membahayakan dirimu seperti tadi” suaranya
melembut.
“Tapi saya….”
Bibir Tobias telah dulu berakhir pada mulutku yang siap
memprotes ucapannya lagi.
“Sir… pppfftt..” selaku yang berusaha melepaskan bibir
Tobias dariku.
Tobias semakin mendesak bibirku, mencengkeram kedua
lenganku di kedua sisi kepalaku. Dia juga menghimpitku semakin erat ke dinding lift
yang sepertinya berhenti entah mengapa. Aku kesulitan bernapas, tanganku
berusaha memberontak dan kedua kakiku berusaha menjauhkan himpitan tubuh Tobias
tapi percuma! Tubuhnya seperti terpatri kuat dan aku tidak lagi sekuat seperti
agen level S. Tubuhnya yang atletis dan bau harum yang terpancar dari lehernya
semakin membuatku tidak berdaya.
Pikiranku menceracau tidak jelas karena semua logikaku
macet dan segala inderaku yang sensitif telah lemah berganti dengan gairah yang
menuntut lebih. Hatiku bergejolak tidak menentu. Di satu sisi aku begitu
mendamba pada pria sejuta kuasa dan adi daya yang mampu meluluhkan segala
kekuatan dan keahlian yang aku miliki hanya dengan tatapan dan aromanya. Di
sisi lain ini membuatku cemas karena jika aku menjadi tidak fokus karena
pesonanya, aku menjadi tidak profesional! Aku malah takut dengan
ketidakbecusanku ini malah membahayakannya. Dia adalah pengaruh paling
membingungkanku dan dia ibarat sebuah target tembakan yang paling licik
memanipulasi pikiran dan benakku.
Sialan Dia! Dan aku terpesona padanya, Double sialan!
Perlahan Tobias merenggangkan himpitannya dari tubuhku
dan melemaskan cengkraman tangannya pada pergelanganku. Matanya yang setajam
elang menusuk jauh ke dalam mataku seakan mencabik-cabik seluruh organ yang memberikanku
kehidupan dan menggantikannya dengan sebuah organ gairah hasrat padanya.
Mulutku harus membuka untuk memberikan ruang udara dalam jumlah besar agar
memberikan oksigen yang banyak pada otakku sehingga kesadaran segera menguasai.
“Itu hukuman untukmu karena…” suara Tobias yang lembut
dan begitu dekat dengan daun telingaku mengirimkan sinyal yang membuat
tengkukku berdiri. Dia adalah jelmaan iblis paling sempurna yang telah
menggetarkan ragaku.
“pertama kau membahayakan jiwamu…” aku terperangah mendengar
ucapan Tobias.‘Ciuman itu hukuman?’ aku menyakinkan pendengaran yang
menangkap suara itu. Dia gila dan lagi-lagi pikiran tolol merangsek masuk dalam
benak.
‘Kalau begitu aku akan membahayakan diriku sesuka hati
sehingga kau, Tobias, wajib menciumku dan aku akan mendekapmu, menekan kepalamu
erat sehingga bibirmu menempel kuat pada bibirku, memainkan rambutmu yang
berantakan dan menggiurkan dengan tanganku yang bebas, mengelus punggungmu yang
kokoh, menjelajahi semua bagian tubuhmu yang tertutup… Arrgh! Sialan! Pikiran
busuk ini datang lagi!’ aku menggeram dalam tenggorokan dan merutuk pada lift
yang sepertinya berhenti dan aku mencurigai Tobias merencanakan semua ini. Kode
yang dia masukan tadi pasti mempengaruhi sistem kerja lift ini.
“dan..” mataku kembali membelalak saat kepala Tobias
kembali miring dan benar saja! Dia menciumku lagi sebelum aku menyadarinya.
‘Hei Alice! Lawan dia! Jangan biarkan dia menciumimu
sesuka hati seperti kau tidak punya harga diri! Kau wanita terhormat!’ bawah
sadar telah beraksi memberikan peringatan yang segera membuatku tersadar.
Aku mendorong tubuh menjulang yang tinggi di hadapanku
ini dengan sisa kekuatan yang ada dan berhasil melepas ciumannya.
“Apa yang anda lakukan, sir!” napasku tersengal karena
asupan udara yang jarang memasuki sistem kerja pernapasan. Tobias menyeringai
ke arahku
“Dan itu hukuman kedua karena kau terlalu banyak
bicara” aku mengerutkan hidungku saat
dia mengatakan bahwa aku terlalu banyak bicara. Aku hanya meminta penjelasan.
“Sepertinya saya bukan bodyguard yang pantas untuk anda” suaraku membentuk sebuah
peringatan dan itu berhasil memancingnya dengan mata yang membelalak Tobias
mulai melangkah mundur menjauh dariku.
“Kau cukup pantas menjadi bodyguard pribadiku” ujarnya yang mulai cemas dengan sebuah
peringatan dariku.
“Saya akan melapor pada atasan untuk menggantikan saya.
Beliau akan mengirimkan utusan lainnya yang lebih hebat dan sanggup melindungi
anda” aku mulai menikmati permainan ini.
It’s my turn,
my boss! Seringaiku dalam hati
“Tidak! Kau yang ku inginkan!” tegasnya dan telak aku
telah memenangkan pertarungan ini. Dia menginginkanku sama seperti aku
menginginkannya.
“Anda tidak menghormati saya. Saya tahu saya hanya
seorang bodyguard tapi anda membuat
saya tidak mampu bekerja dengan baik” tukasku. Ujung jari telunjuk hampir
menekan tombol menuju ground floor
namun terhalang oleh tangan Tobias. Aku menoleh menatapnya dan menemukan mata
penuh intensitas itu kembali menusuk jauh ke dalam mataku.
“It’s my fault,
miss Keith” suaranya lirih dan permainan ini dimenangkan olehku! Aku
terkekeh dalam hati.
“Bisakah anda tetap di sini?” suaranya kembali sopan dan
dia kembali memanggilku dengan ‘Miss Keith’
Aku mengangguk pelan padanya. Aku tidak mungkin sanggup
berada jauh darinya dalam beberapa hari ini dan aku bersumpah hari-hariku nanti
akan dipenuhi pikiran-pikiran menggelora bersama bosku ini dan aku yakin jika
aku mempertahankannya menggelayuti setiap area pikiran dan benakku maka tanpa
kehadirannya sekalipun, dia sanggup membuatku orgasme hanya dengan
membayangkannya.
“Baiklah. Lebih baik kita makan
siang. Nanti Bella akan menyerahkan job
description mengenai pekerjaanmu” jelasnya sambil menekan beberapa kode dan
aku merasakan lift kembali bergerak. Tebakanku benar, kode itu memang
mempengaruhi sistem kerja lift ini.
***
“Bagaimana
pertemuanmu dengan bos barumu, Al?” tanya ayah yang sekarang berada di dapur
apartemennya. Setelah menerima berkas dari Bella sekretarisnya dan melakukan
hal yang tidak berguna seperti berbasa-basi dengan Tobias, aku meminta ijin
untuk pulang sekedar memberitahukan kabar pada ayah bahwa aku diterima bekerja.
Tentu saja ayah akan segera mengetahuinya, ayah adalah atasanku!
Aku berjalan menuju dapur. Apartemen
ayah berbau begitu menggoda saat itu dan aku melihatnya sedang memasak sesuatu
di penggorengan dan air liur dalam mulutku mulai keluar lebih banyak dan itu
pertanda aku ingin makan makanan yang sedang dimasak oleh ayah. Daniel
Bedingfield melantunkan lagu melankolis penuh penjiwaan melalui speaker sound yang ada di ruang tengah
tentang rasa rindu seseorang. Aku melihat ayah bergoyang saat mengaduk-aduk
sesuatu di atas kompor.
“Mengejutkan” jawabku seraya menuangkan anggur merah ke
dalam gelas dengan malas. Terdengar bunyi ceklek pada kompor dan ayah
sepertinya telah selesai memasak. Aku mendekat pada ayah dan melihat bahwa ayah
memasak pasta yang terlihat sangat lezat. Perutku mulai mengeluarkan bunyi
protes padahal saat makan siang tadi aku telah mengisinya dengan roasted chicken dan sekarang betapa luar
biasanya aku. Perut macam apa yang aku miliki sekarang?
“Pernyataan yang di luar dugaan. Kau terpesona padanya?”
aku memuntahkan kembali anggur yang sudah terasa nikmat di lidahku dan akibat
dari tersedak mendenging mencapai kepalaku dan begitu menyakitkan.
“Apa yang ayah bicarakan?” aku menggigit bibir bawah dan
mengelus tengkukku menahan rasa malu untuk mengakui bahwa apa yang dikatakan
ayah adalah kebenaran mutlak.
“Dia tampan bukan?” aku mengerutkan hidung dan mulutku
berusaha untuk tidak memedulikan ayah yang sepertinya sedang mencoba untuk
menggodaku. Ayah mengatur mangkuk yang ada di meja makan. Aku melihat ada
sedikit mie dan saus tomat segar dengan daging dan beberapa keju di atasnya.
Makanan itu benar-benar membuatku semakin lapar dan melupakan ucapan ayah. Aku segera
memegang sendok yang mencuat dari mangkuk dan memutuskan untuk berkonsentrasi
pada makanan itu. Bentuk pengalihan pembicaraan yang sempurna!
“Kau tidak ingin berbagi cerita tentang pekerjaanmu
dengan ayahmu ini?” tanya ayah di sela makannya.
“Tidak banyak yang bisa aku ceritakan, dad” ucapku dengan
mulut penuh pasta.
“Seperti apa MD CFC? Apa dia tinggi? Apa dia pirang? Apa
dia langsing?” ayah mendadak telah berubah menjadi seorang penggosip murahan
yang biasanya berkumpul di sebuah salon yang juga murahan dan membicarakan
hal-hal yang tidak penting.
Aku membasahi mulutku dengan anggur yang ada di samping
kananku. “Tinggi, coklat gelap, tegap dan langsing dan tampan” Perutku
tiba-tiba bergelanyar seperti saat bosku menyentuhku. Dalam pikiranku yang kembali
membusuk, aku teringat wajah menggiurkannya sejelas berlian. Ini jelas-jelas
tindakan kriminalitas bagi seorang pria untuk menjadi pemicu pikiran busuk
padaku. Aku masih saja belum pulih dari kesadaran untuk menghadapi kenyataan
bahwa kejadian menggetarkan telah terjadi beberapa waktu yang lalu.
Ayah mengatur duduknya dengan menyilangkan kedua kaki dan
menumpu dagunya denga salah satu tangannya. Matanya yang berwarna coklat
menatapku dengan seringai lebar menghiasi wajahnya dan aku mengutuk diri bahwa seorang
ayah mampu membuatku memerah.
“Jadi apa yang selanjutnya terjadi?” ayah yang aku miliki
memang bukan seperti ayah pada umumnya. Dia tidak akan terus menerus
mengeluarkan kata bijaksana, tidak melarang ini dan itu. Dia jauh terlihat
seperti temanku. Teman yang selalu menjadi tempatku mencurahkan isi hatiku dan
kali ini dan untuk pertama kalinya dia berhasil menerka bahwa aku telah
merasakan hal yang tidak pernah aku alami sebelumnya ketika aku bertemu dengan
seorang pria yang sudah membuat dinding kejeniusan, percaya diri dan
ketertutupanku goyah!
Aku mengangkat bahu pada pertanyaan ayah. “Tidak ada”
ucapku yang sebenarnya sangat malu mengucapkan bahwa kami tadi berciuman di
dalam lift dan aku merasa seperti orang paling bodoh di dunia dan agen level S
yang selama ini aku sandang menjadi tidak ada artinya.
“Tidak ada?”
“Aku… Aku hanya bersikap profesional” jawabku yang telah
memunculkan kecurigaan pada ayah.
‘Bersikap professional? Oh ayolah Alice. Kau berciuman
dengan bosmu dan itu kau anggap professional? Lalu jika kau melayaninya apa itu
juga bentuk profesionalisme kerja?’ suara kecil di dasar medulla oblongataku
kembali menyeruak dan aku menekannya kembali agar tidak memecah konsentrasi
pada pertanyaan ayah yang membuatku akan salah tingkah. Aku harus berhati-hati
menjawabnya.
“Apa kau tidak mencoba menggodanya seperti bergenit-genit ke arahnya?” sebelah alis ayah terangkat dengan senyum menggoda tercetak tebal pada mulutnya.
“Apa maksud ayah?” ucapku menahan kesal.
“Hahaha… Wajahmu memerah, sayang!” aku kembali mengusap-usap tengkukku yang semakin menghangat dan ayah benar wajahku memerah.
“Dad, saat di kantor Mr. Currey ada kejadian yang membuat nyawanya hampir melayang. Ada 2 sniper yang mencoba membunuh Mr. Currey namun gagal. Aku berhasil menembak salah satu dari mereka. Ayah sudah mendengar berita ini?” tanyaku. Letak duduk ayah telah berubah. Wajahnya menekuk dan tangannya sekarang mengelus-elus ujung hidungnya secara perlahan. Matanya seperti tidak fokus menatap makanannya dan aku tergelitik dengan sikapnya yang tidak lagi menggodaku.
“Itulah bisnis.” raut wajahnya berubah seketika menjadi senyum yang terlalu dibuat-buat dan aku – tentu saja – tidak percaya dengan ucapan ayah. Pernyataan itu sama persis dengan yang diucapkan dengan Tobias dan aku semakin penasaran siapa dalang pelaku penembakan itu.
“Aku tahu ayah berbohong” ucapku dan berniat meninggalkan ruang makan. Selera makanku mendadak hilang dan aku merasa bahwa Tobias dan ayah menyembunyikan sesuatu dariku.
“Heh… Tidak salah jika IM6 memasukkanmu ke dalam jajaran level S. level A seperti ayah percuma berusaha menyembunyikan kebenaran. Ya, ayah sudah mengetahui kabar itu dan pihak CFC merahasiakannya bahkan hanya orang-orang tertentu dari CFC saja yang mengetahui kejadian memalukan itu” tangan ayah telah melayang menuju kening dan dia terlihat lelah dengan segala urusan pekerjaannya yang menyita waktu. Aku mendekatinya dan memeluknya dari belakang.
“Kau harus beristirahat, dad! Kau tampak semakin tua saja” ujarku. Tangan hangat ayah membelai lenganku perlahan.
“Dan kau juga. Lingkar hitam di bawah matamu membuatmu persis seperti mumi. Hanya saja kau tidak terbungkus perban di sekujur tubuhmu” aku memukul pelan pundak ayah dan dia terkekeh pelan.
“Kapan kau mulai bekerja?” tanya ayah yang sekarang benar-benar terlihat seperti seorang ayah yang peduli pada putrinya bukan lagi teman penggoda.
“Sebetulnya hari ini. Ayah benar.. Dia unik dan uummm… terkadang membuatku kesal dengan suara perintahnya yang tidak terbantahkan” tentu saja ada hal lain selain kata unik dan mengesalkan. Dia menggairahkan!
“Jiwa seorang diktator, heh?” aku mengangguk dan duduk di samping ayah.
“Aku rasa tidak masalah meski dia seorang diktator seperti Adolf Hitler yang jelas kau harus tetap fokus pada tujuan awalmu menjadi bodyguard dari Tobias Currey” kata Ayah.
“Sebenarnya apa hubungan Tobias dan Dean, Dad?” tanyaku tegas dan menuntut kejelasan.
“Suatu saat kau akan tahu hubungan mereka. MD perusahaan multinasional Tobias Currey dan Dean Reeves” suaranya lantang dan aku tahu ayah menahan amarah dari ucapannya itu.
“Dad, aku harus pulang”
“Kau tidak ingin menginap?”
Aku menggelengkan kepala dan telah bersiap meraih tas dan kunci mobil.
“Lain kali, dad. Aku harus menyiapkan mentalku terlebih dahulu sebelum menghadapi bos baruku itu besok” aku sangsi apa aku bisa menghadapinya dengan pengaruhnya yang tidak biasa terhadapku dan aku meyakini aku akan mengeluh akan bahaya yang akan mengancam kehidupanku. Bahaya yang ditimbulkan dari sang MD CFC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar