Jumat, 25 April 2014

Night Song



Night Song

Layar televisi masih menampilkan sejumlah acara film tengah malam. Karena perut yang mendadak merasa lapar, aku berniat membuat mi rebus. Aktivitasku terhenti saat keponakanku, yang awalnya terlelap di kasur, kini bangun lalu berjalan menuju meja makan di dapur untuk meraih sebotol air minum.
Dia terlihat sangat lelah. Sekujur tubuhnya basah karena keringat, air dalam botol pun ludes ditenggaknya tak kurang dari tiga menit. Tidak hanya itu, dia meraih beberapa biskuit yang tersedia di samping botol tadi dan memakannya dengan lahap. Sedikit aneh. Malam ini tidak panas malah cenderung dingin dan seingatku bocah perempuan empat tahun itu melahap cukup banyak makanan sore tadi.
“Kak ...,” begitu aku memanggilnya sambil mematikan kompor lalu mendatanginya yang masih mengunyah biskuit. “Keringat Kakak banyak. Bajunya jadi basah.”
Setelah menelan biskuit cepat, bocah itu menyahut, “Kakak capek, Tante.”
Sebelah alisku terangkat; heran dengan ucapannya. “Capek?” tanyaku. “Kakak kok capek?” aku mencoba menanyainya lebih lanjut.
Anak itu berjalan kembali ke kamar mungkin untuk melanjutkan tidurnya. Aku segera mengikutinya dari belakang dan melupakan mi yang nyaris belum kusentuh. Ayah dan ibunya sedang pergi dan hanya kami berdua yang ada di rumah. Jujur saja, aku takut berada di rumah ini. Kautahu ... aku seperti ‘orang asing’ di rumah ini bagi ‘pemiliknya’.
“Tadi Kak Wulan abis jalan-jalan,” ucapnya tak acuh. Wulan sudah berbaring lagi. Paras cantik dan pipi tembamnya itu tidak mengalihkan rasa penasaranku.
“Kak Wulan jalan-jalan?” Aku berusaha membuatnya berbicara. “Kapan?”
“Ini tadi, lo!” Dia terlihat jengkel. “I am very tired, Aunty.”
Mataku melebar seketika. Dia bilang apa tadi?!
“Kakak bisa bahasa inggris?” tanyaku terkejut—dan mendadak merasa takut tanpa alasan.
Yes, I can.
Dia baru empat tahun! Aku menjerit dalam hati.
“Kak ...,” panggilku lagi. Titik ingin-tahuku memuncak. “Kakak jalan-jalan kemana terus sama siapa?”
Tiba-tiba terdengar derik pintu membuka. Bukan dari pintu kamar kami. Apakah ayah dan ibunya pulang? Aku mulai berharap ada orang lain di sini. Ingat! Orang dan bukannya ....
“Sama Mas Henri,” celetuk bocah itu. Dia tersenyum sambil memperlihatkan giginya yang hitam dan gigis.
Mas Henri? Siapa dia?
That’s him, Aunty!” teriaknya ceria. Telunjuknya mengarah ke pintu kamar yang masih menutup.
Bulu romaku meremang. Tidak ada siapapun.
London bridge is falling down ... falling down ... falling down ....
Sebuah nyanyian terdengar dan aku melihat Wulan bangkit sambil menggerakkan lehernya ke kiri dan kanan. Dialah yang bernyanyi. Hanya saja suaranya berbeda. Mulai melengking dan aku semakin khawatir.
“Kak!” Kuraih kedua bahunya lalu mengguncang sedikit kasar.
Wulan tetap bernyanyi semakin keras. “London bridge is falling down ... falling down ... falling down ....” Lalu tawa nyaring menyusul dari pita suaranya.
“Wulan, berhenti!” teriakku ketakutan.
Dia berhenti. Mata hitamnya menatapku dengan gerakan leher pelan dari semula menatap langit-langit. “Don’t be scared, Aunty!” Dan lagi-lagi teriakan yang memekakkan telinga keluar dari tenggorokannya.
Kedua telingaku kututup rapat dengan telapak tangan dan mataku terpejam. Ada yang salah dengan bocah ini! Kumulai merangkai doa di hati. Pelan-pelan, aku membuka mataku.
Wulan hilang!
“Wulan!” aku berteriak dan berlari keluar kamar.
“Hi ... hi ... hi ....” suara tawa melengking muncul dari arah tangga berputar di dapur lalu disusul langkah kaki berlari. Begitu berisik.
“Wulan!” panggilku lagi. Jantungku berdegup kencang; takut terjadi hal buruk pada bocah itu.
Sial bagiku karena rumah ini begitu jauh dari rumah tetangga. Aku yakin tidak ada orang yang mendengar teriakanku.
“Wulan!” panggilku sekali lagi nyaris frustasi.
Aku sudah mencari di ruang tengah; tamu; makan dan kamar tamu. Semua kosong. Aku memberanikan diri menuju dapur dan mulai menaiki tangga berputar untuk mencari keberadaan Wulan di lantai atas.
“Wulan ....” Suaraku bergetar. Khawatir dan takut berkecamuk.
“Aku di sini, Tante.” Suara anak perempuan menggaung nyaring. Kepalaku menoleh untuk mencari asal suara yang seperti berasal dari satu-satunya ruangan di lantai atas.
“Lan, Mama sebentar lagi pulang. Jangan main lagi, ah!” Aku mencoba menutupi rasa takut dengan percakapan. Tak ada yang menyahut.
“Tanteku sayang ... Tanteku malang ....” Ada suara bersyair; mendayu seperti nyanyian nina-bobo di dalam ruangan lantai atas itu.
Aku melangkah begitu pelan agar tidak menimbulkan suara tapi suara degup jantungku seakan menimbulkan berisik. Kata kakakku—Ibu Wulan—kamar itu hanya dipakai untuk meletakkan pakaian bersih yang belum disetrika. Kubuka pintu dan berusaha agar engselnya tidak menimbulkan bunyi. Malam ini terlalu sunyi. Tak ada suara binatang. Malah lagu bahasa inggris anak-anak yang mengisi keheningan.
Saat pintu membuka, aku melihat sesosok tengah duduk memunggungiku. Dari postur tubuh, dia seorang laki-laki mengenakan pakaian warna putih. Bahunya bidang dan memiliki rambut cepak. Beberapa saat kemudian, dia bangkit dan berjalan sambil terus memunggungiku hingga ... aku harus menahan jeritan saat sosok itu menembus tembok lalu hilang.
“Wu-lan,” bisikku ketakutan. Ada sesuatu yang menarik ujung celanaku dan ketakutanku mulai menjadi. Kuputar pandanganku ke bawah untuk melihat siapa yang menarikku dan ..., “Wulan!” Aku langsung berhambur memeluknya erat. Mengusap punggungnya memastikan dia memang berada dalam pelukannku. Dia aman ... dia aman ... dia aman. “Kakak enggak apa-apa, ‘kan?” Aku meneliti setiap tubuhnya. Tak ada luka di sana. Dia baik-baik saja. Aku bersyukur dia baik-baik saja.
“Tante?” Ada suara lain tapi itu bukan dari depanku melainkan dari sisi lain dimana aku berdiri di pintu kamar. Jauh beberapa langkah dari tempat aku berpijak. Dan saat itulah mataku lagi-lagi terkejut. Wulan!
Kualihkan pandanganku pada Wulan yang baru saja kupeluk. Hilang! Lalu siapa tadi? Gemetar hebat menyerang tubuhku. Aku tidak peduli! Aku harus menemukan Wulan! Aku kembali berlari menuju Wulan yang memanggilku.
Dia nyata. Aku merengkuhnya lalu menggendong Wulan menuju kamar di bawah. Setengah berlari, kuturuni tangga dengan jantung yang seperti siap melompat dari tempatnya. Aku bisa merasakan degup jantung Wulan yang normal. Setelah masuk kamar, kukunci pintu kamar dan melihat Wulan duduk di tepi kasur tak beranjang dengan tatapan bingung. “Kakak dari mana?” tanyaku bingung dan aku ingin segera tahu jawabannya.
Wulan tidak segera menjawabku. Pandangannya menerawang. “Kak ....” Kugoyang badannya agar fokus menatapku tapi tetap saja dia diam. Bungkam.
Sedetik kemudian mulutnya membuka dan ...
London bridge is falling down ... falling down ... falling down ....
“Wulan, berhenti bernyanyi itu!” perintahku frustasi lalu membungkam mulutnya. “Berhenti! Tante enggak mau dengar!”
Dengungan masih terdengar dari mulut Wulan. Matanya menyipit seolah-olah memberikan senyuman meski mulutnya tertutup oleh telapak tanganku. Dengungan itu berhenti seiring mata Wulan yang mengatup.
“Wulan ...?”  Aku mulai panik melihat tubuhnya tidak lagi bergerak. “Wulan, bangun!” Kugerakkan secara kasar tubuhnya tapi tetap tidak ada respon. Ya, Tuhan! Jangan ... jangan!
Hi, Aunty!” Aku menoleh pada pintu kamar yang sudah menjeplak padahal aku ingat sudah menguncinya. Dan di situ, Wulan berdiri sambil tersenyum. Di sisinya berdiri seorang lelaki setengah baya berperawakan bulai dengan pakaian zaman dulu sedang menggandengnya.
Thank you for bringing her to me,” kata lelaki itu lalu menghilang bersamaan dengan Wulan.
Tubuhku terpaku melihat tubuh Wulan yang mulai membiru. Di kepalaku hanya terisi bunyian yang membuatku mendesah lega. Tak ada lagi nyanyian keparat itu. Tak akan ada lagi ketakutan. Aku aman ... dan ... Wulan ... Aku meratap pilu melihat tubuhnya di pangkuanku.
Cukup lama aku terdiam dalam isak tangis yang tertahan. Bahkan suara teriakan dari seorang wanita yang begitu kukenal tak mampu membuatku berpaling dari raga bocah itu.
Selang beberapa waktu, suara sirene memenuhi gendang telinga. Ada beberapa orang yang menyeretku secara paksa. Namun aku tidak takut. Harapanku menjadi nyata. Aku tidak lagi sendirian. Ada orang lain di rumah ini. Dan aku tidak takut lagi.

TAMAT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar