XAXI AND XAYI
Sinar mentari yang menyengat menerobos masuk melalui
celah korden yang menutup di sisi tempat tidur dan mengenai wajahku. Merasa
terganggu, aku menggeliat dan menggeser menjauhi daerah cahaya yang menyilaukan
itu. Tubuhku terlalu lelah untuk bangun dan mataku terasa berat untuk dibuka.
Saat paparan sinar itu sudah tidak lagi mengenai wajah, aku kembali bergelung
dan memutar tubuhku. Kesadaran yang separuh ini kembali menghanyutkanku dalam
tidur.
Angin
pelan berhembus di ujung kening. Mataku berkedut dengan rasa malas aku membuka
mata dan menemukan wajah Tobias berada tidak lebih dari satu jengkal ibu jari
dan kelingkingku. Napasku seketika terhenti dan rasa kantuk menghilang saat
napas teratur Tobias meniup lembut rambutku. Dengan perasaan gugup aku mulai
bergerak pelan untuk menjaga jarak namun lengan Tobias tiba-tiba bergerak dan
menggulung pinggangku untuk semakin dekat dengannya. Kepala Tobias menunduk dan
tubuhnya meringkuk sehingga menyundul leherku dan wajahnya –aku berharap dia
tetap terpejam– menyentuh bagian yang paling aku lindungi. Kedua kakiku
mengejang saat tangan Tobias meraba-raba punggung dan sepertinya bibir bawahku
sudah mulai membengkak karena gigitanku. Hembusan udara yang keluar dari hidungnya
di leherku membuat sekujur tubuhku merinding sekaligus bergairah.
Bukankah ini kesempatanmu?
Tanganku
mulai bergerak ke rambutnya. Lembut, halus, dan wangi. Perlahan aku mulai
meraba wajahnya dan matanya tetap terpejam meski kepalanya sempat menggeliat
akibat sentuhan tanganku.
Ada
sesuatu yang menyembul dan menyentuh pahaku yang berasal dari antara
selangkangan Tobias.
Dia pasti bercanda!
“Wangimu
seperti surga, apa kau tahu?” sebuah suara serak mendengung dan reflek aku
bergerak menjauh namun tertahan oleh lengan kokoh milik Tobias.
Aku
berusaha untuk melepas pelukan Tobias dengan menekan dadanya agar menjauh
dariku. “Bukankah ... kita ... harus ... menjemput ... Xaxi dan ... Xayi,”
ujarku sambil menekan-nekan dada Tobias putus asa.
“Aku
tahu, tapi berikan aku waktu sejenak untuk menikmati surga ini,” katanya dengan
suara seksi di pagi hari.
Aku
merengut kesal karena aku sebenarnya juga ingin menikmatinya –bahkan aku
berharap lebih dari ini– Tunggu, apa yang
baru saja aku katakan? “Kau bilang tidak akan menyentuhku,” kataku
mengingatkan perkataan Tobias semalam.
Masih
tetap bergelung dan terus mempererat pelukannya dan sesuatu di selangkangannya
semakin mengeras, Tobias berkata, “Bukan aku yang memulainya ....”
Aku
bergerak untuk memperoleh pandangan Tobias dan seringai jahil terpampang di
wajahnya. Aku memberikannya tatapan paling tajam dan berharap bisa
mengintimidasinya tapi apa yang dia lakukan membuatku terkejut.
Tobias
bangkit dan langsung menyerang mulutku dengan kasar, menindih tubuhku yang belum
siap dengan kedua kakinya dan menahan pergelangan tanganku dengan cengkraman.
Tubuhku terkunci dan aku sama sekali tidak bisa bergerak. “Manis,” sengalnya
dan terus mengulum bibirku. Butuh beberapa detik untuk mengembalikan
kesadaranku tentang apa yang sedang terjadi. Hatiku memberontak, tanganku
terasa gatal, dan hormon seksualku telah diproduksi secara besar-besaran.
Tubuhku menegang dengan menyentakkan tubuh lebih dalam pada tempat tidur,
tanganku menggenggam erat dan kedua kakiku bertaut.
Ciuman
Tobias beralih menurun menuju leher. Ciuman yang basah dan intens tanpa
terputus terus dilancarkan oleh Tobias. Erangan kecil keluar dari tenggorokanku
tanpa sempat bisa aku tahan. Ada sesuatu yang basah jauh di bawah sana.
“Tobias,”
panggilku dengan napas yang memburu.
“Ya,
sayang?” jawabnya dengan desahan yang memabukkan.
“Aku
harus ke kamar mandi sekarang,” kataku setengah berteriak setengah bergairah
saat mulut Tobias mencoba membuka mulutku dengan sesuatu yang basah – lidahnya.
Ciuman
panas itu berhenti. Tobias menatapku dengan sebuah senyuman misterius.
“Sekarang?” Suaranya lembut dan penuh godaan. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku
tetap ingin meneruskan adegan tadi namun kantung kemihku sudah penuh dengan
cairan. Aku yang masih terkejut hanya mampu mengangguk pelan padanya. Mataku
setengah berair karena harus menahannya. “Bisakah kau tunda sebentar saja?”
Tangannya yang besar mengusap pipiku dan kepalanya mulai mendekati telingaku,
mencium lembut daun telingaku.
“A
... aku harus melakukannya sekarang. Ini sudah di ujung ...,” kataku sambil
menggigit bibir bawahku sekuat tenaga. Tobias mulai memindahkan tubuhnya dan
aku memiliki akses untuk lepas dari tindihannya lalu segera melesat menuju
kamar mandi dengan terburu-buru. Hampir saja tubuhku terpelanting karena lantai
yang licin saat menutup pintu.
“Sialan! Mengapa sepagi ini? Dan mengapa
kau harus membuatku ke kamar mandi? Kau memang tidak bisa diajak kerja sama,”
umpatku tersengal sambil memaki kantung kemihku. Sisa kegiatan erotis Tobias
masih menyisakan gairah yang tertunda. Bibirku masih terasa panas, bengkak dan
basah meski sekarang aku sedang duduk di toilet melakukan ritual yang membuatku
harus menghentikan kejadian yang paling membuat jantungku ingin keluar dan
tubuhku menggelinjang tanpa bisa terkendali.
Pintu
kamar mandi berderit saat ritual yang aku lakukan sudah selesai. Tobias berdiri
di kabinet yang terbuat dari marmer putih dengan kaos lengan putih panjangnya
yang kendur tapi kekokohan dan dadanya yang bidang tetap menonjol. Celananya
yang hanya sebataas pinggul memperlihatkan tulang selangkanya yang terlihat
menyenangkan untuk disentuh. Aku tertegun dengan pemandangan paling manakjubkan
dari Tobias yang terlepas dari setelan jas dan rambut rapi. Pagi ini rambutnya
acak-acakan saat aku merapatkan diri di pintu toilet sambil terus menerus
menelan ludahku. Dengan enggan, dia membuka keran dan mengusap wajahnya dengan air. Aku tepat berada di
sampingnya dan melakukan hal yang sama, meraih sikat gigi yang terletak di
pojok kabinet.
Cermin
yang cukup besar berbentuk persegi panjang merefleksikan bayangan kami. Beberapa
kali mata kami bertemu di cermin, saling mencuri pandang. Tobias yang mempesona
memunculkan senyuman yang lebih mirip seperti seringai menggoda. Dia belum
melupakan kejadian tadi. Aku tahu itu. Di cermin itu, wajahku sudah setengah
matang dengan rona memerah seperti buah ceri. Cepat-cepat aku menyelesaikan
acara gosok gigiku dan sebaiknya keluar sebelum ....
“Kau
memiliki sesuatu yang luar biasa di balik identitasmu sebagai seorang penjaga,”
katanya pelan. Selangkah dia bergeser mendekatiku, “harus aku akui aku sangat
menginginkanmu,” lanjutnya dan membuat jantungku tidak berhenti berdegup
kencang dan pembuluh darah pada wajahku membuka lebar. Aku meletakkan sikat
gigiku dan dengan gugup aku menoleh padanya, berusaha memberanikan diri menatap
matanya yang abu-abu gelap menelisik jauh ke dalam tubuhku seperti menelanjangi
setiap senti yang ada pada diriku, membongkarnya secara acak dan menghancurkan.
“Ini
... berlebihan Tobi, aku ... aku seharusnya melakukan tugasku. Aku hanya
pekerjamu,”
“Ssshh
... aku tidak suka kau menyebut dirimu pekerjaku. Kau istimewa,” gurat senyum
simpul tersuguh padaku, “Dan aku suka kau memanggilku Tobi, hanya kau yang
memanggilku Tobi,” lanjutnya. “Saatnya mandi, masih ada Xaxi dan Xayi yang
menunggu.” Tangannya bergerak ke rambutku dan mengacaknya lembut. Aku terkekeh
dan mendorongnya untuk keluar sehingga aku bisa meneruskan aktivitasku di
toilet. Aku masih mendengarnya terkekeh di balik pintu. Tanpa sadar aku tersenyum
untuk pertama kalinya. Tersenyum untuk sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam
hidupku dan aku sendiri tidak tahu rasa apa ini. Aku seperti merasakan kebebasan yang selama hampir seumur hidup
membelengguku dan membuatku mungkin terlihat seperti monster sepanjang hari.
Monster yang terbalut dengan wajah tak terbaca dan sejuta rasa balas dendam
yang memupuk di hatiku bersama K, ayahku.
Kebebasan
sejenak yang menggairahkan sekaligus menyenangkan. Aku mendendangkan sebuah
lagu era 90-an tentang cinta omong kosong yang sering Hugos putar saat kami
menghabiskan hari membosankan di kantor. Hugos adalah kawanku, usianya mungkin
sama seperti Tobias, yang terpaut kurang lebih 5 tahun dariku. Kami adalah satu
tim di unit khusus yang diciptakan MI6 dengan perlakuan khusus. Mungkin
perlakuan khusus ini berbeda dari kata khusus yang sering digunakan pada umumnya
seperti memperoleh kenikmatan lebih layaknya hal saat menaiki sebuah pesawat.
Kata khusus ditujukan bagi pengguna kelas eksekutif sehingga kenyamanan ekstra dapat
diperoleh. Khusus bagi kami adalah penderitaan lebih hebat, rasa sakit lebih
perih dan perasaan terluka lebih dalam. Tidak hanya fisik kami yang dilatih
untuk menjadi lebih kuat dan tahan banting, mental kami juga dituntut untuk
tidak segan-segan membunuh. Aku tidak ingat sudah membunuh berapa banyak orang
dalam tugasku sebagai agen.
Selama
5 tahun aku ditugaskan, aku telah dikirim ke berbagai pelosok negara. Bukan
negara yang eksotik dengan tempat wisata yang luar biasa indah lalu berfoto ria
dan memamerkannya pada orang-orang tetapi aku dikirim ke negara-negara yang
bisa dikatakan mendekati kehancuran. Asia barat dan sekarang yang aku datangi,
benua hitam, Afrika. Aku sempat dikirim ke Rusia saat perang dingin masih
menguasai dunia. Sebagai sekutu dari Amerika, Inggris melakukan pengintaian.
MI6 menunjukku karena kemampuan bahasaku yang melebihi rata-rata. Aku mampu
menguasai lebih dari 10 bahasa yang tidak biasa dipelajari kaum pada umumnya.
Tidak heran aku selalu ditunjuk sebagai pemimpin operasi ‘bawah tanah’ begitu
kami menyebutkan misi rahasia.
Namun
sekarang aku telah berpindah pekerjaan sebagai seorang bodyguard dengan membawa misi yang disamarkan. Tobias tidak akan
pernah tahu bahwa aku menerima pekerjaannya semata untuk mengetahui kaitan
Tobias dengan Dean Manusia-Yang-Akan-Mati-Ditanganku Reeves. Aku telah bekerja
selama empat hari bersama Tobias dan belum sekalipun aku menemukan hubungan
mereka. Aku tidak ingin mengambil resiko menanyakannya secara blak-blakan dan
jika itu aku lakukan maka aku bukanlah Alice. Tapi dari sekian hal yang telah
aku alami dalam kurun waktu empat hari aku telah terperangkap dalam sebuah area
dimana aku sama sekali buta dan tidak tahu harus memulai atau menyikapinya
seperti apa. Sentuhan lembut Tobias, ciumannya, belaiannya pada rambutku dan
yang paling membuatku merasa malu adalah sikap derma dan sosialnya yang luar
biasa begitu menusuk hatiku yang merasa jijik setelah apa yang terjadi dalam
hidupku.
Orang
kaya selalu memerintah sesuka hati. Aku mengakuinya dan aku mengalaminya.
Tobias juga seperti itu hingga saat dia mengumumkan hak asuhnya pada dua orang
anak negro yang menderita kelaparan. Keputusannya membuatku trenyuh sekaligus
kagum padanya. Lelaki luar biasa yang pasti menjadi kebanggaan orang tuanya.
Ketukan
lembut kembali menggeretku pada dunia nyata setelah mengilhami semua tindakan
yang Tobias lakukan padaku. “Apa yang kau lakukan, Nona?” Suara Tobias lembut
tanpa ada pemaksaan. Dia terlihat seperti menggoda dan aku yakin dia tengah
menahan tawa.
“Aku
sudah selesai,” teriakku. Rambut yang masih setengah basah aku gerai dan bergerak
membuka kenop pintu. Tobias berdiri di depan pintu dengan sebelah tangan
mengusap-usap rambutnya sehingga semakin berantakan.
“Bajumu
ada di sana,” katanya sambil menunjuk kaos berwarna biru laut dan celana jeans.
Aku merasa panas saat melihat ada celana dalam berenda berwarna hitam senada
dengan bra yang tergeletak rapi di
atas tempat tidur. Aku bergeser memberi Tobias akses jalan untuk masuk ke kamar
mandi.
“Terimakasih,”
gumamku malu.
“Sama-sama,”
“Tunggu,”
cegahku sebelum pintu kamar mandi tertutup. Tobias masih berdiri tegak
menatapku dengan kepala miring. Aku tidak tahu harus berkata apa. Hari ini
begitu menyenangkan. Beban di hatiku serasa berkurang dan itu berkat Tobias.
Entah apa yang terjadi sebenarnya tapi aku ingin dia tahu bahwa aku merasa
sangat bahagia. “Maaf soal semalam, aku seperti bukan menjadi seorang bodyguard,” gumamku dan sejenak ragu
untuk melanjutkannya. Aku memberanikan diri mendongak dan Tobias sudah dekat di
depanku. Lanjutkan, Alice! “Tapi aku
... jujur aku sangat senang kau mengajakku kemari,” ujarku semakin gugup. Ini
bukan ujian kenaikan tingkat sabuk di karateka maupun kenaikan kemampuan
menembak bahkan terjun payung di ketinggian 10.000 kaki tapi rasa gugup yang
aku rasakan sekarang melebihi dari kesemuanya.
Tobias
mengusap lembut wajahku dengan ibu jarinya, “Maaf untuk apa? Aku mungkin hanya
sedikit khawatir. Sosok ayah? Aku bahkan tidak pernah memikirkan hal gila ini
sebelumnya.” Tobias menatapku penuh rasa kecemasan. Ekpresinya yang khawatir
pada pertemuannya dengan Xaxi dan Xayi pasti membuatnya tertekan. “Aku hanya
membutuhkan bantuan di sini.” Dia menekan dadanya dengan tatapan sayu. “Dan aku
tidak pernah menganggapmu sebagai bodyguard,
secara formal memang kau adalah bodyguardku.
Seandainya saja ...,” ucapannya menggantung, wajahnya yang terlalu sering
berubah-ubah dan pengendalian mimik wajahnya yang sempurna membuatku
berkerenyit memandanginya dengan tatapan bingung. Seandainya saja? Apa? “Aku harus mandi. Jangan sampai mereka
menunggu kita terlalu lama, atau ... kau ingin memandikanku?” godanya.
Perubahan dari rasa cemas ke sisi godaan? Dia ... Siapa kau sebenarnya? Seandainya kau mendaftar sebagai agen di MI6,
mungkin kau akan langsung diterima, batinku.
“Kau
seperti bayi,” gumamku berpura-pura sinis.
“Kau
cukup berani juga mengejek seperti itu pada bosmu,” balasnya.
“Kau
bisa memecatku sekarang.” Aku mengendikkan bahu acuh tak acuh padanya.
“Well, aku tidak bisa memecatmu sekarang.
Mungkin nanti,” katanya terkekeh.
“Pergilah
mandi, Anak kecil!” Aku membalikkan tubuhnya dan mendorongnya masuk kamar
mandi.
“Kau
boleh memanggilku anak kecil tapi percayalah ... dia ...” Tobias menunjuk
sesuatu yang ada di celah selangkangannya dan aku membelalak terkejut sekaligus
merah saat mengikuti arah telunjuknya, “ ...dia tidak kecil seperti yang kau
kira, kukira kau sudah merasakannya meski masih tertutup oleh_”
“Diam
dan masuk kamar mandi!” Teriakku setengah malu. Aku mendengar pintu tertutup
dan gelak tawa Tobias yang tidak kunjung berhenti. Aku menggeleng-gelengkan
kepala mencoba mengusir memori tadi pagi saat sesuatu menyembul ... “Ah! Apa
yang aku pikirkan?” Aku mengacak-acak rambutku geram.
Oo000oO
Range
Rover berwarna hitam yang mewah untuk medan sulit dan gersang di Afrika telah
terpakir di depan kedutaan bersama dengan 5 mobil jip lainnya. Richard telah
menyediakan segala perlengkapan keamanan dan mengerahkan 10 anak buah untuk
mengawal kami menuju Mogashidu, Somalia dengan mengenakan seragam bebas seperti
masyarakat biasa. Perjalanan kali ini akan cukup melelahkan karena jalan yang
akan dilalui menggunakan jalan darat yang penuh dengan debu dan panas –meski
kami tidak akan merasakannya di dalam mobil mewah itu.
Dou
terlihat rapi dengan tatapannya yang datar tanpa ekspresi saat melintasiku.
Sesekali dia berbisik pada Tobias dan Tobias mengangguk perlahan dan memberi
beberapa perintah padanya. Dou, lelaki itu benar-benar membuatku penasaran.
Lelaki dengan aksen bicara Rusia yang kental memberi penilaian tersendiri
olehku untuknya. Pengalaman yang mengajarkanku untuk waspada apalagi terhadap
orang Rusia. Bisa dibilang aku sedikit menaruh perhatian pada orang-orang yang
dulu bearasal dari tempatku memata-matai. Namun dia, Dou lebih lama bekerja
dengan Tobias dibandingkan denganku. Apa yang harus aku curigai sedangkan
Tobias sendiri mempercayainya? Tapi instingku mengatakan ada sesuatu yang tidak
beres pada lelaki itu. Ada banyak hal yang disembunyikannya.
Aku
memang mencurigainya namun sikapku tidak akan turut menjadikanku defensif. Dia
–meski jarang berbicara– selalu tersenyum –tipis– kepadaku.
Jalanan
semakin berdebu dengan musim kemarau yang menyerang wilayah bagian Afrika
sebelah timur ini. Savana dengan rumput-rumput yang menguning dan sebagian mati
karena kekeringan. Dou mengemudikan mobilnya dengan kecepatan standar dengan
mengikuti 2 jip yang berjalan mendahului Rover
dan 3 jip mengawal kami dari belakang.
Aku
duduk di samping Tobias setelah mnegalami perdebatan sengit selama 2 menit
karena aku memaksa diri untuk duduk di samping Dou. Tobias bersikeras jika aku
duduk di sisi pengemudi maka dia akan mati karena bosan. Tobias menjadi dingin
dan aku muak melihatnya yang seperti itu –itu menyakitkanku– dan aku menyerah
pada argumennya sekaligus kuasa sebagai estimasi terakhir sehingga aku tidak
bisa menolaknya. “Aku adalah bosmu!”
Yah, itu adalah ungkapan sakral dan manjur membuatku patuh pada perintahnya. Ayahku juga bos tapi dia tidak pernah
menjadikan jabatannya sebagai senjata untuk bawahannya, umpatku. Tobias
menahan kekehannya saat masuk ke dalam mobil. Sepertinya dia begitu puas
melihatku bertatapan sinis, mulut mengerucut dan hati yang menggondok.
Hewan-hewan
khas Afrika terlihat sedang berbaring di savana yang luas dengan pohon-pohon
yang mulai meranggas. Aku melihat beberapa ekor singa menguap karena bosan.
Ekor mereka bergerak untuk mengusir hawa panas dan memberikan angin dari
kibasannya. Beberapa ekor gajah yang berjalan bergerombol juga tidak
henti-hentinya mngibas-ibaskan telinganya yang besar. Kawanan jerapah dan hewan
lainnya menggoda untuk terus dilihat daripada aku harus bertatapan dengan
Tobias yang sedang membuatku kesal.
“Minum,”
sebuah kaleng soda dingin terulur saat pandanganku dari pemandangan di luar
jendela teralih.
“Terimakasih,”
ucapku mengambil minuman itu tanpa menoleh sedikitpun pada pemberinya. Tutup
kaleng itu mengeluarkan bunyi yang berasal dari soda yang berkarbonasi saat
kaleng itu kubuka dan meminumnya hampir habis untuk mengusir rasa haus yang
cepat melanda kerongkonganku. Mataku teralih kembali pada pemandangan di luar.
“Apa
yang sedang kau lihat?” bisiknya dekat dengan telingaku. Aku tersentak dengan
bisikannya dan menoleh cepat. Matanya seperti mengeluarkan binaran bagai
bintang. Mataku menyipit, dahiku berkerut.
“Haruskah
sedekat ini?” Tobias mengangkat bahunya dan aku menghela nafas panjang dan di
dalam hati bendera putih kembali melambai.
“Pemandangan
seperti ini tidak akan kau jumpai di London atau manapun di dataran Eropa,”
terangku.
“Aku
tahu, aku pernah ke Afrika meski bukan di daerah ... seperti ini.” Aku tahu
maksud dari Tobias. Afrika seperti kasta dimana ada daerah dengan begitu
melimpahnya tambang emas di Afrika selatan, banyaknya situs sejarah seperti di
Mesir, dan sebaliknya begitu banyak kelaparan, perang, dan kudeta di daerah
konflik seperti di Somalia, Sudan dan Ethiopia. Sisi kemewahan sekaligus
kemelaratan di benua hitam.
Sudah
4 jam lebih Rover membawa kami menerjang jalanan tanah menuju Mogashidu. Saat
kami memasuki wilayah ibukota Somalia hal yang sama persis di beritakan koran
menjadi pemandangan pertama kami. Kekacauan yang diakibatkan separatis dan
banyak orang mengais-ngais rejeki. Memang ada beberapa dari mereka terlihat
adalah orang berada. Bangunan-bangunan tua yang tampak sudah tidak layak huni
masih digunakan. Rumah-rumah kumuh yang berjejalan di beberapa area membuat
Mogashidu terlihat seperti habis berperang –atau mungkin memang masih dalam
peperangan– dan melihat wanita-wanita perkasa memanggul beban dari
berkarung-karung yang entah apa isinya yang kelewat berat dengan punggungnya
dan sekaligus menggendong anaknya di dadanya dalam balutan kain memoles sisi
ketegaran dan kekuatan yang masih dimiliki Somalia.
“Xaxi
dan Xayi pasti akan sangat senang,” gumamku tiba-tiba. Rasa sayang tiba-tiba
menjalari tubuhku melihat beberapa anak jalanan berlarian mendatangi seorang
ibu memanggul sebuah jerigen berisi air dan lebih dari 4 anak saling berebutan
untuk meneguk isinya.
“Begitu?”
“Mereka
anak yang sangat beruntung memiliki ayah sepertimu, percayalah!” Aku mengusap
lengan atas Tobias dan kembali mengalihkan pandanganku keluar jendela mobil.
“Aku
harap juga begitu,” balas Tobias.
“Aku
sedikit heran, mengapa Xaxi dan Xayi justru berada di Mogashidu dan tidak di Nairobi,”
gumamku mengingat-ingat headline yang
tertulis pada koran yang aku baca kala itu.
“Orang
tua mereka berasal dari daerah terpencil Somalia dan mereka melarikan diri ke
Kenya saat separatis melancarkan serangan di desa mereka dan menguasai seluruh
wilayah di daerah tempat Xaxi dan Xayi tinggal. Setelah orang tua mereka
meninggal karena luka yang mereka derita akibat melindungi Xaxi dan Xayi, kedua
anak itu dikembalikan di sebuah panti asuhan di ibukota Somalia,” jelas Tobias
dan aku mendengarkannya dengan cermat. “Mereka adalah anak-anak yang manis
sebenarnya. Aku sempat berbincang-bincang dengan mereka saat kita selesai makan
malam apartemen,” lanjutnya.
“Mereka
bisa berbahasa Inggris?” tanyaku terkejut mendengar bahwa Tobias sudah
melakukan kontak pada Xaxi dan Xayi.
“Ada
penerjemah yang membantuku,” kata Tobias sambil tersenyum kecut. “Awalnya
mereka hanya diam saja dan malah ketakutan saat aku mengajak bicara,” suaranya
mengecil dan tatapannya lurus ke depan, “awalnya aku ragu, bisakah aku menjadi
ayah mereka dengan keputusan gila mengangkat anak bahkan dua sekaligus .... Itu
membuatku tertekan dan aku membutuhkan tempat untuk berbagi.”
“Lalu
mengapa kau mengambil keputusan gila itu?”
Tobias
menatap ragu ke depan dan menekan sebuah tombol. Sebuah papan bergerak ke atas
sehingga memberi sekat antara ruang kemudi dengan kursi penumpang. Memberikan
privasi bagi Tobias untuk meneruskan pembicaraan kami.
“Sudah
terlalu banyak hidupku dipenuhi rasa bersalah,” jelasnya sejenak ragu, “Jangan
tanyakan apa itu. Kupikir ini sebagai bentuk pembayaranku atas rasa bersalahku.”
Tubuhnya bersandar pada jok dan memijat keningnya perlahan. Aku menatapnya
terkejut dan juga berpikir hal apa yang membuat Tobias begitu merasa bersalah
hingga melakukan pengasuhan anak ini?
“Bukankah
itu hanya akan membuat mereka kecewa jika mereka tahu apa yang sebenarnya kau
lakukan?”
“Di
dunia ini, meski kadang kita melakukannya dengan perasaan tulus, jauh di dalam
sana, di suatu tempat yang tidak mampu dijangkau akal manusia, kita semua
selalu melakukan hal dengan pamrih atau melakukan hal atas dasar penebusan
dosa. Selalu ada tujuan saat melakukan sesuatu. Seperti kita bersedekah untuk
apa? Untuk ... mungkin memperoleh nama agar dikenal sebagai yang dermawan atau
bahkan orang suci sekalipun, mereka akan melakukannya dengan pamrih berharap
mereka masuk surga.” Sebuah pernyataan yang luar biasa berani. Meski aku bukan
seorang yang rajin ke tempat ibadah –bagaimana bisa aku melakukannya dengan
segala tetek bengek senjata dan pengambilan nyawa? Dosaku terlampau besar!–
namun ucapan Tobias termasuk ucapan yang bagiku berlebihan. “Aku hanya berpikir
secara rasional. Bahkan saat kau bekerja bersamaku pasti memiliki tujuan
sesuatu, kan?” katanya yang bagaikan sambaran petir. Apakah dia mengetahui tujuan dibalik aku bekerja padanya? Tidak! Ini
tidak boleh terjadi. Aku berdeham dan mengalihkan pembicaraan.
“Lalu
jika Xaxi dan Xayi tahu?”
“Semua
rahasia, meski ditutupi serapat apapun oleh manusia pasti akan terbongkar.”
Untuk seumuran Tobias, dia terlalu muda untuk bersikap begitu dewasa. “Aku harap
seiring berjalannya waktu aku bisa mengubah tujuan ini menjadi sepenuh hati
ingin merawat mereka. Bukankah aku sudah dalam bentuk usaha?”
Aku
mengangguk pelan. Dia benar. Setidaknya dia sudah mencoba membuat Xaxi dan Xayi
pergi dari wilayah konflik ini dan memulai kehidupan yang jauh lebih layak
bersama Tobias.
“Apa
kau akan membawa mereka ke apartemenmu?”
“Tidak
... mungkin tidak sekarang. Mereka harus belajar bahasa inggris lebih intensif
jadi mereka akan lebih fokus untuk tinggal di asrama dan lagipula aku belum
siap ada orang lain ...” Tobias terlihat enggan melanjutkan ucapannya. “ ...Aku
sudah bilang pada mereka dan aku berjanji akan datang setiap dua minggu sekali,”
katanya yang jelas-jelas ada alasan yang sedang dia sembunyikan.
Oo000oO
Rover memasuki sebuah area terbuka dengan halaman yang
luas dengan bebatuan dan pohon-pohon yang meranggas. Anak-anak kecil berusia
anatara 4 sampai 10 tahunan tengah asyik bermain bersama di halaman. Mereka
saling berlarian dan ada pula yang bermain ayunan yang terbuat dari ban mobil
besar yang diikat di dahan pohon besar. Semua anak itu berkulit hitam dengan
tubuh kurus namun ceria. Tobias dan aku turun dan berjalan menuju sebuah rumah
yang cukup besar namun sebenarnya sudah tidak layak dihuni. Genting atapnya yang
terbuat dari tanah liat banyak yang pecah dan bolong. Temboknya sudah berjamur
dan beberapa di antaranya bahkan ada yang berlubang. Bisa saja ular derik masuk
ke sana tanpa mengucapkan salam pada penghuni rumah.
Para pengawal yang lain berjaga-jaga
dengan seragam bebas agar tidak menakuti anak-anak yang lain. Mereka turut
membaur bersama anak-anak berusaha menyembunyikan identitas mereka dan berlaku
ramah.
Seorang
wanita berusia seperti Julia dengan tubuh juga kurus dan berkulit hitam
mendatangi kami dengan terburu-buru. Dia memakai baju sederhana tahun 80-an
dengan motif bunga-bunga. Rambutnya yang berombak hitam menyembunyikna
kelelahannya yang tergurat jelas di keriputnya yang terlalu banyak untuk
usianya yang mungkin akan lebih muda dibandingkan wajahnya sekarang.
“Mrs.
Cloe.” Tobias menjabat erat tangan wanita yang bernama Mrs. Cloe.
“Mr.
Currey, senang bertemu anda.”
“Dan
ini adalah Miss Keith,” tunjuk Tobias. Aku tersenyum dan menjabat mantap tangan
Mrs. Cloe. Senyumnya mencetak lebih banyak kerut pada ujung matanya yang sendu.
“Silakan,
mereka telah menunggu anda,” ucapnya seraya mengantarkan kami masuk ke dalam.
Kami
memasuki rumah yang menyerempet seperti gudang. Ruangan yang dianggap sebagai
aula tidak lebh dari ruangan kosong luas dengan ubin dari semen yang bocel sana
sini. Cat tembok yang awalnya berwarna hijau dan oranye cerah kini sudah
memudar dan banyak terkelupas dan ditumbuhi lumut.
Kami
masuk lebih dalam lagi ke sebuah ruangan yang berukuran 5 x 5 meter dengan
sebuah meja kecil dan kursi yang terletak di antara meja dan lemari yang berisi
banyak kertas. Tidak ada perabotan istimewa lain. “Maaf, kami hanya bisa
menyambut Mr. Currey seperti ini,” kata Mrs. Cloe gugup.
“Tidak
apa-apa,” balas Tobias. Kami duduk dalam diam saat Mrs. Cloe meninggalkan kami
di kursi yang reyot berwarna hijau untuk memanggil Xaxi dan Xayi.
Lima
menit kemudian aku mendengar langkah-langkah kaki mendekat dan saat pintu
terbuka aku melihat Mrs. Cloe menggandeng dua anak laki-laki yang berpakaian
sangat rapi. Mereka sama persis seperti yang di koran, sedang menunduk malu dan
mencuri pandang ke arah kami. Aku tersenyum melihat mereka yang mungkin saja
merasa asing dengan kehadiranku dan Tobias.
Satu
anak yang digandeng di tangan kiri Mrs. Cloe lebih tinggi dengan rambut cepak
dan keriting kecil-kecil. Wajahnya menunduk sesaat lalu mendongak tanpa
ekspresi, bola matanya sangat putih sehingga terlihat sangat mencolok dengan
mukanya. Bocah itu mengenakan pakaian kemeja kotak-kotak berwarna putih dan
celana panjang hitam dengan sepatu yang mengkilap.
Di
sebelah kanan Mrs. Cloe seorang anak lebih kecil, tingginya hanya mencapai bahu
anak pertama namun wajahnya sama seperti anak pertama. Dia tersenyum malu-malu
ke arahku.
“Xaxi
... Xayi ....” Mrs. Cloe membawa kedua anak laki-laki itu mendekat. Aku menoleh
untuk melihat reaksi Tobias. Dia membelalak, wajahnya sedikit pucat. Aku
menyentuh tangannya dan merasakan keringatnya mengucur membasahi telapak
tangannya. Apa dia juga gugup?
Tangan
anak laki-laki yang lebih kecil dan hanya setinggi bahu dari anak satunya maju
mendekati Tobias. Dengan malu-malu, dia mengangkat tangan untuk berjabatan,
“Namaku ... Xayi,” katanya kikuk. Sepertinya dia baru belajar mengucapkan itu.
Aksen aneh namun aku mengerti ucapannya.
Tobias
meraih tangannya dengan kedua tangan, mengusap lembut punggung tangan bocah itu
dan tersenyum hangat. “Namaku ... Tobias,” ucap Tobias perlahan dengan bahasa
inggris yang perlahan agar Xayi mengerti. Xayi tersenyum dan menoleh padaku,
mendatangiku dengan mantap dan mengulurkan tangannya yang mungil dan hitam,
“Namaku Xayi,” katanya bangga. Mungkin dia sudah benar mengucapkan kalimat
sederhana itu dalam bahasa inggris karena Tobias menjawabnya.
Aku
tersenyum padanya, “Namaku Alice,” “Alice?” ulang Xayi dan menoleh pada bocah
yang ada di belakangnya. Xayi menggelengkan kepalanya sekali memberi kode pada
bocah itu untuk berkenalan.
Anak
itu mendekat ragu-ragu dan sedikit rasa takut tergambar di ekspresinya. “Namaku
Xaxi, aku ... kakak ... Xayi,” gumamnya pada Tobias.
“Hai,
Xaxi. Aku Tobias,”
Xaxi
cepat-cepat membuang muka beralih padaku. Dia memang kelihatan lebih gugup
dibanding adiknya, “Xaxi,”
“Alice,”
kataku lembut dan menariknya untuk lebih dekat denganku. Aku membelainya dan
menemukan ketegangan kecil di tubuhnya yang sempat memaku. “Usiogope, [1]” ucapku lirih.
Mata
Xaxi membelalak saat kata itu terlontar dari mulutku. Dia memandang berkeliling
dan mematri tatapannya yang terkejut pada Mrs. Cloe. Mrs. Cloe pun sama
terkejutnya seperti Xaxi. Xayi yang sedari tadi berada di sisi Mrs. Cloe
beranjak mendekatiku dan menatap Xaxi, “Anaweza kuongea Kiswahili, [2]” katanya bersemangat.
Xaxi
yang masih terkejut kemudian berubah menjadi hangat, “Nina
furaha ya kukutana na wewen. [3]”
Tangan Xaxi menjabat erat. Remasannya mantap tanpa ada lagi keraguan.
“Kau
bisa berbahasa Swahili?” bisik Tobias. Aku mengangguk pelan. “Kejutan untukku,”
lanjutnya dan aku hanya mampu menahan kekehku bersama Xaxi dan Xayi.
“Xaxi,
Xayi ... Njoo hapa. [4]” Aku menarik lengan Xaxi dan Xayi
dan berbisik pada telinga mereka.
“Apa
yang kalian bicarakan?” Tanya Tobias yang sepertinya penasaran dengan apa yang
kami bicarakan. Xayi tertawa cekikikan sedangkan Xaxi berusaha menahan
dengusan.
“Si ... ri .... [5]” Aku mengedipkan pada
kedua anak itu dan tawa keduanya pecah sedangkan Tobias menekuk wajahnya
menahan marah karena dia tidak mengerti bahasa yang kami ucapkan.
________________________________
[1] “Jangan takut”
[2] “Dia bisa berbahasa Swahili”
[3] “Aku senang bertemu denganmu”
[4] “Kemarilah”
[5] “Ra ... ha ... sia”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar