Sabtu, 06 April 2013

Double Me Agent - Bab 4 -



XAXI AND XAYI


            Sinar mentari yang menyengat menerobos masuk melalui celah korden yang menutup di sisi tempat tidur dan mengenai wajahku. Merasa terganggu, aku menggeliat dan menggeser menjauhi daerah cahaya yang menyilaukan itu. Tubuhku terlalu lelah untuk bangun dan mataku terasa berat untuk dibuka. Saat paparan sinar itu sudah tidak lagi mengenai wajah, aku kembali bergelung dan memutar tubuhku. Kesadaran yang separuh ini kembali menghanyutkanku dalam tidur.
Angin pelan berhembus di ujung kening. Mataku berkedut dengan rasa malas aku membuka mata dan menemukan wajah Tobias berada tidak lebih dari satu jengkal ibu jari dan kelingkingku. Napasku seketika terhenti dan rasa kantuk menghilang saat napas teratur Tobias meniup lembut rambutku. Dengan perasaan gugup aku mulai bergerak pelan untuk menjaga jarak namun lengan Tobias tiba-tiba bergerak dan menggulung pinggangku untuk semakin dekat dengannya. Kepala Tobias menunduk dan tubuhnya meringkuk sehingga menyundul leherku dan wajahnya –aku berharap dia tetap terpejam– menyentuh bagian yang paling aku lindungi. Kedua kakiku mengejang saat tangan Tobias meraba-raba punggung dan sepertinya bibir bawahku sudah mulai membengkak karena gigitanku. Hembusan udara yang keluar dari hidungnya di leherku membuat sekujur tubuhku merinding sekaligus bergairah.
Bukankah ini kesempatanmu?
Tanganku mulai bergerak ke rambutnya. Lembut, halus, dan wangi. Perlahan aku mulai meraba wajahnya dan matanya tetap terpejam meski kepalanya sempat menggeliat akibat sentuhan tanganku.
Ada sesuatu yang menyembul dan menyentuh pahaku yang berasal dari antara selangkangan Tobias.
Dia pasti bercanda!
“Wangimu seperti surga, apa kau tahu?” sebuah suara serak mendengung dan reflek aku bergerak menjauh namun tertahan oleh lengan kokoh milik Tobias.
Aku berusaha untuk melepas pelukan Tobias dengan menekan dadanya agar menjauh dariku. “Bukankah ... kita ... harus ... menjemput ... Xaxi dan ... Xayi,” ujarku sambil menekan-nekan dada Tobias putus asa.
“Aku tahu, tapi berikan aku waktu sejenak untuk menikmati surga ini,” katanya dengan suara seksi di pagi hari.
Aku merengut kesal karena aku sebenarnya juga ingin menikmatinya –bahkan aku berharap lebih dari ini– Tunggu, apa yang baru saja aku katakan? “Kau bilang tidak akan menyentuhku,” kataku mengingatkan perkataan Tobias semalam.
Masih tetap bergelung dan terus mempererat pelukannya dan sesuatu di selangkangannya semakin mengeras, Tobias berkata, “Bukan aku yang memulainya ....”
Aku bergerak untuk memperoleh pandangan Tobias dan seringai jahil terpampang di wajahnya. Aku memberikannya tatapan paling tajam dan berharap bisa mengintimidasinya tapi apa yang dia lakukan membuatku terkejut.
Tobias bangkit dan langsung menyerang mulutku dengan kasar, menindih tubuhku yang belum siap dengan kedua kakinya dan menahan pergelangan tanganku dengan cengkraman. Tubuhku terkunci dan aku sama sekali tidak bisa bergerak. “Manis,” sengalnya dan terus mengulum bibirku. Butuh beberapa detik untuk mengembalikan kesadaranku tentang apa yang sedang terjadi. Hatiku memberontak, tanganku terasa gatal, dan hormon seksualku telah diproduksi secara besar-besaran. Tubuhku menegang dengan menyentakkan tubuh lebih dalam pada tempat tidur, tanganku menggenggam erat dan kedua kakiku bertaut.
Ciuman Tobias beralih menurun menuju leher. Ciuman yang basah dan intens tanpa terputus terus dilancarkan oleh Tobias. Erangan kecil keluar dari tenggorokanku tanpa sempat bisa aku tahan. Ada sesuatu yang basah jauh di bawah sana.
“Tobias,” panggilku dengan napas yang memburu.
“Ya, sayang?” jawabnya dengan desahan yang memabukkan.
“Aku harus ke kamar mandi sekarang,” kataku setengah berteriak setengah bergairah saat mulut Tobias mencoba membuka mulutku dengan sesuatu yang basah – lidahnya.
Ciuman panas itu berhenti. Tobias menatapku dengan sebuah senyuman misterius. “Sekarang?” Suaranya lembut dan penuh godaan. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku tetap ingin meneruskan adegan tadi namun kantung kemihku sudah penuh dengan cairan. Aku yang masih terkejut hanya mampu mengangguk pelan padanya. Mataku setengah berair karena harus menahannya. “Bisakah kau tunda sebentar saja?” Tangannya yang besar mengusap pipiku dan kepalanya mulai mendekati telingaku, mencium lembut daun telingaku.
“A ... aku harus melakukannya sekarang. Ini sudah di ujung ...,” kataku sambil menggigit bibir bawahku sekuat tenaga. Tobias mulai memindahkan tubuhnya dan aku memiliki akses untuk lepas dari tindihannya lalu segera melesat menuju kamar mandi dengan terburu-buru. Hampir saja tubuhku terpelanting karena lantai yang licin saat menutup pintu.
Sialan! Mengapa sepagi ini? Dan mengapa kau harus membuatku ke kamar mandi? Kau memang tidak bisa diajak kerja sama,” umpatku tersengal sambil memaki kantung kemihku. Sisa kegiatan erotis Tobias masih menyisakan gairah yang tertunda. Bibirku masih terasa panas, bengkak dan basah meski sekarang aku sedang duduk di toilet melakukan ritual yang membuatku harus menghentikan kejadian yang paling membuat jantungku ingin keluar dan tubuhku menggelinjang tanpa bisa terkendali.
Pintu kamar mandi berderit saat ritual yang aku lakukan sudah selesai. Tobias berdiri di kabinet yang terbuat dari marmer putih dengan kaos lengan putih panjangnya yang kendur tapi kekokohan dan dadanya yang bidang tetap menonjol. Celananya yang hanya sebataas pinggul memperlihatkan tulang selangkanya yang terlihat menyenangkan untuk disentuh. Aku tertegun dengan pemandangan paling manakjubkan dari Tobias yang terlepas dari setelan jas dan rambut rapi. Pagi ini rambutnya acak-acakan saat aku merapatkan diri di pintu toilet sambil terus menerus menelan ludahku. Dengan enggan, dia membuka keran dan mengusap  wajahnya dengan air. Aku tepat berada di sampingnya dan melakukan hal yang sama, meraih sikat gigi yang terletak di pojok kabinet.
Cermin yang cukup besar berbentuk persegi panjang merefleksikan bayangan kami. Beberapa kali mata kami bertemu di cermin, saling mencuri pandang. Tobias yang mempesona memunculkan senyuman yang lebih mirip seperti seringai menggoda. Dia belum melupakan kejadian tadi. Aku tahu itu. Di cermin itu, wajahku sudah setengah matang dengan rona memerah seperti buah ceri. Cepat-cepat aku menyelesaikan acara gosok gigiku dan sebaiknya keluar sebelum ....
“Kau memiliki sesuatu yang luar biasa di balik identitasmu sebagai seorang penjaga,” katanya pelan. Selangkah dia bergeser mendekatiku, “harus aku akui aku sangat menginginkanmu,” lanjutnya dan membuat jantungku tidak berhenti berdegup kencang dan pembuluh darah pada wajahku membuka lebar. Aku meletakkan sikat gigiku dan dengan gugup aku menoleh padanya, berusaha memberanikan diri menatap matanya yang abu-abu gelap menelisik jauh ke dalam tubuhku seperti menelanjangi setiap senti yang ada pada diriku, membongkarnya secara acak dan menghancurkan.
“Ini ... berlebihan Tobi, aku ... aku seharusnya melakukan tugasku. Aku hanya pekerjamu,”
“Ssshh ... aku tidak suka kau menyebut dirimu pekerjaku. Kau istimewa,” gurat senyum simpul tersuguh padaku, “Dan aku suka kau memanggilku Tobi, hanya kau yang memanggilku Tobi,” lanjutnya. “Saatnya mandi, masih ada Xaxi dan Xayi yang menunggu.” Tangannya bergerak ke rambutku dan mengacaknya lembut. Aku terkekeh dan mendorongnya untuk keluar sehingga aku bisa meneruskan aktivitasku di toilet. Aku masih mendengarnya terkekeh di balik pintu. Tanpa sadar aku tersenyum untuk pertama kalinya. Tersenyum untuk sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam hidupku dan aku sendiri tidak tahu rasa apa ini. Aku seperti merasakan  kebebasan yang selama hampir seumur hidup membelengguku dan membuatku mungkin terlihat seperti monster sepanjang hari. Monster yang terbalut dengan wajah tak terbaca dan sejuta rasa balas dendam yang memupuk di hatiku bersama K, ayahku.
Kebebasan sejenak yang menggairahkan sekaligus menyenangkan. Aku mendendangkan sebuah lagu era 90-an tentang cinta omong kosong yang sering Hugos putar saat kami menghabiskan hari membosankan di kantor. Hugos adalah kawanku, usianya mungkin sama seperti Tobias, yang terpaut kurang lebih 5 tahun dariku. Kami adalah satu tim di unit khusus yang diciptakan MI6 dengan perlakuan khusus. Mungkin perlakuan khusus ini berbeda dari kata khusus yang sering digunakan pada umumnya seperti memperoleh kenikmatan lebih layaknya hal saat menaiki sebuah pesawat. Kata khusus ditujukan bagi pengguna kelas eksekutif sehingga kenyamanan ekstra dapat diperoleh. Khusus bagi kami adalah penderitaan lebih hebat, rasa sakit lebih perih dan perasaan terluka lebih dalam. Tidak hanya fisik kami yang dilatih untuk menjadi lebih kuat dan tahan banting, mental kami juga dituntut untuk tidak segan-segan membunuh. Aku tidak ingat sudah membunuh berapa banyak orang dalam tugasku sebagai agen.
Selama 5 tahun aku ditugaskan, aku telah dikirim ke berbagai pelosok negara. Bukan negara yang eksotik dengan tempat wisata yang luar biasa indah lalu berfoto ria dan memamerkannya pada orang-orang tetapi aku dikirim ke negara-negara yang bisa dikatakan mendekati kehancuran. Asia barat dan sekarang yang aku datangi, benua hitam, Afrika. Aku sempat dikirim ke Rusia saat perang dingin masih menguasai dunia. Sebagai sekutu dari Amerika, Inggris melakukan pengintaian. MI6 menunjukku karena kemampuan bahasaku yang melebihi rata-rata. Aku mampu menguasai lebih dari 10 bahasa yang tidak biasa dipelajari kaum pada umumnya. Tidak heran aku selalu ditunjuk sebagai pemimpin operasi ‘bawah tanah’ begitu kami menyebutkan misi rahasia.
Namun sekarang aku telah berpindah pekerjaan sebagai seorang bodyguard dengan membawa misi yang disamarkan. Tobias tidak akan pernah tahu bahwa aku menerima pekerjaannya semata untuk mengetahui kaitan Tobias dengan Dean Manusia-Yang-Akan-Mati-Ditanganku Reeves. Aku telah bekerja selama empat hari bersama Tobias dan belum sekalipun aku menemukan hubungan mereka. Aku tidak ingin mengambil resiko menanyakannya secara blak-blakan dan jika itu aku lakukan maka aku bukanlah Alice. Tapi dari sekian hal yang telah aku alami dalam kurun waktu empat hari aku telah terperangkap dalam sebuah area dimana aku sama sekali buta dan tidak tahu harus memulai atau menyikapinya seperti apa. Sentuhan lembut Tobias, ciumannya, belaiannya pada rambutku dan yang paling membuatku merasa malu adalah sikap derma dan sosialnya yang luar biasa begitu menusuk hatiku yang merasa jijik setelah apa yang terjadi dalam hidupku.
Orang kaya selalu memerintah sesuka hati. Aku mengakuinya dan aku mengalaminya. Tobias juga seperti itu hingga saat dia mengumumkan hak asuhnya pada dua orang anak negro yang menderita kelaparan. Keputusannya membuatku trenyuh sekaligus kagum padanya. Lelaki luar biasa yang pasti menjadi kebanggaan orang tuanya.
Ketukan lembut kembali menggeretku pada dunia nyata setelah mengilhami semua tindakan yang Tobias lakukan padaku. “Apa yang kau lakukan, Nona?” Suara Tobias lembut tanpa ada pemaksaan. Dia terlihat seperti menggoda dan aku yakin dia tengah menahan tawa.
“Aku sudah selesai,” teriakku. Rambut yang masih setengah basah aku gerai dan bergerak membuka kenop pintu. Tobias berdiri di depan pintu dengan sebelah tangan mengusap-usap rambutnya sehingga semakin berantakan.
“Bajumu ada di sana,” katanya sambil menunjuk kaos berwarna biru laut dan celana jeans. Aku merasa panas saat melihat ada celana dalam berenda berwarna hitam senada dengan bra yang tergeletak rapi di atas tempat tidur. Aku bergeser memberi Tobias akses jalan untuk masuk ke kamar mandi.
“Terimakasih,” gumamku malu.
“Sama-sama,”
“Tunggu,” cegahku sebelum pintu kamar mandi tertutup. Tobias masih berdiri tegak menatapku dengan kepala miring. Aku tidak tahu harus berkata apa. Hari ini begitu menyenangkan. Beban di hatiku serasa berkurang dan itu berkat Tobias. Entah apa yang terjadi sebenarnya tapi aku ingin dia tahu bahwa aku merasa sangat bahagia. “Maaf soal semalam, aku seperti bukan menjadi seorang bodyguard,” gumamku dan sejenak ragu untuk melanjutkannya. Aku memberanikan diri mendongak dan Tobias sudah dekat di depanku. Lanjutkan, Alice! “Tapi aku ... jujur aku sangat senang kau mengajakku kemari,” ujarku semakin gugup. Ini bukan ujian kenaikan tingkat sabuk di karateka maupun kenaikan kemampuan menembak bahkan terjun payung di ketinggian 10.000 kaki tapi rasa gugup yang aku rasakan sekarang melebihi dari kesemuanya.
Tobias mengusap lembut wajahku dengan ibu jarinya, “Maaf untuk apa? Aku mungkin hanya sedikit khawatir. Sosok ayah? Aku bahkan tidak pernah memikirkan hal gila ini sebelumnya.” Tobias menatapku penuh rasa kecemasan. Ekpresinya yang khawatir pada pertemuannya dengan Xaxi dan Xayi pasti membuatnya tertekan. “Aku hanya membutuhkan bantuan di sini.” Dia menekan dadanya dengan tatapan sayu. “Dan aku tidak pernah menganggapmu sebagai bodyguard, secara formal memang kau adalah bodyguardku. Seandainya saja ...,” ucapannya menggantung, wajahnya yang terlalu sering berubah-ubah dan pengendalian mimik wajahnya yang sempurna membuatku berkerenyit memandanginya dengan tatapan bingung. Seandainya saja? Apa? “Aku harus mandi. Jangan sampai mereka menunggu kita terlalu lama, atau ... kau ingin memandikanku?” godanya. Perubahan dari rasa cemas ke sisi godaan? Dia ... Siapa kau sebenarnya? Seandainya kau mendaftar sebagai agen di MI6, mungkin kau akan langsung diterima, batinku.
“Kau seperti bayi,” gumamku berpura-pura sinis.
“Kau cukup berani juga mengejek seperti itu pada bosmu,” balasnya.
“Kau bisa memecatku sekarang.” Aku mengendikkan bahu acuh tak acuh padanya.
Well, aku tidak bisa memecatmu sekarang. Mungkin nanti,” katanya terkekeh.
“Pergilah mandi, Anak kecil!” Aku membalikkan tubuhnya dan mendorongnya masuk kamar mandi.
“Kau boleh memanggilku anak kecil tapi percayalah ... dia ...” Tobias menunjuk sesuatu yang ada di celah selangkangannya dan aku membelalak terkejut sekaligus merah saat mengikuti arah telunjuknya, “ ...dia tidak kecil seperti yang kau kira, kukira kau sudah merasakannya meski masih tertutup oleh_”
“Diam dan masuk kamar mandi!” Teriakku setengah malu. Aku mendengar pintu tertutup dan gelak tawa Tobias yang tidak kunjung berhenti. Aku menggeleng-gelengkan kepala mencoba mengusir memori tadi pagi saat sesuatu menyembul ... “Ah! Apa yang aku pikirkan?” Aku mengacak-acak rambutku geram.
Oo000oO 
Range Rover berwarna hitam yang mewah untuk medan sulit dan gersang di Afrika telah terpakir di depan kedutaan bersama dengan 5 mobil jip lainnya. Richard telah menyediakan segala perlengkapan keamanan dan mengerahkan 10 anak buah untuk mengawal kami menuju Mogashidu, Somalia dengan mengenakan seragam bebas seperti masyarakat biasa. Perjalanan kali ini akan cukup melelahkan karena jalan yang akan dilalui menggunakan jalan darat yang penuh dengan debu dan panas –meski kami tidak akan merasakannya di dalam mobil mewah itu.
Dou terlihat rapi dengan tatapannya yang datar tanpa ekspresi saat melintasiku. Sesekali dia berbisik pada Tobias dan Tobias mengangguk perlahan dan memberi beberapa perintah padanya. Dou, lelaki itu benar-benar membuatku penasaran. Lelaki dengan aksen bicara Rusia yang kental memberi penilaian tersendiri olehku untuknya. Pengalaman yang mengajarkanku untuk waspada apalagi terhadap orang Rusia. Bisa dibilang aku sedikit menaruh perhatian pada orang-orang yang dulu bearasal dari tempatku memata-matai. Namun dia, Dou lebih lama bekerja dengan Tobias dibandingkan denganku. Apa yang harus aku curigai sedangkan Tobias sendiri mempercayainya? Tapi instingku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres pada lelaki itu. Ada banyak hal yang disembunyikannya.
Aku memang mencurigainya namun sikapku tidak akan turut menjadikanku defensif. Dia –meski jarang berbicara– selalu tersenyum –tipis– kepadaku.
Jalanan semakin berdebu dengan musim kemarau yang menyerang wilayah bagian Afrika sebelah timur ini. Savana dengan rumput-rumput yang menguning dan sebagian mati karena kekeringan. Dou mengemudikan mobilnya dengan kecepatan standar dengan mengikuti 2 jip yang berjalan mendahului Rover  dan 3 jip mengawal kami dari belakang.
Aku duduk di samping Tobias setelah mnegalami perdebatan sengit selama 2 menit karena aku memaksa diri untuk duduk di samping Dou. Tobias bersikeras jika aku duduk di sisi pengemudi maka dia akan mati karena bosan. Tobias menjadi dingin dan aku muak melihatnya yang seperti itu –itu menyakitkanku– dan aku menyerah pada argumennya sekaligus kuasa sebagai estimasi terakhir sehingga aku tidak bisa menolaknya. “Aku adalah bosmu!” Yah, itu adalah ungkapan sakral dan manjur membuatku patuh pada perintahnya. Ayahku juga bos tapi dia tidak pernah menjadikan jabatannya sebagai senjata untuk bawahannya, umpatku. Tobias menahan kekehannya saat masuk ke dalam mobil. Sepertinya dia begitu puas melihatku bertatapan sinis, mulut mengerucut dan hati yang menggondok.
Hewan-hewan khas Afrika terlihat sedang berbaring di savana yang luas dengan pohon-pohon yang mulai meranggas. Aku melihat beberapa ekor singa menguap karena bosan. Ekor mereka bergerak untuk mengusir hawa panas dan memberikan angin dari kibasannya. Beberapa ekor gajah yang berjalan bergerombol juga tidak henti-hentinya mngibas-ibaskan telinganya yang besar. Kawanan jerapah dan hewan lainnya menggoda untuk terus dilihat daripada aku harus bertatapan dengan Tobias yang sedang membuatku kesal.
“Minum,” sebuah kaleng soda dingin terulur saat pandanganku dari pemandangan di luar jendela teralih.
“Terimakasih,” ucapku mengambil minuman itu tanpa menoleh sedikitpun pada pemberinya. Tutup kaleng itu mengeluarkan bunyi yang berasal dari soda yang berkarbonasi saat kaleng itu kubuka dan meminumnya hampir habis untuk mengusir rasa haus yang cepat melanda kerongkonganku. Mataku teralih kembali pada pemandangan di luar.
“Apa yang sedang kau lihat?” bisiknya dekat dengan telingaku. Aku tersentak dengan bisikannya dan menoleh cepat. Matanya seperti mengeluarkan binaran bagai bintang. Mataku menyipit, dahiku berkerut.
“Haruskah sedekat ini?” Tobias mengangkat bahunya dan aku menghela nafas panjang dan di dalam hati bendera putih kembali melambai.
“Pemandangan seperti ini tidak akan kau jumpai di London atau manapun di dataran Eropa,” terangku.
“Aku tahu, aku pernah ke Afrika meski bukan di daerah ... seperti ini.” Aku tahu maksud dari Tobias. Afrika seperti kasta dimana ada daerah dengan begitu melimpahnya tambang emas di Afrika selatan, banyaknya situs sejarah seperti di Mesir, dan sebaliknya begitu banyak kelaparan, perang, dan kudeta di daerah konflik seperti di Somalia, Sudan dan Ethiopia. Sisi kemewahan sekaligus kemelaratan di benua hitam.
Sudah 4 jam lebih Rover membawa kami menerjang jalanan tanah menuju Mogashidu. Saat kami memasuki wilayah ibukota Somalia hal yang sama persis di beritakan koran menjadi pemandangan pertama kami. Kekacauan yang diakibatkan separatis dan banyak orang mengais-ngais rejeki. Memang ada beberapa dari mereka terlihat adalah orang berada. Bangunan-bangunan tua yang tampak sudah tidak layak huni masih digunakan. Rumah-rumah kumuh yang berjejalan di beberapa area membuat Mogashidu terlihat seperti habis berperang –atau mungkin memang masih dalam peperangan– dan melihat wanita-wanita perkasa memanggul beban dari berkarung-karung yang entah apa isinya yang kelewat berat dengan punggungnya dan sekaligus menggendong anaknya di dadanya dalam balutan kain memoles sisi ketegaran dan kekuatan yang masih dimiliki Somalia.
“Xaxi dan Xayi pasti akan sangat senang,” gumamku tiba-tiba. Rasa sayang tiba-tiba menjalari tubuhku melihat beberapa anak jalanan berlarian mendatangi seorang ibu memanggul sebuah jerigen berisi air dan lebih dari 4 anak saling berebutan untuk meneguk isinya.
“Begitu?”
“Mereka anak yang sangat beruntung memiliki ayah sepertimu, percayalah!” Aku mengusap lengan atas Tobias dan kembali mengalihkan pandanganku keluar jendela mobil.
“Aku harap juga begitu,” balas Tobias.
“Aku sedikit heran, mengapa Xaxi dan Xayi justru berada di Mogashidu dan tidak di Nairobi,” gumamku mengingat-ingat headline yang tertulis pada koran yang aku baca kala itu.
“Orang tua mereka berasal dari daerah terpencil Somalia dan mereka melarikan diri ke Kenya saat separatis melancarkan serangan di desa mereka dan menguasai seluruh wilayah di daerah tempat Xaxi dan Xayi tinggal. Setelah orang tua mereka meninggal karena luka yang mereka derita akibat melindungi Xaxi dan Xayi, kedua anak itu dikembalikan di sebuah panti asuhan di ibukota Somalia,” jelas Tobias dan aku mendengarkannya dengan cermat. “Mereka adalah anak-anak yang manis sebenarnya. Aku sempat berbincang-bincang dengan mereka saat kita selesai makan malam apartemen,” lanjutnya.
“Mereka bisa berbahasa Inggris?” tanyaku terkejut mendengar bahwa Tobias sudah melakukan kontak pada Xaxi dan Xayi.
“Ada penerjemah yang membantuku,” kata Tobias sambil tersenyum kecut. “Awalnya mereka hanya diam saja dan malah ketakutan saat aku mengajak bicara,” suaranya mengecil dan tatapannya lurus ke depan, “awalnya aku ragu, bisakah aku menjadi ayah mereka dengan keputusan gila mengangkat anak bahkan dua sekaligus .... Itu membuatku tertekan dan aku membutuhkan tempat untuk berbagi.”
“Lalu mengapa kau mengambil keputusan gila itu?”
Tobias menatap ragu ke depan dan menekan sebuah tombol. Sebuah papan bergerak ke atas sehingga memberi sekat antara ruang kemudi dengan kursi penumpang. Memberikan privasi bagi Tobias untuk meneruskan pembicaraan kami.
“Sudah terlalu banyak hidupku dipenuhi rasa bersalah,” jelasnya sejenak ragu, “Jangan tanyakan apa itu. Kupikir ini sebagai bentuk pembayaranku atas rasa bersalahku.” Tubuhnya bersandar pada jok dan memijat keningnya perlahan. Aku menatapnya terkejut dan juga berpikir hal apa yang membuat Tobias begitu merasa bersalah hingga melakukan pengasuhan anak ini?
“Bukankah itu hanya akan membuat mereka kecewa jika mereka tahu apa yang sebenarnya kau lakukan?”
“Di dunia ini, meski kadang kita melakukannya dengan perasaan tulus, jauh di dalam sana, di suatu tempat yang tidak mampu dijangkau akal manusia, kita semua selalu melakukan hal dengan pamrih atau melakukan hal atas dasar penebusan dosa. Selalu ada tujuan saat melakukan sesuatu. Seperti kita bersedekah untuk apa? Untuk ... mungkin memperoleh nama agar dikenal sebagai yang dermawan atau bahkan orang suci sekalipun, mereka akan melakukannya dengan pamrih berharap mereka masuk surga.” Sebuah pernyataan yang luar biasa berani. Meski aku bukan seorang yang rajin ke tempat ibadah –bagaimana bisa aku melakukannya dengan segala tetek bengek senjata dan pengambilan nyawa? Dosaku terlampau besar!– namun ucapan Tobias termasuk ucapan yang bagiku berlebihan. “Aku hanya berpikir secara rasional. Bahkan saat kau bekerja bersamaku pasti memiliki tujuan sesuatu, kan?” katanya yang bagaikan sambaran petir. Apakah dia mengetahui tujuan dibalik aku bekerja padanya? Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aku berdeham dan mengalihkan pembicaraan.
“Lalu jika Xaxi dan Xayi tahu?”
“Semua rahasia, meski ditutupi serapat apapun oleh manusia pasti akan terbongkar.” Untuk seumuran Tobias, dia terlalu muda untuk bersikap begitu dewasa. “Aku harap seiring berjalannya waktu aku bisa mengubah tujuan ini menjadi sepenuh hati ingin merawat mereka. Bukankah aku sudah dalam bentuk usaha?”
Aku mengangguk pelan. Dia benar. Setidaknya dia sudah mencoba membuat Xaxi dan Xayi pergi dari wilayah konflik ini dan memulai kehidupan yang jauh lebih layak bersama Tobias.
“Apa kau akan membawa mereka ke apartemenmu?”
“Tidak ... mungkin tidak sekarang. Mereka harus belajar bahasa inggris lebih intensif jadi mereka akan lebih fokus untuk tinggal di asrama dan lagipula aku belum siap ada orang lain ...” Tobias terlihat enggan melanjutkan ucapannya. “ ...Aku sudah bilang pada mereka dan aku berjanji akan datang setiap dua minggu sekali,” katanya yang jelas-jelas ada alasan yang sedang dia sembunyikan.
Oo000oO
            Rover memasuki sebuah area terbuka dengan halaman yang luas dengan bebatuan dan pohon-pohon yang meranggas. Anak-anak kecil berusia anatara 4 sampai 10 tahunan tengah asyik bermain bersama di halaman. Mereka saling berlarian dan ada pula yang bermain ayunan yang terbuat dari ban mobil besar yang diikat di dahan pohon besar. Semua anak itu berkulit hitam dengan tubuh kurus namun ceria. Tobias dan aku turun dan berjalan menuju sebuah rumah yang cukup besar namun sebenarnya sudah tidak layak dihuni. Genting atapnya yang terbuat dari tanah liat banyak yang pecah dan bolong. Temboknya sudah berjamur dan beberapa di antaranya bahkan ada yang berlubang. Bisa saja ular derik masuk ke sana tanpa mengucapkan salam pada penghuni rumah.
            Para pengawal yang lain berjaga-jaga dengan seragam bebas agar tidak menakuti anak-anak yang lain. Mereka turut membaur bersama anak-anak berusaha menyembunyikan identitas mereka dan berlaku ramah.
Seorang wanita berusia seperti Julia dengan tubuh juga kurus dan berkulit hitam mendatangi kami dengan terburu-buru. Dia memakai baju sederhana tahun 80-an dengan motif bunga-bunga. Rambutnya yang berombak hitam menyembunyikna kelelahannya yang tergurat jelas di keriputnya yang terlalu banyak untuk usianya yang mungkin akan lebih muda dibandingkan wajahnya sekarang.
“Mrs. Cloe.” Tobias menjabat erat tangan wanita yang bernama Mrs. Cloe.
“Mr. Currey, senang bertemu anda.”
“Dan ini adalah Miss Keith,” tunjuk Tobias. Aku tersenyum dan menjabat mantap tangan Mrs. Cloe. Senyumnya mencetak lebih banyak kerut pada ujung matanya yang sendu.
“Silakan, mereka telah menunggu anda,” ucapnya seraya mengantarkan kami masuk ke dalam.
Kami memasuki rumah yang menyerempet seperti gudang. Ruangan yang dianggap sebagai aula tidak lebh dari ruangan kosong luas dengan ubin dari semen yang bocel sana sini. Cat tembok yang awalnya berwarna hijau dan oranye cerah kini sudah memudar dan banyak terkelupas dan ditumbuhi lumut.
Kami masuk lebih dalam lagi ke sebuah ruangan yang berukuran 5 x 5 meter dengan sebuah meja kecil dan kursi yang terletak di antara meja dan lemari yang berisi banyak kertas. Tidak ada perabotan istimewa lain. “Maaf, kami hanya bisa menyambut Mr. Currey seperti ini,” kata Mrs. Cloe gugup.
“Tidak apa-apa,” balas Tobias. Kami duduk dalam diam saat Mrs. Cloe meninggalkan kami di kursi yang reyot berwarna hijau untuk memanggil Xaxi dan Xayi.
Lima menit kemudian aku mendengar langkah-langkah kaki mendekat dan saat pintu terbuka aku melihat Mrs. Cloe menggandeng dua anak laki-laki yang berpakaian sangat rapi. Mereka sama persis seperti yang di koran, sedang menunduk malu dan mencuri pandang ke arah kami. Aku tersenyum melihat mereka yang mungkin saja merasa asing dengan kehadiranku dan Tobias.
Satu anak yang digandeng di tangan kiri Mrs. Cloe lebih tinggi dengan rambut cepak dan keriting kecil-kecil. Wajahnya menunduk sesaat lalu mendongak tanpa ekspresi, bola matanya sangat putih sehingga terlihat sangat mencolok dengan mukanya. Bocah itu mengenakan pakaian kemeja kotak-kotak berwarna putih dan celana panjang hitam dengan sepatu yang mengkilap.
Di sebelah kanan Mrs. Cloe seorang anak lebih kecil, tingginya hanya mencapai bahu anak pertama namun wajahnya sama seperti anak pertama. Dia tersenyum malu-malu ke arahku.
“Xaxi ... Xayi ....” Mrs. Cloe membawa kedua anak laki-laki itu mendekat. Aku menoleh untuk melihat reaksi Tobias. Dia membelalak, wajahnya sedikit pucat. Aku menyentuh tangannya dan merasakan keringatnya mengucur membasahi telapak tangannya. Apa dia juga gugup?
Tangan anak laki-laki yang lebih kecil dan hanya setinggi bahu dari anak satunya maju mendekati Tobias. Dengan malu-malu, dia mengangkat tangan untuk berjabatan, “Namaku ... Xayi,” katanya kikuk. Sepertinya dia baru belajar mengucapkan itu. Aksen aneh namun aku mengerti ucapannya.
Tobias meraih tangannya dengan kedua tangan, mengusap lembut punggung tangan bocah itu dan tersenyum hangat. “Namaku ... Tobias,” ucap Tobias perlahan dengan bahasa inggris yang perlahan agar Xayi mengerti. Xayi tersenyum dan menoleh padaku, mendatangiku dengan mantap dan mengulurkan tangannya yang mungil dan hitam, “Namaku Xayi,” katanya bangga. Mungkin dia sudah benar mengucapkan kalimat sederhana itu dalam bahasa inggris karena Tobias menjawabnya.
Aku tersenyum padanya, “Namaku Alice,” “Alice?” ulang Xayi dan menoleh pada bocah yang ada di belakangnya. Xayi menggelengkan kepalanya sekali memberi kode pada bocah itu untuk berkenalan.
Anak itu mendekat ragu-ragu dan sedikit rasa takut tergambar di ekspresinya. “Namaku Xaxi, aku ... kakak ... Xayi,” gumamnya pada Tobias.
“Hai, Xaxi. Aku Tobias,”
Xaxi cepat-cepat membuang muka beralih padaku. Dia memang kelihatan lebih gugup dibanding adiknya, “Xaxi,”
“Alice,” kataku lembut dan menariknya untuk lebih dekat denganku. Aku membelainya dan menemukan ketegangan kecil di tubuhnya yang sempat memaku. “Usiogope, [1]” ucapku lirih.
Mata Xaxi membelalak saat kata itu terlontar dari mulutku. Dia memandang berkeliling dan mematri tatapannya yang terkejut pada Mrs. Cloe. Mrs. Cloe pun sama terkejutnya seperti Xaxi. Xayi yang sedari tadi berada di sisi Mrs. Cloe beranjak mendekatiku dan menatap Xaxi, “Anaweza kuongea Kiswahili, [2]” katanya bersemangat.
Xaxi yang masih terkejut kemudian berubah menjadi hangat, “Nina furaha ya kukutana na wewen. [3]” Tangan Xaxi menjabat erat. Remasannya mantap tanpa ada lagi keraguan.
“Kau bisa berbahasa Swahili?” bisik Tobias. Aku mengangguk pelan. “Kejutan untukku,” lanjutnya dan aku hanya mampu menahan kekehku bersama Xaxi dan Xayi.
“Xaxi, Xayi ... Njoo hapa. [4]” Aku menarik lengan Xaxi dan Xayi dan berbisik pada telinga mereka.
“Apa yang kalian bicarakan?” Tanya Tobias yang sepertinya penasaran dengan apa yang kami bicarakan. Xayi tertawa cekikikan sedangkan Xaxi berusaha menahan dengusan.
Si ... ri .... [5]” Aku mengedipkan pada kedua anak itu dan tawa keduanya pecah sedangkan Tobias menekuk wajahnya menahan marah karena dia tidak mengerti bahasa yang kami ucapkan.
________________________________
[1] “Jangan takut”
[2] “Dia bisa berbahasa Swahili”
[3] “Aku senang bertemu denganmu”
[4] “Kemarilah”
[5] “Ra ... ha ... sia”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar