Sabtu, 23 Maret 2013

Double Me Agent - Bab 2 -



24 Hours With My Boss

            Hari pertamaku bekerja di kantor CFC. Celana berwarna hitam terbalut sepanjang kaki dengan ujung bertutupkan sepatu boot berwarna senada. Warna hitam selalu menjadi seperti sebuah seragam dinas bagi sebagian besar bodyguard. Kesibukan London di Selasa pagi memaksaku harus berangkat lebih awal dari jam kerja.
Semalaman – sesuai dengan perkiraanku – aku sama sekali tidak dapat memejamkan mata. Semua insiden yang berlangsung sepanjang hari Senin kemarin telah memicu hormon kewanitaanku yang terkubur jauh di dasar hipotalamus telah disekresikan secara berlebihan menuju semua organ dalam ragaku dan memberontak untuk segera dipuaskan. Beruntung, orgasme yang selama ini aku takutkan belum terjadi dan aku akan mengutuk diriku menjadi bidadari jika hal yang paling aku takutkan – orgasme tanpa adanya Tobias – itu terjadi. Aku mendesah pelan dan kembali fokus pada jalanan yang belum begitu ramai di jam yang masih terlalu pagi ini.
Gedung CFC masih semegah pertama kali aku datang dan dengan lesu aku bergerak memasuki kantor bosku, Tobias. Saat aku memasuki area auditorium, karyawan CFC mendadak menghentikan langkahnya dan semua mata tertuju padaku. Lajuku yang mantap berganti dengan langkah yang gemetar dengan semua perhatian berlebihan – yang bagiku mengerikan – dan tentu saja aku mengetahui alasannya. Kejadian kemarin masih membekas tidak hanya bagiku tapi bagi mereka. Tapi apakah mereka tidak paham? Bos penggoda seperti Tobias tentu pernah mengajak wanita dan menggandengnya bukan? Mengapa mereka seantusias ini hanya karena kejadian kemarin? Dengan gugup, aku melanjutkan perjalananku menuju lantai 30 tempat dimana bosku bersarang – ah, maksudku bekerja.
“Selamat pagi, Alice” sapa Bella yang juga baru saja datang.
“Selamat pagi, Bella” sapaku sambil menekan tombol lift menuju lantai 30. Kami berdua masuk ke dalam lift dengan tujuan yang sama.
“Aku heran dengan karyawan lain. Mereka menatapku seolah aku adalah pencuri saja” ujarku yang memang tidak menyukai basa-basi pada Bella yang terperanjat mendengar ocehanku.
“Ah.. Itu.. Abaikan saja” jawab Bella yang kedengaran gugup dan dengan tangan yang gemetar dia membetulkan letak kacamata persegi yang dikelilingi bingkai berwarna hitam.
“Abaikan? Jika kejadian itu hanya untuk kemarin saja, aku akan dengan senang hati melupakannya” keluhku. Merasa kegerahan karena memikirkan perlakuan karyawan CFC yang berlebihan, aku melepaskan ujung kancing kemejaku paling atas.
“Mungkin itu semacam terapi shock bagi mereka” lanjut Bella dengan kekeh kecil yang kentara sekali dibuat-buat.
“Apa mereka tidak pernah melihat bosnya menggandeng wanita lain?” aku mengerang pelan.
Ting! Pintu lift membuka di lantai 30 dan dengan cepat Bella menghambur keluar.
“Sampai nanti, Al” ucapnya buru-buru dan meninggalkanku menuju ruang kerjanya. Mataku mengatup melihat tingkah Bella yang aneh dan menghela cepat napas.
“Good Morning, Miss Keith” sebuah panggilan menghentikan langkahku, getaran suara yang aku kenal membuat sakit seluruh tubuhku. “Terlalu menyenangkan untuk selalu bertemu denganmu”
Siapa lagi yang mampu membuatku memerah karena malu dan bergairah kalau bukan bersumber dari suara Bass yang khas dan menaklukan dari Tobias. Aku melihatnya berjalan beriringan bersama 2 orang yang aku menebaknya adalah karyawan khusus seperti Bella. Sapaan tadi, aku tidak mampu menemukan kekuatan untuk menjauhkan diri darinya. Itu sama sekali tidak membantu karena aku hari ini secara resmi bekerja padanya dan perhatiannya tadi adalah semata-mata padaku, tubuh tegap dan kerasnya memancarkan kesan memperlihatkan kebutuhan yang aku inginkan. Sepagi ini? Ayolah Alice, jangan bertindak konyol!
“Kau tahu aturan pertama jika kau bekerja padaku?” suaranya yang tenang berkebalikan denganku yang menyentuh batas ‘kacau balau’
“Selalu menjawab anda, sir” bisikku. Aku mengutuk pada ucapan yang keluar dari pita suaraku yang selalu saja berupa desahan yang menandakan aku begitu berhasrat padanya. Ini tidak adil!
“Dan aku sangat menyukaimu saat kau berbisik seperti itu” ucapnya tersenyum penuh arti dengan sebuah kedipan mata halus dan dia melanjutkan langkah menuju kantornya. Aku menelan ludah yang secara tiba-tiba berubah menjadi batu dengan susah payah dan sedikit berlari mengikuti bos baruku.
“Duduk Miss Keith” ucapnya bukan sebuah permintaan melainkan keharusan dan aku duduk secara naluri mematuhi perintahnya sebelum pikiranku bangun meminta keberatan. Tentu, aku tidak mampu mengatakan jika aku keberatan. Aku mengambil napas dalam-dalam dan memilih memalingkan wajahku sejenak dari mata intensnya yang menakutkan namun memikat.
“Ada beberapa hal yang perlu kau tahu berkaitan dengan insiden yang membuat…” posisi duduknya sedikit diubah dan kini berhadap lurus denganku dan aku semakin canggung dengan arahan tatapannya yang mendominasi.
“Membuat kita hampir terbunuh” suaranya yang terdengar kini kembali berambisi dan waspada.
“Aku ingin ada perubahan dengan statusmu yang adalah bodyguard pribadiku” mataku melebar saat Tobias mengucapkan kata perubahan. Apa aku dipecat?
“Maksud anda, sir? Saya dipecat?” gumamku terbata.
Dengan senyum yang jarang diperlihatkannya pada seluruh karyawan – kecuali aku, sekarang – dia memejamkan mata sejenak dan kembali menatapku dengan mata yang menyipit karena tertahan oleh senyumnya yang menawan. Hidungku mengerut menahan rangsangan yang diberikan dari perubahan sikap Tobias secara mendadak dan itu menyiksaku.
“Bukan.. Bukan pemecatan. Hanya saja, karena kau bodyguard pribadiku, aku ingin kau dalam 24 jam sehari selalu berada dekat denganku, menjagaku” tuturnya tenang.
Bagai petir yang menyambar di siang bolong – eh, bukan di pagi yang bolong – namun bukan petir yang mengirimkan medan listrik yang sanggup membuat siapa saja akan tewas seketika jika tersengat namun petir ini mengirimkan medan magnet yang membuat dewi batinku saling merapat dan membuat sebuah gerakan menggelombang seperti supporter sepak bola yang melihat tim kesayangannya memenangkan kejuaraan dan aku mendapati mulutku menganga lebar mendengar kalimat ‘24 jam sehari selalu berada dekat denganku’. Dekat dengan Tobias? Dekat dengan manusia yang membuatku hampir gila karena memikirkannya sepanjang waktu? Selama 24 jam sehari yang itu berarti setiap saat? Ya Tuhan… Pertama kalinya aku menyebutkan nama Tuhan selama karierku yang tanpa ampun membunuh orang dan aku yang adalah orang ateis, hanya karenanya aku menyebut nama Tuhan? Ya Tuhan… Dan ini kedua kalinya. Maafkan aku selama ini jauh darimu. Tiba-tiba saja aku berubah menjadi seorang yang beragama.
“Bagaimana bisa?” ucapku tanpa sadar
“Mudah. Aku telah menyampaikan keinginanku ini ke atasanmu bahwa kau diijinkan untuk terus menjagaku. Pekerjaanmu di MI6 untuk sementara digantikan oleh rekan kerjamu” ujarnya yang selalu tampil rileks.
‘Ayah! Kau keterlaluan! Aku memang terpukau oleh segala karisma yang dimiliki Tobias, tapi bukan berarti aku menjadi orang yang maniak pada Tobias dan berusaha centil di depannya. Apa yang dipikirkan ayah sebenarnya? Aku heran, orangtua yang aneh menyuruh anaknya bergenit di depan bosnya? GILA?! Astaga, apa yang aku pikirkan?’ Aku mengerjapkan mata dan kembali pada realita dengan Tobias masih menatapku dengan kening mengerut.
“Lalu tempat tinggal saya?” ucapku sekarang dengan kesadaran penuh
“Semua kebutuhanmu sudah disediakan. Kamar untukmu juga sudah tersedia. Kau akan tinggal di apartemenku” sekali lagi kejutan dari Tobias berhasil menjatuhkan imageku yang percaya diri menjadi bukan apa-apa.
“Tapi sir..” ucapanku terhenti saat tubuh Tobias mulai merapat padaku. Hukuman itu, sial! Naluri aku menggeser dudukku menjauhi Tobias dan aku menatap dagunya bergerak kasar.
“Baik, sir” gumamku pasrah sambil menggigit bibir bawahku. Aku mendengar sebuah geraman kecil darinya dan sedetik yang lalu dehaman dari tenggorokan Tobias membuyarkan konsentrasiku.
“Kau akan aku antar pulang sekarang dan.. mungkin kau harus mengemasi beberapa hal yang penting dari apartemenmu” telunjuknya bergerak menuju bawah hidungnya dan ibu jarinya menopang dagu menunjukkan keagungan dan kekuasaan. Telunjuk itu mulai mengusap area antara bibir atas dan hidung secara perlahan dan hanya dengan seperti itu kedua tanganku yang menumpu di atas lutut mengepal erat menahan agar aku tidak lepas kendali.
“Sekarang sir?” tanyaku ragu dan masih saja menggigit bibir bawahku.
“Mari Miss Keith. Aku tidak suka berbasa-basi” tangannya yang kokoh menggenggam tanganku dan memaksa kakiku berjalan cepat keluar dari kantornya dan menghempaskanku ke dalam lift.
Setelah pintu lift tertutup, hawa dingin dan menggetarkan kembali memenuhi setiap pori-pori di sekujur kulit dan segala bentuk serapah relah berkumandang di hati.
“Miss Keith..” panggil Tobias lirih
“Panggil saja saya Alice, sir” pintaku yang gelisah ditimpa tatapannya.
Dia sesaat tersenyum dan kembali mengalihkan pandangannya seperti meneliti kondisi interior lift.
“Alice” panggilnya dan aku malah berjengit mendengarnya memanggilku. Secara reflex aku menggigit bibir bawahku dan kedua tanganku terkepal sebagai bentuk defensif dari sebuah penyerangan. Jika ditanya siapa yang menyerang, dia adalah tubuhku sendiri!
“Yes sir?”
“Aku suka saat kau memanggilku sir dengan suara seperti itu” ujarnya sarat dengan rayuan. Gigiku saling bergemeletuk, gugup. ‘Suara seperti apa?’ gumamku penasaran namun aku tidak berani mengungkapkannya.
“Namun aku lebih suka dengan suaramu itu ketika kau memanggil namaku” kepalanya menoleh perlahan dan aku melihat seperti ada sapuan angin meniup rambutnya yang panjang bagi ukuran laki-laki dan terkesan berantakan tapi aku justru menganggap itu seksi dan cukup membuat tarikan lembut pada rambut itu dengan kedua tanganku.
“Mr. Currey?” aku mencoba memenuhi rasa sukanya saat dia mengatakan bahwa dia lebih suka jika aku memanggil namanya dan apa yang aku dapatkan? Dia mendengus menahan tawa saat aku selesai memanggil namanya.
‘Bukankah itu yang dia suka? Mengapa dia justru tertawa? Dan – aku memaksa lagi air liur masuk ke dalam kerongkonganku – melihat dia semakin memancarkan ketampanan pada wajahnya saat tertawa’ aku merasakan malu luar biasa dengan ocehanku memanggilnya Mr. Currey. Percaya diriku ini sepertinya perlu dipangkas.
“Namaku Tobias, Alice. Kau tidak mengalami amnesia, kan?” godanya dan lagi-lagi aku harus mengalami petaka! Aku tersipu dan hanya mampu menundukkan kepala.
Ting! Pintu lift membuka di ground floor.
“Silakan, Al” tubuhnya menggeser ke samping memintaku untuk melangkah terlebih dahulu. Dengan kikuk, aku berjalan. Aroma harum yang khas dari tubuh Tobias menggelitikku dan bulu tengkukku kembali berdiri.
Langkahku terhenti saat memandang sebuah mobil yang kelewat mewah sedang terpampang manis persis di depan pintu masuk CFC. Ferrari keluaran terbaru berwarna silver, mobil paling mahal, paling cepat dan paling mewah yang pernah ada. Tobias membuka pintu depan penumpang tapi dia sama sekali tidak masuk.
“Alice? Silakan” salah satu alisku terangkat dan ujung mulutku berkedut. Bukankah aku ini bodyguardnya?
“Sir, mobil saya?” aku mencoba mengulur waktu berharap Tobias berubah pikiran.
“Aku ingin kau masuk ke dalam mobil ini” perintahnya tegas dan tajam dan seperti seorang anak kecil yang takut ayahnya marah besar, aku berjalan dan merangsekkan tubuhku ke dalam kursi depan penumpang tanpa membantah sedikitpun. Tobias telah duduk di kursi pengemudi dan dengan sigap mendekatkan tubuhnya padaku. Mataku melebar was-was, kupu-kupu dalam perutku memberontak dan hatiku telah mencapai mulut dan siap terlempar keluar. Sebuah senyum misterius yang terukir tidak mencapai 3 inchi dari mulutku tersungging.
Klek! Sebuah bunyi mengisi relung kesunyian di antara kami dan suara itu berasal sabuk pengaman yang Tobias pasangkan di tubuhku. Terdengar suara tawa riuh dari dasar medulla oblongataku yang berkata ‘Kau pikir dia akan menciummu? Hahahaha… Dia hanya memasangkan sabuk pengaman, bodoh!’ Rasa kecewa untuk pertama kalinya menyelimutiku sejak pertama kali aku bertemu Tobias.
“Memastikan kau tidak akan kemana-mana, Al” ucapnya dan kini mulai menjalankan mobil paling indah dan paling mewah yang pernah aku naiki.
“Sebelum ke apartemenmu, aku ingin sarapan dulu” suaranya mengisi jeda lamunanku dan aku merasakan laju mobil memelan dan berhenti di sebuah restoran cepat saji. Aku sedikit heran seorang kaya raya dan merupakan MD perusahaan multinasional yang tersebar di segala penjuru dunia memilih sarapan di restoran cepat saji dan bukannya restoran mahal yang biasanya orang kaya lakukan. Ayah benar dia unik dan jika aku boleh menambahkan dia tidak hanya unik tapi juga perhatian. ‘Perhatian?’ pemikiran sinting apa lagi ini?
Aku memilih memesan kentang goreng dan diet coke karena aku sudah sarapan di apartemen tadi pagi. Aku sekilas melirik pesanan Tobias yang membeli cukup banyak makanan. Pizza, burger dan dia juga memesan kentang goreng sama sepertiku. Tidakkah dia takut tubuhnya yang membuat semua pria iri akan berubah menjadi buncit di perutnya dan lipatan-lipatan akan bermunculan di area yang akan membuatnya tidak lagi tampan? Tapi sepertinya dia memang tidak peduli.
Kami memilih duduk di kursi yang tidak di kelilingi banyak orang yang letaknya sedikit tersembunyi jauh dari pintu masuk.
“Aku menduga kau pasti bertanya-tanya mengapa aku memesan begitu banyak makanan, bukan? Kau pasti juga berpikir apakah aku tidak takut gemuk, kan?” duga Tobias tepat dan aku mengangguk jujur.
“Aku tidak pernah bermasalah soal menjaga tubuhku. Aku hanya ingin selalu terlihat sehat dan bugar”
“Tapi makanan ini tidak sehat, sir” sanggahku dengan pernyataannya.
“Bagiku selama itu mengenyangkan maka sehat” jawabnya santai
“Apa anda tidak sibuk sir? Sebenarnya saya bisa melakukan ini sendiri dan anda dapat bekerja tanpa terganggu” aku membuka penutup cokeku dan meminumnya sedikit.
“Aku senang menemanimu” dan dia kembali melahap makanan pesanannya dengan semangat. Aku menatapnya tanpa ada balasan tatapan dari Tobias karena dia sibuk mengunyah makanannya. ‘Geli rasanya menyaksikan bosku seperti orang yang tidak makan selama 5 hari’ aku tersenyum tanpa sadar.

 ***

Penthouse Tobias menakjubkan! Tembok yang merupakan dominasi kaca memungkinkan pemiliknya menikmati keindahan matahari saat terbit maupun tenggelam tanpa dihalangi bangunan pencakar langit lainnya. Kolam renang dan beberapa pohon rindang yang terletak di luar menambah kesan kesejukan. Ruangan tamu yang didekorasi dengan sofa berwarna coklat muda dengan karpet putih dan beberapa lukisan abstrak menambah kesan elegan. Sebelum Tobias mempersilakanku menuju kamar yang akan menjadi tempat tidurku, aku sempat diajaknya menuju dapur dan ruang makan tanpa ada sekat yang membatasi.
“Anda sendiri, sir?” tanyaku tanpa pikir panjang
Matanya menajam dan berkilat saat mendengar pertanyaan konyolku.
“Secara umum, ya, aku tinggal sendiri”
“Secara umum?” sepertinya aku mulai suka mencampuri urusan orang lain.
“Ada Mrs. Martin yang membantu membersihkan apartemen dan melakukan hal rumah tangga lainnya. Tapi setelah dia selesai mengerjakannya, dia pulang ke rumahnya” jelasnya lancar dan tenang
“Begitu?” mataku menjelajah setiap bagian tempat Tobias yang mengagumkan.
“Namun aku tidak akan merasa sendirian lagi” aku merasakan hembusan napas menerpa leher belakangku dan aku seutuhnya menyadari bahwa Tobias sudah berdiri tepat di belakangku. Cepat-cepat aku menoleh supaya aku memperoleh jarak darinya. Sinyal berbahaya sudah menyala jauh di bawah sadarku dan aku telah menanggapi sinyal itu dengan baik.
“Kau akan menemaniku” ucapnya penuh makna tersembunyi dan lagi-lagi aku harus menggigit bibir bawahku.
Dia menghela napas, matanya terpejam dan kedua tangannya menarik kasar rambut coklatnya. Langkahnya seperti kesetanan dan aku waspada dengan perubahan gelagatnya yang menjadi ganas.
Dia menarik tanganku tanpa menyakitiku dan aku bergidik saat tubuhku sudah menempel erat padanya. Kedua tangannya memegang pipiku sehingga aku menatap lurus ke dalam matanya yang abu-abu berkilat dan semakin menggelap.
“Seharian aku harus menahan ini dan aku sudah tidak tahan lagi. Kau benar-benar membuatku gila Miss Keith!”
“Sir, saya mohon lepaskan saya” sekejap saja semua ilmu bela diri seakan lenyap dari otakku dan gerakan reflek sepertinya sedang tidur siang.
“Panggil namaku!” teriaknya
“Mr. Currey, saya mohon” suaraku tercekat ketika bibir Tobias mulai mendekat.
“Namaku, Alice” suaranya melirih
“Tobias, ku mohon” suaraku tercekik dan kedua mataku terpejam.
“Yah, Alice. Aku menyukainya” desahnya. Spontan aku membuka mata dan sebuah senyuman tergambar jelas di bibirnya yang hendak seperti menciumku kemudian perlahan dia melepaskanku. Tangannya menggapai tanganku dengan mantap dan mendudukanku pada kursi meja makan yang cukup luas untuk 10 orang.
Kursi Tobias dihadapkan padaku. Tangan kanannya menjadi tumpuan pada permukaan meja kayu yang halus, jari-jari panjang elegannya mengelus dengan irama tertentu di atasnya. Aku melihat sekelebat pergelangan tangannya diujung manset dan untuk beberapa alibi sinting, pemandangan kulit yang bagai emas sedikit terlihat dengan hamburan sinar rambut coklat gelapnya membuat organ intimku berdenyut memohon perhatian. Dia terlihat sangat jantan!
“Kau menyukainya?”
“Ya” jawabku langsung. Keningnya berkerut dan mataku mengerjap menyadari ambiguitas pertanyaannya dan aku secara blak-blakan menjawab ya? ’Ya atas apa? Atas pemikiran seks yang baru saja melintas?’
“Ya?” tuntutnya
“Uumm.. Ya saya menyukai apartemen anda” kedua ujung mulutku tertarik ke belakang. Betapa cerdasnya aku memanipulasi pembicaraan.
“Bagus. Aku sangat berharap kau akan betah tinggal di sini dan menjagaku dengan baik”
“Ikut aku. Akan aku tunjukkan kamarmu” selalu dengan menggandeng tanganku dia membawaku ke sebuah kamar yang sangat besar dengan tempat tidur yang megah. Aku melihat beberapa pintu di kamar itu.
“Aku harap kau menyukainya”
“Aku sangat menyukainya” aku tersenyum lebar ke arahnya dan kembali memperhatikan seluruh kamarku dengan seksama.
“Alice” serunya.
“Yes, sir?” aku melihatnya mendatangiku. Cara dia bergerak begitu indah dan bergairah dengan arogan dan itu luar biasa merangsang. Tempat yang tepat dan dengan pria yang luar biasa tepat. Aku tidak bisa membayangkannya tidak berhubungan seks dengan sempurna dan tiba-tiba saja tubuhku menjadi agresif dengan hal ini, mengambil apa yang dia inginkan dengan cara yang membuat para wanita menjadi brutal untuk menyerahkan, bertekuk lutut padanya.
‘Apa aku termasuk wanita yang akan dengan mudah bertekuk lutut di hadapannya? Mungkin hatiku sudah lama kalah tapi jangan sampai aku memperlihatkan kekalahanku!’ tekadku dalam hati.
“Apa kau pernah berhubungan seks?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutnya dan aku membutuhkan beberapa waktu untuk memprosesnya dengan otak yang ala kadarnya jika ditanya soal seks seperti yang baru saja terlontar dari mulutnya.
Aku menarik napas dalam-dalam. “Sepertinya itu pertanyaan pribadi, sir dan saya rasa itu bukan urusan anda”
Dia memandangku dan aku kembali  melihat sesuatu yang aku kenali saat pertama kali aku berjumpa dengannya yaitu begitu besarnya kekuatan, kekuasaan dan kontrol yang sekeras baja.
“Begitukah?” tubuhnya yang menjulang telah tepat berdiri di hadapanku.
“Saya adalah bodyguard anda. Itu kontrak kerja kita” aku mencoba memberi teguran dari penjelasanku.
“Aku tahu kontrak itu dengan baik, Miss Keith” katanya tajam. ‘Oh sekarang kita kembali dengan Miss Keith dan Mr. Currey?’ kewaspadaanku tidak berkurang sedikitpun.
Tobias mencium bibirku cepat dan dia beranjak menuju pintu kamar sebelum kesadaranku kembali. Aku terpana dengan gerakannya yang begitu mengejutkan.
“Aku ada di ruang kerjaku. Kau boleh menikmati kamar barumu” ujarnya dengan senyuman puas dan pintu itu tertutup.
‘Ya Tuhan, apa aku akan mati cepat dengan serangan jantung karena kejutan-kejutan yang dibuat oleh lelaki itu? Apa aku masih bisa melihat matahari besok pagi ketika aku menyadari bahwa aku mulai hari ini tidak hanya resmi menjadi bodyguardnya tetapi tinggal seatap dengannya, orang yang menjadi alasan utama kerja jantungku meningkat lebih cepat?’
“Aku pasti masih bermimpi.. Aww!” erangku kesakitan karena mencubit pipi terlalu keras.
“Tidak! Ini kenyataan bahwa aku telah tinggal bersama Tobias”
000
Kamar yang sekarang aku tempati benar-benar sangat mewah dan sangat jauh dibandingkan dengan yang ada di apartemen dulu. Semua perabotan terlihat mahal. Aku melongok pada jam digital yang ada di nakas tempat tidur menunjukkan pukul 4 sore.
“Luar biasa bisa berdiri di sini” gumamku. Mataku menjelajah seluruh ruangan dan mulai menapaki setiap sudut kamar. Aku membuka salah satu pintu dan menemukan kamar mandi super mewah yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Dinding kamar mandi didominasi oleh warna hitam dan putih. Warna klasik yang disukai oleh para eksekutif muda. Gagang pintu dan kran air yang terbuat dari perak, kabinet dengan kaca sangat besar dan wastafel berbentuk setengah lingkaran terbuat dari marmer mengkilat. Bathup dan ruang bilas yang hanya disekat oleh kaca yang cukup ditempati oleh 4 orang.
Perasaan ingin tahu yang menjalar pada kamar mandi membuatku tidak sabar untuk mencobanya dan aku segera melepas pakaian kerja dan mulai menikmati relaksasi dari air hangat yang mengucur deras dari shower mengalir deras menuju tengkuk. Aku memejamkan mata dan merasakan bahwa menjadi orang kaya kadang menyenangkan. Tidak selalu menyenangkan jika harus berhadapan dengan segala hingar bingar pekerjaan yang menumpuk dan bukannya pesta pora dan sepertinya Tobias menjadi salah satu si maniak kerja. Aku tersenyum menyadari spekulasi sepihak dari otak cerdasku yang menilai Tobias si maniak kerja. Tapi jelas, dia memang seperti itu. Usianya terlampau muda untuk mampu meraih kesuksesan sedemikian gila dengan berbagai perusahaan dengan berbagai bidang dan tersebar di seluruh dunia. Ini pencapaian yang luar biasa! Aku yakin, orang tuanya akan cepat mati karena kebanggaan yang tidak akan pernah cukup bagi putranya itu. Putranya yang tampan dengan tubuh sempurna yang dibalut setelan kemeja putih yang hari ini dia kenakan.
“Tobias...” desahku sambil memeluk tubuhku yang mendadak merinding saat nama itu melintas di pikiran. Manusia paling sempurna, tubuh indah, dadanya yang kokoh dan aku kembali membuka akses paling kotor dalam pikiran. Betapa indah jika Tobias melepaskan pakaiannya saat ini dengan aliran-aliran air yang meliuk-liuk di kulit coklat emasnya yang menawan. Pijatan dari tangannya mungkin akan mengurangi lelah pada pundakku.
Pernahkah dia memakai kamar mandi ini? Sebuah pertanyaan harapan mulai menguasai. Jika dia pernah menggunakannya maka aku bisa merasakan kehadirannya dalam angan-angan yang memabukkan. Membayangkan menyentuhku saat ini. Secara naluri dengan hasrat yang meletup-letup dan memaksa untuk segera dipuaskan, aku mulai membawa tanganku meraba organ paling sensitif dan mulai merasakan ketegangan memasuki mengirimkan sinyal kejut ke seluruh saraf dengan kuantitas yang berlipat-lipat di sekujur tubuh.
Hampir satu jam aku menghabiskan waktu mengguyur tubuhku dengan kemewahan kamar mandi dan buaian lembut air yang menjatuhi setiap area tubuhku sekaligus pengaruh sensual yang meracuni dan tiba-tiba saja aku hampir saat sebuah ketukan pintu menghancurkan sensasi paling erotis yang pernah ada dalam benakku.
“Alice, kau di dalam?” suara yang baru saja menjadi obyek erotisku mengetuk pintu dengan suaranya yang hampir membuatku terjatuh saat meraih handuk dan membalutkannya dengan acak. Aku mematikan keran dan berlari menuju balik pintu, menekannya erat dan menyadari ternyata aku tidak menguncinya.
“Ya, sir” ucapku gugup dan tetap menekan pintu itu agar tidak dibuka. Tanganku satunya mencengkram erat handuk seakan-akan orang yang ada dibalik pintu itu akan memaksa membuka.
“Kau masih lama di dalam?” suaranya dalam. Ada kekhawatiran terselip dari pertanyaannya yang singkat.
“Tidak, sir” aku mempererat handuk yang menutupi tubuhku. Kakiku mendadak berubah menjadi lentur dan tulang-tulang yang berguna menyangga seluruh tubuh mendadak musnah dan meninggalkan onggokan daging tak berbentuk. Aku merasakan pintu semakin menekan seperti hendak terbuka paksa.
Jangan!
“Saya... saya akan segera selesai, sir” ujarku terbata.
“Aku akan menunggumu di ruang makan” dan langkah kaki menjauh terdengar.
“Sialan dia!” aku mendesah lega mendengar Tobias mentup pintu kamar dan aku segera keluar dari kamar mandi, memilih kaos lengan panjang berwarna biru cerah dan celana jeans. Aku menatap muka pada cermin rias dan mengikat secara berantakan rambut hitamku dan melesat keluar menyusul Tobias.
Aku menemukan Tobias sedang duduk di ruang makan. Keanggunan terpancar dari gaya duduknya yang elegan. Kedua jari telunjuk menempel pada ujung hidungnya seperti sedang memikirkan sesuatu. Langkah kakiku yang terburu telah memancingnya keluar dari zona imajinasinya dan beralih menatapku dengan kadar intenitas yang tidak pernah berkurang dan selalu berhasil membuatku berjengit sekaligu berjingkrak dalam hati atas sikapnya yang mungkin hanya ditujukan padaku.
Rasa percaya diri ini perlu dipangkas! Seorang milyuner macam Tobias pasti orang penggoda. Segala fisik yang dimilikinya sudah membuatnya merasa cukup pantas untuk predikat seorang pria penggoda!
“Kau menyukai makan malam ini?” tanyanya sambil menunjuk makanan yang telah tersedia di atas meja makan.
Aku duduk di samping Tobias dan memperhatikan terlalu banyak jenis makanan yang disajikan. Ini tentu cukup untuk disantap oleh lima orang! Aku mengendik  pada Tobias dan dia tersenyum mengerti maksudku.
“Kau tidak harus menghabiskan semuanya. Aku tahu kau tidak akan sanggup. Hanya habiskan apa yang kau ambil. Kau tentu mengerti masih banyak orang yang kelaparan di dunia?” Senyum itu tidak pernah menghilang bahkan saat dia berkhotbah tentang kelaparan. Sosok sepertinya peduli dengan hal itu? Sungguh kenyataan yang membuatku harus meletakkan rasa hormat paling tinggi baginya dan aku membalas senyumnya dengan anggukan dan meraih beberapa masakan khas eropa salmon butter sauce dan asparagus risotto.
Kami menikmati makan malam kami dalam keheningan. Sesekali aku melihat Tobias menikmati makanannya dengan bersemangat seperti seseorang yang tidak makan seharian dan aku selalu tersenyum menyaksikannya yang seperti itu – jauh dari kesan kemewahan dan elegan. Aku telah menghabiskan makanan yang aku pilih. Tobias telah mendahuluiku dan sekarang dia menuju dapur dan mengambil sesuatu dari tempat penyimpanan anggur. Beberapa saat dia menimbang dan akhirnya memutuskan meraih sebotol anggur berwarna merah darah.
“Anggur merah?” tebakku saat dia menuangkan cairan dalam botol itu ke dua gelas dengan bentuk menggelembung cukup besar dan memberikannya salah satunya padaku. Dengan ahli dia menggoyang-goyangkan gelas itu dan sesekali menghirup aroma anggur itu. Aku mencoba melakukan hal yang sama dan sensasi dari bau alkohol yang terkandung dari anggur ini membuatku tidak sabar untuk menenggaknya.
Wine punya karakteristik yang berbeda-beda baik rasa, aroma, tingkat alkohol dan tentu warnanya” ujarnya dan sedikit demi sedikit dia meminum anggur itu dan aku mengikuti jejaknya.
Aku sedikit bergidik dengan rasa wine yang aku rasakan. Rasanya sedikit asam dan pahit, dengan aroma yang kuat. Aroma yang kuat dan menghasilkan sensasi kehangatan di tenggorokan setelah diminum pada after taste-nya membuatku ingin merasakannya lagi dan lagi.
“Jenis ini disukai oleh kebanyakan orang Italia” ucapnya dan memperhatikan reaksiku saat mencicip anggur yang dipilihnya.
“Jenis apa ini?” tanyaku ingin tahu.
Campo alla Sughera Arnionejelasnya dan kembali meminum anggurnya dengan kenikmatan tergurat di wajahnya yang rileks.
“Kau bisa melihatnya, red-wine ini berwarna merah pekat dan saat kau meminumnya˗”
“Kehangatan. Rasa rempahnya membuat tubuhku hangat” aku menatap gelas anggur itu dan mengutarakan apa yang baru saja menjadi sensasi baru menikmati anggur paling enak yang aku rasakan.
“Benar sekali. Kehangatan yang menyenangkan” katanya dengan sebuah pernyataan yang implisit sekaligus ambigu dan aku menunduk gugup bahwa yang dimaksudkannya masih berkaitan dengan hasrat yang terpuaskan.
“Sir–”
“Kau memanggilku sir, anda dan segala formalitas hanya saat di kantor atau bertemu dengan rekan bisnisku!” selanya tajam dan aku tidak lagi memprotes ucapannya.
“Baik sir, maksudku- Tobias” gumamku kikuk.
“Kau menikmati acara mandimu?” tanyanya tiba-tiba.
Terlalu mengejutkan untuk permulaan yang sudah menyenangkan! Dia menanyakanku tentang acara mandiku? Gila dia! Apa aku akan menjawab “Kau tahu Tobias, saat aku mandi aku menjadikanmu objek paling erotis yang pertama kali terjadi dalam hidupku!” Tolol jika aku berani seperti itu.
Aku melonggarkan tenggorokanku yang baru saja tersumpal oleh pertanyaan Tobias.
“Tentu! Kamar mandi itu luar biasa. Luas, elegan, dan –um, mewah” ucapku ragu.
Aku melihat Tobias bersandar pada kursinya tanpa melepas pandangannya. “Boleh suatu hari nanti aku ikut?” tanyanya dengan sejuta petir menyambar dalam imajinasiku.
“Apa maksudmu?” tanyaku defensif dan suaraku meninggi waspada.
“Aku suka kau yang seperti ini” lanjutnya yang meninggalkan jejak-jejak tanda tanya yang terus berserakan di otakku.
Dia memang penggoda sejati!
“Bergabung menikmati acara mandi tentu saja. Apalagi?” dan aku susah payah menelan liurku yang berubah menjadi sebongkah kayu besar.
“Kau tahu peraturannya–”
“Tentu–” lanjutnya dan dia bangkit berdiri mencondongkan tubuhnya mendekat pada wajahku.
“Aku orang yang taat pada peraturan, Alice dan kau–”
“Kuharap kau juga begitu” bisiknya dengan wajah semakin mendekat padaku, kepalanya miring ke samping dan tampak aku mengetahui gelagatnya aku berdiri dan wajahnya sekarang menghadapi perutku.
Aku harus tegas! Dia tidak bisa mempermainkanku lebih dari ini!
Oya? Bukankah hormon seksualmu perlu dipuaskan? Suara busuk itu kembali menyeruak.
“Maaf aku–”
Dia menegakkan kembali tubuhnya. Wajahnya tanpa ekspresi dan itu malah membuatku merasakan kelu pada lidahku.
“Beristirahatlah. Kau harus bekerja besok” ucapnya datar dan dia pergi meninggalkanku. Meninggalkan rasa sakit yang entah mengapa membuatku ingin mengejarnya dan memutar kembali waktu, mengijinkannya melakukan apapun yang dia inginkan sehingga rasa sakit ini mungkin akan hilang.
“Ada apa denganku?” ucapku dan mengakhiri hari luar biasa mengejutkan dalam sejarah hidupku ini dengan rasa sakit yang tidak beralasan.
Apapun terjadi karena ada alasan–
Dan aku mulai memperhatikan semua omong kosong yang tercipta dari sudut hatiku paling dalam setelah sekian tahun menutupnya rapat-rapat.
Apakah sekarang hatiku sudah mulai bekerja layaknya hati yang memiliki nurani? Aku sudah melukai banyak orang dalam hidupku dan sekarang, apakah nurani masih tersisa dalam diriku?
Kamar yang sekarang aku tempati benar-benar sangat mewah dan sangat jauh dibandingkan dengan yang ada di apartemen dulu. Semua perabotan terlihat mahal. Aku melongok pada jam digital yang ada di nakas tempat tidur menunjukkan pukul 4 sore.
“Luar biasa bisa berdiri di sini” gumamku. Mataku menjelajah seluruh ruangan dan mulai menapaki setiap sudut kamar. Aku membuka salah satu pintu dan menemukan kamar mandi super mewah yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Dinding kamar mandi didominasi oleh warna hitam dan putih. Warna klasik yang disukai oleh para eksekutif muda. Gagang pintu dan kran air yang terbuat dari perak, kabinet dengan kaca sangat besar dan wastafel berbentuk setengah lingkaran terbuat dari marmer mengkilat. Bathup dan ruang bilas yang hanya disekat oleh kaca yang cukup ditempati oleh 3 orang.
Perasaan ingin tahu yang menjalar pada kamar mandi membuatku tidak sabar untuk mencobanya dan aku segera melepas pakaian kerja dan mulai menikmati relaksasi dari air hangat yang mengucur deras dari shower mengalir deras menuju tengkuk. Aku memejamkan mata dan merasakan bahwa menjadi orang kaya kadang menyenangkan. Tidak selalu menyenangkan jika harus berhadapan dengan segala hingar bingar pekerjaan yang menumpuk dan bukannya pesta pora dan sepertinya Tobias menjadi salah satu si maniak kerja. Aku tersenyum menyadari spekulasi sepihak dari otak cerdasku yang menilai Tobias si maniak kerja. Tapi jelas, dia memang seperti itu. Usianya terlampau muda untuk mampu meraih kesuksesan sedemikian gila dengan berbagai perusahaan dengan berbagai bidang dan tersebar di seluruh dunia. Ini pencapaian yang luar biasa! Aku yakin, orang tuanya akan cepat mati karena kebanggaan yang tidak akan pernah cukup bagi putranya itu. Putranya yang tampan dengan tubuh sempurna yang dibalut setelan kemeja putih yang hari ini dia kenakan.
“Tobias...” desahku sambil memeluk tubuhku yang mendadak merinding saat nama itu melintas di pikiran. Manusia paling sempurna, tubuh indah, dadanya yang kokoh dan aku kembali membuka akses paling kotor dalam pikiran. Betapa indah jika Tobias melepaskan pakaiannya saat ini dengan aliran-aliran air yang meliuk-liuk di kulit coklat emasnya yang menawan. Pijatan dari tangannya mungkin akan mengurangi lelah pada pundakku.
Pernahkah dia memakai kamar mandi ini? Sebuah pertanyaan harapan mulai menguasai. Jika dia pernah menggunakannya maka aku bisa merasakan kehadirannya dalam angan-angan yang memabukkan. Membayangkan menyentuhku saat ini. Secara naluri dengan hasrat yang meletup-letup dan memaksa untuk segera dipuaskan, aku mulai membawa tanganku meraba organ paling sensitif dan mulai merasakan ketegangan memasuki mengirimkan sinyal kejut ke seluruh saraf dengan kuantitas yang berlipat-lipat di sekujur tubuh.
Hampir satu jam aku menghabiskan waktu mengguyur tubuhku dengan kemewahan kamar mandi dan buaian lembut air yang menjatuhi setiap area tubuhku sekaligus pengaruh sensual yang meracuni dan tiba-tiba saja aku hampir saat sebuah ketukan pintu menghancurkan sensasi paling erotis yang pernah ada dalam benakku.
“Alice, kau di dalam?” suara yang baru saja menjadi obyek erotisku mengetuk pintu dengan suaranya yang hampir membuatku terjatuh saat meraih handuk dan membalutkannya dengan acak. Aku mematikan keran dan berlari menuju balik pintu, menekannya erat dan menyadari ternyata aku tidak menguncinya.
“Ya, sir” ucapku gugup dan tetap menekan pintu itu agar tidak dibuka. Tanganku satunya mencengkram erat handuk seakan-akan orang yang ada dibalik pintu itu akan memaksa membuka.
“Kau masih lama di dalam?” suaranya dalam. Ada kekhawatiran terselip dari pertanyaannya yang singkat.
“Tidak, sir” aku mempererat handuk yang menutupi tubuhku. Kakiku mendadak berubah menjadi lentur dan tulang-tulang yang berguna menyangga seluruh tubuh mendadak musnah dan meninggalkan onggokan daging tak berbentuk. Aku merasakan pintu semakin menekan seperti hendak terbuka paksa.
Jangan!
“Saya... saya akan segera selesai, sir” ujarku terbata.
“Aku akan menunggumu di ruang makan” dan langkah kaki menjauh terdengar.
“Sialan dia!” aku mendesah lega mendengar Tobias mentup pintu kamar dan aku segera keluar dari kamar mandi, memilih kaos lengan panjang berwarna biru cerah dan celana jeans. Aku menatap muka pada cermin rias dan mengikat secara berantakan rambut hitamku dan melesat keluar menyusul Tobias.
Aku menemukan Tobias sedang duduk di ruang makan. Keanggunan terpancar dari gaya duduknya yang elegan. Kedua jari telunjuk menempel pada ujung hidungnya seperti sedang memikirkan sesuatu. Langkah kakiku yang terburu telah memancingnya keluar dari zona imajinasinya dan beralih menatapku dengan kadar intenitas yang tidak pernah berkurang dan selalu berhasil membuatku berjengit sekaligu berjingkrak dalam hati atas sikapnya yang mungkin hanya ditujukan padaku.
Rasa percaya diri ini perlu dipangkas! Seorang milyuner macam Tobias pasti orang penggoda. Segala fisik yang dimilikinya sudah membuatnya merasa cukup pantas untuk predikat seorang pria penggoda!
“Kau menyukai makan malam ini?” tanyanya sambil menunjuk makanan yang telah tersedia di atas meja makan.
Aku duduk di samping Tobias dan memperhatikan terlalu banyak jenis makanan yang disajikan. Ini tentu cukup untuk disantap oleh lima orang! Aku mengendik  pada Tobias dan dia tersenyum mengerti maksudku.
“Kau tidak harus menghabiskan semuanya. Aku tahu kau tidak akan sanggup. Hanya habiskan apa yang kau ambil. Kau tentu mengerti masih banyak orang yang kelaparan di dunia?” Senyum itu tidak pernah menghilang bahkan saat dia berkhotah tentang kelaparan. Sosok sepertinya peduli dengan hal itu? Sungguh kenyataan yang membuatku harus meletakkan rasa hormat paling tinggi baginya dan aku membalas senyumnya dengan anggukan dan meraih beberapa masakan khas eropa seperti salmon butter sauce dan asparagus risotto.
Kami menikmati makan malam kami dalam keheningan. Sesekali aku melihat Tobias menikmati makanannya dengan bersemangat seperti seseorang yang tidak makan seharian dan aku selalu tersenyum menyaksikannya yang seperti itu – jauh dari kesan kemewahan dan elegan. Aku telah menghabiskan makanan yang aku pilih. Tobias telah mendahuluiku dan sekarang dia menuju dapur dan mengambil sesuatu dari tempat penyimpanan anggur. Beberapa saat dia menimbang dan akhirnya memutuskan meraih sebotol anggur berwarna merah darah.
“Anggur merah?” tebakku saat dia menuangkan cairan dalam botol itu ke dua gelas dengan bentuk menggelembung cukup besar dan memberikannya salah satunya padaku. Dengan ahli dia menggoyang-goyangkan gelas itu dan sesekali menghirup aroma anggur itu. Aku mencoba melakukan hal yang sama dan sensasi dari bau alkohol yang terkandung dari anggur ini membuatku tidak sabar untuk menenggaknya.
Wine punya karakteristik yang berbeda-beda baik rasa, aroma, tingkat alkohol dan tentu warnanya” ujarnya dan sedikit demi sedikit dia meminum anggur itu dan aku mengikuti jejaknya.
Aku sedikit bergidik dengan rasa wine yang aku rasakan. Rasanya sedikit asam dan pahit, dengan aroma yang kuat. Aroma yang kuat dan menghasilkan sensasi kehangatan di tenggorokan setelah diminum pada after taste-nya membuatku ingin merasakannya lagi dan lagi.
“Jenis ini disukai oleh kebanyakan orang Italia” ucapnya dan memperhatikan reaksiku saat mencicip anggur yang dipilihnya.
“Jenis apa ini?” tanyaku ingin tahu.
Campo alla Sughera Arnionejelasnya dan kembali meminum anggurnya dengan kenikmatan tergurat di wajahnya yang rileks.
“Kau bisa melihatnya, red-wine ini berwarna merah pekat dan saat kau meminumnya˗”
“Kehangatan. Rasa rempahnya membuat tubuhku hangat” aku menatap gelas anggur itu dan mengutarakan apa yang baru saja menjadi sensasi baru menikmati anggur paling enak yang aku rasakan.
“Benar sekali. Kehangatan yang menyenangkan” katanya dengan sebuah pernyataan yang implisit sekaligus ambigu dan aku menunduk gugup bahwa yang dimaksudkannya masih berkaitan dengan hasrat yang terpuaskan.
“Sir--”
“Kau memanggilku sir, anda dan segala formalitas hanya saat di kantor atau bertemu dengan rekan bisnisku!” selanya tajam dan aku tidak lagi memprotes ucapannya.
“Baik sir, maksudku- Tobias” gumamku kikuk.
“Kau menikmati acara mandimu?” tanyanya tiba-tiba.
Terlalu mengejutkan untuk permulaan yang sudah menyenangkan! Dia menanyakanku tentang acara mandiku? Gila dia! Apa aku akan menjawab “Kau tahu Tobias, saat aku mandi aku menjadikanmu objek paling erotis yang pertama kali terjadi dalam hidupku!” Tolol jika aku berani seperti itu.
Aku melonggarkan tenggorokanku yang baru saja tersumpal oleh pertanyaan Tobias.
“Tentu! Kamar mandi itu luar biasa. Luas, elegan, dan –um, mewah” ucapku ragu.
Aku melihat Tobias bersandar pada kursinya tanpa melepas pandangannya. “Boleh suatu hari nanti aku ikut?” tanyanya dengan sejuta petir menyambar dalam imajinasiku.
“Apa maksudmu?” tanyaku defensif dan suaraku meninggi waspada.
“Aku suka kau yang seperti ini” lanjutnya yang meninggalkan jejak-jejak tanda tanya yang terus berserakan di otakku.
Dia memang penggoda sejati!
“Bergabung menikmati acara mandi tentu saja. Apalagi?” dan aku susah payah menelan liurku yang berubah menjadi sebongkah kayu besar.
“Kau tahu peraturannya–”
“Tentu–” lanjutnya dan dia bangkit berdiri mencondongkan tubuhnya mendekat pada wajahku.
“Aku orang yang taat pada peraturan, Alice dan kau ... kuharap kau juga begitu” bisiknya dengan wajah semakin mendekat padaku, kepalanya miring ke samping dan tampak aku mengetahui gelagatnya aku berdiri dan wajahnya sekarang menghadapi perutku.
Aku harus tegas! Dia tidak bisa mempermainkanku lebih dari ini!
Oya? Bukankah hormon seksualmu perlu dipuaskan? Suara busuk itu kembali menyeruak.
“Maaf aku–”
Dia menegakkan kembali tubuhnya. Wajahnya tanpa ekspresi dan itu malah membuatku merasakan kelu pada lidahku.
“Beristirahatlah. Kau harus bekerja besok” dan dia pergi meninggalkanku. Meninggalkan rasa sakit yang entah mengapa membuatku ingin mengejarnya dan memutar kembali waktu, mengijinkannya melakukan apapun yang dia inginkan sehingga rasa sakit ini mungkin akan hilang.
“Ada apa denganku?” ucapku dan mengakhiri hari luar biasa mengejutkan dalam sejarah hidupku ini dengan rasa sakit yang tidak beralasan.
Apapun terjadi karena ada alasan–
Dan aku mulai memperhatikan semua omong kosong yang tercipta dari sudut hatiku paling dalam setelah sekian tahun menutupnya rapat-rapat.
Apakah sekarang hatiku sudah mulai bekerja layaknya hati yang memiliki nurani? Aku sudah melukai banyak orang dalam hidupku dan sekarang, apakah nurani masih tersisa dalam diriku?


“Pukul lebih keras lagi, Alice!” Teriakan K menggaung begitu dekat dengan telingaku.
Aku menghantamkan pukulan untuk kesekian puluh kali ke sandsack yang ada di hadapanku. Peluh mengucur deras dan pandanganku mengabur. Sudah lebih dari 5 jam ayah menyuruhku untuk terus memukul dan memukul sandsack itu. Kelelahan dan rasa sakit hati luar biasa melanda dan memenuhi setiap detak jantung dan hembusan napasku. Terlalu meyakitkan, K! Terlalu menyakitkan! Memori itu seakan menjadi luka yang tidak akan pernah menutup dan terus menerus tergores dan menimbulkan infeksi yang tidak akan pernah berkesudahan. Rasa sakit yang kau munculkan membuatku sesak dan apakah ini tujuanmu? Membuatku mengejarnya yang memusnahkan nasib bahagiaku dan tergantikan oleh kesendirian dan dendam yang tiada habisnya? Jika memang demikian, kau telah berhasil mendidikku menjadi seorang pembunuh!
Aku menyayangimu K karena kaulah satu-satunya orang yang aku miliki. Kau menyayangiku sepenuh hatimu, mengajarkanku banyak hal dan membuatku menjadi wanita tangguh dan tegar, membuatku tertawa di saat memori kehilangan itu menyeruak dan menggerogoti kehidupanku menjadi rapuh dan mudah terkalahkan.
“Lihat baik-baik dia!” Tangan K menjambak rambutku dan membawa paksa wajahku menatap sebuah potret seorang lelaki yang sebaya dengan ayah tertempel pada sandsack. Rambutnya hitam dan terpangkas rapi. Wajahnya tegas namun matanya begitu cerah secerah lautan yang jernih.
“Dia! Dia pembunuh ibumu! Pembunuh ayah! Kau mengerti?” Bentak K dan sekali lagi memaksaku untuk memukul potret itu.
Kekejaman yang bertubi-tubi menumpuk di dalam hatiku yang telah lama membeku. Di usiaku yang baru saja selesai menyelesaikan masa sekolah menengah atas, aku dipilih secara khusus oleh security service agent untuk menjalani pelatihan sebagai agen khusus. Pelatihan beladiri, senjata, sky-diving, manipulasi, dan hal-hal lainnya telah aku ikuti ditambah sesi khusus yang diajarkan K. Agen K adalah teman akrab ayahku saat mereka masih bekerja bersama dan akhirnya dia mengangkatku menjadi anaknya saat aku masih berusia tidak lebih dari satu tahun. Semua kebahagian telah direnggut dariku.
“Dia telah mengambil ibumu, ayahmu, dan bahkan dengan kejam membunuh kakak perempuanmu!” Suara K menggaung tiada pernah berkurang. Amarah yang meledak akibat kehilangan sahabat yang dia cintai sama sepertiku telah memupuk dendam dalam hatinya dan telah berimbas memasuki relung hatiku dan turut serta membentuk dendam pada Dean Reeves. Pembunuh, perebut, pemusnah seluruh kebahagiaanku, kebahagiaan K, dan dia bahkan tega merenggut nyawa kakakku yang menurut K masih berusia 4 tahun saat semuanya tergeletak mati tidak berdaya.
“Pembunuh!” Sebuah hantaman keras merobohkan kantung pasir itu dan terlempar sejauh beberapa meter dari tempatnya tergantung.
“Bagus, Alice! Kau harus menjadi kuat karena kau tidak tahu siapa yang akan kau hadapi nanti!” Suara K penuh peringatan, cengkramannya pada bahuku mengetat dan sesi latihan dengannya berakhir dengan keringat, air mata dan napas yang terengah-engah ditambah rasa amarah dan dendam yang menguak meminta untuk segera dibalaskan.
@@@
            Aku menggeliat saat sinar matahari menembus kaca yang secara otomatis akan terbuka tirainya pada jam-jam tertentu. Kehangatannya membelaiku dan aku sedikit enggan untuk membangkitkan diri dan menelungkan tubuhku lebih dalam, mengangkat tinggi-tinggi selimut.
Drrtt... ddrrtt... ddrrtt...
Ponselku bergetar di atas meja dan aku terpaksa meninggalkan posisi paling nyaman dan meraih ponsel yang memunculkan ada pesan baru.

Dari     : Ayah
Pesan : Semoga hari pertamamu bekerja menyenangkan!

Sial! Aku harus bekerja hari ini!
Ide sialan menjadi bodyguard adalah hal paling tidak terduga dalam hidupku!
Aku? Bagaimana bisa? Tidak lebih dari 10 orang sepertiku di Inggris. Aku diciptakan menjadi hebat dan ditugaskan dalam misi-misi berbahaya dan sekarang aku malah terjebak dengan manusia paling menjengkelkan karena aku menjadi lemah hari demi hari jika aku terus berada dekat dengannya. Dia seperti penghisap energi dan sedikit demi sedikit aku menjadi bergantung padanya.
            Pukul 7 pagi aku telah bersiap dengan seragam tugasku yang memang membuatku nyaman bergerak. Selalu dengan mengenakan celana dan warna hitam menjadi favoritku.
            “Selamat pagi, sir!” Aku menyapa Tobias yang baru saja melintas di depanku saat aku hendak menuju dapur dan berniat untuk memasakkan sesuatu untuknya.
            Tobias hanya mengangguk dan berlalu begitu saja. Aku menatap bingung ke arahnya. Apakah dia masih tersinggung dengan sikapku kemarin? Tapi aku bodyguardnya! Apa yang dia lakukan kepadaku tidak selebihnya sikap seorang bos pada bawahannya. Sudut mulutku berkedut dan aku tidak akan memedulikan sikap dinginnya itu lagi.
            “Selamat pagi, Miss Keith.” Seorang wanita yang berusia mungkin sudah lebih dari 50 tahun dengan baju sederhana menyapaku dari dalam dapur.
Mrs. Martin?” Tebakku. Wajah meksiko yang kental dengan warna kulit coklat gelap menambah kesan manis pada wajahnya yang sudah mulai menua.
Dia tersenyum dan keriput di ujung matanya mulai tercetak semakin tebal. “Saya senang akhirnya Mr. Currey ada yang menemani.” ujarnya dan aku tersenyum kikuk.
Dan itu pertanda bahwa neraka semakin mendekati hidupku atau malahan aku telah berada di dalamnya.
“Anda ingin sarapan apa, Miss Keith?” tanya Mrs. Martin.
“Anda tidak perlu repot-repot Mrs___
“Julia, please?
“Maksudku Julia, anda tidak perlu merepotkan diri___
“Saya merasa senang anda di sini menemani Mr. Currey, Miss Keith.” Senyumnya tidak pernah pudar dari wajahnya. Dia sedang memotong-motong sesuatu seperti daging saat aku mendekatinya berniat untuk membantunya.
“Tidak perlu, Miss Keith”
“Tolong panggil saya Alice dan janganlah terlalu formal. Saya menjadi tidak nyaman” Mohonku padanya.
“Baiklah. Alice, apa kau ingin bacon?” Tawarnya yang sekarang sedang memasukkan beberapa roti ke dalam toaster.
“Terimakasih, Julia”
“Sama-sama, Alice”
Aku mulai merapat dan menengok masakan Julia yang sepertinya luar biasa menggiurkan. Aku melihat omelet dengan madu yang tertuang dan membuat perutku bergemerucuk menuntut pasokan makan.
Hanya perlu waktu 15 menit semua makanan seperti bacon, omelet, roti panggang dan jus jeruk telah siap. Aku membantu Julia membawakan beberapa makanan tersebut ke meja makan dan melihat Tobias telah duduk dengan gaya paling indah – seperti biasa – dengan koran di hadapannya dan I-phone tergenggam di tangan kirinya.
Aura kegelisahan mendadak melingkupi meja makan. Aku melirik pada Julia dengan makna ‘tolong aku’ tersirat dalam tatapanku padanya namun dia hanya tersenyum dan bergegas kembali ke dapur.
Apa sebaiknya aku mengikuti Julia dan memilih makan di meja untuk pembantu? Aku menggigit bibir bawahku dan belum memutuskan untuk juga beranjak dari tempatku berdiri atau tetap mematung menyaksikan Tobias yang masih sibuk dengan I-phonenya.
            Tobias menegakkan kepalanya miring dan menatapku dengan sebuah alis terangkat. “Kau ingin menjadi manekin selamanya di situ?” Suaranya datar dan aku gelagapan saat menyadari tatapan Tobias benar-benar berubah kepadaku.
Tamat riwayatmu, Alice!
“Aku lebih baik bersama Julia___
“Aku menyuruhmu untuk sarapan di meja ini!” Ujarnya tanpa menatapku dan telah mengambil beberapa potong roti panggang dan mulai memasukkan roti itu ke dalam mulutnya.
Ragu-ragu aku duduk menjauh darinya dan mengambil omelet. Susah payah aku menelan makanan yang kupilih ke dalam saluran kerongkonganku dan aku memutuskan untuk tidak menghabiskannya. Suasana hatiku mendadak buruk dan aku sangat mengetahui apa yang menyebabkan keburukan ini. Dia, lelaki yang duduk dua kursi dariku.
“Apa kau mulai suka menyia-nyiakan sesuatu?” Matanya menatapku tajam. Kedua tangannya yang semula sibuk menusukkan garpu ke dalam roti berhenti. Perhatiannya yang kelewat mengerikan membuat merinding sebagian besar tubuhku.
“Aku kenyang.” Jawabku singkat.
“Kenyang? Apa kau tadi sudah makan?” Nada suaranya semakin ketus dan kemarahan hampir mencapai titik didihku.
Aku melap mulutku dan bangkit dari tempat duduk. Aku harus menjauh darinya sekarang atau mungkin tangan kananku akan mendarat pada pipinya yang menawan. “Aku akan menunggumu di___
“Habiskan!”
“Aku ini hanya bodyguardmu bukan seseorang yang kau suruh-suruh untuk hal sepele!” Teriakku berang. Dia telah memicu amarah yang tertahan.
Amarah? Amarah karena apa? Apa karena dia mengacuhkanmu alih-alih memperhatikanmu seperti biasanya? Aku mengangguk tanpa Tobias sadari.
Aku bukan orang yang munafik di depanmu! Kau harus tahu itu! Balasku pada sisi dari diriku yang selalu kontra dengan segala hal yang aku lakukan ataupun ucapkan.
Mata Tobias melebar sesaat dan sejenak yang lalu kembali normal. Napasku tersengal menyaksikan betapa luar biasa ekspresi Tobias. Aku mengira dia pasti memperoleh juara pertama saat mengikuti kelas memanipulasi karakter serta ekspresi dan dia telah berhasil mengubah ekspresi sedemikian cepat. Dia bangkit berdiri dengan ketenangan dan berjalan melewatiku menuju ruang kerjanya.
Dia benar-benar membuat tekanan darahku meningkat! Aku menatap sinis ke arahnya meski aku tahu percuma. Dia tidak akan tahu seberapa kesalnya aku dengan perubahan sikapnya.
Aku berusaha menjaga jarak dengannya hanya untuk membuatku mampu bersikap profesional. Dia terlalu buruk untuk kinerjaku. Saat bersamanya, terlalu sering kegagalan yang aku alami. Aku tidak pernah meleset dalam hal menembak, aku tidak pernah merasakan hal yang bernama rasa bersalah, aku tidak pernah merasa terintimidasi karena selama ini akulah yang selalu mengintimidasi!
Dengan kasar aku menggeret kembali kursi yang aku tempati. Berapa lama lagi aku harus menghadapi bos paling menjengkelkan yang pernah aku tahu? Ayah harus bertanggung jawab padaku! Jika aku pulang dalam keadaan tidak utuh, maka dia adalah orang yang pertama kali aku incar! Rekomendasi pekerjaan yang aku idam-idamkan malah berbuntut pada jebakan paling sensual yang aku alami!
Aku memperhatikan semua makanan yang tersaji di atas meja makan. Piring Tobias telah bersih. Dia selalu memperhatikan pola makannya.
Apakah dia akan selalu begitu jika suasana hatinya terlalu buruk atau terlalu senang?
Aku mulai tertarik dengan koran yang Tobias baca. Sebuah headline berita menunjukkan ada 2 anak laki-laki negro tengah mengais-ngais makanan di tumpukan sampah yang ada pada sebuah area yang sekelilingnya terlihat berantakan. Pada headline itu bertuliskan Kelaparan di Somalia yang tak pernah ada habisnya.
Aku meraih koran itu dan membacanya dengan seksama.
NAIROBI, Kekeringan dan kelaparan menimpa penduduk di Somalia, hingga Kamis (4/8/12). Bencana ini telah menewaskan lebih dari 29.000 anak balita dalam tiga bulan ini.  Jumlah ini begitu mencengangkan, suatu bencana kemanusiaan terparah dalam krisis di Tanduk Afrika itu.         
PBB telah mengatakan sebelumnya bahwa puluhan ribu orang telah tewas akibat kekeringan yang terburuk di Somalia dalam 60 tahun ini.  PBB mengatakan 640.000 anak  kekurangan gizi akut, suatu statistik yang dapat mengidikasikan bahwa angka kematian anak akan naik.        
Theresa Luther, pejabat lembaga bantuan pemerintah AS di depan komite Kongres AS di Washington, Rabu, bahwa AS memperkirakan lebih dari 29.000 anak balita Somalia selatah tewas dalam 90 hari terakhir.  Jumlah itu berdasarkan survei gizi dan kematian yang diverifikasi oleh Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDCP) AS.          
PBB juga pada hari Rabu menyatakan tiga daerah baru masuk dalam di zona kelaparan Somalia, sehingga jumlah wilayah menjadi lima di seluruh Somalia selatan. Dari populasi sekitar 7,5 juta, PBB mengatakan 3,2 juta warga Somalia sangat membutuhkan bantuan darurat.          
Distribusi bantuan telah diberikan___
Mataku terhenti saat sebuah foto menutupi area kalimat yang sedang aku baca. Aku mendongak dan melihat Tobias sudah berdiri tegap di sampingku. Tobias menyuruhku untuk melihat foto yang dia tunjukkan kepadaku. Aku meraihnya dan mengamati dengan teliti satu lembar foto yang berisi anak laki-laki yang sedang tersenyum bahagia. Kedua anak itu berwajah cerah, saling merangkul dan baju yang mereka kenakan sangat pas dan membuat mereka begitu tampan. Aku tersenyum menatapnya.
Anak-anak yang manis. Batinku berucap.
Kedua anak itu adalah negro. Tunggu!
Aku meraih kembali koran yang tadi aku baca. Aku meneliti detail wajah dari foto koran dan membandingkannya dengan foto yang diberikan Tobias kepadaku. Mereka anak yang sama? Kedua alisku bertaut dan aku menggeleng tidak mengerti ke arah Tobias.
“Ini___” Tobias menunjuk anak yang di sebelah kiri dengan telunjuknya. “Dia bernama Xaxi. Dia berusia 10 tahun.” Gumamnya. Raut wajahnya teduh dan sebuah senyuman kecil terpoles di bibirnya.
“Dan yang ini Xayi. Dia masih berusia 7 tahun. Mereka kakak beradik.” Lanjut Tobias. Suaranya stabil dan aku memperhatikan setiap penjelasan dari Tobias.
“Mereka anak-anakku”