HAPPY
VALENTINE, AL!
Pesta valentine yang hingar bingar akan
segera dimulai malam itu. Toby dan pasangan kencannya Alice berjalan memasuki
ruangan aula yang telah dihias dengan lampu penerangan seperti diskotik yang
memusingkan. Alunan musik yang tidak begitu keras mengisi kemeriahan pesta di
sebuah rumah besar bergaya Georgia.
Toby menggamit pinggang Alice dan
membawanya menuju ke sebuah sudut ruangan yang di situ terdapat kursi kosong.
Dengan gagah, Toby menarik salah satu kursi dan mempersilakan Alice untuk
duduk.
“Kau tahu aku tidak menyukai pesta!”
Wajah Alice menekuk.
“Kau berjanji padaku untuk ikut, kan?” bujuk Toby.
Alice menggeleng kepalanya dan
menghentikan seorang lelaki yang sedang membawa nampan berisi minuman. Si
lelaki itu dengan sigap memberikan segelas minuman dan dengan cepat Alice
menenggak minuman itu sampai habis. “Aku tidak menyukai keramaian!” Alice
menggeram.
“Aku tahu itu dengan sangat baik.” Tukas
Toby lembut. Wajahnya tegas seperti batu granit bertolak belakang saat dia
berhadapan dengan gadisnya, Alice, yang sekarang begitu cantik. Balutan gaun
malam berwarna kuning salem, rambut bergelombang yang tergerai berwarna coklat
dan perona wajah yang tidak mencolok membuat wajahnya semakin bercahaya. Toby
selalu menyukai Alice yang seperti itu. Alice yang apa adanya.
“Lalu mengapa kau mengajakku kemari?” tanya
Alice semakin kesal. Tobias hanya tersenyum menahan geli melihat tingkah
kekasihnya yang polos itu.
“Toby!” bentak Alice karena melihat Toby
menatapnya dengan senyum mencurigakan.
Toby bangkit dari kursinya, menggeretnya
mendekati Alice dan kembali duduk. Matanya menatap Alice dengan serius karena
dia tahu hanya ini satu-satunya cara meredakan kekesalan pacarnya itu.
Benar saja, Alice merona saat tatapan
Toby sama sekali tidak terbaca dan lurus menatap manik matanya seakan
menelanjangi apapun yang ada di dalamnya.
“Kau membuatku—”
“Ssshh!” sela Toby dan tetap diam tanpa
melepas pandangannya dari Alice.
“Baiklah kau menang!” Alice tertunduk
karena dia merasa suhu tubuhnya meningkat akibat perlakuan Toby. Tepat seperti
dugaan Toby. Gadisnya terlalu mudah untuk digoda dan hanya dia yang mampu
menggoda Alice.
“Dansa?” ajak Toby seraya bangkit dari
duduknya.
“Tidak. Aku—” Toby melihat Alice
menggigit bibir bawahnya.
Toby melengkungkan tubuhnya dan
mengamati wajah gadisnya begitu dekat. “Kau menikmatinya?” Tanya Toby dibalik
seringai bibirnya yang tajam.
“Apa?” sahut Alice terkejut.
“Bibirmu...,” Toby menjawab.
“Jangan, Tobias Smith!” Alice
memperingati. Tobias menyeringai penuh kemenangan saat Alice turut bangkit dan
memasukkan lengannya ke lengan Toby.
Mereka berjalan menuju lantai dansa.
Toby sedikit menyentakkan tubuh Alice ke depan dan menariknya kembali ke dalam
dekapannya. Dengan lembut, Toby mengalungkan tangan Alice ke lehernya sedangkan
tangannya sendiri memeluk erat pinggang kecil Alice.
“Apa kau tahu bahwa Cleopatra hidup
kembali?” Kening Toby dan Alice saling menempel.
“Benarkah?”
Toby mengangguk pelan dan senyuman
menawan terbentuk di bibirnya. “Alicia Cleopatra Parker.” Tangan kanannya kini telah berpindah menuju
dagu Alice. Alice mampu merasakan elusan lembut ibu jari Toby.
“Sejak kapan namaku berubah?” Alice
mengerucutkan mulutnya dan berpura-pura marah.
“Sejak kau membuatku tidak bisa tidur.
Saat kau membuat semua orang yang ada di dunia ini menghilang dan hanya ada ada
dirimu. Saat kau membuat hari-hariku menjadi hitam dan putih bukan lagi
abu-abu.” Ini adalah ungkapan paling panjang kedua yang pernah Alice dengar
dari mulut paling tertutup di seluruh belahan bumi yang pernah Alice kunjungi.
Lelaki yang telah mengusik hidupnya jauh di saat Alice menyadari bahwa lelaki
paling dingin, paling kejam dan paling menakutkan telah menandainya sebagai wanitanya.
“Apa
yang kau inginkan?” Suara amarah keluar dari mulut seorang gadis yang selama
ini dianggap perempuan lemah dan jarang sekali berbicara. Wanita itu bahkan
bukan termasuk dalam kawanan top di universitasnya. Dia juga bukan gerombolan
kutu buku yang membebani punggungnya dengan tas punggung super besar ditambah
tas jinjing yang tak kalah beratnya.
“Tidak
ada,” kata Toby datar dan menarik kasar tangan Alice untuk keluar dan menjauh
dari zona kasak-kusuk mahasiswa yang menyaksikan adegan gratis si Dingin-Kejam
Tobias Smith dan si Tak Dikenal Alicia Parker.
Hiruk
pikuk orang-orang melihat adegan tarik menarik Toby dan Alice mulai berkurang
saat mata tajam elang Toby menyisir semua orang yang melihat mereka.
“Alice!”
Teriakan keras menghentikan laju Toby dan Alice.
“Harry,
tolong aku!” teriak Alice. Tangannya meronta-ronta berusaha melepas cengkraman
Toby yang mengetat.
“Jangan
macam-macam, Bagman!” ujar Toby dingin dan penuh ancaman.
“Kau
menyakitinya, Smith!” balas Harry sama sengitnya. Tatapan mematikan saling
terlempar dan Alice bergidik melihat temannya, Harry, ternyata memiliki sisi
menakutkan.
“Kau
berani denganku?” Intonasi suara Toby tidak berubah dari kadar mengerikan. Mata
para penonton bergulir saat Toby dan Harry hanya melempar pandangan yang sanggup
membunuh siapapun.
“Kau
monster!” Alice berucap. Ekspresi Toby menjadi lebih datar namun justru semakin
terlihat kejam. Beberapa mahasiswa lain memilih meninggalkan pergelutan itu
agar tidak terkena sasaran.
“Begitu?”
Kepala Toby miring ke samping, menatap Alice tanpa ekspresi.
“Kau
ancaman bagi semua orang. Kekuasaanmu menakuti orang-orang! Kau kira kau pantas
memperlakukan mereka seperti itu? Memperlakukanku seperti ini? Apa aku memiliki
masalah denganmu? Lepaskan aku!” teriak Alice yang telah berhasil mengumpulkan
segenap kekuatannya untuk meluapkan segala emosi yang dia tahan. Dia tidak
ingin diperlakukan seperti hewan oleh si Dingin-Kejam Toby. Tidak! Dia tidak
ingin menjadi salah satu permainan lelaki itu.
“Kau
tidak mendengarku Smith? Apa perlu aku menggunakan bahasa hewan agar kau
mengerti?” cibir Alice.
“Kalian
semua pergi jika tidak ingin menyesal!” Toby berkoar tanpa mengalihkan
pandangannya dari satu-satunya wanita yang berani menghinanya.
“Apa
kau tidak ingin pergi Bagman?” kata Toby kelewat tenang setenang gunung api
yang tertidur namun lava yang meleburkan siap membumihanguskan apapun yang
menghalangi jalannya.
“Kau mempesona malam ini, Al!” ucap
Toby. Telunjuknya terasa gatal saat melihat beberapa helai rambut Alice keluar
dari daun telinga indah gadis itu. Dia membawa telunjuknya dan membenarkan
helaian-helaian itu dengan menyelipkannya di balik daun telinga Alice.
“Kau juga terlihat begitu tampan!” desah
Alice. Bibir Toby mendekat dan dia mampu merasakan jantung Alice berdetak lebih
cepat dan membuat Alice merona sekaligus menginginkan. Kedua hidung mereka
menempel.
“Aku
memang monster. Dan Bagman, tolong tinggalkan kami berdua. Aku berjanji aku
akan mengembalikannya padamu dan tidak akan aku menyentuhnya. Aku hanya perlu ...
bicara padanya.” Sejenak Harry memandang Alice dan Alice mengangguk.
“Jika
kau menyakitinya, kau akan menyesal!” Harry meninggalkan mereka.
“Kau
tidak takut pada monster ini?” tantang Toby. Suara dinginnya tidak berubah.
“Apa
yang harus aku takutkan dengan monster sepertimu?” Mata Alice menyipit.
Dingin
dan tak ada ampun melingkupi suasana sepi mereka.
“Cepat
selesaikan urusanmu!” sambung Alice sinis.
Toby
menatap Alice menembus iris matanya yang berwarna hijau cerah. “Jadilah kekasihku!”
ucap Toby tanpa babibu.
Kedua
alis Alice saling bertaut membentuk kerut di antara selanya. Terlalu terkejut
mendengar ocehan Toby yang baru saja terlontar dari mulutnya yang tidak pernah
mengeluarkan kata manis.
Inikah
maksud dari ungkapan tidak biasa Toby? Pernyataan.... cinta? Dia pasti
bercanda!
Alice
memperhatikan raut Toby yang tidak berubah. Pandangannya fokus dan intensitas
kedipannya stabil namun Alice merasakan getaran pada pegangan Toby yang tidak
lagi sama seperti tadi – yang cenderung menyakiti.
Alice
menelisik mata Toby mencari celah bahwa dia sedang mempermainkannya sama
seperti wanita-wanita lain. Mata biru Toby masih sama beningnya dengan air di
lautan pasifik yang teduh.
Semua
terdengar konyol! Alice menahan tawa yang menggelegak dalam tenggorokannya dan
menuntut untuk dilepaskan namun sorot mata Toby mengisyaratkan keseriusan.
Lelaki
ini gila!
“Aku gila karenamu, Al!”
“Kau milikku, Al!” timpal Toby tegas.
“Al,
aku menunggu jawabanmu.”
“Kau
hanya mempermainkanku, kan? Kau sedang dalam taruhan, kan?” Suara sarkatis
Alice lebih menyentuh garis ejekan.
“Kau
menemukan kebohongan di mataku?” Toby kembali menantang dan Alice tidak mampu
menemukan setitikpun kebohongan dari mata Toby atau mungkin Toby terlalu ahli
dalam menyembunyikan kebohongan.
“Kau
konyol! Mana mungkin kau memintaku menjadi kekasihmu secara tiba-tiba. Apa kau
melakukan pendekatan padaku sebelumnya? Tidak! Maka aku menyimpulkan bahwa
matamu sudah terlatih untuk berbohong!”
“Apa kau terlalu membenciku sehingga kau
memandang rendah orang sepertiku?” Toby mendekati Alice namun Alice mundur
memasang sikap defensif.
“Al,
bisakah kau memberiku alasan mengapa kau bersikap seperti ini... padaku?
Mengapa kau bisa begitu baik pada Harry tapi tidak padaku?” tanya Toby yang
sekarang sudah berdiri 10 senti di hadapan Alice.
Kau
kejam! Kau melukai hati banyak wanita, kau memukuli setiap orang yang tidak kau
sukai. Batin Alice berucap.
“Apa
karena aku memperlakukan orang lain dengan tidak baik?” tebak Toby. “Apa itu
begitu membuatmu tidak menyukaiku?” Suara Toby perlahan berubah menjadi orang
yang tengah menghadapi pengakuan dosa.
Alice
mengangguk pelan.
“Tidakkah
kau ingin mengetahui alasannya?” Pertanyaan Toby memberi Alice perhatian.
Toby
memandang Alice yang masih belum mengucapkan sepatah katapun dan ini
menyakitinya. Dia memang telah melakukan kesalahan dengan berlaku kasar pada
setiap orang yang mengganggunya, dia suka menantang siapa saja yang berani
mengusik ketenangannya. Dia suka menggoda para wanita dan jatuh ke dalam pelukannya
agar dia mendapatkan apa yang dia butuhkan!
“Kau
berbeda, Al! Ketidakpedulianmu padaku! Pada orang paling brengsek di kampus
ini. Tingkahmu yang membuatku iri pada Harry dan sikap sinismu tidak aku
dapatkan dari siapapun! Dan saat aku harus menyentuhmu ” Suara Toby tercekat. Ini adalah ungkapan
pertama paling panjang yang Alice dengarkan dari mulut Toby yang pendiam.
“Kau tahu aku adalah milikmu, By,” balas
Alice. Jemari Alice memainkan rambut hitam Toby yang mencuat berantakan.
“Dan kau adalah milikku,” sambung Toby.
Kaki Alice berjinjit berusaha menggapai hal paling dia inginkan saat itu dan
bibirnya akhirnya memperoleh apa yang dia ingin raih yaitu bibir Toby dan
mengecupnya lembut.
“Al,
apakah kau bersedia menjadi kekasihku?” tanya Toby lagi berbisik dekat dengan
telinga Alice.
“Aku
akan menjawabnya saat pesta valentine nanti.” Alice akhirnya menjawab.
“Begitu?”
Bulan purnama di tengah malam yang sudah
menggelayut di langit semakin menerangi kediaman mewah Georgia milik keluarga
Smith. Pesta meriah dengan tamu-tamu bercanda dan Toby telah menikmati malam
valentine bersama Alice yang telah menerimanya menjadi kekasihnya.
“Al, mau menemaniku keluar?” pinta Toby
lembut di telinga Alice.
“Tentu,” jawab Alice. Sikap Toby begitu
berbeda saat dia menjadi sosok Toby si Dingin-Kejam. Dia begitu manis dan
selama Alice mulai memperhatikannya, Toby adalah sosok yang baik. Dia tidak
akan mengganggu jika tidak ada yang memulai dengannya.
Kedua insan itu berjalan menyusuri taman
belakang rumah. Hampir jam 12 malam saat itu.
“Aku khawatir nyonya Parker mencarimu,
Al.” Toby menggandeng tangan Alice dan tidak ingin sedetikpun melepaskannya.
“Aku sudah mengatakan pada ibu bahwa aku
pergi ke rumahmu,” jawab Alice riang.
Mereka tiba di sebuah bangku kayu yang
memiliki sandaran berbentuk ukiran rumit. Angin malam berhembus dan mereka memutuskan
untuk berhenti sejenak. Alice menyandarkan kepalanya pada dada Toby yang
bidang.
“Apa kau mendengar detak jantungku?” tanya
Toby. Tangannya mengelus punggung Alice.
“Ya..”
“Kau bohong, Al.” Seringai kembali
terbentuk di bibir Toby.
“Apa peduliku?” jawab Alice spontan.
“Aku menyukaimu yang tidak peduli, Al!”
Toby terkekeh.
“Kau lihat purnama itu? Kebetulan sekali
tepat hari valentine,” ujar Toby. Alice semakin mempererat tubuhnya dalam
dekapan Toby. Ia ingin merasakan kehangatan tubuh Toby yang terbungkus jas
hitam yang tebal dan membuat Toby semakin terlihat rupawan.
“Indah sekali,” kata Alice.
“Ya, Indah namun tidak saat ini!” ucap
Toby yang membuat Alice berkerenyit.
Alice merasakan tubuh Toby mulai
menegang.
“Toby? Kau baik-baik saja?” tanya Alice
yang tampak kebingungan dan mulai khawatir.
“Aku hanya kedinginan,” jawab Toby.
Tangan Toby membawa wajah Alice menuju arah pandangannya.
Toby menghembuskan napasnya yang kelewat
dibuat-buat dan terasa menyesakkan.
“Aku pernah mengatakan padamu bahwa kau
berbeda, kan?”
Alice mengangguk dan kembali mengingat
memori saat Toby memintanya untuk menjadi kekasihnya.
“Aku bisa membaca pikiranmu saat itu.
Saat kau ragu menerimaku. Kau pasti berpikir bahwa aku adalah seorang playboy. Aku mempermainkan mereka untuk
mendapatkan apa yang aku inginkan. Betulkah tebakanku?”
Alice mendengus saat mendengar
penjelasan Toby. “Kau benar, Tobias Smith!” ujar Alice.
“Kau memang berbeda, Al. Namun apa yang
aku butuhkan tetaplah sama!” Tiba-tiba tangan Toby yang memegang dagu Alice
mengetat dan menyakitkan. Wajah Toby berubah suram dan beberapa otot kebiruan
menonjol di kening dan pipinya. Matanya menggelap tidak hanya area iris tetapi
seluruhnya. Dan sepasang taring atasnya memanjang. Alice menjerit
sekuat-kuatnya namun gigi Toby telah berakhir pada leher Alice dan darah dari
dalam tubuh wanita itu telah habis tersedot oleh jiwa Toby yang terkutuk yang
harus mendapatkan darah saat bulan purnama tiba dan saat ini wanita bernama
Alice telah menjadi korban ‘berbeda’ Toby namun wanita itu memiliki hal yang
menjadi kebutuhan Toby untuk tetap mempertahankan eksistensinya di dunia.
Darah.
“Happy
Valentine, Al!” Senyum iblis Toby tidak akan pernah dipandang oleh wajah
Alice yang telah berubah menjadi mayat. Alice yang buta. Alice yang terbuai
oleh kebohongan yang tersusun rapi oleh iblis Toby.
Nama id Facebook :
Maria Chrisna Setya Sefiasanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar