Jumat, 25 April 2014

Karena Terbiasa by. Maria Chrisna



KARENA TERBIASA

“Bodoh, Zee!” Maria, gadis tomboy yang patut dipertanyakan orientasi seksualnya, memberikan pandangan sinis pada seorang lelaki bernama Zee, teman sebangkunya.
Zee yang sekarang sedang menelungkan kepalanya, mendongak. “Apa cinta kau sebut bodoh? Aku mencintainya, CM!”
Zee, menyebut Maria, sahabat sejak kecilnya itu dengan panggilan CM. Alasannya sederhana. Zee menyukai nama itu dan meski Maria sudah berkali-kali mengajaknya untuk berkelahi jika Zee masih saja menyebutnya CM, tetap saja manusia bebal Zee memanggilnya demikian.
Maria menatap sinis namun jauh di hatinya, rasa amarah berkecamuk.
Yah ... seorang wanita telah membuat Zee jatuh cinta namun seorang wanita juga sedang mematahkan cinta itu di saat yang bersamaan.
“Tapi dia mencintai si kunyuk itu,’kan?” Maria memalingkan wajah, merasa kesal.
Zee mengangkat kepala lagi sambil sesekali menghela napas yang beberapa akhir ini terasa menyesakkan. “Kau selalu bertengkar dengan Azka. Apa kau suka Azka?”
Mata Maria melebar. Zee mengatakan sesuatu yang membuat Maria harus menelan ludah yang terasa kelu.
“Kau—” Maria tidak lagi meneruskan ucapannya karena bel istirahat pertama sudah berdering pertanda kelas akan kembali dimulai.
Beberapa siswa saling berebut masuk dan Maria melihat wanita itu. Wanita yang membuat Zee terpuruk.
Tentu saja. Zee lagi-lagi mendesah saat melihat Meylani, wanita yang memiliki suara paling indah yang pernah Zee dengar berjalan anggun dan duduk tepat di depannya.
“Hai, Mey!” sapa Zee kikuk. Jantungnya sudah memasuki dentuman paling keras dan berdetak lebih cepat dari seharusnya. Adrenalin memasok secara besar-besaran saat gadis berjilbab itu menoleh. Zee melihat ada sinar-sinar seperti cahaya saat malaikat turun di sekitar Mey.
Mey tersenyum. “Hai, Zee! Nanti jadi latihan, ‘kan?”
Wajah Zee bersemu. Semua gerakan yang berada dalam radius pandangannya menjadi lambat. “Te-tentu.”
***
“Hoi, Maria!”
“Kampret, diam kau!”
“Kau tahu dimana Zee?” Seorang pria tambun berkulit hitam dengan postur tubuh yang tinggi serta potongan rambut emo itu berlari mendekati Maria.
Maria tidak memedulikan panggilan lelaki itu dan terus berjalan menuju arah kantin sekolah.
Lelaki tambun itu mulai kesal. “Budek!”
“Kampret!” sambar Maria.
“Krisis gender!”
“Bodo amat! Menjauh dariku!”
Pandangan lelaki itu berubah mencurigakan. “Tidak mau!” Tangan lelaki itu tiba-tiba saja merangkul pundak Maria. Dengan reflek lemot luar biasa, Maria tertahan oleh lengan kokoh lelaki tambun itu.
“Lepaskan, Azka! Kau bau!” protes Maria sambil meronta-ronta dan berkelit dari rengkuhan Azka.
“Kau berisik!” balas lelaki yang bernama Azka itu.
“Bisakah kalian bersikap seperti anak berusia 17 tahun pada umumnya dan bukannya seperti anak TK yang berebut permen lolipop?” Suara Zee menyeruak dari balik adegan baku hantam ala anak punk, Maria dan Azka.
“Bisakah kau membantuku?” Maria memasang wajah memelas pada Zee yang hanya dibalas oleh dengusan geli Zee.
Azka memandang puas melihat Maria sengsara lalu segera menoleh pada Zee dan berkata, “Apakah Mey sudah memberitahumu soal latihan band kita nanti sepulang sekolah?”
Zee –seperti ditampar gada keras– menoleh ke arah Azka. Wajahnya memerah bukan karena malu tetapi kata-kata Maria mengingatkannya bahwa Mey menggilai Azka –si kunyuk.
“Ya,” jawab Zee singkat kemudian mendatangi Maria. “Lepaskan CM, Az!” pintanya.
Azka menggeleng keras. “Aku sedang memerlukannya. Nanti siang akan aku kembalikan dia padamu,” balas Azka lalu menunduk, memandang Maria yang wajahnya sudah seperti kepiting rebus karena menahan marah. “Hari ini kau harus bolos!” lanjutnya masih melihat Maria.
“Kau ini! Lepaskan! Kita ke lapangan kosong saja kalau kau masih memperlakukanku layaknya sapi siap potong!” Maria masih meronta.
Azka memberikan senyuman liciknya. “Untuk apa kita ke lapangan kosong?”
“Gelut!”
***
“Mey menyukaimu, Kunyuk!”
“Berhenti memanggilku seperti itu! Panggil seperti biasa saja!”
Dengan tak-tik seribu bayangan yang terinspirasi tokoh anime, Maria dan Azka –yang memang sudah ahli dalam hal ini– bolos sekolah. Usaha melewati gerbang yang terletak di belakang sekolah tanpa ada penjagaan sama sekali, membuat mereka leluasa menaiki gerbang itu. Azka si raja bolos dan Maria si preman pasar.
“Cepat naik! Kau itu berat!” Azka menarik tangan Maria yang masih saja bergelantungan di gerbang yang memang cukup tinggi untuk ukuran manusia.
“Kau cerewet! Aku sedang berusaha!” Maria bersungut-sungut. Peluhnya sudah mengalir deras saat kakinya meraih bagian yang bisa dijadikan pijakan.
Azka melompat turun saat Maria sudah berada di puncak pintu dan Maria buru-buru mengikuti jejak Azka ikut melompat sebelum salah seorang guru memergoki acara bolos mereka.
Sret!
“Ayo cepat!” Azka sudah berjalan beberapa meter dan terhenti saat Maria memanggilnya.
“Azka,” panggil Maria lirih.
Azka memutar dan mendapati Maria tidak berbalut roknya. Maria menunduk malu, telunjuknya mengarah pada pintu gerbang dan ... rok abu-abunya tersangkut manis.
“Pppfftt ....” Azka berusaha keras menahan tawanya.
Beruntung, Maria tidak lupa untuk tetap mengenakan celana pendek sehingga celana dalamnya masih tetap aman.
“Diam kau!”
“Ha, ha, ha ...!” Azka tergelak namun Maria secepat kilat membekap mulut Azka agar tawanya yang seperti kingkong itu segera teredam. Resiko ketahuan membuat Maria bergidik.
“Bagaimana ini?” Tatapan memelas Maria membuat Azka luluh.
Jaket hitam yang dikenakan Azka disampirkan di sepanjang pinggang Maria. “Aku terlihat seperti orang gila,” gerutu Maria kesal.
“Rokmu sudah koyak! Mau apa lagi? Lagipula bukankah kau memang sudah gila? Auw, Sakit!” Pukulan keras melayang ke kepala Azka dari Maria.
“Kau akan mendapatkan yang lain kalau masih saja membuatku kesal. Ayo pergi!”
Mereka berdua bergerak menuju tempat biasa Azka, Maria, minus Zee berkumpul untuk merencanakan aksi brutal –membolos, strategi menyontek dan hal buruk lainnya. Yah ... mereka memang berandal sekolah paling tenar dan selalu membanggakan diri dengan istilah keren –lagi-lagi minus Zee karena Zee paling alim di antara ketiganya.
“Apa yang kau inginkan!?” Maria masih tidak terima dengan perlakuan kasar Azka.
Mereka berada di sebuah warteg.
“Aku sedang galau.” Azka memulai pembicaraan.
Maria yang sedang melahap paha ayam mendadak tersedak dan meraih segelas es teh; menenggaknya cepat. “Kau ... galau?” tanya Maria benar-benar terkejut.
Azka mengikuti jejak Maria; meraih gelas yang berisi es teh lalu meminumnya dengan enggan. “Aku sedang ... jatuh—”
“Cinta?” Maria memotong omongan Azka. Mata Maria membulat sempurna saat sebuah anggukan dari Azka tersuguh. “Mey?”
“Kau gila! Zee suka Mey,” balas Azka kecut.
“Dan Mey menyukaimu.” Maria mengedik sekali tanpa melihat bahwa Azka menatap Maria lama dan berakhir dengan desahan panjang.
“Aku menyukai wanita yang umurnya lebih tua dariku, Maria!”
“Han-teku ha-sih hom-bo, ho hau?” tawar Maria dengan mulut penuh makanan.
“Kau itu gorila, ya?” Azka menusuk pipi Maria yang gembung. “Porsi makanmu mengerikan!”
Maria menelan makanannya cepat. “Bodo amat. Bagaimana? Tanteku masih jomblo. Dia seksi, ukuran dada 36 D, dan yang pasti dia lebih tua darimu. Pas dengan seleramu, kan?”
“36 D?” Suara Azka persis menyerupai orang yang berada dalam level mupeng (baca : muka pengen). Azka menggeleng keras, mengusir pikiran mempesona yang disugestikan Maria. “Bukan! Jangan terlalu tua, eh, maksudku bukan itu.” Wajah Azka bersemu dan nyaris seperti buah tomat yang mengambang di sendok yang digenggam Maria.
“Jangan membuat hari bolosku ini sia-sia, ya!”
“Nanti kau ikut latihan, kan?”
“Buat apa? Obat nyamuk? Tidak. Terimakasih.”
Maria melambaikan tangannya, memanggil pemilik warung dan melakukan pengakuan dosa terhadap apa saja yang telah dimakannya kemudian melirik sekilas di hadapan Azka dan berbicara lagi dengan si pemilik warung; memberikan beberapa lembar uang pada pemilik warung.
“Oke, sekarang kita kemana?” tanya Maria melihat Azka bergeming pada posisinya semula.
“Kenapa sulit sekali?” Azka bergumam, seolah-olah Maria tidak memperhatikan apa yang sedang Azka racaukan.
“Hei, Azka, kau kenapa?” Tangan Maria melambai-lambai di depan wajah Azka.
Azka berkedip beberapa kali dan memfokuskan lagi pada Maria. “Kita langsung ke studio musik.”
***
“Mey, tidakkah kau ingin mencoba lagu yang sedikit uumm ... keras? Aku sedikit kesulitan mengimbangi ritme lagu ini yang terkesan lambat. Lagu keras cenderung memiliki ritme cepat. Kau tahu aku sedikit kesulitan dengan lagu yang errr ... mellow.” Azka membolak-balik naskah yang baru saja dinyanyikan Mey sambil memegangi gitar melodi yang bermotif gambar wajah sedang tersenyum dengan dominasi latar belakang warna hitam dan garis muka berwarna merah.
“Maaf, Kak Azka, maksudku Azka. A-aku akan mencobanya.” Mey yang memang menggilai Azka menjadi salah tingkah saat Azka berdiri begitu dekat dengannya.
Zee sebagai bassis mendatangi Azka dan meraih lembaran naskah lagu itu dengan kasar. “Bukankah aliran musik kita memang pop dan bukannya rock? Suara Mey bukan suara yang berteriak dan mencaci!” Zee mendesis sedangkan Azka hanya mampu melongo menyaksikan tingkah temannya itu yang mendadak menjadi kassar.
“Sekarang kau yang seperti anak kecil, Zee!” Maria menimpal tajam ucapan Zee. Matanya berpindah dari Zee dan Azka dan menatap Mey yang masih diam memegangi mikropon. Matanya seperti elang yang menemukan mangsa dan siap untuk mencabik mangsa itu lalu dilahap dengan rakusnya. Yah ... Maria membenci Mey. Alasan sederhana; Mey adalah ancaman retaknya persahabatan mereka.
***
“Ada apa dengan kalian berdua?” Maria seperti seorang interogator yang menghadapi dua temannya –Azka dan Zee– di tempat biasanya mereka berkumpul –warteg.
Azka melihat sekilas ke Zee kemudian berkata, “Zee, jika kau menyukai Mey, ungkapkan saja. Itu akan menenangkanmu, Bro.”
“Jangan mengajariku tentang bagaimana aku harus berbuat pada Mey.”
“Aku hanya mencoba membantumu.” Azka membela diri.
Zee mendengus seperti melecehkan namun ada rasa sakit luar biasa yang ada di dalam hatinya. “Kau bisa berkata mudah karena ada orang yang mencintaimu dan dia adalah Mey.” Ucapan Zee begitu sarkas dan itu membuat Maria berang.
Ini semua salah Mey. Perempuan itu mengacaukan segalanya. Mengacaukan persahabatan Zee dan Azka.
“Aku tahu bagaimana rasamu, Zee. Aku tahu.” Azka menepuk bahu Zee namun Zee menepisnya.
“Kau tidak akan pernah tahu. Cinta yang searah ini ... Ah, sudahlah! Lupakan pembicaraan ini. Aku lelah dan ingin pulang.”
Zee menghilang bersamaan deru motornya dan tersisa Azka dan Maria –termasuk sang pemilik warung.
“Sudah malam, Ya. Kau tidak pulang?” Azka terlihat sendu di mata Maria. Ini bukan Azka. Azka yang selalu mengajaknya berkelahi dan berdebat. Dan itu membuat level kemarahan Maria pada Mey meningkat.
“Apakah hanya gara-gara vokalis itu kita menjadi terpecah belah seperti ini?” Maria mendesah putus asa.
“Jujur saja, aku tidak begitu menyukai jenis suaranya.” Azka merenung sejenak.
“Ini bukan Azka yang kukenal. Kau siapa?”
Azka mengernyit bingung mendengar pertanyaan Maria. “Aku? Aku pangeran tampan dari negeri angin!” jawab Azka.
Maria tersenyum. “Kau tahu, aku merindukanmu yang seperti ini.”
“Seperti apa? Tampan? Aku sudah tampan sejak dulu,” timpal Azka yang turut tersenyum sekaligus bangga dengan ketampanannya sembari mengambil sendok dan berkaca di balik cermin cembung sendok itu.
“Sejak zaman nenek moyang. Itulah yang paling tepat.”
Azka memukul kepala Maria pelan. “Kau kira aku bangkotan?”
“Aku tidak mengatakannya.”
Mereka terkekeh bersama.
“Lalu masalah Zee bagaimana?” Maria menatap Azka dan berharap Azka menemukan jalan keluar terbaik untuk menyelamatkan nasib persahabatan mereka bertiga.
“Cinta tidak bisa dipaksakan,” gumam Azka dibalas anggukan Maria pertanda setuju dengan pernyataan Azka. “Tapi cinta bisa tumbuh karena terbiasa.”
“Kau masih mempercayai mitos itu?”
Azka tersenyum penuh misteri. “Secara tidak kasat mata, ya. Aku mempercayainya.”
“Whoaaa ... Jangan-jangan dengan tante-tante yang kauceritakan itu?” terka Maria.
“Dia memang lebih tua dariku tapi jangan kau memasang cap di kepalamu bahwa aku pecinta tante-tante!” kata Azka sambil menunjuk-nunjuk dahi Maria. “Kau itu garang dengan sikap tomboymu tapi kumohon lebih cerdaslah barang sedikit saja.”
“Jadi kau menganggapku bodoh?”
“Kurang cerdas tidak sama dengan bodoh,” kilah Azka.
“Ke lapangan kosong, yuk!”
“Untuk apa? Ini sudah malam!”
“Gelut denganku.”
“Ah, sudahlah! Kembali ke masalah Zee. Aku memiliki ide tapi mungkin sedikit ekstrim.”
“Apa?” tanya Maria mulai tertarik.
Azka sempat ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Kita pacaran.”
“Muahahahahahaha ...,” Maria tertawa keras lalu melirih saat melihat pandangan Azka serius. “I-ini serius?”
“Menurutmu?”
“Muahahahahaha ...,” tawa Maria kembali pecah hingga mengagetkan si pemilik warung yang sempat mengantuk.
Azka menekuk wajahnya dan memberi tatapan sinis. “Lucu? Oke! Lupakan ide itu!”
“Tunggu,” tawa kecil Maria masih tersisa dan baru berhenti beberapa detik kemudian. “Jadi ini semacam konspirasi?”
“Agar Mey berhenti berharap padaku.”
“Wohoo! Percaya diri sekali Tuan Azka ini.” Maria terkekeh sebentar lalu melanjutkan, “Tapi bukankah itu akan menyakiti Mey? Dan bagaimana jika Zee tahu masalah ini? Bisa habis kita di lapangan kosong.”
“Makanya tutup mulutmu dan berhenti membayangkan lapangan kosong!”
“Aku akan menutup mulutku! Aku bukan wanita—”
“Kau memang bukan wanita,” sela Azka cepat. “Jadi? Bagaimana? Konspirasi ini menggiurkan, kan? Kapan lagi kau menjadi pacar pangeran tampan dari negeri angin?”
Maria memasang wajah yang seolah-olah sedang muntah. “Tidak! Aku tidak mau. Sebagus apapun kita berakting, tetap saja akan ketahuan. Kaukira kita bertiga ini berteman baru beberapa bulan lalu? Kita bahkan sudah berteman sejak entah kapan! Aku sendiri lupa.”
Azka mendesah panjang. “Benar kau tidak menginginkannya? Padahal kita bisa menjadi berita paling panas di sekolah. Maria si buruk rupa berpacaran dengan Azka si pangeran tampan dari negeri angin.”
“Diam! Aku. Tidak. Mau!”
“Baiklah kalau kau tidak mau. Aku masih punya rencana lain.”
“Apa? Apa?”
“Ra-ha-si-a.”  
“Mas-mas, eh, maksudnya Mbak, warungnya sudah mau tutup ini.” Si pemilik warung menyela perdebatan ala kusir kedua anak SMA itu yang tidak penting.
Maria meringis sedangkan Azka mengulungkan lembaran uang lima puluh ribuan dan mengajak Maria untuk pulang bersamanya.
***
“CM, kau lihat Mey?” Zee celingukan mencari Mey.
Kantin sangat ramai siang ini.
Maria menggeleng pelan dan menatap terus selembar kertas yang dipegangnya.
“Kau lihat apa?” Zee merebut kertas itu yang ternyata adalah selebaran pentas seni yang di adakan sekolah seminggu lagi. “Oh ... ini.”
“Kau sudah tahu?”
“Halo! Kau kemana saja? Bukankah kau selalu ikut latihan band kami? Untuk apa kalau tidak untuk acara ini?” Zee berdecak jengkel melihat temannya yang satu itu.
“Mungkin aku terlalu banyak membolos sehingga tidak tahu akan acara ini.”
“Kau melihat Mey?”
“Tidaaaak!” ucap Maria kesal.
“Azka?”
Lagi-lagi Zee menerima gelengan dari Maria.
“Zee ... Maria,” sapa Mey yang berjalan dari arah samping dan di sebelahnya terdapat Azka yang berjalan sambil menanting tas gitar yang selalu dia bawa.
“Az ... ka?” Zee menatap tidak percaya Azka. Sedangkan Azka hanya memberikan senyuman yang penuh misteri.
Azka dan Mey mengambil tempat duduk berdampingan. Pandangan yang sangat ganjil melihat Mey bersama Azka. Azka selalu menghindari Mey dengan alasan bahwa Azka tidak ingin menyinggung perasaan Zee.
“Ada hawa apa ini?” tanya Zee yang sepertinya tersinggung melihat kejadian yang tidak biasa –Mey berjalan bersama Azka. “Kalian ... akrab sekali?”
Lagi-lagi Azka hanya tersenyum. “Sesuatu datang karena telah terbiasa, kan?” jawabnya penuh makna tersembunyi.
“Maksudmu?” Zee masih tidak mengerti namun tiba-tiba teriakan kecil Maria membuat sebagian siswa lain yang mengunjungi kantin menoleh.
“Cinta? Lalu tante itu?” pekik Maria.
Azka menghela napas panjang. “Aku bukan pecinta tante-tante!”
“Tante?” tanya Mey dan Zee bersamaan.
“Aku dan Mey pacaran!”
“Hah!?” Maria menganga sedangkan Zee menhempaskan punggungnya pada sandaran kursi, menerawang pada embun es yang mulai meleleh di gelasnya. “Ka-kau se-serius?” Maria melempar pandangan ke Zee.
“Nanti siang kita akan gladi bersih untuk acara pentas seni,” ucap Azka.
“Kenapa secepat itu?” tanya Zee tanpa melihat lawannya berbicara.
Azka kembali tersenyum. “Aku akan melatih Mey secara pribadi agar ritme melodi gitar yang kumainkan sesuai dengan jenis suara Mey.”
“Boleh aku ikut?” pinta Maria tiba-tiba.
Azka menggeleng. “Tidak boleh! Kau akan mengganggu acara pacaran kami!”
“Tidak! Aku tidak akan mengganggu.”
“Sekali aku bilang tidak, tetap tidak!” Azka bangkit dari duduknya seraya mengulurkan tangan pada Mey. Mey meraihnya malu-malu. “Sampai jumpa nanti siang!”

“Gadis itu menyebalkan!” rutuk Maria kesal setengah mati.
“Kenapa kau marah pada Mey? Seharusnya pada Azka.” Zee bergumam. Dia masih saja seperti orang yang kehilangan daya.
“Azka itu sudah kuhina jadi tidak perlu kutambahi lagi. Aku heran kenapa kau diam saja melihat orang yang kausuka bergandengan tangan dan tidak memarahiku saat aku meneriaki Mey?”
“Bukankah Azka sudah mengatakan bahwa sesuatu datang karena telah terbiasa?” Zee berdiri disusul Maria berjalan menuju kelas mereka.
“Maksudmu cinta?”
Zee tidak menjawab. Langkahnya gontai layaknya tubuh tanpa ruh.
“Zee, beri aku petunjuk. Ada apa sebenarnya ini?” Maria semakin jengkel. Dia sudah berusaha menjauhkan pengaruh Mey dari Zee tapi malah Azka yang terjerat.
“Lebih baik kau jangan campuri urusan kisah asmara mereka,” tutur Zee pelan.
“Dengan menghancurkan persahabatan kita? Tidak akan!”
Zee tersenyum penuh arti lalu merangkul Maria penuh sayang. “Aku bukan Azka.”
“Apa maksudmu?”
“Jika kau ingin marah, berdebat, dan semua hal yang biasa kaulakukan bersama Azka, kau lebih baik mengurangi kebiasaan kalian itu.”
“Tidak mau!”
“Azka sudah punya Mey!” Zee berusaha sabar meski hatinya tercabik-cabik.
“Aku punya Zee dan aku harus punya Azka! Kita bersahabat, kan?” protes Maria.
Zee semakin mengeratkan rangkulannya pada Maria. “Ada saatnya sahabat harus mengerti privasi masing-masing.”
“Tapi—”
“Apa kau suka Azka?”
“Zee! Kau gila!”
“Jadi kau pasti bisa untuk menjaga privasi Azka dan Mey jika kau memang menganggap Azka sahabat.”
“Tapi bagaimana denganmu?”
Zee dan Maria mengambil bangku paling belakang.
“Aku? Aku percaya cinta datang karena terbiasa.”
***
“Azka!”
Lelaki yang dipanggil Azka itu menoleh sekilas; tersenyum, melambaikan tangan lalu pergi. Di sampingnya berjalan seorang gadis yang tidak lain adalah Mey, pacar baru Azka.
“Az ... ka ...,” gumam Maria yang masih melihat sepasang sejoli itu menjauh.
“Hei ... Hei! Apa kau merindukan berkelahi dengan Kampret itu?” Zee menyenggol Maria sambil berkedip sekali.
Apa yang diucapkan Zee benar? Maria membatin, bingung dengan apa yang sedang terjadi akhir-akhir ini pada dirinya yang merasa ingin marah. Marah karena pasokan berkelahi dengan Azka mendadak turun drastis.
Sudah empat hari keributan mereka –Azka dan Maria– seakan musnah ditelan bumi. Beberapa siswa yang memiliki nyali sedikit banyak sempat berkelakar, “Dunia pasti akan kiamat.” Dan kelakar itu berakhir dengan sebuah tinju melayang ke pipi siswa yang melontarkan kelakar itu dari Maria.
“Satu hal mutlak yang tidak kusukai dari hubungan pacaran adalah ... melupakan sahabatnya.”
“Azka tidak melupakan kita. Kurasa dia cukup adil membagi waktu antara Mey dan kita,” dalih Zee.
Maria memberikan pandangan curiga pada Zee. “Bukankah kau cinta mati pada Mey? Tapi kau malah bersikap biasa saja.”
Bersikap biasa saja? Apalagi yang harus kulakukan? Apa aku harus memaksa Mey menyukaiku padahal hatinya memilih Azka? Seandainya aku adalah cirimu, CM, aku akan sangat bahagia, batin Zee getir.
***
“Zee ...,”
“Ada apa, Az?”
“Kau ada di rumah sekarang?”
“Ya.”
“Ada yang harus aku bicarakan.”
“Masalah itu lagi? Tenang, aku tidak apa-apa. Mey juga senang.”
“Tapi ....”
“Tapi apa?”
“Airmata itu—”
“Seorang lelaki mana ada yang menangis?”
“Jangan bercanda, Zee! Dia wanita dan aku serius!”
Zee mendesah panjang. “Sepertinya memang harus dihentikan.”
“Kau yakin?”
“Sangat yakin! By the way, selamat, Bro!”
“Kau tidak apa-apa?”
“Tentu! Aku malah senang!”
Thanks, Bro! Kuharap kau juga akan mendapatkan seseorang yang tepat.”
Thanks, Bro! Sampai jumpa pentas besok Minggu,” kata Zee dan teringat sesuatu. “Kau jadi ke rumahku?”
“Umm ... Tidak. Aku akan latihan saja ke tempat Mey. Aku masih kurang bagus, Zee.”
“Oke. Semoga berhasil, Bro!”
***
“Sial! Kenapa aku malah tegang?” omel Azka yang dibalas elusan Mey di lengan tangan Azka.
“Kau pasti bisa!” Mey memberi semangat.
“Kau tidak tegang?”
Mey menggeleng. Selama Azka berada di dekatnya, dia akan merasa tenang. Yah ... Azka, orang yang sangat dia cintai.
“Azka! Ternyata kau di sini. Kau dicari Zee, maksudku, kalian berdua. Sebentar lagi kalian akan tampil.”
“Iya ... Iya! Kau itu mahkluk setengah matang yang bawel, ya?”
Azka mendatangi Maria; mengacak asal rambut gadis itu yang dipotong pendek.
“Maria ... bisakah tinggalkan kami berdua sebentar saja?” pinta Mey tiba-tiba.
“Tidak mau!”
“Kau itu suka sekali merecoki uru—”
Cup!
Sebuah ciuman mendarat di pipi Azka sebelum Azka menyelesaikan ucapannya.
“Terimakasih untuk semuanya.”
“Mey?” gumam Azka bingung. Azka terlalu terkejut dengan ciuman yang diberikan Mey.
Wajah Mey memerah malu.
Oh! Dan wajah Maria memerah marah.
***
“Mari kita sambut Emoticon!” teriak saeorang pembawa acara pentas seni dan diikuti oleh tepukan riuh seluruh penonton.
“Azka sebagai gitaris, Zee sebagai bassis, dan Mey sebagai vokalis!” Tepukan kembali menggema.
Azka tersenyum diiringi oleh bunyi ‘Oh’ oleh sebagian besar gadis yang melihat pertunjukkannya. Zee melambaikan tangannya dan membuat gadis yang ber-Oh tadi menjerit histeris. Dan Mey ... Lelaki mana yang tidak tertarik dengan gadis cantik dan alim itu?
“Oke, sebelum band paling ditunggu tampil, saya akan memberikan pengumuman. Terjadi pergantian posisi pemain band Emoticon. Azka akan menjadi vokalis pada malam hari ini. Dan kejutan lagi datang. Mey akan bermain piano!” Sorak sorai menggaung. Malam itu semakin riuh. Maria ikut hanyut dalam keterkejutan itu. Dalam hati, dia menyumpahi Zee dan Azka karena tidak memberitahu tentang perubahan posisi band mereka.
“Baiklah, jangan berlama lagi! Inilah Emoticon!”
Tepuk tangan membahana di gedung aula SMA.
“Selamat malam semua,” ujar Azka, wajahnya memanas. Jantungnya mendadak berdetak kencang. Tidak biasanya seperti ini.
“Malam ini, kami akan membawakan sebuah lagu.” Azka berhenti sejenak; menunduk sambil mengambil napas panjang lalu melanjutkan, “Sebenarnya ini adalah lagu dari hatiku yang paling dalam. Entah sejak kapan, tapi mungkin lagu ini adalah lagu yang paling tepat kupersembahkan untuk seseorang yang begitu berarti bagiku.”
Suasana hening. Semua orang ikut hanyut dalam ekspresi Azka yang seperti menyebar feromon dan bahkan seorang gadis ikut terbius atau mungkin memang sudah terbius oleh feromonnya yang menyebar tak terkendali? Entahlah ....
“Hidupku tanpa cintamu ...
Bagai malam tanpa bintang
Cintaku tanpa sambutmu
Bagai panas tanpa hujan
Jiwaku berbisik lirih
Kuharus memilikimu ....”
Dari sekian ratus orang yang saling berbahagia dan bertepuk tangan riuh, ada beberapa hati yang terkoyak. Ada beberapa hati yang saling memahami namun tak pernah menyadari bahwa semua membawa mereka pada arus yang lebih deras. Arus ... cinta.
“Aku bisa membuatmu
Jatuh cinta kepadaku
Meski kau tak cinta kepadaku ...
Beri sedikit waktu
Biar cinta datang karena telah terbiasa ....”
(Risalah hati – Dewa 19)
***
“Keren!” Lagi-lagi kumpulan gadis saling berteriak histeris saat Azka selesai menyanyikan lagu itu.
“Hei, CM!” Azka untuk pertama kalinya setelah sekian lama, memanggil Maria dengan nama CM. “Kau harus jadi pacarku, ya!? Tidak ada konspirasi lagi!” Azka berkata tegas dengan mikropon tergenggam erat sekadar mengurangi kegugupannya.
Ungkapan yang tidak romantis.
Semua mata yang awalnya memandang Azka dengan pemujaan maha tinggi berubah seketika mencari sosok bernama CM. Mereka tahu siapa CM karena Zee, dengan setia, memanggil Maria dengan sebutan CM.
Maria, yang sedari memegangi dadanya karena entah kenapa detak jantung memasuki lintasan balap, membelalak, jantungnya mendadak berhenti berdetak seperti direm tiba-tiba. Napasnya ikut serta berhenti. Semua gerakan menjadi tak bergerak di mata Maria.
“A-apa ya-yang baru sa-saja si Kunyuk bilang?” gumam Maria masih dalam level keterkejutan tingkat wahid.
“Tak ada penolakan, ya!? Kau pasti menyukaiku. Kau harus menyukaiku.”
Azka gila!
“Tutup mulutmu dan turun dari panggung!” Maria berteriak merespon ucapan Azka.
Azka tersenyum sumringah. “Kuanggap itu jawaban ‘ya’, CM!”
Sepersekian detik hening dan kesadaran kembali mengisi seluruh otak penonton. Mereka ber-ihi dan ber-cie sehingga Maria memerah sambil mengumpat kasar. Kebiasaan premannya kalah telak dengan jumlah penonton yang terlalu banyak.
***
“Apa-apaan kau ini?” Maria menarik kerah Azka.
“Aku ... suka ... kamu.” Azka mengerling penuh arti.
“Tapi kenapa kau malah mengumbarnya di depan banyak orang, Bego?”
“Biar semua orang tahu kau sekarang milikku.”
“Jangan percaya diri dulu, Tuan!”
“Dari warna wajah dan tatapanmu, aku sudah bisa menyimpulkan jawabannya. Lagipula tangisanmu waktu itu membuktikan segalanya.”
Mata Maria melebar seketika. “Menangis?”
“Aku melihatmu bersama Zee dan ...,” kata Azka ragu. “... aku melihatmu menangis.”
“Aku tidak menangis!”
“Kau menangis, CM.” Zee bersama Mey berjalan mendekati pasangan baru yang belum genap 10 menit sudah siap bertengkar lagi. “Kau rindu bertengkar dengannya.”
“Aku—”
“Kau beruntung, Maria.” Mey menimbrung.
“Diam kau!”
“Hei, gadis galak!” Azka menarik kepala Maria mendekati dadanya. “Semua ini berkat Mey. Kau harus berlaku baik padanya.”
Maria memberikan pandangan tidak mengerti.
“Mey bersedia menjadi pacar pura-puraku agar kau cemburu. Awalnya agar kau menyadari bahwa sebenarnya kau menyukaiku, Pangeran Tampan dari Negeri Angin ini.”
“Omong kosong!” Maria menjawab ketus.
Zee mendesah kesal. “Aku bertanya-tanya, berapa lama pasangan ini akan bertahan? Menurutmu, berapa lama, Mey?”
Mey mengangkat bahu sekali dan tersenyum. Padahal jauh di dalam hatinya, dia berharap hanya malam ini saja. Hanya malam ini mimpi buruk itu segera berakhir dan Mey akan terbangun dengan status masih menjadi pacar Azka.
“Menurutku ... selamanya.” Zee berkelakar. “Selamat, ya? Jangan sampai kalian melupakanku.”
“Tidak akan. Lagipula aku tidak akan tahan berlama-lama dengan gorila ini. Isi dompetku bisa terkuras karena kebiasaan makannya yang mengerikan!”
“Kau kurang ajar!” Maria meninju perut Azka.
“Kalian tahu, aku masih saja bertanya-tanya bagaimana bisa kalian bisa saling suka dengan sikap kalian yang seperti ini?” Mey bersuara.
“Karena beginilah cara kami mengungkapkan suka. Kadang cinta datang dengan terbiasa, aku percaya itu. Tapi itu terlalu mainstream. Terbiasa karena berkelahi, kukira itu adalah sesuatu yang beda. Apalagi untuk gadis sepertinya.”

TAMAT



Tidak ada komentar:

Posting Komentar