KARENA TERBIASA
“Bodoh,
Zee!” Maria, gadis tomboy yang patut dipertanyakan orientasi seksualnya,
memberikan pandangan sinis pada seorang lelaki bernama Zee, teman sebangkunya.
Zee
yang sekarang sedang menelungkan kepalanya, mendongak. “Apa cinta kau sebut
bodoh? Aku mencintainya, CM!”
Zee,
menyebut Maria, sahabat sejak kecilnya itu dengan panggilan CM. Alasannya
sederhana. Zee menyukai nama itu dan meski Maria sudah berkali-kali mengajaknya
untuk berkelahi jika Zee masih saja menyebutnya CM, tetap saja manusia bebal
Zee memanggilnya demikian.
Maria
menatap sinis namun jauh di hatinya, rasa amarah berkecamuk.
Yah
... seorang wanita telah membuat Zee jatuh cinta namun seorang wanita juga
sedang mematahkan cinta itu di saat yang bersamaan.
“Tapi
dia mencintai si kunyuk itu,’kan?”
Maria memalingkan wajah, merasa kesal.
Zee
mengangkat kepala lagi sambil sesekali menghela napas yang beberapa akhir ini
terasa menyesakkan. “Kau selalu bertengkar dengan Azka. Apa kau suka Azka?”
Mata
Maria melebar. Zee mengatakan sesuatu yang membuat Maria harus menelan ludah
yang terasa kelu.
“Kau—”
Maria tidak lagi meneruskan ucapannya karena bel istirahat pertama sudah
berdering pertanda kelas akan kembali dimulai.
Beberapa
siswa saling berebut masuk dan Maria melihat wanita itu. Wanita yang membuat
Zee terpuruk.
Tentu
saja. Zee lagi-lagi mendesah saat melihat Meylani, wanita yang memiliki suara
paling indah yang pernah Zee dengar berjalan anggun dan duduk tepat di
depannya.
“Hai,
Mey!” sapa Zee kikuk. Jantungnya sudah memasuki dentuman paling keras dan
berdetak lebih cepat dari seharusnya. Adrenalin memasok secara besar-besaran
saat gadis berjilbab itu menoleh. Zee melihat ada sinar-sinar seperti cahaya
saat malaikat turun di sekitar Mey.
Mey
tersenyum. “Hai, Zee! Nanti jadi latihan, ‘kan?”
Wajah
Zee bersemu. Semua gerakan yang berada dalam radius pandangannya menjadi
lambat. “Te-tentu.”
***
“Hoi,
Maria!”
“Kampret,
diam kau!”
“Kau
tahu dimana Zee?” Seorang pria tambun berkulit hitam dengan postur tubuh yang
tinggi serta potongan rambut emo itu berlari mendekati Maria.
Maria
tidak memedulikan panggilan lelaki itu dan terus berjalan menuju arah kantin
sekolah.
Lelaki
tambun itu mulai kesal. “Budek!”
“Kampret!”
sambar Maria.
“Krisis
gender!”
“Bodo
amat! Menjauh dariku!”
Pandangan
lelaki itu berubah mencurigakan. “Tidak mau!” Tangan lelaki itu tiba-tiba saja
merangkul pundak Maria. Dengan reflek lemot luar biasa, Maria tertahan oleh
lengan kokoh lelaki tambun itu.
“Lepaskan,
Azka! Kau bau!” protes Maria sambil meronta-ronta dan berkelit dari rengkuhan
Azka.
“Kau
berisik!” balas lelaki yang bernama Azka itu.
“Bisakah
kalian bersikap seperti anak berusia 17 tahun pada umumnya dan bukannya seperti
anak TK yang berebut permen lolipop?” Suara Zee menyeruak dari balik adegan
baku hantam ala anak punk, Maria dan Azka.
“Bisakah
kau membantuku?” Maria memasang wajah memelas pada Zee yang hanya dibalas oleh
dengusan geli Zee.
Azka
memandang puas melihat Maria sengsara lalu segera menoleh pada Zee dan berkata,
“Apakah Mey sudah memberitahumu soal latihan band kita nanti sepulang sekolah?”
Zee
–seperti ditampar gada keras– menoleh ke arah Azka. Wajahnya memerah bukan
karena malu tetapi kata-kata Maria mengingatkannya bahwa Mey menggilai Azka –si
kunyuk.
“Ya,”
jawab Zee singkat kemudian mendatangi Maria. “Lepaskan CM, Az!” pintanya.
Azka
menggeleng keras. “Aku sedang memerlukannya. Nanti siang akan aku kembalikan
dia padamu,” balas Azka lalu menunduk, memandang Maria yang wajahnya sudah
seperti kepiting rebus karena menahan marah. “Hari ini kau harus bolos!”
lanjutnya masih melihat Maria.
“Kau
ini! Lepaskan! Kita ke lapangan kosong saja kalau kau masih memperlakukanku
layaknya sapi siap potong!” Maria masih meronta.
Azka
memberikan senyuman liciknya. “Untuk apa kita ke lapangan kosong?”
“Gelut!”
***
“Mey
menyukaimu, Kunyuk!”
“Berhenti
memanggilku seperti itu! Panggil seperti biasa saja!”
Dengan
tak-tik seribu bayangan yang terinspirasi tokoh anime, Maria dan Azka –yang
memang sudah ahli dalam hal ini– bolos sekolah. Usaha melewati gerbang yang
terletak di belakang sekolah tanpa ada penjagaan sama sekali, membuat mereka
leluasa menaiki gerbang itu. Azka si raja bolos dan Maria si preman pasar.
“Cepat
naik! Kau itu berat!” Azka menarik tangan Maria yang masih saja bergelantungan
di gerbang yang memang cukup tinggi untuk ukuran manusia.
“Kau
cerewet! Aku sedang berusaha!” Maria bersungut-sungut. Peluhnya sudah mengalir
deras saat kakinya meraih bagian yang bisa dijadikan pijakan.
Azka
melompat turun saat Maria sudah berada di puncak pintu dan Maria buru-buru
mengikuti jejak Azka ikut melompat sebelum salah seorang guru memergoki acara
bolos mereka.
Sret!
“Ayo
cepat!” Azka sudah berjalan beberapa meter dan terhenti saat Maria
memanggilnya.
“Azka,”
panggil Maria lirih.
Azka
memutar dan mendapati Maria tidak berbalut roknya. Maria menunduk malu,
telunjuknya mengarah pada pintu gerbang dan ... rok abu-abunya tersangkut
manis.
“Pppfftt
....” Azka berusaha keras menahan tawanya.
Beruntung,
Maria tidak lupa untuk tetap mengenakan celana pendek sehingga celana dalamnya
masih tetap aman.
“Diam
kau!”
“Ha,
ha, ha ...!” Azka tergelak namun Maria secepat kilat membekap mulut Azka agar
tawanya yang seperti kingkong itu segera teredam. Resiko ketahuan membuat Maria
bergidik.
“Bagaimana
ini?” Tatapan memelas Maria membuat Azka luluh.
Jaket
hitam yang dikenakan Azka disampirkan di sepanjang pinggang Maria. “Aku
terlihat seperti orang gila,” gerutu Maria kesal.
“Rokmu
sudah koyak! Mau apa lagi? Lagipula bukankah kau memang sudah gila? Auw,
Sakit!” Pukulan keras melayang ke kepala Azka dari Maria.
“Kau
akan mendapatkan yang lain kalau masih saja membuatku kesal. Ayo pergi!”
Mereka
berdua bergerak menuju tempat biasa Azka, Maria, minus Zee berkumpul untuk
merencanakan aksi brutal –membolos, strategi menyontek dan hal buruk lainnya.
Yah ... mereka memang berandal sekolah paling tenar dan selalu membanggakan
diri dengan istilah keren –lagi-lagi minus Zee karena Zee paling alim di antara
ketiganya.
“Apa
yang kau inginkan!?” Maria masih tidak terima dengan perlakuan kasar Azka.
Mereka
berada di sebuah warteg.
“Aku
sedang galau.” Azka memulai pembicaraan.
Maria
yang sedang melahap paha ayam mendadak tersedak dan meraih segelas es teh;
menenggaknya cepat. “Kau ... galau?” tanya Maria benar-benar terkejut.
Azka
mengikuti jejak Maria; meraih gelas yang berisi es teh lalu meminumnya dengan
enggan. “Aku sedang ... jatuh—”
“Cinta?”
Maria memotong omongan Azka. Mata Maria membulat sempurna saat sebuah anggukan
dari Azka tersuguh. “Mey?”
“Kau
gila! Zee suka Mey,” balas Azka kecut.
“Dan
Mey menyukaimu.” Maria mengedik sekali tanpa melihat bahwa Azka menatap Maria
lama dan berakhir dengan desahan panjang.
“Aku
menyukai wanita yang umurnya lebih tua dariku, Maria!”
“Han-teku
ha-sih hom-bo, ho hau?” tawar Maria dengan mulut penuh makanan.
“Kau
itu gorila, ya?” Azka menusuk pipi Maria yang gembung. “Porsi makanmu
mengerikan!”
Maria
menelan makanannya cepat. “Bodo amat. Bagaimana? Tanteku masih jomblo. Dia
seksi, ukuran dada 36 D, dan yang pasti dia lebih tua darimu. Pas dengan
seleramu, kan?”
“36
D?” Suara Azka persis menyerupai orang yang berada dalam level mupeng (baca : muka pengen). Azka menggeleng keras, mengusir pikiran mempesona
yang disugestikan Maria. “Bukan! Jangan terlalu tua, eh, maksudku bukan itu.”
Wajah Azka bersemu dan nyaris seperti buah tomat yang mengambang di sendok yang
digenggam Maria.
“Jangan
membuat hari bolosku ini sia-sia, ya!”
“Nanti
kau ikut latihan, kan?”
“Buat
apa? Obat nyamuk? Tidak. Terimakasih.”
Maria
melambaikan tangannya, memanggil pemilik warung dan melakukan pengakuan dosa
terhadap apa saja yang telah dimakannya kemudian melirik sekilas di hadapan
Azka dan berbicara lagi dengan si pemilik warung; memberikan beberapa lembar
uang pada pemilik warung.
“Oke,
sekarang kita kemana?” tanya Maria melihat Azka bergeming pada posisinya
semula.
“Kenapa
sulit sekali?” Azka bergumam, seolah-olah Maria tidak memperhatikan apa yang
sedang Azka racaukan.
“Hei,
Azka, kau kenapa?” Tangan Maria melambai-lambai di depan wajah Azka.
Azka
berkedip beberapa kali dan memfokuskan lagi pada Maria. “Kita langsung ke
studio musik.”
***
“Mey,
tidakkah kau ingin mencoba lagu yang sedikit uumm ... keras? Aku sedikit
kesulitan mengimbangi ritme lagu ini yang terkesan lambat. Lagu keras cenderung
memiliki ritme cepat. Kau tahu aku sedikit kesulitan dengan lagu yang errr ... mellow.” Azka membolak-balik naskah yang
baru saja dinyanyikan Mey sambil memegangi gitar melodi yang bermotif gambar
wajah sedang tersenyum dengan dominasi latar belakang warna hitam dan garis
muka berwarna merah.
“Maaf,
Kak Azka, maksudku Azka. A-aku akan mencobanya.” Mey yang memang menggilai Azka
menjadi salah tingkah saat Azka berdiri begitu dekat dengannya.
Zee
sebagai bassis mendatangi Azka dan meraih lembaran naskah lagu itu dengan
kasar. “Bukankah aliran musik kita memang pop dan bukannya rock? Suara Mey
bukan suara yang berteriak dan mencaci!” Zee mendesis sedangkan Azka hanya
mampu melongo menyaksikan tingkah temannya itu yang mendadak menjadi kassar.
“Sekarang
kau yang seperti anak kecil, Zee!” Maria menimpal tajam ucapan Zee. Matanya
berpindah dari Zee dan Azka dan menatap Mey yang masih diam memegangi mikropon.
Matanya seperti elang yang menemukan mangsa dan siap untuk mencabik mangsa itu
lalu dilahap dengan rakusnya. Yah ... Maria membenci Mey. Alasan sederhana; Mey
adalah ancaman retaknya persahabatan mereka.
***
“Ada
apa dengan kalian berdua?” Maria seperti seorang interogator yang menghadapi
dua temannya –Azka dan Zee– di tempat biasanya mereka berkumpul –warteg.
Azka
melihat sekilas ke Zee kemudian berkata, “Zee, jika kau menyukai Mey, ungkapkan
saja. Itu akan menenangkanmu, Bro.”
“Jangan
mengajariku tentang bagaimana aku harus berbuat pada Mey.”
“Aku
hanya mencoba membantumu.” Azka membela diri.
Zee
mendengus seperti melecehkan namun ada rasa sakit luar biasa yang ada di dalam
hatinya. “Kau bisa berkata mudah karena ada orang yang mencintaimu dan dia
adalah Mey.” Ucapan Zee begitu sarkas dan itu membuat Maria berang.
Ini
semua salah Mey. Perempuan itu mengacaukan segalanya. Mengacaukan persahabatan
Zee dan Azka.
“Aku
tahu bagaimana rasamu, Zee. Aku tahu.” Azka menepuk bahu Zee namun Zee
menepisnya.
“Kau
tidak akan pernah tahu. Cinta yang searah ini ... Ah, sudahlah! Lupakan
pembicaraan ini. Aku lelah dan ingin pulang.”
Zee
menghilang bersamaan deru motornya dan tersisa Azka dan Maria –termasuk sang
pemilik warung.
“Sudah
malam, Ya. Kau tidak pulang?” Azka terlihat sendu di mata Maria. Ini bukan
Azka. Azka yang selalu mengajaknya berkelahi dan berdebat. Dan itu membuat
level kemarahan Maria pada Mey meningkat.
“Apakah
hanya gara-gara vokalis itu kita menjadi terpecah belah seperti ini?” Maria
mendesah putus asa.
“Jujur
saja, aku tidak begitu menyukai jenis suaranya.” Azka merenung sejenak.
“Ini
bukan Azka yang kukenal. Kau siapa?”
Azka
mengernyit bingung mendengar pertanyaan Maria. “Aku? Aku pangeran tampan dari
negeri angin!” jawab Azka.
Maria
tersenyum. “Kau tahu, aku merindukanmu yang seperti ini.”
“Seperti
apa? Tampan? Aku sudah tampan sejak dulu,” timpal Azka yang turut tersenyum
sekaligus bangga dengan ketampanannya sembari mengambil sendok dan berkaca di
balik cermin cembung sendok itu.
“Sejak
zaman nenek moyang. Itulah yang paling tepat.”
Azka
memukul kepala Maria pelan. “Kau kira aku bangkotan?”
“Aku
tidak mengatakannya.”
Mereka
terkekeh bersama.
“Lalu
masalah Zee bagaimana?” Maria menatap Azka dan berharap Azka menemukan jalan
keluar terbaik untuk menyelamatkan nasib persahabatan mereka bertiga.
“Cinta
tidak bisa dipaksakan,” gumam Azka dibalas anggukan Maria pertanda setuju
dengan pernyataan Azka. “Tapi cinta bisa tumbuh karena terbiasa.”
“Kau
masih mempercayai mitos itu?”
Azka
tersenyum penuh misteri. “Secara tidak kasat mata, ya. Aku mempercayainya.”
“Whoaaa
... Jangan-jangan dengan tante-tante yang kauceritakan itu?” terka Maria.
“Dia
memang lebih tua dariku tapi jangan kau memasang cap di kepalamu bahwa aku
pecinta tante-tante!” kata Azka sambil menunjuk-nunjuk dahi Maria. “Kau itu
garang dengan sikap tomboymu tapi kumohon lebih cerdaslah barang sedikit saja.”
“Jadi
kau menganggapku bodoh?”
“Kurang
cerdas tidak sama dengan bodoh,” kilah Azka.
“Ke
lapangan kosong, yuk!”
“Untuk
apa? Ini sudah malam!”
“Gelut
denganku.”
“Ah,
sudahlah! Kembali ke masalah Zee. Aku memiliki ide tapi mungkin sedikit
ekstrim.”
“Apa?”
tanya Maria mulai tertarik.
Azka
sempat ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Kita pacaran.”
“Muahahahahahaha
...,” Maria tertawa keras lalu melirih saat melihat pandangan Azka serius.
“I-ini serius?”
“Menurutmu?”
“Muahahahahaha
...,” tawa Maria kembali pecah hingga mengagetkan si pemilik warung yang sempat
mengantuk.
Azka
menekuk wajahnya dan memberi tatapan sinis. “Lucu? Oke! Lupakan ide itu!”
“Tunggu,”
tawa kecil Maria masih tersisa dan baru berhenti beberapa detik kemudian. “Jadi
ini semacam konspirasi?”
“Agar
Mey berhenti berharap padaku.”
“Wohoo!
Percaya diri sekali Tuan Azka ini.” Maria terkekeh sebentar lalu melanjutkan, “Tapi
bukankah itu akan menyakiti Mey? Dan bagaimana jika Zee tahu masalah ini? Bisa
habis kita di lapangan kosong.”
“Makanya
tutup mulutmu dan berhenti membayangkan lapangan kosong!”
“Aku
akan menutup mulutku! Aku bukan wanita—”
“Kau
memang bukan wanita,” sela Azka cepat. “Jadi? Bagaimana? Konspirasi ini
menggiurkan, kan? Kapan lagi kau menjadi pacar pangeran tampan dari negeri
angin?”
Maria
memasang wajah yang seolah-olah sedang muntah. “Tidak! Aku tidak mau. Sebagus
apapun kita berakting, tetap saja akan ketahuan. Kaukira kita bertiga ini
berteman baru beberapa bulan lalu? Kita bahkan sudah berteman sejak entah
kapan! Aku sendiri lupa.”
Azka
mendesah panjang. “Benar kau tidak menginginkannya? Padahal kita bisa menjadi
berita paling panas di sekolah. Maria si buruk rupa berpacaran dengan Azka si
pangeran tampan dari negeri angin.”
“Diam!
Aku. Tidak. Mau!”
“Baiklah
kalau kau tidak mau. Aku masih punya rencana lain.”
“Apa?
Apa?”
“Ra-ha-si-a.”
“Mas-mas,
eh, maksudnya Mbak, warungnya sudah mau tutup ini.” Si pemilik warung menyela
perdebatan ala kusir kedua anak SMA itu yang tidak penting.
Maria
meringis sedangkan Azka mengulungkan lembaran uang lima puluh ribuan dan
mengajak Maria untuk pulang bersamanya.
***
“CM,
kau lihat Mey?” Zee celingukan mencari Mey.
Kantin
sangat ramai siang ini.
Maria
menggeleng pelan dan menatap terus selembar kertas yang dipegangnya.
“Kau
lihat apa?” Zee merebut kertas itu yang ternyata adalah selebaran pentas seni
yang di adakan sekolah seminggu lagi. “Oh ... ini.”
“Kau
sudah tahu?”
“Halo!
Kau kemana saja? Bukankah kau selalu ikut latihan band kami? Untuk apa kalau tidak untuk acara ini?” Zee berdecak
jengkel melihat temannya yang satu itu.
“Mungkin
aku terlalu banyak membolos sehingga tidak tahu akan acara ini.”
“Kau
melihat Mey?”
“Tidaaaak!”
ucap Maria kesal.
“Azka?”
Lagi-lagi
Zee menerima gelengan dari Maria.
“Zee
... Maria,” sapa Mey yang berjalan dari arah samping dan di sebelahnya terdapat
Azka yang berjalan sambil menanting tas gitar yang selalu dia bawa.
“Az
... ka?” Zee menatap tidak percaya Azka. Sedangkan Azka hanya memberikan
senyuman yang penuh misteri.
Azka
dan Mey mengambil tempat duduk berdampingan. Pandangan yang sangat ganjil
melihat Mey bersama Azka. Azka selalu menghindari Mey dengan alasan bahwa Azka
tidak ingin menyinggung perasaan Zee.
“Ada
hawa apa ini?” tanya Zee yang sepertinya tersinggung melihat kejadian yang
tidak biasa –Mey berjalan bersama Azka. “Kalian ... akrab sekali?”
Lagi-lagi
Azka hanya tersenyum. “Sesuatu datang karena telah terbiasa, kan?” jawabnya
penuh makna tersembunyi.
“Maksudmu?”
Zee masih tidak mengerti namun tiba-tiba teriakan kecil Maria membuat sebagian
siswa lain yang mengunjungi kantin menoleh.
“Cinta?
Lalu tante itu?” pekik Maria.
Azka
menghela napas panjang. “Aku bukan pecinta tante-tante!”
“Tante?”
tanya Mey dan Zee bersamaan.
“Aku
dan Mey pacaran!”
“Hah!?”
Maria menganga sedangkan Zee menhempaskan punggungnya pada sandaran kursi,
menerawang pada embun es yang mulai meleleh di gelasnya. “Ka-kau se-serius?”
Maria melempar pandangan ke Zee.
“Nanti
siang kita akan gladi bersih untuk acara pentas seni,” ucap Azka.
“Kenapa
secepat itu?” tanya Zee tanpa melihat lawannya berbicara.
Azka
kembali tersenyum. “Aku akan melatih Mey secara pribadi agar ritme melodi gitar
yang kumainkan sesuai dengan jenis suara Mey.”
“Boleh
aku ikut?” pinta Maria tiba-tiba.
Azka
menggeleng. “Tidak boleh! Kau akan mengganggu acara pacaran kami!”
“Tidak!
Aku tidak akan mengganggu.”
“Sekali
aku bilang tidak, tetap tidak!” Azka bangkit dari duduknya seraya mengulurkan
tangan pada Mey. Mey meraihnya malu-malu. “Sampai jumpa nanti siang!”
“Gadis
itu menyebalkan!” rutuk Maria kesal setengah mati.
“Kenapa
kau marah pada Mey? Seharusnya pada Azka.” Zee bergumam. Dia masih saja seperti
orang yang kehilangan daya.
“Azka
itu sudah kuhina jadi tidak perlu kutambahi lagi. Aku heran kenapa kau diam
saja melihat orang yang kausuka bergandengan tangan dan tidak memarahiku saat
aku meneriaki Mey?”
“Bukankah
Azka sudah mengatakan bahwa sesuatu datang karena telah terbiasa?” Zee berdiri
disusul Maria berjalan menuju kelas mereka.
“Maksudmu
cinta?”
Zee
tidak menjawab. Langkahnya gontai layaknya tubuh tanpa ruh.
“Zee,
beri aku petunjuk. Ada apa sebenarnya ini?” Maria semakin jengkel. Dia sudah
berusaha menjauhkan pengaruh Mey dari Zee tapi malah Azka yang terjerat.
“Lebih
baik kau jangan campuri urusan kisah asmara mereka,” tutur Zee pelan.
“Dengan
menghancurkan persahabatan kita? Tidak akan!”
Zee
tersenyum penuh arti lalu merangkul Maria penuh sayang. “Aku bukan Azka.”
“Apa
maksudmu?”
“Jika
kau ingin marah, berdebat, dan semua hal yang biasa kaulakukan bersama Azka,
kau lebih baik mengurangi kebiasaan kalian itu.”
“Tidak
mau!”
“Azka
sudah punya Mey!” Zee berusaha sabar meski hatinya tercabik-cabik.
“Aku
punya Zee dan aku harus punya Azka! Kita bersahabat, kan?” protes Maria.
Zee
semakin mengeratkan rangkulannya pada Maria. “Ada saatnya sahabat harus
mengerti privasi masing-masing.”
“Tapi—”
“Apa
kau suka Azka?”
“Zee!
Kau gila!”
“Jadi
kau pasti bisa untuk menjaga privasi Azka dan Mey jika kau memang menganggap
Azka sahabat.”
“Tapi
bagaimana denganmu?”
Zee
dan Maria mengambil bangku paling belakang.
“Aku?
Aku percaya cinta datang karena terbiasa.”
***
“Azka!”
Lelaki
yang dipanggil Azka itu menoleh sekilas; tersenyum, melambaikan tangan lalu
pergi. Di sampingnya berjalan seorang gadis yang tidak lain adalah Mey, pacar
baru Azka.
“Az
... ka ...,” gumam Maria yang masih melihat sepasang sejoli itu menjauh.
“Hei
... Hei! Apa kau merindukan berkelahi dengan Kampret itu?” Zee menyenggol Maria
sambil berkedip sekali.
Apa yang diucapkan Zee benar?
Maria membatin, bingung dengan apa yang sedang terjadi akhir-akhir ini pada
dirinya yang merasa ingin marah. Marah karena pasokan berkelahi dengan Azka
mendadak turun drastis.
Sudah
empat hari keributan mereka –Azka dan Maria– seakan musnah ditelan bumi.
Beberapa siswa yang memiliki nyali sedikit banyak sempat berkelakar, “Dunia
pasti akan kiamat.” Dan kelakar itu berakhir dengan sebuah tinju melayang ke
pipi siswa yang melontarkan kelakar itu dari Maria.
“Satu
hal mutlak yang tidak kusukai dari hubungan pacaran adalah ... melupakan
sahabatnya.”
“Azka
tidak melupakan kita. Kurasa dia cukup adil membagi waktu antara Mey dan kita,”
dalih Zee.
Maria
memberikan pandangan curiga pada Zee. “Bukankah kau cinta mati pada Mey? Tapi
kau malah bersikap biasa saja.”
Bersikap biasa saja? Apalagi yang
harus kulakukan? Apa aku harus memaksa Mey menyukaiku padahal hatinya memilih
Azka? Seandainya aku adalah cirimu, CM, aku akan sangat bahagia,
batin Zee getir.
***
“Zee
...,”
“Ada
apa, Az?”
“Kau
ada di rumah sekarang?”
“Ya.”
“Ada
yang harus aku bicarakan.”
“Masalah
itu lagi? Tenang, aku tidak apa-apa. Mey juga senang.”
“Tapi
....”
“Tapi
apa?”
“Airmata
itu—”
“Seorang
lelaki mana ada yang menangis?”
“Jangan
bercanda, Zee! Dia wanita dan aku serius!”
Zee
mendesah panjang. “Sepertinya memang harus dihentikan.”
“Kau
yakin?”
“Sangat
yakin! By the way, selamat, Bro!”
“Kau
tidak apa-apa?”
“Tentu!
Aku malah senang!”
“Thanks, Bro! Kuharap kau juga akan
mendapatkan seseorang yang tepat.”
“Thanks, Bro! Sampai jumpa pentas besok
Minggu,” kata Zee dan teringat sesuatu. “Kau jadi ke rumahku?”
“Umm
... Tidak. Aku akan latihan saja ke tempat Mey. Aku masih kurang bagus, Zee.”
“Oke.
Semoga berhasil, Bro!”
***
“Sial!
Kenapa aku malah tegang?” omel Azka yang dibalas elusan Mey di lengan tangan Azka.
“Kau
pasti bisa!” Mey memberi semangat.
“Kau
tidak tegang?”
Mey
menggeleng. Selama Azka berada di dekatnya, dia akan merasa tenang. Yah ...
Azka, orang yang sangat dia cintai.
“Azka!
Ternyata kau di sini. Kau dicari Zee, maksudku, kalian berdua. Sebentar lagi
kalian akan tampil.”
“Iya
... Iya! Kau itu mahkluk setengah matang yang bawel, ya?”
Azka
mendatangi Maria; mengacak asal rambut gadis itu yang dipotong pendek.
“Maria
... bisakah tinggalkan kami berdua sebentar saja?” pinta Mey tiba-tiba.
“Tidak
mau!”
“Kau
itu suka sekali merecoki uru—”
Cup!
Sebuah
ciuman mendarat di pipi Azka sebelum Azka menyelesaikan ucapannya.
“Terimakasih
untuk semuanya.”
“Mey?”
gumam Azka bingung. Azka terlalu terkejut dengan ciuman yang diberikan Mey.
Wajah
Mey memerah malu.
Oh!
Dan wajah Maria memerah marah.
***
“Mari
kita sambut Emoticon!” teriak saeorang pembawa acara pentas seni dan diikuti
oleh tepukan riuh seluruh penonton.
“Azka
sebagai gitaris, Zee sebagai bassis, dan Mey sebagai vokalis!” Tepukan kembali
menggema.
Azka
tersenyum diiringi oleh bunyi ‘Oh’ oleh sebagian besar gadis yang melihat
pertunjukkannya. Zee melambaikan tangannya dan membuat gadis yang ber-Oh tadi
menjerit histeris. Dan Mey ... Lelaki mana yang tidak tertarik dengan gadis
cantik dan alim itu?
“Oke,
sebelum band paling ditunggu tampil,
saya akan memberikan pengumuman. Terjadi pergantian posisi pemain band Emoticon. Azka akan menjadi vokalis
pada malam hari ini. Dan kejutan lagi datang. Mey akan bermain piano!” Sorak
sorai menggaung. Malam itu semakin riuh. Maria ikut hanyut dalam keterkejutan
itu. Dalam hati, dia menyumpahi Zee dan Azka karena tidak memberitahu tentang
perubahan posisi band mereka.
“Baiklah,
jangan berlama lagi! Inilah Emoticon!”
Tepuk
tangan membahana di gedung aula SMA.
“Selamat
malam semua,” ujar Azka, wajahnya memanas. Jantungnya mendadak berdetak
kencang. Tidak biasanya seperti ini.
“Malam
ini, kami akan membawakan sebuah lagu.” Azka berhenti sejenak; menunduk sambil
mengambil napas panjang lalu melanjutkan, “Sebenarnya ini adalah lagu dari
hatiku yang paling dalam. Entah sejak kapan, tapi mungkin lagu ini adalah lagu
yang paling tepat kupersembahkan untuk seseorang yang begitu berarti bagiku.”
Suasana
hening. Semua orang ikut hanyut dalam ekspresi Azka yang seperti menyebar feromon
dan bahkan seorang gadis ikut terbius atau mungkin memang sudah terbius oleh
feromonnya yang menyebar tak terkendali? Entahlah ....
“Hidupku
tanpa cintamu ...
Bagai
malam tanpa bintang
Cintaku
tanpa sambutmu
Bagai
panas tanpa hujan
Jiwaku
berbisik lirih
Kuharus
memilikimu ....”
Dari sekian ratus orang yang saling
berbahagia dan bertepuk tangan riuh, ada beberapa hati yang terkoyak. Ada
beberapa hati yang saling memahami namun tak pernah menyadari bahwa semua
membawa mereka pada arus yang lebih deras. Arus ... cinta.
“Aku
bisa membuatmu
Jatuh
cinta kepadaku
Meski
kau tak cinta kepadaku ...
Beri
sedikit waktu
Biar
cinta datang karena telah terbiasa ....”
(Risalah
hati – Dewa 19)
***
“Keren!”
Lagi-lagi kumpulan gadis saling berteriak histeris saat Azka selesai
menyanyikan lagu itu.
“Hei,
CM!” Azka untuk pertama kalinya setelah sekian lama, memanggil Maria dengan
nama CM. “Kau harus jadi pacarku, ya!? Tidak ada konspirasi lagi!” Azka berkata
tegas dengan mikropon tergenggam erat sekadar mengurangi kegugupannya.
Ungkapan
yang tidak romantis.
Semua
mata yang awalnya memandang Azka dengan pemujaan maha tinggi berubah seketika
mencari sosok bernama CM. Mereka tahu siapa CM karena Zee, dengan setia,
memanggil Maria dengan sebutan CM.
Maria,
yang sedari memegangi dadanya karena entah kenapa detak jantung memasuki
lintasan balap, membelalak, jantungnya mendadak berhenti berdetak seperti direm
tiba-tiba. Napasnya ikut serta berhenti. Semua gerakan menjadi tak bergerak di
mata Maria.
“A-apa
ya-yang baru sa-saja si Kunyuk bilang?” gumam Maria masih dalam level
keterkejutan tingkat wahid.
“Tak
ada penolakan, ya!? Kau pasti menyukaiku. Kau harus menyukaiku.”
Azka gila!
“Tutup
mulutmu dan turun dari panggung!” Maria berteriak merespon ucapan Azka.
Azka
tersenyum sumringah. “Kuanggap itu jawaban ‘ya’, CM!”
Sepersekian
detik hening dan kesadaran kembali mengisi seluruh otak penonton. Mereka ber-ihi dan ber-cie sehingga Maria memerah sambil mengumpat kasar. Kebiasaan
premannya kalah telak dengan jumlah penonton yang terlalu banyak.
***
“Apa-apaan
kau ini?” Maria menarik kerah Azka.
“Aku
... suka ... kamu.” Azka mengerling penuh arti.
“Tapi
kenapa kau malah mengumbarnya di depan banyak orang, Bego?”
“Biar
semua orang tahu kau sekarang milikku.”
“Jangan
percaya diri dulu, Tuan!”
“Dari
warna wajah dan tatapanmu, aku sudah bisa menyimpulkan jawabannya. Lagipula
tangisanmu waktu itu membuktikan segalanya.”
Mata
Maria melebar seketika. “Menangis?”
“Aku
melihatmu bersama Zee dan ...,” kata Azka ragu. “... aku melihatmu menangis.”
“Aku
tidak menangis!”
“Kau
menangis, CM.” Zee bersama Mey berjalan mendekati pasangan baru yang belum
genap 10 menit sudah siap bertengkar lagi. “Kau rindu bertengkar dengannya.”
“Aku—”
“Kau
beruntung, Maria.” Mey menimbrung.
“Diam
kau!”
“Hei,
gadis galak!” Azka menarik kepala Maria mendekati dadanya. “Semua ini berkat
Mey. Kau harus berlaku baik padanya.”
Maria
memberikan pandangan tidak mengerti.
“Mey
bersedia menjadi pacar pura-puraku agar kau cemburu. Awalnya agar kau menyadari
bahwa sebenarnya kau menyukaiku, Pangeran Tampan dari Negeri Angin ini.”
“Omong
kosong!” Maria menjawab ketus.
Zee
mendesah kesal. “Aku bertanya-tanya, berapa lama pasangan ini akan bertahan?
Menurutmu, berapa lama, Mey?”
Mey
mengangkat bahu sekali dan tersenyum. Padahal jauh di dalam hatinya, dia
berharap hanya malam ini saja. Hanya malam ini mimpi buruk itu segera berakhir
dan Mey akan terbangun dengan status masih menjadi pacar Azka.
“Menurutku
... selamanya.” Zee berkelakar. “Selamat, ya? Jangan sampai kalian
melupakanku.”
“Tidak
akan. Lagipula aku tidak akan tahan berlama-lama dengan gorila ini. Isi
dompetku bisa terkuras karena kebiasaan makannya yang mengerikan!”
“Kau
kurang ajar!” Maria meninju perut Azka.
“Kalian
tahu, aku masih saja bertanya-tanya bagaimana bisa kalian bisa saling suka
dengan sikap kalian yang seperti ini?” Mey bersuara.
“Karena
beginilah cara kami mengungkapkan suka. Kadang cinta datang dengan terbiasa,
aku percaya itu. Tapi itu terlalu mainstream.
Terbiasa karena berkelahi, kukira itu adalah sesuatu yang beda. Apalagi untuk
gadis sepertinya.”
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar