Aku Ingin Membunuhnya
Aku
ingin membunuhnya. Ucapan yang keluar dari mulutnya tak pernah baik; celaan
yang menyebalkan. Aku ingin membunuhnya saat ini.
Bagaimana
bisa bibir yang indah berwarna merah itu mampu menghasut jantungku untuk berdegup
lebih kencang dari biasanya? Lalu, lihat bagaimana jemarinya yang lentik itu
bergerak untuk menyelipkan helaian rambut panjangnya yang menjuntai di depan
telinga. Ingin aku membunuhnya sekarang. Gaun indah berwarna merah kirmizi
tanpa lengan itu memperlihatkan postur tangan yang membuat mataku nyaris buta
karena kemilau yang putih laksana susu.
Gerakannya
saat berjalan membuat batinku terkoyak. Lenggak-lenggoknya membuatku
berkali-kali harus menelan liur. Jauh di bawah sana, ada getaran yang membawa
pikiranku ke hal-hal yang mengerikan untuk dilakukan. Gejolak hasrat yang
tertahan. Ingin membunuh sekaligus menginginkan.
Saat
ini, aku benar-benar iri. Bukan. Bukan karena semua gerak-geriknya yang membuat
hatiku panas. Tetapi orang yang berada di sekelilingnya. Mereka menganggu
kesenanganku. Dan, mata mereka yang juga tak sedetik pun lepas dari
kemolekannya.
Keindahannya
kelewatan. Mustahil ada manusia yang tercipta seindah dia. Tuhan pasti tengah
bersemangat saat mengukir lekuk tubuhnya yang memesona. Ya Tuhan, bagaimana Kau
bisa menuangkan maha karya-Mu padanya sedahsyat itu; dan membuatku ingin membunuhnya?
Kulihat
dia melambaikan tangan dengan gemulai. Bukan padaku, tentu saja. Dia mungkin tidak
mengenalku—meski itu mustahil. Aku orang yang cukup terpandang. Seandainya kami
saling mengenal, mungkin aku tidak akan memiliki keinginan untuk membunuhnya.
Lambaiannya dibalas oleh lelaki yang duduk di sampingku. Dia—orang yang duduk
di sampingku—dengan setelan parlente bangkit lalu menyusul untuk duduk bersanding
dengan wanita itu.
Ingin
rasanya kuteriakkan ribuan peringatan untuk jangan mendekati calon mangsaku.
Gigi-gigiku saling merapat kencang. Hatiku geram melihat bagaimana senyum
lebarnya yang menawan mampu mengirimkan medan magnet begitu kuat untukku agar
mendekatinya.
“Dia,
yang sedari tadi kautatap, begitu memukau, kan?” puji Emily—sepupu jauhku—yang
sekarang duduk di sebelahku menggantikan lelaki tadi. Aku bergeming saat mendengarnya.
Emily selalu mengatakan hal jujur dan cenderung tidak bisa menahan diri
terhadap keindahan. Dia akan terus mengamati gadis itu, kurasa.
“Datangi
dia,” kata Emily ringan.
Emily
bodoh. Jika kudatangi dia yang sedang berbincang dengan orang lain, aku akan
kelihatan amat bodoh. Bodoh ganda. Jika aku berhadapan dengannya, apa yang akan
kukatakan? ‘Aku ingin membunuhmu.’ Begitu? Maka kerumunan polisi berseragam itu
akan segera meringkusku dan menjebloskanku ke penjara. Bahkan sekarang pun aku
terpenjara. Terpenjara pada pesonanya hingga nyaris ingin membunuhnya.
“Jangan
jadi pecundang!” Kurasakan Emily menyeringai di balik bahuku. Bahkan dia sempat
mengikik melihat bagaimana reaksiku yang mengetatkan rahang saat kata pecundang
masuk ke dalam gendang telingaku. Aku bukan pecundang. Aku ingin mendatangi dia
pada saat yang tepat.
Kualihkan
pandanganku menuju para penari yang sedang memperlihatkan gerakan dansanya.
Anggun dan begitu terampil. Namun, tetap saja pikiranku melayang menuju wanita
bergaun merah kirmizi itu. Aku ingin bangkit. Tapi ramainya manusia
menelikungku dalam diam. Tak terlihat lagi lelaki yang tadi berbincang dengan
wanita itu. Ini kesempatanku.
Dengan
langkah mantap, aku menapaki ruang tengah yang sudah tidak lagi diisi para
penari. Hanya cahaya temaram dan alunan musik klasik dari piano yang menemani
keberanianku menuju wanita itu. Aku bukan pecundang seperti yang dikatakan
Emily.
Jarak
di antara kami kian mengecil. Kini, dia memerhatikanku. Dia sadar bahwa aku
berjalan menuju ke arahnya.
Aku
lelaki terhormat. Dengan wajah aristokrat yang kumiliki dari ayah keturunan
Inggris dan ibuku yang berdarah murni Italia, aku mampu mengikat siapa saja
termasuk dia. Kedudukan dan martabatku turut serta menaikkan pesona yang
kumiliki. Memalukan jika aku hanya mampu menyembunyikan keinginanku yaitu
menginginkannya—kemudian membunuhnya dengan cara yang tak akan pernah
terpikirkan oleh siapa pun.
Ada
sebuah senyum kemenangan terlihat dari bibirnya yang lebar dan merah. Aku
yakin, dia merasa orang sepertiku mendatanginya adalah hal yang mampu membuat
siapa saja menjadi sombong. ‘Bangsawan tampan tunduk padaku.’ Ya, aku dapat mengira
pikiran wanita itu begitu mudah. Aku selalu mendapatkan yang aku inginkan
terserah apa yang ada di pikiran mereka.
Dia
memandangiku lekat-lekat—begitu pula diriku. “Suatu kehormatan bagiku saat Anda
kemari,” suaranya halus, tidak dibuat-buat. Tidak ada nada genit di dalamnya. Aku
terkejut akan reaksinya yang normal saat lelaki luar biasa sepertiku
mendekatinya. Ini di luar perkiraanku.
“Dansa?”
Hanya kata itu yang mengalir dari tenggorokanku, wanita itu tahu bahwa aku
tidak memintanya. Ini adalah paksaan. Paksaan dalam intonasi yang wajar namun
mematikan jika ditolak. Ada gurat tipis membentuk keriput di dahinya. Dia pasti
sangat terkejut dan sesuai dengan keyakinanku, dia mengangguk dan meraih uluran
tanganku.
Ada
sentakan kecil yang kusengaja saat menarik tubuh mungilnya. Rambutnya yang
lurus coklat tergerai sepanjang punggung mengirimkan wangi perpaduan antara
mawar dan kemabukan. Nyaris aku ingin mencekik lehernya yang jenjang karena
efek yang mengerikan ini.
Kami
mulai bergerak saat alunan simfoni Chopin dimainkan. Saat tuts piano yang
menghasilkan bunyi hentakan, aku melihatnya penuh emosi. Sentakannya kuat lalu
melambat seiring pelannya tempo yang dimainkan pianis. Hasratku semakin
membuncah saat tubuhnya beradu begitu dekat. Helaan napasnya yang menderu
menerpa leherku dan membangkitkan sesuatu yang sayup-sayup tertidur di dalamku.
Saat nada mulai masuk pada getaran yang mencengangkan, aku memaksa liurku
kembali menuruni kerongkongan saat tubuhnya terhentak memperlihatkan lehernya
yang menggoda. Aku mati lemas rasanya. Hingga Chopin membawa letupan hasrat
terpendamku menuju irama akhirnya yang melambat bersamaan dengan tubuh wanita itu
merapat di dadaku.
“Kau
luar biasa.”
“Anda
juga,” balasnya di sela napas lelah. Andai saja dia tahu bahwa jantungku
selaksa digenggam erat oleh tangan yang tak terlihat sehingga denyutannya
begitu kuat; membuatku ngilu.
Dan
keindahannya berlangsung sepanjang malam itu dengan langit tak berawan dan
bintang yang gemerlapan. Kulihat mata birunya yang menatapku. Di sebuah bangku
di bawah pohon Gingko biloba, jauh
dari keramaian pesta mewah para bangsawan, aku mulai menggerakkan jemariku;
menyentuh tangannya. Saraf sensorisku mulai keranjingan saat menerima
rangsangan balasan sentuhannya pada pipiku. Dan aku menyadari bahwa dialah yang
membunuhku saat ini. Membunuh arogansiku dan membuat lututku jatuh dalam
ketidakberdayaan. Pesonanya yang tulus membuatku menyadari dialah satu dan
satu-satunya lalu aku berkata, “menikahlah denganku.”
Biodata penulis :
Maria
Chrisna adalah nama pena. Dia menyukai petualangan dan alam. Sosoknya ingin
tetap dirahasiakan.
“Banyak
yang tidak bisa membedakan antara menulis karena cinta dengan menulis karena
ingin bercerita. Semua orang bisa menulis karena ingin bercerita. Tapi tidak
semua bisa menulis karena cinta.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar