Jumat, 25 April 2014

Ingin Membunuhnya by Maria Chrisna—Cinta



Aku Ingin Membunuhnya

Aku ingin membunuhnya. Ucapan yang keluar dari mulutnya tak pernah baik; celaan yang menyebalkan. Aku ingin membunuhnya saat ini.
Bagaimana bisa bibir yang indah berwarna merah itu mampu menghasut jantungku untuk berdegup lebih kencang dari biasanya? Lalu, lihat bagaimana jemarinya yang lentik itu bergerak untuk menyelipkan helaian rambut panjangnya yang menjuntai di depan telinga. Ingin aku membunuhnya sekarang. Gaun indah berwarna merah kirmizi tanpa lengan itu memperlihatkan postur tangan yang membuat mataku nyaris buta karena kemilau yang putih laksana susu.
Gerakannya saat berjalan membuat batinku terkoyak. Lenggak-lenggoknya membuatku berkali-kali harus menelan liur. Jauh di bawah sana, ada getaran yang membawa pikiranku ke hal-hal yang mengerikan untuk dilakukan. Gejolak hasrat yang tertahan. Ingin membunuh sekaligus menginginkan.
Saat ini, aku benar-benar iri. Bukan. Bukan karena semua gerak-geriknya yang membuat hatiku panas. Tetapi orang yang berada di sekelilingnya. Mereka menganggu kesenanganku. Dan, mata mereka yang juga tak sedetik pun lepas dari kemolekannya.
Keindahannya kelewatan. Mustahil ada manusia yang tercipta seindah dia. Tuhan pasti tengah bersemangat saat mengukir lekuk tubuhnya yang memesona. Ya Tuhan, bagaimana Kau bisa menuangkan maha karya-Mu padanya sedahsyat itu; dan membuatku ingin membunuhnya?
Kulihat dia melambaikan tangan dengan gemulai. Bukan padaku, tentu saja. Dia mungkin tidak mengenalku—meski itu mustahil. Aku orang yang cukup terpandang. Seandainya kami saling mengenal, mungkin aku tidak akan memiliki keinginan untuk membunuhnya. Lambaiannya dibalas oleh lelaki yang duduk di sampingku. Dia—orang yang duduk di sampingku—dengan setelan parlente bangkit lalu menyusul untuk duduk bersanding dengan wanita itu.
Ingin rasanya kuteriakkan ribuan peringatan untuk jangan mendekati calon mangsaku. Gigi-gigiku saling merapat kencang. Hatiku geram melihat bagaimana senyum lebarnya yang menawan mampu mengirimkan medan magnet begitu kuat untukku agar mendekatinya.
“Dia, yang sedari tadi kautatap, begitu memukau, kan?” puji Emily—sepupu jauhku—yang sekarang duduk di sebelahku menggantikan lelaki tadi. Aku bergeming saat mendengarnya. Emily selalu mengatakan hal jujur dan cenderung tidak bisa menahan diri terhadap keindahan. Dia akan terus mengamati gadis itu, kurasa.
“Datangi dia,” kata Emily ringan.
Emily bodoh. Jika kudatangi dia yang sedang berbincang dengan orang lain, aku akan kelihatan amat bodoh. Bodoh ganda. Jika aku berhadapan dengannya, apa yang akan kukatakan? ‘Aku ingin membunuhmu.’ Begitu? Maka kerumunan polisi berseragam itu akan segera meringkusku dan menjebloskanku ke penjara. Bahkan sekarang pun aku terpenjara. Terpenjara pada pesonanya hingga nyaris ingin membunuhnya.
“Jangan jadi pecundang!” Kurasakan Emily menyeringai di balik bahuku. Bahkan dia sempat mengikik melihat bagaimana reaksiku yang mengetatkan rahang saat kata pecundang masuk ke dalam gendang telingaku. Aku bukan pecundang. Aku ingin mendatangi dia pada saat yang tepat.
Kualihkan pandanganku menuju para penari yang sedang memperlihatkan gerakan dansanya. Anggun dan begitu terampil. Namun, tetap saja pikiranku melayang menuju wanita bergaun merah kirmizi itu. Aku ingin bangkit. Tapi ramainya manusia menelikungku dalam diam. Tak terlihat lagi lelaki yang tadi berbincang dengan wanita itu. Ini kesempatanku.
Dengan langkah mantap, aku menapaki ruang tengah yang sudah tidak lagi diisi para penari. Hanya cahaya temaram dan alunan musik klasik dari piano yang menemani keberanianku menuju wanita itu. Aku bukan pecundang seperti yang dikatakan Emily.
Jarak di antara kami kian mengecil. Kini, dia memerhatikanku. Dia sadar bahwa aku berjalan menuju ke arahnya.
Aku lelaki terhormat. Dengan wajah aristokrat yang kumiliki dari ayah keturunan Inggris dan ibuku yang berdarah murni Italia, aku mampu mengikat siapa saja termasuk dia. Kedudukan dan martabatku turut serta menaikkan pesona yang kumiliki. Memalukan jika aku hanya mampu menyembunyikan keinginanku yaitu menginginkannya—kemudian membunuhnya dengan cara yang tak akan pernah terpikirkan oleh siapa pun.
Ada sebuah senyum kemenangan terlihat dari bibirnya yang lebar dan merah. Aku yakin, dia merasa orang sepertiku mendatanginya adalah hal yang mampu membuat siapa saja menjadi sombong. ‘Bangsawan tampan tunduk padaku.’ Ya, aku dapat mengira pikiran wanita itu begitu mudah. Aku selalu mendapatkan yang aku inginkan terserah apa yang ada di pikiran mereka.
Dia memandangiku lekat-lekat—begitu pula diriku. “Suatu kehormatan bagiku saat Anda kemari,” suaranya halus, tidak dibuat-buat. Tidak ada nada genit di dalamnya. Aku terkejut akan reaksinya yang normal saat lelaki luar biasa sepertiku mendekatinya. Ini di luar perkiraanku.
“Dansa?” Hanya kata itu yang mengalir dari tenggorokanku, wanita itu tahu bahwa aku tidak memintanya. Ini adalah paksaan. Paksaan dalam intonasi yang wajar namun mematikan jika ditolak. Ada gurat tipis membentuk keriput di dahinya. Dia pasti sangat terkejut dan sesuai dengan keyakinanku, dia mengangguk dan meraih uluran tanganku.
Ada sentakan kecil yang kusengaja saat menarik tubuh mungilnya. Rambutnya yang lurus coklat tergerai sepanjang punggung mengirimkan wangi perpaduan antara mawar dan kemabukan. Nyaris aku ingin mencekik lehernya yang jenjang karena efek yang mengerikan ini.
Kami mulai bergerak saat alunan simfoni Chopin dimainkan. Saat tuts piano yang menghasilkan bunyi hentakan, aku melihatnya penuh emosi. Sentakannya kuat lalu melambat seiring pelannya tempo yang dimainkan pianis. Hasratku semakin membuncah saat tubuhnya beradu begitu dekat. Helaan napasnya yang menderu menerpa leherku dan membangkitkan sesuatu yang sayup-sayup tertidur di dalamku. Saat nada mulai masuk pada getaran yang mencengangkan, aku memaksa liurku kembali menuruni kerongkongan saat tubuhnya terhentak memperlihatkan lehernya yang menggoda. Aku mati lemas rasanya. Hingga Chopin membawa letupan hasrat terpendamku menuju irama akhirnya yang melambat bersamaan dengan tubuh wanita itu merapat di dadaku.
“Kau luar biasa.”
“Anda juga,” balasnya di sela napas lelah. Andai saja dia tahu bahwa jantungku selaksa digenggam erat oleh tangan yang tak terlihat sehingga denyutannya begitu kuat; membuatku ngilu.
Dan keindahannya berlangsung sepanjang malam itu dengan langit tak berawan dan bintang yang gemerlapan. Kulihat mata birunya yang menatapku. Di sebuah bangku di bawah pohon Gingko biloba, jauh dari keramaian pesta mewah para bangsawan, aku mulai menggerakkan jemariku; menyentuh tangannya. Saraf sensorisku mulai keranjingan saat menerima rangsangan balasan sentuhannya pada pipiku. Dan aku menyadari bahwa dialah yang membunuhku saat ini. Membunuh arogansiku dan membuat lututku jatuh dalam ketidakberdayaan. Pesonanya yang tulus membuatku menyadari dialah satu dan satu-satunya lalu aku berkata, “menikahlah denganku.”

Biodata penulis :
Maria Chrisna adalah nama pena. Dia menyukai petualangan dan alam. Sosoknya ingin tetap dirahasiakan.
“Banyak yang tidak bisa membedakan antara menulis karena cinta dengan menulis karena ingin bercerita. Semua orang bisa menulis karena ingin bercerita. Tapi tidak semua bisa menulis karena cinta.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar