Jumat, 25 April 2014

The Odd Fate of R




BAB I

NEKAT



Kertas menumpuk nyaris menutupi kepalaku. Aku bisa melihat sejumlah kertas jawaban ulangan harian dan ujian kenaikan kelas anak-anak didikku yang belum kukoreksi. Ya Tuhan! Pekerjaan ini tidak akan ada habisnya. Kuraih tablet yang baru kuisi ulang baterainya. Di sana sudah ada lebih dari sepuluh pesan dari aplikasi Whatsapp dengan grup bertuliskan Encuerada yang dalam bahasa Spanyol berarti telanjang. Sudah cukup lama waktuku kuhabiskan untuk berchatting ria bersama lima orang keluarga baruku. Salah satu dari mereka bahkan membuatku merasakan hal yang gila.

Waktu efektif sekolah sudah berakhir pukul dua siang tadi. Nyaris jam empat sore dan itu artinya sudah dua jam aku berkutat mengoreksi jawaban anak-anakku. Lelah dan penat. Kulirik akun facebook yang kupasang posisi offline tanpa berniat untuk mengunggah status. Di sisi lain, tanganku gatal untuk membalas pesan Whatsapp yang berisi keluhan mereka tentang susahnya move on dari mantan kekasih.

“Ria, sedang apakah?” Pak Ganda yang berusia dua tahun lebih tua dariku— usianya 23 tahun—juga masih berada di kantor guru menyapaku. “Oh, facebook!” katanya lagi. Pak Ganda orang yang periang. Kelewat periang malahan. Sampai-sampai aku tidak mengerti apa yang dikatakannya.

“Jenuh, Pak,” jawabku jujur. Kukumpulkan semua jawaban anak. Baru selesai satu kelas dan masih ada tujuh kelas lagi dengan batas waktu tinggal tiga hari. Oh my god

Pak Ganda mengangkat tangan sambil berkata, “Semangat, Bu!”

Selalu, Pak. Kubalas dia dalam hati.

Blip.

Pesan lagi. Kubuka dan di sana tertera nama Ronny Rozino, Winda Ayu dan ... Rama Badranaya. Masih membahas tentang mereka yang sulit move on dari mantan kekasih. Kuketik beberapa kata saat melihat respon Rama yang menyebalkan karena mengejek Ronny—yang kupanggil Abang—karena selalu gagal move on dengan kata ‘kasihan’.

‘Yang bilang kasihan juga kasihan. Cinta sama cewek, tapi deket sama dia aja takut. Kasihaaannn ...,’ balasku sambil cekikikan.

“Bu Ria enggak lagi gila, kan?” Pak Jati si guru bahasa Indonesia ganti menyapa. “Ketawa sendirian.”

“Enggaklah, Pak,” jawabku. “Ada temen yang geblek aja ini.” Kuangkat tablet menandakan aku tertawa karena pesan yang ada di Whatsapp.

Layar masih memantulkan kelip pertanda pesan lain masuk. Bisa dipastikan bahwa pesan itu dari Rama yang memajang gambar emoticon tersenyum sombong. Ah, manusia macam apa dia hingga membuatku bisa segila ini.

“Bu, liburan sebulan mau pulang ke Jogja?” Pak Jati memecah keheningan.

Aku berpikir sejenak lalu menjawab, “Enggak dong, Pak. Eh ... pulang ding. Tapi sebentar aja, sih. Soalnya aku mau liburan ke Jawa Barat.”

“Wah, ke tempatnya siapa, Bu?”

“Ha ... ha ... ha, ke tempat temen, Pak!” jawabku. “Tempatnya terpencil gitu.”

“Main terus, ya?”

“Kapan aku main?” tukasku. “Adanya kerjaan seabrek. Bisa lepas nih bola mata lihat koreksian makin lama kayak gunung Semeru.” Aku mengeluh seperti kereta yang tak ada habisnya.

“Iya, Bu. Koreksianku juga banyak. Kalau enggak liburan, bisa habis kegantenganku gara-gara lembur.”

“Preeeettt! Kayak situ ganteng aja, Pak!” sindirku sambil cekikikan.

Pak Jati yang sibuk bermain blackberrynya menyahut, “Aku kan mirip artis.”

“He-em. Cuma beda nasib, Pak,” balasku. “Dia nasibnya o-ke. Kalau situ nasibnya o-alah kok nelangsa gini, yah.”

“Beda tipis, Bu!”

“Tipisnya seukuran genderuwo, Pak!”

Percakapan ini pada akhirnya akan kumenangkan. Pak Jati orangnya lucu tapi lebay-nya amit-amit jabang bayi.

Dan, segala kepenatan terbayar oleh datangnya liburan super panjang. Sebulan penuh dan itu menggiurkan. Semua persiapan gilaku sudah tersusun dengan baik—dan tentunya keren! Mengelana seorang diri itu selalu menakjubkan! Berbekal data yang kuperoleh dari media internet, aku akan menyatroni rumah Rama. Orang yang membuatku gila nyaris satu tahun ini. Aku hanya tahu dia tinggal di daerah Cianjur, Jawa Barat. Tapi jangan sebut aku Ria jika tidak ada informasi yang bisa kukorek lebih jauh. Aku tahu bahwa Rama pernah bersekolah di sekolah menengah atas daerah desa Sukanagara wilayah Ciamis. Maka dari Sukanagaralah pencarianku akan dimulai. Berbekal satu nama yaitu Ibu Julianti, aku berharap bisa menemukan lokasi rumah Rama. Ah, terkadang sisi ingin tahuku bisa membunuhku karena tindakan mengorek data pribadi memang sebuah kejahatan. Tapi ... ayolah! Ini demi menuntaskan hasrat gilaku. Lagipula, aku bisa beralibi dengan liburan di tempat saudaraku. Jika kebohonganku terbongkar, aku bisa bohong yang lain.

Kereta api Kiaracondong siap membawaku menuju Bandung di stasiun Padalarang, wilayah yang paling dekat dengan Cianjur. Sungguh, kenekatan ini harus kubayar mahal. Kereta ekonomi dengan peringatan libur kenaikan kelas, sukses membuatku berdesakan dengan penumpang lainnya. Rama harus membayar konsekuensinya! Sialan! Aku baru bisa duduk—dengan memasang wajah memelas pada bapak-bapak terlebih dahulu—di bagian gerbong nomor tiga. Padatnya penumpang sudah kuantisipasi dengan menaruh sebagian besar uang dan barang penting lainnya di sepatu dan celana pendek yang kututup dengan celana denim. Tas ransel kujadikan perlindungan area dada yang biasanya menjadi pusat perhatian kaum adam.

Luar biasa, saudara-saudara! Demi kumis mengerikan bapak-bapak baik hati yang tadi memberiku tempat duduk, aku merasa aman. Beliau tidak seseram tampangnya. Tapi dengan tampangnya yang seram itu, orang-orang yang berniat tidak baik padaku akan keder. Keberuntungan di tengah himpitan. Sepanjang perjalanan, aku mengobrol dengan bapak tadi. Tampangnya mirip seperti Pak Raden di acara televisi si Unyil. Menyeramkan, bukan? Beliau bernama Pak Ahmad yang hendak mengunjungi cucunya yang berada di Cipeyeum—aku sendiri enggak mudheng di mana Cipeyeum itu. Yang kutahu pelem dalam bahasa jawa. Itu buah mangga. Apakah ada hubungannya? Entahlah.

“Mbak pergi ke Cianjur sendirian?” tanya Pak Ahmad. Beliau memangku sewadah salak pondoh khas Jogja. Beliau mengulurkan satu buah padaku karena sepertinya air liur yang kutelan tadi berhasil membuat Pak Ahmad sadar bahwa perutku kelaparan! Emak, aku lupa belum makan malam!

“Makasih, Pak,” ucapku sambil cepat-cepat membuka salak itu dan melahapnya dengan rakus. “Iya, saya mau ke Cianjur. Mau nengok temen, Pak.”

“Sendirian?” Alis Pak Ahmad terangkat. Beliau mungkin terpesona akan keberanianku. Ha ... ha ... ha .... “Enggak punya pacar, ya, kok sampai sendirian begini?”

Bapaaaaaak! Tega nian kau blak-blakan seperti itu padakuuuu! Bahkan buah salak yang masih mengisi kerongkonganku mendadak berhenti berjalan. Aku hanya tersenyum kecut.

“Bapak kangen cucu, ya?” tanyaku mencoba mengalihkan perhatian.

Raut wajah Pak Ahmad berubah sendu. “Bapak udah lama enggak ketemu cucu. Anak bapak jarang ke Jogja makanya Bapak aja yang ke Cipeyeum.”

“Cipeyeum apa sih, Pak?” tanyaku masih mengunyah salak.

Pak Ahmad berseri kembali. Sepertinya bicara soal cucu membuat Pak Ahmad galau. Sama sepertiku, kalau bicara soal pacar, aku bakal galau. Efek parahnya, mungkin salak yang dibawa Pak Ahmad bakal kuembat untuk mengusir kegalauan.

“Cipeyeum itu nama daerah, Nak,” Pak Ahmand menjelaskan. Mulutku membuka namun Pak Ahmad sudah menyela, “tidak ada hubungannya sama pelem atau peyeum makanan khas Jawa Barat. Bapak sendiri enggak tahu.”

“Oh ...,” aku hanya mengangguk.

Perjalanan menuju Bandung dari stasiun Lempuyangan yang seharusnya ditempuh delapan jam ternyata molor menjadi nyaris sepuluh jam. Ini bahkan belum sampai Bandung meski keberangkatan dilakukan jam delapan malam. Entah apa maksudnya kereta berjalan amat pelan. Mungkin masinisnya takut kena tilang gara-gara buat SIM-nya nembak. Aku membatin, ‘Lumayan, dapat jatah dua jam lebih buat kongko-kongko sama Pak Ahmad ditambah salak pondoh gratisan.’ Ini dongkolan paling absurd untuk menghibur kejenuhan.

“Lama juga, ya, Pak,” celetukku. Fajar menjelang. Hamparan sawah yang menguning menandakan musim panen padi akan segera tiba.

Pak Ahmad menguap. Tidur kami memang nyaris hanya dua jam tanpa bisa dikatakan nyenyak. “Iya. Maklumlah ... ini kereta ekonomi. Bukan kelas yang kecepatannya kayak jet.”

Pak Ahmad membuka salah satu kantong plastik hitam yang baru kusadari ternyata berisi rambutan. Makanan gratis lagi, Saudaraaaaa! “Ini makan aja. Nak Ria pasti laper, kan?” Pak Ahmad begitu pengertian. Tahu kalau perutku ini perut karet yang kecepatan mengolah makanannya luar biasa. Kuambil beberapa rambutan yang kelihatannya manis itu dan kumakan cepat. Pak Ahmad pasti dari desa di daerah Jogja. Bawaannya buah-buahan.

“Saya berasa anak Bapak kalau kayak gini.” Aku nyegir kuda. Pak Ahmad tertawa renyah mendengar celotehanku. “Gimana enggak, Pak? Saya dikasih makan terus ini. He ... he ... he ....”

“Nak Ria kan dari Jogja sama kayak Bapak. Orang Jogja kan emang terkenal baik hati,” jawab Pak Ahmad. Pak Ahmad meski muka sangar punya hati malaikat! Salutku bagi beliau tak akan berkesudahan.

Bandung. Kami tiba di pemberhentian terakhir kami. Meski ini kali pertama aku bertemu Pak Ahmad, aku merasa kehilangan saat beliau akan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bus menuju Cipeyeum. Sedangkan aku, aku masih meneruskan perjalanan dengan kereta Cianjuran menuju stasiun Padalarang dan akan meneruskan perjalanan menuju Cianjur menggunakan bus setibanya di Padalarang. Ada pertemuan tentu ada perpisahan. Aku menangis saat melihat Pak Ahmad sudah pergi dengan bus.

Tak ada lagi makanan. Tak ada lagi teman bercakap. Sepanjang perjalanan, aku hanya memandangi pemandangan yang luar biasa indah. Sesuai dengan deskripsi yang pernah Rama ceritakan. Aku tidak heran jika lelaki itu betah berdiam diri di Jawa Barat. Aku pun tergiur untuk mendiaminya meski Jogja masih menjadi tempat terbaik yang kumiliki.

Perjalanan melelahkan yang panjang telah membawaku ke sebuah sekolah menengah atas negeri di daerah Sukanagara. Aku harus segera bertemu Bu Julianti. Semoga data Rama masih tersimpan baik. Bila perlu, Bu Julianti ini ingat di mana Rama tinggal jadi tidak perlu repot-repot membongkar identitas Rama. Lelaki itu sudah lulus lima tahun yang lalu. Dan tentu butuh waktu mencari alamat rumahnya.

Tubuh letih luar biasa. Sudah lebih dari duabelas jam aku berada di perjalanan. Hari ini sudah sore. Kulihat dari jauh, SMA Negeri Sukanagara tutup. Tetiba, aku sadar akan sesuatu. Alamaaaakk! Udah pulang sekolah! Piye sih!? Sekolah tempatku bekerja selalu ramai bahkan hingga jam sembilan malam. Aku sering pulang larut padahal aku seorang guru—bukan pekerja kantoran yang lembur. Sekolah ajaib, memang. Kali ini, aku benar harus mencari pertolongan darurat. Mungkin kenekatanku ini tidak pernah habis. Kudatangi salah satu rumah warga.

Seorang ibu yang sedang menyuapi balitanya di teras rumah pun menjadi sasaranku. “Selamat so-sore, Ibu,” sapaku kikuk. Aku tidak bisa bahasa sunda sama sekali.

Ibu itu berhenti menyuapi anaknya. “Selamat sore.”

Dengan keyakinan teguh, kuteruskan ucapanku. Kepalang tanggung. “Maaf, Bu. Saya ingin bertanya apakah Ibu tahu Ibu Julianti yang mengajar di SMA itu?” tanyaku sambil menuding SMA yang dimaksud.

“Oh, Bu Juli?” logat kental khas sunda keluar dari mulut Ibu itu. “Eneng teh telat atuh. Bu Julinya udah pulang.”

“Yaaahh ....” Raut kekecewaan jelas tercetak di wajahku. Pertama, aku tidak bisa bertemu Bu Juli dan kedua aku tidak menemukan penginapan sepanjang perjalanan tadi.

“Eneng teh bukan asli sini, ya?”

“Bukan, Bu,” jawabku lesu. “Saya dari Jogja. Sekarang saya lagi nyari rumah temen saya. Dulu dia sekolah di situ.” Lagi, aku menunjuk gedung SMA itu.

“Eneng punya alamat temen Eneng itu?”

Aku menggeleng; makin frustasi. Bagaimana nasibkuuuu?!

“Lah, Eneng kenapa nyari Bu Juli?”

“Saya mau tanya alamat temen saya itu dari Bu Juli. Soalnya, temen saya itu pernah diajar sama beliau. Dan beliau ingat betul sama temen saya ini,” jelasku panjang lebar.

Ibu itu memperhatikan sungguh-sungguh. Balitanya asyik bermain boneka karet bebek. “Emang siapa nama temen Eneng?”

“Rama, Bu. Namanya Rama Badranaya,” jawabku.

“Mama Iler?” sebuah suara lelaki menyeruak keluar dari rumah Ibu tadi. “Nyari si Mama Iler?” lelaki itu sepertinya seumuran denganku. Perawakannya tinggi dan berkulit hitam. Dia mnegingatkanku dengan salah satu muridku yang potongan rabmbutnya seperti baskom dibalik.

“Mama Iler?” aku mengulang. Tidak mengerti maksudnya.

“Tong, elu kenal Rama Ba ... Baseng? Ba ... Ba ... siapa, Neng?” Ibu itu kembali bertanya dan aku harus menahan tawaku mendengar kata baseng.

“Rama Badranaya, Bu,” ralatku mengulum senyum.

“Iya. Itu si Mama Iler. Badannya segede bagong, kan?” Pemuda itu kembali berkata. Keyakinan tercetak jelas di suaranya.

“Dulu dia emang gendut, Mas,” kataku mengingat foto Rama sewaktu dia SMA dulu. Aku masih menyimpannya di tabletku kalau-kalau dibutuhkan dalam kondisi seperti ini (baca : tersesat).

Kuulurkan potret Rama dan pemuda itu sontak berteriak, “Tuh kan bener! Ini si Mama Iler!”

“Itu julukan dia, Mas?” tanyaku ingin tahu.

Pemuda itu mengangguk. “Dia mah temen saya pas SMA dulu. Kita sering dihukum bareng sama Pak Yadi si guru Pkn. Dia malah sempet berantem sama Pak Yadi.”

“Yang bikin Bu Juli nangis?” Aku mengingat cerita Rama yang berkata bahwa dia pernah membuat guru kesayangannya yaitu Bu Juli menangis. Itu gara-gara Rama berkelahi dengan Pak Yadi.

“Iyaaa! Eneng kok tahu?”

“Rama pernah cerita ke saya, Mas.” Aku mulai dipenuhi harapan. Pertolongan datang tanpa diduga. Terimakasih, Tuhaaaaaannn! Aku tak akan tersesat! “Mas tahu alamat rumah Rama?” aku bertanya. Semangatku kembali penuh.

“Tahu, Neng,” jawabnya. “Tapi angkutan jam segini udah abis. Neng sampai sininya kesorean sih.” Dan seketika itu, semangat drop menuju titik nol—bahkan minus. Nahasnya hambamu ini! Aku mengeluh dalam hati.

“Tong, ini si Enengnya dianterin aja. Kasihan dia. Dateng jauh dari Jogja,” si ibu berkata sambil menggendong balitanya.

“Urang mau pergi main, Ma.”

“Jauh enggak sih, Tong?”

Aku melihat percakapan anak dan ibu yang seru.

“Jauh, Ma,” Pemuda yang dipanggil Tong tadi melimpir menuju motornya yang terparkir di halaman samping rumah.

“Mas,” rengekku. Kalau memang aku harus menangis di sini, aku jabanin! Aku sudah kelewat bingung. “Tolongin saya.”

“Neng, saya mau aja tolongin Eneng, tapi Mama itu orangnya ....”

“Suka main misterius-misteriusan, kan? Pikirannya ngaco. Sering kumat sarapnya. Cuma dia pinter. Mas mau bilang gitu, kan?” cerocosku yang masih memasang wajah memelas.

“Eneng kenal Rama banget, ya?” Pemuda itu menatapku tidak percaya.

“Enggak,” jawabku kecut. “Saya cuma ngerasa kenal aja sama dia. Mungkin apa yang saya sebutin tadi malah enggak bener semua.”

“Mama itu begitu, Neng.” Motornya sudah dihidupkan dan pupus sudah harapanku. Tujuanku mungkin belum tercapai saat ini. Saatnya mencari penginapan. Jangan tanya soal taksi atau angkutan lainnya yang mewah; itu tidak ada. Sore sudah menjelang dan aku sangsi penginapan akan mudah ditemukan. “Neng, saya anter deh.”

“Heh?” Apa baru saja aku mendengar kalau pemuda itu menawariku tumpangan? Oh, aku perlu memastikannya! “Apa, Mas?”

“Saya anterin Neng ke tempatnya Mama.”

“Beneran, Mas?” ulangku sekali lagi tak percaya. Tuhan benar-benar menyayangiku! Riuh tepuk tangan berkumandang di dadaku.

Motor lawas milik Mas yang diketahui bernama Nico itu mengantarku melewati wilayah yang hanya ada persawahan. Aku sempat was-was kalau saja Mas ini punya niat jahat. Siapa tahu di tengah jalan yang tidak ada rumahnya, Masnya itu mau perkosa. Merinding dan ketakutan menyergap tiba-tiba. Aduh, aku belum pacaran. Belum pernah merasakan ciuman apalagi merasakan itu. Itu yang itu pokoknya. Ketakutan itu luntur saat Mas Nico menyadari kalau dudukku di boncengan sudah mepet di jok belakang.

“Saya enggak akan ngapa-ngapain Eneng. Mama itu temen baik saya zaman SMA. Eneng bisa tahu Mama sampai kayak gitu pasti Mama percaya banget sama Eneng.”

Aku merenungi semua perkataan Mas Nico. Aku tidak begitu yakin bahwa Rama percaya denganku. Rama itu seperti panci penggorengan. Cekung di atas ... cembung di bawah. Berbeda sisinya.

“Saya sendiri enggak yakin, Mas,” tuturku pelan. Aku memang merasa tidak mengenal Rama. Sungguh. Dan itu membuatku bingung bagaimana bisa Rama mampu membuatku berbuat nekat seperti ini? “Apa yang saya sebutin tadi emang bener, Mas? Soalnya pas Rama cerita begitu, saya enggak percaya. Skeptis banget saya ini.”

“Bener kok, Neng,” balas Mas Nico. Perjalanan kami masih jauh. Belum terlihat rumah satu pun. Cahaya matahari mulai berubah oranye. “Neng tahu apalagi soal Mama?”

“Papanya Rama udah meninggal kan?”

“Itu sih udah rahasia umum, Neng.”

“Saya juga ngira gitu, Mas.” Aku mulai mengingat kembali segala cerita dari Rama. “Rama itu cinta mati sama cewek yang ... itu, ya?” Aku bahkan tidak berani menyebutkan namanya.

“Nah, kalau ini mungkin spesial, Neng.”

“Spesial?”

“Neng pasti tahu kalau Rama itu enggak pernah jadian sama cewek yang dicintai, kan?”

“Ho-oh.”

“Berarti Neng emang temen yang dia percaya.”

Aku kembali hanyut dalam pikiran. Tanpa terasa, bibirku menyunggingkan senyum yang entah apa alasannya. Ada rasa senang sebenarnya saat mendengar bahwa aku dipercaya. Tapi sayangnya, ada rasa sakit pula. Sakit saat mendengarnya malah dari mulut orang lain dan bukannya dari Rama. Aku juga menyadari bahwa ternyata adalah sebuah kebenaran bahwa Rama mencintai perempuan itu—meski aku sudah tahu itu sejak lama. Kesadaran yang yakin.

‘Hei, jangan pupuskan kenekatanmu hanya karena ini! Bukankah ekspedisimu kali ini bermodal kenekatan yang tidak biasa dengan tujuan yang tidak biasa juga? Melihat rumah Rama, teman sok misteriusmu!’ Aku mencoba menyemangati diri sendiri.

“Neng, ke sini kok sendirian? Enggak sama temennya?” tanya Mas Nico. Pertanyaan yang sama dengan Pak Ahmad tadi. Hanya saja tidak ada sindiran tersirat soal pacar. Mas Nico masih bisa jaga bibir.

           “Saya nekat, Mas,” jawabku. “Saya bisa gila kalau saya enggak nekat dateng ke tempat Rama.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar