BAB I
NEKAT
Kertas
menumpuk nyaris menutupi kepalaku. Aku bisa melihat sejumlah kertas jawaban
ulangan harian dan ujian kenaikan kelas anak-anak didikku yang belum kukoreksi.
Ya Tuhan! Pekerjaan ini tidak akan ada habisnya. Kuraih tablet yang baru kuisi ulang baterainya. Di sana sudah ada lebih
dari sepuluh pesan dari aplikasi Whatsapp
dengan grup bertuliskan Encuerada
yang dalam bahasa Spanyol berarti telanjang. Sudah cukup lama waktuku
kuhabiskan untuk berchatting ria
bersama lima orang keluarga baruku. Salah satu dari mereka bahkan membuatku
merasakan hal yang gila.
Waktu
efektif sekolah sudah berakhir pukul dua siang tadi. Nyaris jam empat sore dan
itu artinya sudah dua jam aku berkutat mengoreksi jawaban anak-anakku. Lelah
dan penat. Kulirik akun facebook yang
kupasang posisi offline tanpa berniat
untuk mengunggah status. Di sisi lain, tanganku gatal untuk membalas pesan Whatsapp yang berisi keluhan mereka
tentang susahnya move on dari mantan
kekasih.
“Ria,
sedang apakah?” Pak Ganda yang berusia dua tahun lebih tua dariku— usianya 23
tahun—juga masih berada di kantor guru menyapaku. “Oh, facebook!” katanya lagi. Pak Ganda orang yang periang. Kelewat
periang malahan. Sampai-sampai aku tidak mengerti apa yang dikatakannya.
“Jenuh,
Pak,” jawabku jujur. Kukumpulkan semua jawaban anak. Baru selesai satu kelas
dan masih ada tujuh kelas lagi dengan batas waktu tinggal tiga hari. Oh my god!
Pak
Ganda mengangkat tangan sambil berkata, “Semangat, Bu!”
Selalu,
Pak. Kubalas dia dalam hati.
Blip.
Pesan
lagi. Kubuka dan di sana tertera nama Ronny Rozino, Winda Ayu dan ... Rama
Badranaya. Masih membahas tentang mereka yang sulit move on dari mantan kekasih. Kuketik beberapa kata saat melihat
respon Rama yang menyebalkan karena mengejek Ronny—yang kupanggil Abang—karena
selalu gagal move on dengan kata
‘kasihan’.
‘Yang bilang kasihan
juga kasihan. Cinta sama cewek, tapi deket sama dia aja takut. Kasihaaannn
...,’ balasku sambil cekikikan.
“Bu
Ria enggak lagi gila, kan?” Pak Jati si guru bahasa Indonesia ganti menyapa.
“Ketawa sendirian.”
“Enggaklah,
Pak,” jawabku. “Ada temen yang geblek
aja ini.” Kuangkat tablet menandakan
aku tertawa karena pesan yang ada di Whatsapp.
Layar
masih memantulkan kelip pertanda pesan lain masuk. Bisa dipastikan bahwa pesan
itu dari Rama yang memajang gambar emoticon
tersenyum sombong. Ah, manusia macam apa dia hingga membuatku bisa segila ini.
“Bu,
liburan sebulan mau pulang ke Jogja?” Pak Jati memecah keheningan.
Aku
berpikir sejenak lalu menjawab, “Enggak dong, Pak. Eh ... pulang ding. Tapi sebentar aja, sih. Soalnya
aku mau liburan ke Jawa Barat.”
“Wah,
ke tempatnya siapa, Bu?”
“Ha
... ha ... ha, ke tempat temen, Pak!” jawabku. “Tempatnya terpencil gitu.”
“Main
terus, ya?”
“Kapan
aku main?” tukasku. “Adanya kerjaan seabrek. Bisa lepas nih bola mata lihat koreksian makin lama kayak gunung Semeru.” Aku
mengeluh seperti kereta yang tak ada habisnya.
“Iya,
Bu. Koreksianku juga banyak. Kalau enggak liburan, bisa habis kegantenganku
gara-gara lembur.”
“Preeeettt!
Kayak situ ganteng aja, Pak!” sindirku sambil cekikikan.
Pak
Jati yang sibuk bermain blackberrynya
menyahut, “Aku kan mirip artis.”
“He-em.
Cuma beda nasib, Pak,” balasku. “Dia nasibnya o-ke. Kalau situ nasibnya o-alah
kok nelangsa gini, yah.”
“Beda
tipis, Bu!”
“Tipisnya
seukuran genderuwo, Pak!”
Percakapan
ini pada akhirnya akan kumenangkan. Pak Jati orangnya lucu tapi lebay-nya amit-amit jabang bayi.
Dan,
segala kepenatan terbayar oleh datangnya liburan super panjang. Sebulan penuh
dan itu menggiurkan. Semua persiapan gilaku sudah tersusun dengan baik—dan tentunya
keren! Mengelana seorang diri itu selalu menakjubkan! Berbekal data yang
kuperoleh dari media internet, aku akan menyatroni rumah Rama. Orang yang
membuatku gila nyaris satu tahun ini. Aku hanya tahu dia tinggal di daerah Cianjur,
Jawa Barat. Tapi jangan sebut aku Ria jika tidak ada informasi yang bisa
kukorek lebih jauh. Aku tahu bahwa Rama pernah bersekolah di sekolah menengah
atas daerah desa Sukanagara wilayah Ciamis. Maka dari Sukanagaralah pencarianku
akan dimulai. Berbekal satu nama yaitu Ibu Julianti, aku berharap bisa
menemukan lokasi rumah Rama. Ah, terkadang sisi ingin tahuku bisa membunuhku
karena tindakan mengorek data pribadi memang sebuah kejahatan. Tapi ... ayolah!
Ini demi menuntaskan hasrat gilaku. Lagipula, aku bisa beralibi dengan liburan
di tempat saudaraku. Jika kebohonganku terbongkar, aku bisa bohong yang lain.
Kereta
api Kiaracondong siap membawaku menuju Bandung di stasiun Padalarang, wilayah
yang paling dekat dengan Cianjur. Sungguh, kenekatan ini harus kubayar mahal.
Kereta ekonomi dengan peringatan libur kenaikan kelas, sukses membuatku
berdesakan dengan penumpang lainnya. Rama harus membayar konsekuensinya!
Sialan! Aku baru bisa duduk—dengan memasang wajah memelas pada bapak-bapak
terlebih dahulu—di bagian gerbong nomor tiga. Padatnya penumpang sudah
kuantisipasi dengan menaruh sebagian besar uang dan barang penting lainnya di
sepatu dan celana pendek yang kututup dengan celana denim. Tas ransel kujadikan
perlindungan area dada yang biasanya menjadi pusat perhatian kaum adam.
Luar
biasa, saudara-saudara! Demi kumis mengerikan bapak-bapak baik hati yang tadi
memberiku tempat duduk, aku merasa aman. Beliau tidak seseram tampangnya. Tapi
dengan tampangnya yang seram itu, orang-orang yang berniat tidak baik padaku
akan keder. Keberuntungan di tengah himpitan. Sepanjang perjalanan, aku
mengobrol dengan bapak tadi. Tampangnya mirip seperti Pak Raden di acara
televisi si Unyil. Menyeramkan, bukan? Beliau bernama Pak Ahmad yang hendak
mengunjungi cucunya yang berada di Cipeyeum—aku sendiri enggak mudheng di mana
Cipeyeum itu. Yang kutahu pelem dalam
bahasa jawa. Itu buah mangga. Apakah ada hubungannya? Entahlah.
“Mbak
pergi ke Cianjur sendirian?” tanya Pak Ahmad. Beliau memangku sewadah salak
pondoh khas Jogja. Beliau mengulurkan satu buah padaku karena sepertinya air
liur yang kutelan tadi berhasil membuat Pak Ahmad sadar bahwa perutku kelaparan!
Emak, aku lupa belum makan malam!
“Makasih,
Pak,” ucapku sambil cepat-cepat membuka salak itu dan melahapnya dengan rakus.
“Iya, saya mau ke Cianjur. Mau nengok temen, Pak.”
“Sendirian?”
Alis Pak Ahmad terangkat. Beliau mungkin terpesona akan keberanianku. Ha ... ha
... ha .... “Enggak punya pacar, ya, kok sampai sendirian begini?”
Bapaaaaaak!
Tega nian kau blak-blakan seperti itu padakuuuu! Bahkan buah salak yang masih
mengisi kerongkonganku mendadak berhenti berjalan. Aku hanya tersenyum kecut.
“Bapak
kangen cucu, ya?” tanyaku mencoba mengalihkan perhatian.
Raut
wajah Pak Ahmad berubah sendu. “Bapak udah lama enggak ketemu cucu. Anak bapak
jarang ke Jogja makanya Bapak aja yang ke Cipeyeum.”
“Cipeyeum
apa sih, Pak?” tanyaku masih mengunyah salak.
Pak
Ahmad berseri kembali. Sepertinya bicara soal cucu membuat Pak Ahmad galau.
Sama sepertiku, kalau bicara soal pacar, aku bakal galau. Efek parahnya,
mungkin salak yang dibawa Pak Ahmad bakal kuembat untuk mengusir kegalauan.
“Cipeyeum
itu nama daerah, Nak,” Pak Ahmand menjelaskan. Mulutku membuka namun Pak Ahmad
sudah menyela, “tidak ada hubungannya sama pelem
atau peyeum makanan khas Jawa Barat. Bapak sendiri enggak tahu.”
“Oh
...,” aku hanya mengangguk.
Perjalanan
menuju Bandung dari stasiun Lempuyangan yang seharusnya ditempuh delapan jam
ternyata molor menjadi nyaris sepuluh jam. Ini bahkan belum sampai Bandung
meski keberangkatan dilakukan jam delapan malam. Entah apa maksudnya kereta
berjalan amat pelan. Mungkin masinisnya takut kena tilang gara-gara buat
SIM-nya nembak. Aku membatin, ‘Lumayan,
dapat jatah dua jam lebih buat kongko-kongko
sama Pak Ahmad ditambah salak pondoh gratisan.’ Ini dongkolan paling absurd untuk menghibur kejenuhan.
“Lama
juga, ya, Pak,” celetukku. Fajar menjelang. Hamparan sawah yang menguning
menandakan musim panen padi akan segera tiba.
Pak
Ahmad menguap. Tidur kami memang nyaris hanya dua jam tanpa bisa dikatakan
nyenyak. “Iya. Maklumlah ... ini kereta ekonomi. Bukan kelas yang kecepatannya
kayak jet.”
Pak
Ahmad membuka salah satu kantong plastik hitam yang baru kusadari ternyata
berisi rambutan. Makanan gratis lagi, Saudaraaaaa! “Ini makan aja. Nak Ria
pasti laper, kan?” Pak Ahmad begitu pengertian. Tahu kalau perutku ini perut
karet yang kecepatan mengolah makanannya luar biasa. Kuambil beberapa rambutan
yang kelihatannya manis itu dan kumakan cepat. Pak Ahmad pasti dari desa di
daerah Jogja. Bawaannya buah-buahan.
“Saya
berasa anak Bapak kalau kayak gini.” Aku nyegir
kuda. Pak Ahmad tertawa renyah mendengar celotehanku. “Gimana enggak, Pak? Saya
dikasih makan terus ini. He ... he ... he ....”
“Nak
Ria kan dari Jogja sama kayak Bapak. Orang Jogja kan emang terkenal baik hati,”
jawab Pak Ahmad. Pak Ahmad meski muka sangar punya hati malaikat! Salutku bagi
beliau tak akan berkesudahan.
Bandung.
Kami tiba di pemberhentian terakhir kami. Meski ini kali pertama aku bertemu
Pak Ahmad, aku merasa kehilangan saat beliau akan melanjutkan perjalanan dengan
menggunakan bus menuju Cipeyeum. Sedangkan aku, aku masih meneruskan perjalanan
dengan kereta Cianjuran menuju stasiun Padalarang dan akan meneruskan
perjalanan menuju Cianjur menggunakan bus setibanya di Padalarang. Ada
pertemuan tentu ada perpisahan. Aku menangis saat melihat Pak Ahmad sudah pergi
dengan bus.
Tak
ada lagi makanan. Tak ada lagi teman bercakap. Sepanjang perjalanan, aku hanya
memandangi pemandangan yang luar biasa indah. Sesuai dengan deskripsi yang pernah
Rama ceritakan. Aku tidak heran jika lelaki itu betah berdiam diri di Jawa
Barat. Aku pun tergiur untuk mendiaminya meski Jogja masih menjadi tempat
terbaik yang kumiliki.
Perjalanan
melelahkan yang panjang telah membawaku ke sebuah sekolah menengah atas negeri
di daerah Sukanagara. Aku harus segera bertemu Bu Julianti. Semoga data Rama
masih tersimpan baik. Bila perlu, Bu Julianti ini ingat di mana Rama tinggal
jadi tidak perlu repot-repot membongkar identitas Rama. Lelaki itu sudah lulus
lima tahun yang lalu. Dan tentu butuh waktu mencari alamat rumahnya.
Tubuh
letih luar biasa. Sudah lebih dari duabelas jam aku berada di perjalanan. Hari
ini sudah sore. Kulihat dari jauh, SMA Negeri Sukanagara tutup. Tetiba, aku
sadar akan sesuatu. Alamaaaakk! Udah pulang sekolah! Piye sih!? Sekolah tempatku bekerja
selalu ramai bahkan hingga jam sembilan malam. Aku sering pulang larut padahal
aku seorang guru—bukan pekerja kantoran yang lembur. Sekolah ajaib, memang.
Kali ini, aku benar harus mencari pertolongan darurat. Mungkin kenekatanku ini
tidak pernah habis. Kudatangi salah satu rumah warga.
Seorang
ibu yang sedang menyuapi balitanya di teras rumah pun menjadi sasaranku.
“Selamat so-sore, Ibu,” sapaku kikuk. Aku tidak bisa bahasa sunda sama sekali.
Ibu
itu berhenti menyuapi anaknya. “Selamat sore.”
Dengan
keyakinan teguh, kuteruskan ucapanku. Kepalang tanggung. “Maaf, Bu. Saya ingin
bertanya apakah Ibu tahu Ibu Julianti yang mengajar di SMA itu?” tanyaku sambil
menuding SMA yang dimaksud.
“Oh,
Bu Juli?” logat kental khas sunda keluar dari mulut Ibu itu. “Eneng teh telat
atuh. Bu Julinya udah pulang.”
“Yaaahh
....” Raut kekecewaan jelas tercetak di wajahku. Pertama, aku tidak bisa
bertemu Bu Juli dan kedua aku tidak menemukan penginapan sepanjang perjalanan
tadi.
“Eneng
teh bukan asli sini, ya?”
“Bukan,
Bu,” jawabku lesu. “Saya dari Jogja. Sekarang saya lagi nyari rumah temen saya.
Dulu dia sekolah di situ.” Lagi, aku menunjuk gedung SMA itu.
“Eneng
punya alamat temen Eneng itu?”
Aku
menggeleng; makin frustasi. Bagaimana nasibkuuuu?!
“Lah,
Eneng kenapa nyari Bu Juli?”
“Saya
mau tanya alamat temen saya itu dari Bu Juli. Soalnya, temen saya itu pernah
diajar sama beliau. Dan beliau ingat betul sama temen saya ini,” jelasku
panjang lebar.
Ibu
itu memperhatikan sungguh-sungguh. Balitanya asyik bermain boneka karet bebek.
“Emang siapa nama temen Eneng?”
“Rama,
Bu. Namanya Rama Badranaya,” jawabku.
“Mama
Iler?” sebuah suara lelaki menyeruak keluar dari rumah Ibu tadi. “Nyari si Mama
Iler?” lelaki itu sepertinya seumuran denganku. Perawakannya tinggi dan
berkulit hitam. Dia mnegingatkanku dengan salah satu muridku yang potongan
rabmbutnya seperti baskom dibalik.
“Mama
Iler?” aku mengulang. Tidak mengerti maksudnya.
“Tong,
elu kenal Rama Ba ... Baseng? Ba ... Ba ... siapa, Neng?” Ibu itu kembali
bertanya dan aku harus menahan tawaku mendengar kata baseng.
“Rama
Badranaya, Bu,” ralatku mengulum senyum.
“Iya.
Itu si Mama Iler. Badannya segede bagong, kan?” Pemuda itu kembali berkata.
Keyakinan tercetak jelas di suaranya.
“Dulu
dia emang gendut, Mas,” kataku mengingat foto Rama sewaktu dia SMA dulu. Aku
masih menyimpannya di tabletku
kalau-kalau dibutuhkan dalam kondisi seperti ini (baca : tersesat).
Kuulurkan
potret Rama dan pemuda itu sontak berteriak, “Tuh kan bener! Ini si Mama Iler!”
“Itu
julukan dia, Mas?” tanyaku ingin tahu.
Pemuda
itu mengangguk. “Dia mah temen saya pas SMA dulu. Kita sering dihukum bareng
sama Pak Yadi si guru Pkn. Dia malah sempet berantem sama Pak Yadi.”
“Yang
bikin Bu Juli nangis?” Aku mengingat cerita Rama yang berkata bahwa dia pernah
membuat guru kesayangannya yaitu Bu Juli menangis. Itu gara-gara Rama berkelahi
dengan Pak Yadi.
“Iyaaa!
Eneng kok tahu?”
“Rama
pernah cerita ke saya, Mas.” Aku mulai dipenuhi harapan. Pertolongan datang
tanpa diduga. Terimakasih, Tuhaaaaaannn! Aku tak akan tersesat! “Mas tahu
alamat rumah Rama?” aku bertanya. Semangatku kembali penuh.
“Tahu,
Neng,” jawabnya. “Tapi angkutan jam segini udah abis. Neng sampai sininya
kesorean sih.” Dan seketika itu, semangat drop
menuju titik nol—bahkan minus. Nahasnya hambamu ini! Aku mengeluh dalam hati.
“Tong,
ini si Enengnya dianterin aja. Kasihan dia. Dateng jauh dari Jogja,” si ibu
berkata sambil menggendong balitanya.
“Urang
mau pergi main, Ma.”
“Jauh
enggak sih, Tong?”
Aku
melihat percakapan anak dan ibu yang seru.
“Jauh,
Ma,” Pemuda yang dipanggil Tong tadi melimpir menuju motornya yang terparkir di
halaman samping rumah.
“Mas,”
rengekku. Kalau memang aku harus menangis di sini, aku jabanin! Aku sudah kelewat bingung. “Tolongin saya.”
“Neng,
saya mau aja tolongin Eneng, tapi Mama itu orangnya ....”
“Suka
main misterius-misteriusan, kan? Pikirannya ngaco. Sering kumat sarapnya. Cuma
dia pinter. Mas mau bilang gitu, kan?” cerocosku yang masih memasang wajah
memelas.
“Eneng
kenal Rama banget, ya?” Pemuda itu
menatapku tidak percaya.
“Enggak,”
jawabku kecut. “Saya cuma ngerasa kenal aja sama dia. Mungkin apa yang saya
sebutin tadi malah enggak bener semua.”
“Mama
itu begitu, Neng.” Motornya sudah dihidupkan dan pupus sudah harapanku.
Tujuanku mungkin belum tercapai saat ini. Saatnya mencari penginapan. Jangan
tanya soal taksi atau angkutan lainnya yang mewah; itu tidak ada. Sore sudah
menjelang dan aku sangsi penginapan akan mudah ditemukan. “Neng, saya anter
deh.”
“Heh?”
Apa baru saja aku mendengar kalau pemuda itu menawariku tumpangan? Oh, aku
perlu memastikannya! “Apa, Mas?”
“Saya
anterin Neng ke tempatnya Mama.”
“Beneran,
Mas?” ulangku sekali lagi tak percaya. Tuhan benar-benar menyayangiku! Riuh
tepuk tangan berkumandang di dadaku.
Motor
lawas milik Mas yang diketahui bernama Nico itu mengantarku melewati wilayah
yang hanya ada persawahan. Aku sempat was-was kalau saja Mas ini punya niat
jahat. Siapa tahu di tengah jalan yang tidak ada rumahnya, Masnya itu mau
perkosa. Merinding dan ketakutan menyergap tiba-tiba. Aduh, aku belum pacaran.
Belum pernah merasakan ciuman apalagi merasakan itu. Itu yang itu pokoknya.
Ketakutan itu luntur saat Mas Nico menyadari kalau dudukku di boncengan sudah mepet di jok belakang.
“Saya
enggak akan ngapa-ngapain Eneng. Mama itu temen baik saya zaman SMA. Eneng bisa
tahu Mama sampai kayak gitu pasti Mama percaya banget sama Eneng.”
Aku
merenungi semua perkataan Mas Nico. Aku tidak begitu yakin bahwa Rama percaya
denganku. Rama itu seperti panci penggorengan. Cekung di atas ... cembung di
bawah. Berbeda sisinya.
“Saya
sendiri enggak yakin, Mas,” tuturku pelan. Aku memang merasa tidak mengenal
Rama. Sungguh. Dan itu membuatku bingung bagaimana bisa Rama mampu membuatku berbuat nekat seperti ini? “Apa yang
saya sebutin tadi emang bener, Mas? Soalnya pas Rama cerita begitu, saya enggak
percaya. Skeptis banget saya ini.”
“Bener
kok, Neng,” balas Mas Nico. Perjalanan kami masih jauh. Belum terlihat rumah
satu pun. Cahaya matahari mulai berubah oranye. “Neng tahu apalagi soal Mama?”
“Papanya
Rama udah meninggal kan?”
“Itu
sih udah rahasia umum, Neng.”
“Saya
juga ngira gitu, Mas.” Aku mulai mengingat kembali segala cerita dari Rama.
“Rama itu cinta mati sama cewek yang ... itu, ya?” Aku bahkan tidak berani
menyebutkan namanya.
“Nah,
kalau ini mungkin spesial, Neng.”
“Spesial?”
“Neng
pasti tahu kalau Rama itu enggak pernah jadian sama cewek yang dicintai, kan?”
“Ho-oh.”
“Berarti
Neng emang temen yang dia percaya.”
Aku
kembali hanyut dalam pikiran. Tanpa terasa, bibirku menyunggingkan senyum yang
entah apa alasannya. Ada rasa senang sebenarnya saat mendengar bahwa aku
dipercaya. Tapi sayangnya, ada rasa sakit pula. Sakit saat mendengarnya malah
dari mulut orang lain dan bukannya dari Rama. Aku juga menyadari bahwa ternyata
adalah sebuah kebenaran bahwa Rama mencintai perempuan itu—meski aku sudah tahu
itu sejak lama. Kesadaran yang yakin.
‘Hei,
jangan pupuskan kenekatanmu hanya karena ini! Bukankah ekspedisimu kali ini
bermodal kenekatan yang tidak biasa dengan tujuan yang tidak biasa juga?
Melihat rumah Rama, teman sok misteriusmu!’ Aku mencoba menyemangati diri
sendiri.
“Neng,
ke sini kok sendirian? Enggak sama temennya?” tanya Mas Nico. Pertanyaan yang
sama dengan Pak Ahmad tadi. Hanya saja tidak ada sindiran tersirat soal pacar.
Mas Nico masih bisa jaga bibir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar