ANJING LIAR
Kau melihatnya
lagi. Wajahnya yang lusuh dan kumal. Sekarang, dia tertunduk lesu di sebuah
bangku taman di bawah pohon yang rindang. Wajahmu tiba-tiba berubah muram saat
menangkap ekspresinya meski awal kau terlihat senang menemukannya.
Si Anjing Liar,
begitu orang menyebutnya. Selalu menjadi si pembuat onar. Siapa yang membuatnya
marah akan langsung dihajar. Tapi kau, dengan segala rasa sayang padanya,
menghadapi Si Anjing Liar itu dengan tabah dan sabar.
Hari ini, Si
Anjing Liar menatap nanar langit senja. Kaupandang dia dari sudut Kota Lama,
Semarang. Di samping gereja Blenduk tua yang berdiri penuh kuasa begitu
berbalik dengan suasana muram dari aura mukanya. Dia seperti tak berniat beranjak
dari tempat duduk. Matanya sendu seperti menahan ngilu. Kautatap lama dia dan
hatimu mulai merasa trenyuh saat kepalanya mulai menunduk lemas seperti orang
menyerah. Si Anjing Liar pembuat onar kini tak lagi terlihat brutal.
Kau perlahan
mendekat mencoba meraihnya untuk sekadar memberi penghiburan. Dia belum masih
belum melihatmu karena kau berjalan di belakangnya. Dia masih terduduk beku.
Kepalanya—lagi-lagi—memandang langit yang telah menjadi gelap. Langkahmu
terhenti seketika melihat Si Anjing Liar mulai beranjak pergi.
Dia berjalan
menuju arah barat melewati gereja tua yang menjulang megah. Jalannya gontai
tapi tak ada tanda-tanda untuk berhenti. Kau ikuti dia tapi tetap menjaga jarak
sepuluh depa.
“Kemana dia
pergi?” pikirmu gusar dan mulai berjalan cepat.
Jalan-jalan konblok dijejali puluhan kendaraan lalu
lalang dan dia tetap bergerak. Lampu-lampu jalanan menyala juga lampu yang
berada di dalam ukiran indah pilar jembatan Mberok, Kota Lama. Jembatan itu
begitu terkenal sebagai salah satu aset kota Semarang dan juga menjadi salah
satu Kota Lama terbaik di dunia.
Malam ini
jembatan itu dipenuhi oleh beberapa waria yang bernyanyi. Anjing Liar itu tetap
mantap berjalan tanpa memedulikan godaan dari mereka.
Anjing Liar itu
melangkah hingga mengarah ke Jalan Imam Bonjol—jalan aspal yang penuh dengan
pedagang kaki lima dan tempat karaoke pinggir jalan. Jalan yang penuh dengan
nilai sejarah juga konon sebagai akses utama perdagangan zaman kompeni Belanda
kini memudar. Bangunan pencakar langit sudah memenuhi kanan-kiri jalan dan
menggusur bangunan bersejarah. Termasuk yang didatangi Anjing Liar ini; Stasiun
Poncol.
Malam semakin
kelam. Kau melihat banyak wanita menjaja raga. Baik yang tua hingga muda; kurus
juga gemuk. Pria-pria hidung belang yang menawar harga membuatmu
prihatin—mengelus dada.
Anjing Liar itu
berhenti di sudut luar Stasiun. Matanya menyusur beberapa wanita yang sedang
berdiri. Beberapa dari mereka mencoba menggoda para lelaki yang lewat di
depannya. Pandangannya berhenti pada satu orang wanita paruh baya. Matanya
menatap garang seperti ada amarah yang tertanam.
Dia mendatangi
wanita itu cepat. “Pulang, Bu!” ucap Si Anjing Liar.
Itu ibunya yang
sepertinya juga ikut menjual diri. Ibu itu menyentuh keningnya dengan pandangan
pedih. “Ibu tidak bisa!” Suara ibu itu bergetar menahan tangis. Kau mampu
merasakan kesesakkan wanita itu.
“Lelaki
brengsek itu yang harusnya bekerja dan bukannya menjual Ibu!” teriak Si Anjing
Liar—murka.
Suara bising
kendaraan bermotor meredam amukan Si Anjing Liar. Kau, yang berdiri di balik
pohon, menyaksikan adegan itu; miris. Kau menyadari sesuatu. Anjing Liar ini
terluka di dalam. Hatinya dihancurkan oleh pahitnya kehidupan yang keras.
Sesosok
bayangan hitam berjalan terseok-seok menuju dua orang yang tengah bercakap itu.
“Dasar tidak
tahu terimakasih!” Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Si Anjing Liar hingga
dia nyaris terjungkal.
Hatimu tergerak
hendak menolong dan kau akhirnya keluar dari tempat persembunyian. Berlari lalu
nyaris saja tersandung pada trotoar saat melihat Si Anjing Liar mengeluarkan
sesuatu dari bali saku celana sekolahnya. Rautmu menjadi pucat saat sebuah
suara letusan terdengar memekakkan telinga.
Si Anjing Liar
menunjukkan taringnya.
Kau panik dan
segera menambah kecepatan lari. Darah sudah menggenang di tempat si anjing yang
sekarang sudah berdiri; tubuhnya gemetar dengan pistol tergenggam di tangan
kanan.
Satu nyawa
melayang; satu menangis; dan satu hanya berdiri diam.
Anjing Liar itu
menoleh ke arahmu dan matanya membulat; terkejut dan mungkin tidak mengira akan
melihat kau datang. Pistol itu merosot dan jatuh ke aspal yang berdebu dan juga
basah karena darah.
“Pergi!” katamu
lantang.
Si Anjing Liar
menatapmu tidak mengerti—bahkan ada sedikit gelengan dari lehernya. Namun kau
tidak menggubrisnya. Malahan kau cepat-cepat meraih pistol yang jatuh tak jauh
darinya; membersihkannya lalu menggenggamnya dengan mantap meski sekujur
tubuhmu gemetar hebat.
“Pergi bersama
ibumu!” perintahmu lagi. Tatapanmu beralih pada wanita yang bersimpuh; menangis
terisak menyaksikan raga yang sudah tak bernyawa. “Bu Laras, bawa dia pergi.
Jaga dia!” pintamu pelan sambil ikut bersimpuh lalu menggenggam erat tangan
wanita yang sudah tak lagi muda. Dandanannya berantakan karena basah oleh
airmata.
“Tapi ...,” kata
Anjing Liar itu terlihat enggan.
Kau berdiri
lalu mengusap lembut rambut ikalnya yang kusam. Mata hitamnya yang biasa
menatap bringas itu menjadi pudar dan berganti dengan pandangan haru.
“Kau sayang
ibumu, ‘kan?” bujukmu pelan. Kau
merengkuhnya; memberikan kehangatan yang mampu kauberikan untuk mengurangi rasa
gemetarnya. Kau tahu Anjing Liar ini sedang ketakutan. “Kau kuat! Selamatkan
ibumu dan jadilah anak yang baik bagi beliau!”
Kau mencoba
untuk tersenyum baginya. Taring Anjing Liar itu kini menghilang. Ada erangan
yang sempat terdengar dari dalam tenggorokannya.
Anjing Liar itu
diam dan tak lama kedua sudut matanya kini basah karena setetes demi setetes
airmata keluar. Dia mengangguk pelan lalu menggandeng ibunya yang masih saja
meratapi mayat laki-laki yang ditembak oleh Si Anjing Liar tadi.
“Bu, ayo
pergi!” ajaknya pelan. Ibu itu menatap ragu Si Anjing Liar. Ada perasaan takut
pada ekspresinya. “Tidak akan ada lagi yang menyakiti Ibu,” katanya lagi sambil
mengusap pipinya yang basah dengan punggung tangan.
Anjing Liar itu
begitu kuat. Kau lagi-lagi tersenyum melihat ketegarannya.
Tangan Si
Anjing Liar terulur dan ibunya akhirnya menuruti.
Kau akan bahagia, Anjing Liar.
Kau memandang
berkeliling. Sudah banyak orang yang berdatangan. Kau membantu Si Anjing Liar
pergi dan kau kembali untuk tinggal. Kaugenggam erat pistol yang ditinggalkan Anjing
Liar tadi dan berdoa dalam hati bahwa kau bertindak benar; kau menyayangi Anjing
Liar itu.
Hatimu bergetar
lagi, jantungmu berdegup kencang saat beberapa menit kemudian kau dibawa paksa
oleh sekumpulan tikus berseragam menuju kotak yang berbunyi nyaring. Kau
tersenyum bagi Si Anjing Liar yang berdiri—sedang bersembunyi—di sudut jalan;
Stasiun Poncol, Semarang. Rasa sayangmu yang begitu besar dan harapanmu padanya
agar suatu saat nanti Si Anjing Liar akan bermetamorfosis menjadi anjing yang
bebas tak lagi terkekang.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar