Jumat, 25 April 2014

Anjing Liar by. Maria Chrisna



ANJING LIAR

Kau melihatnya lagi. Wajahnya yang lusuh dan kumal. Sekarang, dia tertunduk lesu di sebuah bangku taman di bawah pohon yang rindang. Wajahmu tiba-tiba berubah muram saat menangkap ekspresinya meski awal kau terlihat senang menemukannya.
Si Anjing Liar, begitu orang menyebutnya. Selalu menjadi si pembuat onar. Siapa yang membuatnya marah akan langsung dihajar. Tapi kau, dengan segala rasa sayang padanya, menghadapi Si Anjing Liar itu dengan tabah dan sabar.
Hari ini, Si Anjing Liar menatap nanar langit senja. Kaupandang dia dari sudut Kota Lama, Semarang. Di samping gereja Blenduk tua yang berdiri penuh kuasa begitu berbalik dengan suasana muram dari aura mukanya. Dia seperti tak berniat beranjak dari tempat duduk. Matanya sendu seperti menahan ngilu. Kautatap lama dia dan hatimu mulai merasa trenyuh saat kepalanya mulai menunduk lemas seperti orang menyerah. Si Anjing Liar pembuat onar kini tak lagi terlihat brutal.
Kau perlahan mendekat mencoba meraihnya untuk sekadar memberi penghiburan. Dia belum masih belum melihatmu karena kau berjalan di belakangnya. Dia masih terduduk beku. Kepalanya—lagi-lagi—memandang langit yang telah menjadi gelap. Langkahmu terhenti seketika melihat Si Anjing Liar mulai beranjak pergi.
Dia berjalan menuju arah barat melewati gereja tua yang menjulang megah. Jalannya gontai tapi tak ada tanda-tanda untuk berhenti. Kau ikuti dia tapi tetap menjaga jarak sepuluh depa.
“Kemana dia pergi?” pikirmu gusar dan mulai berjalan cepat.
Jalan-jalan konblok dijejali puluhan kendaraan lalu lalang dan dia tetap bergerak. Lampu-lampu jalanan menyala juga lampu yang berada di dalam ukiran indah pilar jembatan Mberok, Kota Lama. Jembatan itu begitu terkenal sebagai salah satu aset kota Semarang dan juga menjadi salah satu Kota Lama terbaik di dunia.
Malam ini jembatan itu dipenuhi oleh beberapa waria yang bernyanyi. Anjing Liar itu tetap mantap berjalan tanpa memedulikan godaan dari mereka.
Anjing Liar itu melangkah hingga mengarah ke Jalan Imam Bonjol—jalan aspal yang penuh dengan pedagang kaki lima dan tempat karaoke pinggir jalan. Jalan yang penuh dengan nilai sejarah juga konon sebagai akses utama perdagangan zaman kompeni Belanda kini memudar. Bangunan pencakar langit sudah memenuhi kanan-kiri jalan dan menggusur bangunan bersejarah. Termasuk yang didatangi Anjing Liar ini; Stasiun Poncol.
Malam semakin kelam. Kau melihat banyak wanita menjaja raga. Baik yang tua hingga muda; kurus juga gemuk. Pria-pria hidung belang yang menawar harga membuatmu prihatin—mengelus dada.
Anjing Liar itu berhenti di sudut luar Stasiun. Matanya menyusur beberapa wanita yang sedang berdiri. Beberapa dari mereka mencoba menggoda para lelaki yang lewat di depannya. Pandangannya berhenti pada satu orang wanita paruh baya. Matanya menatap garang seperti ada amarah yang tertanam.
Dia mendatangi wanita itu cepat. “Pulang, Bu!” ucap Si Anjing Liar.
Itu ibunya yang sepertinya juga ikut menjual diri. Ibu itu menyentuh keningnya dengan pandangan pedih. “Ibu tidak bisa!” Suara ibu itu bergetar menahan tangis. Kau mampu merasakan kesesakkan wanita itu.
“Lelaki brengsek itu yang harusnya bekerja dan bukannya menjual Ibu!” teriak Si Anjing Liar—murka.
Suara bising kendaraan bermotor meredam amukan Si Anjing Liar. Kau, yang berdiri di balik pohon, menyaksikan adegan itu; miris. Kau menyadari sesuatu. Anjing Liar ini terluka di dalam. Hatinya dihancurkan oleh pahitnya kehidupan yang keras.
Sesosok bayangan hitam berjalan terseok-seok menuju dua orang yang tengah bercakap itu.
“Dasar tidak tahu terimakasih!” Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Si Anjing Liar hingga dia nyaris terjungkal.
Hatimu tergerak hendak menolong dan kau akhirnya keluar dari tempat persembunyian. Berlari lalu nyaris saja tersandung pada trotoar saat melihat Si Anjing Liar mengeluarkan sesuatu dari bali saku celana sekolahnya. Rautmu menjadi pucat saat sebuah suara letusan terdengar memekakkan telinga.
Si Anjing Liar menunjukkan taringnya.
Kau panik dan segera menambah kecepatan lari. Darah sudah menggenang di tempat si anjing yang sekarang sudah berdiri; tubuhnya gemetar dengan pistol tergenggam di tangan kanan.
Satu nyawa melayang; satu menangis; dan satu hanya berdiri diam.
Anjing Liar itu menoleh ke arahmu dan matanya membulat; terkejut dan mungkin tidak mengira akan melihat kau datang. Pistol itu merosot dan jatuh ke aspal yang berdebu dan juga basah karena darah.
“Pergi!” katamu lantang.
Si Anjing Liar menatapmu tidak mengerti—bahkan ada sedikit gelengan dari lehernya. Namun kau tidak menggubrisnya. Malahan kau cepat-cepat meraih pistol yang jatuh tak jauh darinya; membersihkannya lalu menggenggamnya dengan mantap meski sekujur tubuhmu gemetar hebat.
“Pergi bersama ibumu!” perintahmu lagi. Tatapanmu beralih pada wanita yang bersimpuh; menangis terisak menyaksikan raga yang sudah tak bernyawa. “Bu Laras, bawa dia pergi. Jaga dia!” pintamu pelan sambil ikut bersimpuh lalu menggenggam erat tangan wanita yang sudah tak lagi muda. Dandanannya berantakan karena basah oleh airmata.
“Tapi ...,” kata Anjing Liar itu terlihat enggan.
Kau berdiri lalu mengusap lembut rambut ikalnya yang kusam. Mata hitamnya yang biasa menatap bringas itu menjadi pudar dan berganti dengan pandangan haru.
“Kau sayang ibumu, ‘kan?” bujukmu pelan. Kau merengkuhnya; memberikan kehangatan yang mampu kauberikan untuk mengurangi rasa gemetarnya. Kau tahu Anjing Liar ini sedang ketakutan. “Kau kuat! Selamatkan ibumu dan jadilah anak yang baik bagi beliau!”
Kau mencoba untuk tersenyum baginya. Taring Anjing Liar itu kini menghilang. Ada erangan yang sempat terdengar dari dalam tenggorokannya.
Anjing Liar itu diam dan tak lama kedua sudut matanya kini basah karena setetes demi setetes airmata keluar. Dia mengangguk pelan lalu menggandeng ibunya yang masih saja meratapi mayat laki-laki yang ditembak oleh Si Anjing Liar tadi.
“Bu, ayo pergi!” ajaknya pelan. Ibu itu menatap ragu Si Anjing Liar. Ada perasaan takut pada ekspresinya. “Tidak akan ada lagi yang menyakiti Ibu,” katanya lagi sambil mengusap pipinya yang basah dengan punggung tangan.
Anjing Liar itu begitu kuat. Kau lagi-lagi tersenyum melihat ketegarannya.
Tangan Si Anjing Liar terulur dan ibunya akhirnya menuruti.
Kau akan bahagia, Anjing Liar.
Kau memandang berkeliling. Sudah banyak orang yang berdatangan. Kau membantu Si Anjing Liar pergi dan kau kembali untuk tinggal. Kaugenggam erat pistol yang ditinggalkan Anjing Liar tadi dan berdoa dalam hati bahwa kau bertindak benar; kau menyayangi Anjing Liar itu.
Hatimu bergetar lagi, jantungmu berdegup kencang saat beberapa menit kemudian kau dibawa paksa oleh sekumpulan tikus berseragam menuju kotak yang berbunyi nyaring. Kau tersenyum bagi Si Anjing Liar yang berdiri—sedang bersembunyi—di sudut jalan; Stasiun Poncol, Semarang. Rasa sayangmu yang begitu besar dan harapanmu padanya agar suatu saat nanti Si Anjing Liar akan bermetamorfosis menjadi anjing yang bebas tak lagi terkekang.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar