Night Song
Layar televisi
masih menampilkan sejumlah acara film tengah malam. Karena perut yang mendadak
merasa lapar, aku berniat membuat mi rebus. Aktivitasku terhenti saat
keponakanku, yang awalnya terlelap di kasur, kini bangun lalu berjalan menuju
meja makan di dapur untuk meraih sebotol air minum.
Dia terlihat
sangat lelah. Sekujur tubuhnya basah karena keringat, air dalam botol pun ludes
ditenggaknya tak kurang dari tiga menit. Tidak hanya itu, dia meraih beberapa
biskuit yang tersedia di samping botol tadi dan memakannya dengan lahap.
Sedikit aneh. Malam ini tidak panas malah cenderung dingin dan seingatku bocah
perempuan empat tahun itu melahap cukup banyak makanan sore tadi.
“Kak ...,”
begitu aku memanggilnya sambil mematikan kompor lalu mendatanginya yang masih
mengunyah biskuit. “Keringat Kakak banyak. Bajunya jadi basah.”
Setelah menelan
biskuit cepat, bocah itu menyahut, “Kakak capek, Tante.”
Sebelah alisku
terangkat; heran dengan ucapannya. “Capek?” tanyaku. “Kakak kok capek?” aku mencoba menanyainya lebih
lanjut.
Anak itu
berjalan kembali ke kamar mungkin untuk melanjutkan tidurnya. Aku segera
mengikutinya dari belakang dan melupakan mi yang nyaris belum kusentuh. Ayah
dan ibunya sedang pergi dan hanya kami berdua yang ada di rumah. Jujur saja, aku
takut berada di rumah ini. Kautahu ... aku seperti ‘orang asing’ di rumah ini
bagi ‘pemiliknya’.
“Tadi Kak Wulan
abis jalan-jalan,” ucapnya tak acuh. Wulan sudah berbaring lagi. Paras cantik
dan pipi tembamnya itu tidak mengalihkan rasa penasaranku.
“Kak Wulan
jalan-jalan?” Aku berusaha membuatnya berbicara. “Kapan?”
“Ini tadi, lo!” Dia terlihat jengkel. “I am very tired, Aunty.”
Mataku melebar
seketika. Dia bilang apa tadi?!
“Kakak bisa
bahasa inggris?” tanyaku terkejut—dan mendadak merasa takut tanpa alasan.
“Yes, I can.”
Dia baru empat tahun! Aku menjerit dalam
hati.
“Kak ...,”
panggilku lagi. Titik ingin-tahuku memuncak. “Kakak jalan-jalan kemana terus
sama siapa?”
Tiba-tiba
terdengar derik pintu membuka. Bukan dari pintu kamar kami. Apakah ayah dan ibunya pulang? Aku mulai
berharap ada orang lain di sini. Ingat! Orang dan bukannya ....
“Sama Mas
Henri,” celetuk bocah itu. Dia tersenyum sambil memperlihatkan giginya yang
hitam dan gigis.
Mas Henri? Siapa dia?
“That’s him, Aunty!” teriaknya ceria.
Telunjuknya mengarah ke pintu kamar yang masih menutup.
Bulu romaku
meremang. Tidak ada siapapun.
“London bridge is falling down ... falling
down ... falling down ....”
Sebuah nyanyian
terdengar dan aku melihat Wulan bangkit sambil menggerakkan lehernya ke kiri
dan kanan. Dialah yang bernyanyi. Hanya saja suaranya berbeda. Mulai melengking
dan aku semakin khawatir.
“Kak!” Kuraih
kedua bahunya lalu mengguncang sedikit kasar.
Wulan tetap
bernyanyi semakin keras. “London bridge
is falling down ... falling down ... falling down ....” Lalu tawa nyaring
menyusul dari pita suaranya.
“Wulan,
berhenti!” teriakku ketakutan.
Dia berhenti.
Mata hitamnya menatapku dengan gerakan leher pelan dari semula menatap
langit-langit. “Don’t be scared, Aunty!”
Dan lagi-lagi teriakan yang memekakkan telinga keluar dari tenggorokannya.
Kedua telingaku
kututup rapat dengan telapak tangan dan mataku terpejam. Ada yang salah dengan
bocah ini! Kumulai merangkai doa di hati. Pelan-pelan, aku membuka mataku.
Wulan hilang!
“Wulan!” aku
berteriak dan berlari keluar kamar.
“Hi ... hi ...
hi ....” suara tawa melengking muncul dari arah tangga berputar di dapur lalu
disusul langkah kaki berlari. Begitu berisik.
“Wulan!”
panggilku lagi. Jantungku berdegup kencang; takut terjadi hal buruk pada bocah
itu.
Sial bagiku
karena rumah ini begitu jauh dari rumah tetangga. Aku yakin tidak ada orang
yang mendengar teriakanku.
“Wulan!”
panggilku sekali lagi nyaris frustasi.
Aku sudah mencari
di ruang tengah; tamu; makan dan kamar tamu. Semua kosong. Aku memberanikan
diri menuju dapur dan mulai menaiki tangga berputar untuk mencari keberadaan
Wulan di lantai atas.
“Wulan ....”
Suaraku bergetar. Khawatir dan takut berkecamuk.
“Aku di sini,
Tante.” Suara anak perempuan menggaung nyaring. Kepalaku menoleh untuk mencari
asal suara yang seperti berasal dari satu-satunya ruangan di lantai atas.
“Lan, Mama
sebentar lagi pulang. Jangan main lagi, ah!” Aku mencoba menutupi rasa takut
dengan percakapan. Tak ada yang menyahut.
“Tanteku sayang
... Tanteku malang ....” Ada suara bersyair; mendayu seperti nyanyian nina-bobo
di dalam ruangan lantai atas itu.
Aku melangkah
begitu pelan agar tidak menimbulkan suara tapi suara degup jantungku seakan
menimbulkan berisik. Kata kakakku—Ibu Wulan—kamar itu hanya dipakai untuk
meletakkan pakaian bersih yang belum disetrika. Kubuka pintu dan berusaha agar
engselnya tidak menimbulkan bunyi. Malam ini terlalu sunyi. Tak ada suara
binatang. Malah lagu bahasa inggris anak-anak yang mengisi keheningan.
Saat pintu
membuka, aku melihat sesosok tengah duduk memunggungiku. Dari postur tubuh, dia
seorang laki-laki mengenakan pakaian warna putih. Bahunya bidang dan memiliki
rambut cepak. Beberapa saat kemudian, dia bangkit dan berjalan sambil terus
memunggungiku hingga ... aku harus menahan jeritan saat sosok itu menembus
tembok lalu hilang.
“Wu-lan,”
bisikku ketakutan. Ada sesuatu yang menarik ujung celanaku dan ketakutanku
mulai menjadi. Kuputar pandanganku ke bawah untuk melihat siapa yang menarikku
dan ..., “Wulan!” Aku langsung berhambur memeluknya erat. Mengusap punggungnya
memastikan dia memang berada dalam pelukannku. Dia aman ... dia aman ... dia
aman. “Kakak enggak apa-apa, ‘kan?” Aku meneliti setiap tubuhnya. Tak ada luka
di sana. Dia baik-baik saja. Aku bersyukur dia baik-baik saja.
“Tante?” Ada
suara lain tapi itu bukan dari depanku melainkan dari sisi lain dimana aku
berdiri di pintu kamar. Jauh beberapa langkah dari tempat aku berpijak. Dan
saat itulah mataku lagi-lagi terkejut. Wulan!
Kualihkan
pandanganku pada Wulan yang baru saja kupeluk. Hilang! Lalu siapa tadi? Gemetar
hebat menyerang tubuhku. Aku tidak peduli! Aku harus menemukan Wulan! Aku
kembali berlari menuju Wulan yang memanggilku.
Dia nyata. Aku
merengkuhnya lalu menggendong Wulan menuju kamar di bawah. Setengah berlari,
kuturuni tangga dengan jantung yang seperti siap melompat dari tempatnya. Aku
bisa merasakan degup jantung Wulan yang normal. Setelah masuk kamar, kukunci
pintu kamar dan melihat Wulan duduk di tepi kasur tak beranjang dengan tatapan
bingung. “Kakak dari mana?” tanyaku bingung dan aku ingin segera tahu
jawabannya.
Wulan tidak
segera menjawabku. Pandangannya menerawang. “Kak ....” Kugoyang badannya agar
fokus menatapku tapi tetap saja dia diam. Bungkam.
Sedetik
kemudian mulutnya membuka dan ...
“London bridge is falling down ... falling
down ... falling down ....”
“Wulan,
berhenti bernyanyi itu!” perintahku frustasi lalu membungkam mulutnya.
“Berhenti! Tante enggak mau dengar!”
Dengungan masih
terdengar dari mulut Wulan. Matanya menyipit seolah-olah memberikan senyuman
meski mulutnya tertutup oleh telapak tanganku. Dengungan itu berhenti seiring
mata Wulan yang mengatup.
“Wulan ...?” Aku mulai panik melihat tubuhnya tidak lagi
bergerak. “Wulan, bangun!” Kugerakkan secara kasar tubuhnya tapi tetap tidak
ada respon. Ya, Tuhan! Jangan ... jangan!
”Hi, Aunty!” Aku menoleh pada pintu kamar
yang sudah menjeplak padahal aku ingat sudah menguncinya. Dan di situ, Wulan
berdiri sambil tersenyum. Di sisinya berdiri seorang lelaki setengah baya berperawakan
bulai dengan pakaian zaman dulu sedang menggandengnya.
“Thank you for bringing her to me,” kata
lelaki itu lalu menghilang bersamaan dengan Wulan.
Tubuhku terpaku
melihat tubuh Wulan yang mulai membiru. Di kepalaku hanya terisi bunyian yang
membuatku mendesah lega. Tak ada lagi nyanyian keparat itu. Tak akan ada lagi
ketakutan. Aku aman ... dan ... Wulan ... Aku meratap pilu melihat tubuhnya di
pangkuanku.
Cukup lama aku
terdiam dalam isak tangis yang tertahan. Bahkan suara teriakan dari seorang
wanita yang begitu kukenal tak mampu membuatku berpaling dari raga bocah itu.
Selang beberapa
waktu, suara sirene memenuhi gendang telinga. Ada beberapa orang yang
menyeretku secara paksa. Namun aku tidak takut. Harapanku menjadi nyata. Aku
tidak lagi sendirian. Ada orang lain di rumah ini. Dan aku tidak takut lagi.
TAMAT.