Sabtu, 20 April 2013

My Stark Shadows - Bab 1 -

"Kau main apa?" Aku menatap seorang anak laki-laki yang memakai kaos berlubang-lubang berwarna putih pucat dan celana pendek berwarna merah pudar.

Matanya berwarna hijau cerah, rambutnya yang berwarna gelap dan berantakan ironi dengan tubuh kecilnya tidak sesuai dengan umurnya yang 10 tahun. Dia diam saja tidak menjawab pertanyaanku. 
"Hei?" panggilku sekali lagi.

Perlahan dia mulai menatapku. Dia memandangku seolah aku bukanlah mahkluk yang berasal dari dunia ini. Kemudian dia mulai memandang sekeliling, seperti seorang anak yang sedang khawatir jika dia sedang melakukan tindakan nakal dan melarikan diri dari orang tuanya. Setelah dirasa aman, dia mulai bermain mobil-mobilannya yang sudah usang itu lagi.

Sebal rasanya tidak didengarkan olehnya, maka aku mendekat ke arahnya dan mulai bermain bersamanya walau dia sama sekali tidak berbicara dan melihat kepadaku. Aku mulai meraih sendok yang tergeletak tidak jauh dari anak laki-laki itu dan mulai mengeruk-eruk tanah dan aku mulai membangun sebuah rumah tanah. Kami berdua bermain dalam diam.

"Christin Erin Granger!" Aku terkejut dan menghentikan pembangunan rumahku dan aku juga melihat anak laki-laki itu juga tersentak dari keasyikannya bermain mobil-mobilan.

"Christin, Pulang!" Aku melihat ayah memanggilku dari balik pekarangan rumah.

"Aku datang, Ayah!" teriakku padanya. 

Aku tidak langsung bergegas, tetapi masih melihat anak laki-laki itu. 

"Aku akan kembali lagi!" janjiku kepadanya. 

Dia tidak memperhatikanku dan lebih memilih asyik bermain dengan mobil-mobilannya. Aku berlari menuju rumah. Ayah telah berdiri di pintu belakang rumah. 

Ayah adalah seorang pensiunan anggota CIA yang sangat disegani oleh anggota-anggota lain. Dia sangat tinggi, memiliki mata biru seperti milikku. Rambutnya hampir habis karena mungkin dia terlalu banyak berpikir. Aku sangat menyayanginya. Dia pun juga. Hanya aku yang dia punya. Dia melatihku seni beladiri meski usiaku masih 6 tahun. Dia mengajariku banyak hal.

Pengalamannya menjadi anggota terbaik CIA dia ceritakan kepadaku. Namun hari ini dia memelototiku. 

Oh tidak! Apa salahku? 

Aku berjalan gontai masuk ke rumah. Ayah mengikutiku dari belakang. 

"Apa yang kau lakukan bersama anak kotor itu?" teriak ayah kepadaku. 

Aku hanya diam saja. Aku tidak berani memandangnya. Aku menatap tanganku dan memainkan jari-jari. 

"Lihat ayah, Christin!" Aku terkesiap dan menatapnya. 

Aku takut tapi juga marah. Apa salahku bermain dengan anak itu? Aku kesepian. Aku membutuhkan teman dan hanya dia yang selalu ada di halaman belakang dan dia juga sendiri! Ayah melemparkan tangan ke kepala yang kini tak berambut lagi. 

"Oh, Christin, ayah sangat khawatir kepadamu. Ayah mencarimu kemana-mana dan ternyata kau bermain dengan anak itu. Christin, jangan!" Ayah terlihat gusar. Aku tidak mengerti mengapa dia begitu cemas aku bermain dengan anak itu. 

"Ayah, aku ingin seorang teman, aku kesepian," kataku lirih kepadanya dan aku tahu ucapanku ini telah menyetuh hatinya. 

Ayah menatapku dengan penuh sayang dan mulai membelai rambut coklatku yang panjang. 

"Christin sayang, kau tidak harus bermain dengannya," ayah memohon. 

Aku masih bingung dengan ucapan ayah ini. 

"Ayah, dia tidak menyakitiku. Bahkan dia sama sekali tidak berbicara denganku," ucapku kepadanya sambil mengalungkan tanganku ke lehernya. 

Ayah memelukku dengan erat kemudian perlahan melepaskanku dan menatapku dalam-dalam. 

"Benarkah dia tidak berbicara denganmu?" Ayah mengejapkan matanya kepadaku dan aku menganggukkan kepalaku dengan tulus. 

"Ayah, bolehkah aku berteman dengannya? Aku merasa kesepian ketika ayah harus pergi jauh."

Untuk anak seumurku aku harus kehilangan sesosok ibu dalam kejadian kecelakaan ketika usiaku 1 tahun. 

Ya, ayah telah menceritakan hal-hal yang tidak semua anak berusia 6 tahun dapat memahami cerita ini dari ayah. Kehilangan ibu, aksi-aksi ayahu sebagai anggota CIA, pertahanan diri, teknologi canggih, kecakapan berbicara. Ayah telah memberikanku banyak hal yang belum pernah anak berusia 6 tahun manapun pernah menerimanya. 

Ayah menatapku sekali lagi "Baiklah kalau itu maumu, tapi ayah berharap kamu dapat menjaga dirimu. Ayah selalu mengkhawatirkanmu, selalu." Ayah memejamkan matanya dan memelukku dengan erat. 

"Tenang ayah, aku akan selalu menjaga diriku baik-baik. Aku menyayangi ayah." Aku pun memelukknya erat. 

Saat ini pukul 9 malam dan aku bersama ayah pergi mengantarkanku ke tempat tidur. 

Ayah mengecup keningku. "Selamat malam, Sayang." 

"Selamat malam ayah. Aku menyayangimu," kataku lirih. 

Ayah mematikan lampu kamarku dan segera aku terlelap dalam tidurku. 


Aku melihat anak laki-laki itu, manatapku dengan perasaan ketakutan dan mengharapkan pertolonganku. Aku meraih tangannya, dia menggenggam erat tanganku. Tanpa ada kata terucap di antara kami berdua. Namun perlahan aku merasakan genggaman itu makin lama makin lemah dan anak laki-laki itu menghilang menjadi kabut. 


"Jangan pergiiii!" teriakku. 

Aku terengah-engah dan panik. Keringatku bercucuran, aku merasakan bajuku basah. Aku melihat sekelilingku dan aku sadar bahwa itu hanyalah mimpi. Aku terkejut. Aku memimpikannya. Memimpikan bocah bermata hijau itu dan aku berteriak karena aku kehilangannya. 

Apa maksud mimpi ini? Perlahan aku menenangkan diriku dan aku sama sekali tidak perlu cemas lagi bahwa aku masih berada di kamar dan sepertinya ayah tidak mendengarkan teriakanku. 

Aku melihat jam weker yang ada di meja samping tempat tidur. Jam 3 pagi! Aku mencoba kembali tidur namun aku masih memikirkan mimpiku namun akhirya aku tertidur kembali. 

Esok paginya aku bangun. Aku menggeliat masih setengah tertidur aku bangun dan melihat jam weker. 

Jam 6 pagi. Hmmm, aku bertanya-tanya apakah ayah sudah bangun? Aku mulai bangit dan menuju ke kamar mandi. Aku mencuci mataku dan mulai menggosok gigiku. Kebiasaan ini telah diajarkan oleh ayah setiap aku bangun tidur dan lagi aku selalu malu ketika aku harus berbicara padahal aku baru saja bangun tidur. Mulut yang bau selalu menghantuiku setiap kali harus diajak berbicara dan aku lebih memilih diam atau segera berlari ke kamar mandi untuk menyikat gigi. 

Udara dingin sekali di bulan November ini. Aku membuka tirai jendela dan aku tertegun. Anak itu lagi! Dia sedang asyik bermain ayunan yang dibuatkan ayah untukku. Dan dia sendiri lagi! Aku bertanya-tanya apa dia juga kesepian seperti aku? Apa dia tidak mempunyai saudara? Aku tidak pernah dia dipanggil oleh siapapun, aku tidak pernah melihatnya bersama siapapun. Aku hanya melihat bahwa dia tinggal di rumah yang sangat besar dan banyak orang laki-laki yang masuk ke rumah itu. Aku tidak tahu siapa mereka. Mungkin ayahnya? Mungkin pamannya? Atau saudaranya? Yah mungkin itu. 

Aku segera berlari menyusulnya. Menuruni tangga dengan hati-hati agar tidak membangunkan ayah. Setelah mencapai halaman belakang rumah aku masih dapat melihatnya bermain ayunan. Dia mengayunkan ayunan itu semakin lama semakin tinggi. Aku terus memperhatikannya. 

Braggghh!!! 

"Aaargghh!" teriak anak itu. 

Aku bergegas menuju ke arahnya, panik sekaligus khawatir. Aku melihatnya terkapar bersama tali ayunan yang putus di atasnya. Di merintih kesakitan. Rintihannya tidak cukup keras untuk mengalihkan perhatian orang yang lewat di jalan depan rumah. Aku segera mendekatinya namun dia justru menjauhiku. Aku mendekat lagi namun kali ini dia diam saja dan masih memegang siku tangan kanannya yang berdarah dan penuh debu. Aku memegang tangan kanannya. Awalnya dia enggan ku pegang namun akhirnya dia membiarkanku memegangnya. 

"Sakit?" tanyaku. 

Dia mengangguk kecil. Ada air mata di ujung matanya dan aku tahu pasti itu sangat sakit. 

"Tunggu sebentar!" perintahku padanya. 

Aku berlari secepat mungkin ke dapur dan mengambil kotak p3k yang sering aku gunakan untuk bermain bersama boneka-bonekaku. Aku mengambil mangkok plastik dan segera mengisinya dengan air. Aku mengambil kain handuk kecil di samping meja makan dan segera kembali ke anak itu. 

Dia masih diam di tempatnya dan masih memegang siku tangan kanannya yang berdarah. Aku bertimpuh pada kakiku dan mulai mencuci handuk kecil yang kubawa tadi dalam air dan mulai membersihkan lukanya. Dia merintih kesakitan namun dia tahan. Perlahan aku mulai meniup-niup lukanya berharap apa yang aku lakukan dapat mengurangi rasa sakit itu. 

Aku menatap mata hijau cerahnya dengan rambut hitam yang berantakan dan dia menatapku juga. Aku membuka perban dan menuangkan cairan obat luka ke sikunya dan mulai membalut lukanya. Memang tidak rapi, tapi aku harap darah pada lukanya tidak mengalir terus menerus. Dia menatapku terus. Akhirnya aku selesai mengobatinya. Dia tetap menatapku. 

"Terimakasih," ucapnya tiba-tiba. 

Aku terkejut sekaligus senang. Akhirnya dia berbicara. Dia berbicara kepadaku. 

"Sama-sama," balasku. 

Aku mengulurkan tanganku "Christin... Christin Granger." Dia menjabat tanganku namun sama sekali tidak berkata apa-apa. 

Aku sebal sekali tetapi aku senang, akhirnya dia berbicara kepadaku. Dia bangkit berdiri dan berlari kembali ke rumahnya. Aku melongo, berkata dalam hati apakah hanya terimakasih? Hei aku ingin tahu namamu mata hijau! 

Aku sedih melihatnya sama sekali tidak memandangku lagi. Harapanku memiliki sahabat seperti hilang, padahal aku berharap aku bisa tahu namanya, bermain dengannya, menghabiskan waktu dengannya. Aku membereskan handuk kecilku yang penuh noda darah dan debu dengan air yang tersisa dan memasukkan semua peralatan p3kku dalam tas. 

Aku berdiri dan melangkah pulang. Sebelum aku mulai berjalan terdengar langkah kaki berlari ke arahku dan melihatnya. 

Melihatnya kembali! 

Dia membawa sebuah boneka burung usang berwarna putih namun kumal penuh debu. Dia mengulurkan boneka itu kepadaku. Aku masih menatapnya dan beralih ke boneka itu. Aku tidak mengerti apa yang sedang dia lakukan. 

"Ambillah!" katanya. 

Aku terkejut lalu aku mengulurkan tanganku dan menerima burung itu. 

"Untuk apa ini?" tanyaku kepadanya. 

"Sebagai ungkapan terimakasihku karena kau telah menolongku," ucapnya sambil tersenyum tulus kepadaku. 

Oh, apakah dia bisa menjadi temanku sekarang? Bisakah? Harapan itu kembali ada. 

"Maukah kau berteman denganku?" ucapku tanpa pikir. 

"Tentu saja!" jawabnya riang. 

Ayah, aku punya teman sekarang!  

Hari-hari aku lalui bermain bersamanya. Berkejar-kejaran, bermain layangan, bahkan bermain boneka-bonekaku. Aku memberi nama boneka burung pemberiannya Greenty karena anak itu memiliki warna mata hijau cerah yang paling aku sukai. Dan dia menyukai nama itu. Kami sangat senang bermain bersama. Menghabiskan waktu bersama. Ayah telah menjadi jauh lebih ramah terhadap anak itu. Dan sampai sekarang aku masih belum tahu namanya. Aku tidak pernah memanggilnya karena dia selalu mengunjungiku. Dia tidak pernah menyiggung tntang namanya maka aku putuskan ku beri dia nama "CG (SiJey)" bukan dari singkatan namaku tapi dari kata Cool and Green. Anak yang memiliki mata hijau dan begitu dingin dan dia memanggilku Grangy! Nama yang tidak umum aku dengar tapi entah mengapa aku menyukainya. Sangat menyukainya. 

Salju telah memenuhi seluruh daratan. Aku dan CG bermain di halaman belakang bersama ayah. Selama aku mengenal CG aku tidak pernah sekalipun melihat keluarganya keluar dari rumah dan aku pun tidak mempermasalahkannya. Hingga suatu saat di bulan Januari di tahun berikutnya aku tidak melihatnya lagi mengunjungiku. Sudah 3 hari dia tidak mengunjungiku dan aku mulai mengkhawatirkannya. 

"Ayah, mengapa CG tidak mengunjungiku lagi?" aku bertanya kepada ayah. 

"Entahlah Christin, ayah pun mencemaskannya," jawab ayah yang juga mencemaskan CG. 

"Cobalah ayah datang ke rumahnya dan temui dia. Aku merindukannya," pintaku pada ayah. 

"Baiklah ayah akan mencoba ke rumahnya besok." Aku memeluk ayah erat-erat. 

Paginya, masih setengah bangun aku tidak langsung ke kamar mandi. Aku membuka tirai berharap CG ada di bawah pohon di tempat biasa dia menungguku untuk pergi bermain dan 4 hari ini aku tidak melihatnya lagi. Namun pagi ini aku melihatnya! Ya aku melihatnya. 

Aku segera bergegas berlari keluar rumah dan menemuinya. Terengah-engah aku menatapnya. 

"Dari mana saja kau? Aku menunggumu tapi 4 hari ini kau tidak ada!" Suaraku bergetar akibat marah, rindu, kesal bercampur menjadi satu kepadanya. 

Namun bukan penjelasan yang ku terima namun tatapan ketakutan dan linangan air mata. 

"Maukah kau menikah denganku?" tanyanya tak terduga. 

Menikah? Namun aku segera mengiyakan ajakannya.

"Ya," gumamku.

"Tunggulah aku, kau mau?" tanyanya sekali lagi. 

Tunggu?

Setelah 4 hari dia tidak muncul kemudian dia datang hari ini dan memintaku menikahinya dan kemudian meyuruhku untuk menunggunya. Ada apa ini? Terdengar ada mobil polisi berdatangan ke rumahnya banyak sekali dan ayah berlari ke arahku. Aku masih belum dapat memahami semua ini. 

"Maukah kau menungguku?" tanyanya lagi dan seperti mendesakku untuk menjawabnya segera. 

Aku mengangguk sekali lagi. “Apa kau akan pergi lagi?" tanyaku yang masih belum mengerti dirinya.  

Aku melihat mata CG berair. "Kau menangis?" CG hanya diam memandangku seperti ingin mengucapkan sesuatu sebelum seorang wanita datang menghambur bersama ayah yang menggandeng tanganku.

Wanita itu tinggi berbaju putih, berambut pirang dan berombak datang bersama polisi dan berbicara kepada ayah. Aku merasa ketakutan namun CG meraih tanganku meletakkannya didadanya. 

"Tunggu aku," pintanya dengan lirih. Aku mengangguk namun aku sama sekali tidak mengerti semua ini. Kemudian tiba-tiba ayah menggendongku melepaskan genggaman CG dan membawaku menjauhi CGku.

“Tidak ... Tidakkkk! Aku tidak mau jauh dari CG. CG!” teriakku sambil meronta-ronta dari pelukan ayah.

CG kemudian dibawa oleh wanita itu. Aku tidak tahu CG pergi kemana namun dia pergi. Pergi dengan wanita itu. 



"Tidaaakkkkkk... jangannn pergiiiiii!!!" teriakku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar