Berhenti! Berhenti
berada di pikiranku. Membatin namamu saja sudah cukup membuatku tertekan!
"Isna! Buka pintunya!" gedoran pintu bertalu. Pandanganku yang
mengabur akibat airmata dan tenagaku yang terkuras karena berlari jauh, membuatku
hanya mampu tersenyum.
Ini nyata. Itu Aquila.
Hanya saja dia bukan Aquilaku.
Mataku terbuka pelan.
Kudapati sebuah ruang gelap dan posisiku terikat pada sebuah kursi dengan mulut
tersumpal. "Selamat datang, Isna. Selamat datang di dunia yang penuh
dengan ketidak-adilan." sebuah suara maskulin bergaung dari pengeras suara
yang ada di atas pintu.
Mataku berputar cepat dan tiba-tiba menjadi was-was.
Kusaksikan di hadapanku sebuah cermin persegi panjang berukuran besar. Dan saat
itu juga sebuah pantulan lain terbentuk dari cermin itu dan aku melihat...
Aquila?
Aquilaaaa! Batinku
menjerit berusaha memanggilnya namun percuma. Teriakanku tidak akan pernah
terdengar olehnya karena mulutku tersumpal. Aquila terlihat kacau dengan
tuksedo hitamnya. Matanya sendu, rambutnya kusut, dan dia meski masih terlihat
menawan, tapi ekspresinya datar.
Aquila... Aquilaku! Jeritku lagi.
"Kenapa kau tidak
datang?" Aku mendengar suaramu yang menceracau.
Apakah kau mabuk, Aquila?
Siapa yang kau maksud tidak—
Kesadaran memenuhi
setiap sudut saraf memoriku. Hari ini adalah ulang tahun Aquilaku. Dan dia
memintaku untuk datang ke acara ulang tahunnya. Ya Tuhan! Dan sekarang aku
malah terjebak di sini! Aku meronta sekuat tenaga melepaskan jeratan yang
membatasiku tapi sia-sia.
Aquila! Aku di sini!
Tanganku ngilu dan aku meyakini luka lecet dan lebam pasti sudah mengukir indah
di pergelangan tanganku. Tapi aku tidak peduli! Aku ingin bebas dan berlari
menuju Aquila.
Sebuah ketukan lembut
terdengar di pintu lain. Aku melihat kau duduk telentang pada sebuah sofa empuk
berwarna putih gading. Matamu terpejam namun sedetik yang lalu aku mendengar
kau mengiyakan ketukan itu.
Seorang wanita muda
berparas ayu, dandanan glamor dengan lingerie berwarna hijau dan hitam
membungkus payudaranya yang sintal. Batinku menjerit saat matamu membuka,
menatap awas pada wanita itu. Aquila, pergi!
"Bolehkah—"
sebelum wanita itu berucap, kau berlari ke arahnya dan dengan kasar, kau
memagut bibir merah wanita itu.
Aquila... Sebulir
airmata menuruni lekuk pipiku. Rasa dingin menyeruak dan sebuah bilah pisau tak
kasat mata menusuk sesuatu yang tertanam di dada kiriku. Sakit.
"Sir...." Wanita
itu mendesah, memanggilmu penuh godaan. Pagutanmu semakin keras dan tubuhmu
mendorongnya pada sebuah dinding. Hentikan! Hentikan! Aku menggeleng keras. Aku
tidak ingin melihatnya lagi!
Cukup lama kalian
saling mencumbu dengan ciuman yang membara hingga kau mengangkat tubuhnya,
melingkarkan kaki wanita itu pada pinggangmu dan membawa ke tempat tidur besar
tak jauh dari sofa. Kau menindihnya. Erangan nikmat keluar dari mulut wanita
itu. Wajahmu tak kelihatan. Kau terlalu sibuk menikmati bibir, hidung, dan
sekarang kau menciumi lehernya dengan liar. Tanganmu menjelajah payudaranya dan
dengan cekatan, kau telah menangkup sepasang payudara indah dengan puting
kecoklatan.
Aku melihatmu, Aquila.
Sekarang aku bisa melihatmu. Wajahmu penuh hasrat namun tak satupun erangan
keluar dari mulutmu. Aku sakit. Aku sakit. Bisakah adegan ini segera berakhir?
Aku kembali pada
kesadaranku saat wanita itu menggulingkanmu dan bergantian menindihmu. Dengan
genit, wanita itu melepaskan tuksedomu. Aku tidak sanggup! Kumohon, siapa saja,
hentikan ini! Airmata sudah deras berderai dan rasa marah menyeruak di hatiku.
Kini aku melihat dua
pasang manusia tak terbalut sehelai benang. Wanita itu mulai menggodamu dengan
jilatannya yang menggoda hingga untuk pertama kalinya kau mengerang saat wanita
laknat itu mulai menghisap milikmu. Mataku terpejam dan aku tidak ingin
melihatnya lagi. Aku tidak peduli!
"Buka matamu atau
kubunuh lelaki itu!" Suara maskulin dari pengeras suara itu kembali
terdengar. Aku memaksa mataku membuka dan kini wanita itu telah beralih posisi
seperti orang merangkak dan kau tepat berada di belakangnya.
Aquila hentikan! Sebuah
kekuatan terakhir berhasil melonggarkan ikatanku dan terburu-buru aku
melepaskan ikatan yang lain, melepaskan sumpalan mulutku dan menghambur ke
pintu, menggedornya. "Buka pintunya!" teriakku di sela isak tangis
yang akhirnya terlepas.
Aquila... Bagaimana bisa
kau ... Melakukannya? Di depanku? Apa kau marah padaku? Tapi kenapa? Kenapa kau
sanggup melakukannya ... Di hadapanku?
Pintu terbuka dan aku
menemukan kedua manusia itu terkejut.
Kau menatapku. Perasaan
bersalah darimu, namun rasaku membeku. Aku berlari keluar. Ini percuma! Siapa
aku? Siapa aku di matanya? Dia terlalu indah. Dia terlalu megah untukku yang
tidak berharga.
"Isna, kumohon,
buka pintunya!" aku membuka pintu kamar mandi dan menemukanmu semakin
parah dari awal tadi aku melihatmu. Kau memelukku erat namun aku tidak
membalasnya.
Jadilah dingin, hatiku.
Jadilah dingin.
"Apa yang kau
lakukan di dalam hotel itu?" tanyamu. Terlalu sakit saat ini mendengarmu
dan aku hanya mampu memejamkan mataku tanpa menjawab apapun. Kesunyian dan rasa
dingin.
"Isna, jawab
aku!" senang dan sedih saat mendengar suaramu. Sebuah senyuman tersungging
dari bibirku hingga akhirnya tubuhku terhuyung dan aku masih mendengar
teriakanmu. Namun luka tusukan di perutku yang tidak terlihat olehmu karena
gaun hitam dan syal yang kukenakan menjauhkan kesadaranku sedikit demi sedikit.
"Maafkan aku,
Isna. Kumohon, tetap bersamaku. Bicaralah!" bunyi sirene masih memenuhi
gendang telingaku. Genggamanmu yang hangat -dulu- semakin lama mendingin hingga
akhirnya menyisakan kedukaan karena terkhianati. "Isna!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar