Jumat, 19 April 2013

Aquila, Bukan Aquilaku



Berhenti! Berhenti berada di pikiranku. Membatin namamu saja sudah cukup membuatku tertekan! "Isna! Buka pintunya!" gedoran pintu bertalu. Pandanganku yang mengabur akibat airmata dan tenagaku yang terkuras karena berlari jauh, membuatku hanya mampu tersenyum. 

Ini nyata. Itu Aquila. Hanya saja dia bukan Aquilaku. 



Mataku terbuka pelan. Kudapati sebuah ruang gelap dan posisiku terikat pada sebuah kursi dengan mulut tersumpal. "Selamat datang, Isna. Selamat datang di dunia yang penuh dengan ketidak-adilan." sebuah suara maskulin bergaung dari pengeras suara yang ada di atas pintu.

Mataku berputar cepat dan tiba-tiba menjadi was-was. Kusaksikan di hadapanku sebuah cermin persegi panjang berukuran besar. Dan saat itu juga sebuah pantulan lain terbentuk dari cermin itu dan aku melihat... Aquila? 

Aquilaaaa! Batinku menjerit berusaha memanggilnya namun percuma. Teriakanku tidak akan pernah terdengar olehnya karena mulutku tersumpal. Aquila terlihat kacau dengan tuksedo hitamnya. Matanya sendu, rambutnya kusut, dan dia meski masih terlihat menawan, tapi ekspresinya datar.

Aquila... Aquilaku! Jeritku lagi. 

"Kenapa kau tidak datang?" Aku mendengar suaramu yang menceracau.

Apakah kau mabuk, Aquila? Siapa yang kau maksud tidak— 

Kesadaran memenuhi setiap sudut saraf memoriku. Hari ini adalah ulang tahun Aquilaku. Dan dia memintaku untuk datang ke acara ulang tahunnya. Ya Tuhan! Dan sekarang aku malah terjebak di sini! Aku meronta sekuat tenaga melepaskan jeratan yang membatasiku tapi sia-sia. 

Aquila! Aku di sini! Tanganku ngilu dan aku meyakini luka lecet dan lebam pasti sudah mengukir indah di pergelangan tanganku. Tapi aku tidak peduli! Aku ingin bebas dan berlari menuju Aquila.
Sebuah ketukan lembut terdengar di pintu lain. Aku melihat kau duduk telentang pada sebuah sofa empuk berwarna putih gading. Matamu terpejam namun sedetik yang lalu aku mendengar kau mengiyakan ketukan itu. 

Seorang wanita muda berparas ayu, dandanan glamor dengan lingerie berwarna hijau dan hitam membungkus payudaranya yang sintal. Batinku menjerit saat matamu membuka, menatap awas pada wanita itu. Aquila, pergi! 

"Bolehkah—" sebelum wanita itu berucap, kau berlari ke arahnya dan dengan kasar, kau memagut bibir merah wanita itu. 

Aquila... Sebulir airmata menuruni lekuk pipiku. Rasa dingin menyeruak dan sebuah bilah pisau tak kasat mata menusuk sesuatu yang tertanam di dada kiriku. Sakit. 

"Sir...." Wanita itu mendesah, memanggilmu penuh godaan. Pagutanmu semakin keras dan tubuhmu mendorongnya pada sebuah dinding. Hentikan! Hentikan! Aku menggeleng keras. Aku tidak ingin melihatnya lagi! 

Cukup lama kalian saling mencumbu dengan ciuman yang membara hingga kau mengangkat tubuhnya, melingkarkan kaki wanita itu pada pinggangmu dan membawa ke tempat tidur besar tak jauh dari sofa. Kau menindihnya. Erangan nikmat keluar dari mulut wanita itu. Wajahmu tak kelihatan. Kau terlalu sibuk menikmati bibir, hidung, dan sekarang kau menciumi lehernya dengan liar. Tanganmu menjelajah payudaranya dan dengan cekatan, kau telah menangkup sepasang payudara indah dengan puting kecoklatan.

Aku melihatmu, Aquila. Sekarang aku bisa melihatmu. Wajahmu penuh hasrat namun tak satupun erangan keluar dari mulutmu. Aku sakit. Aku sakit. Bisakah adegan ini segera berakhir? 

Aku kembali pada kesadaranku saat wanita itu menggulingkanmu dan bergantian menindihmu. Dengan genit, wanita itu melepaskan tuksedomu. Aku tidak sanggup! Kumohon, siapa saja, hentikan ini! Airmata sudah deras berderai dan rasa marah menyeruak di hatiku. 

Kini aku melihat dua pasang manusia tak terbalut sehelai benang. Wanita itu mulai menggodamu dengan jilatannya yang menggoda hingga untuk pertama kalinya kau mengerang saat wanita laknat itu mulai menghisap milikmu. Mataku terpejam dan aku tidak ingin melihatnya lagi. Aku tidak peduli! 

"Buka matamu atau kubunuh lelaki itu!" Suara maskulin dari pengeras suara itu kembali terdengar. Aku memaksa mataku membuka dan kini wanita itu telah beralih posisi seperti orang merangkak dan kau tepat berada di belakangnya. 

Aquila hentikan! Sebuah kekuatan terakhir berhasil melonggarkan ikatanku dan terburu-buru aku melepaskan ikatan yang lain, melepaskan sumpalan mulutku dan menghambur ke pintu, menggedornya. "Buka pintunya!" teriakku di sela isak tangis yang akhirnya terlepas.

Aquila... Bagaimana bisa kau ... Melakukannya? Di depanku? Apa kau marah padaku? Tapi kenapa? Kenapa kau sanggup melakukannya ... Di hadapanku? 

Pintu terbuka dan aku menemukan kedua manusia itu terkejut.

Kau menatapku. Perasaan bersalah darimu, namun rasaku membeku. Aku berlari keluar. Ini percuma! Siapa aku? Siapa aku di matanya? Dia terlalu indah. Dia terlalu megah untukku yang tidak berharga.



"Isna, kumohon, buka pintunya!" aku membuka pintu kamar mandi dan menemukanmu semakin parah dari awal tadi aku melihatmu. Kau memelukku erat namun aku tidak membalasnya. 

Jadilah dingin, hatiku. Jadilah dingin. 

"Apa yang kau lakukan di dalam hotel itu?" tanyamu. Terlalu sakit saat ini mendengarmu dan aku hanya mampu memejamkan mataku tanpa menjawab apapun. Kesunyian dan rasa dingin. 

"Isna, jawab aku!" senang dan sedih saat mendengar suaramu. Sebuah senyuman tersungging dari bibirku hingga akhirnya tubuhku terhuyung dan aku masih mendengar teriakanmu. Namun luka tusukan di perutku yang tidak terlihat olehmu karena gaun hitam dan syal yang kukenakan menjauhkan kesadaranku sedikit demi sedikit. 

"Maafkan aku, Isna. Kumohon, tetap bersamaku. Bicaralah!" bunyi sirene masih memenuhi gendang telingaku. Genggamanmu yang hangat -dulu- semakin lama mendingin hingga akhirnya menyisakan kedukaan karena terkhianati. "Isna!" 

Aku menatap langit-langit mobil ambulan dengan kesadaran yang semakin lama berkurang hingga semua hanya terlihat putih. Semua terlambat, Aquila. Terlambat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar