“Udin!” Aku mendengar Emak
memanggilku saat pekerjaan penting sedang menuntut perhatian lebih.
“Entar, Mak!” teriakku
sembari terus berkonsentrasi. Pekerjaan ini terlalu penting melebihi seorang bodyguard menjaga seorang presiden!
Langkah kaki setengah berlari
menghampiri tempat dimana aku bekerja. “Diiin! Bantuin Emak!” Suara cempreng
emak memasuki lubang telingaku dan berhasil membuat membran timpaniku bergetar
– dan bahkan bergoyang ngebor ala Inul Dara-ngibul. “Elu ngapain sih di dalem
lama bener? Semedi? Cari wangsit?” Suara Emak tak kalah tinggi dari seriosa
manapun dan membuat pekerjaanku tertahan sejenak.
“Suruh ngapain sih,
Maaak?” tanyaku kesal sambil terus berkutat sendirian.
“Bantuin Emak nyariin
Sophie,” tukas Emak.
“Ya elah, Mak! Dia bisa
pulang sendiri ...” balasku sama-sama berteriak.
Gedoran pintu mulai
terdengar. “Kalo elu masih semedi, Emak guyur pake air!” ancam Emak. Aku
mendengus sebal karena acara paling sakralku tertunda gegara Sophie.
“Tapi ini belom kelar,
Mak,” kilahku mencari alasan.
“Buang hajat lama bener
daah! Lo buang hajat apa gali lubang?” geram Emak.
“Ya buang hajatlah, M--”
Byuurr!
Hantaman segayung air sukses mendarat di sekujur tubuhku sebelum penyerangan
mulut bersama Emak di pagi hari dimulai.
“Emaaakk!”
“Makanya cepetan,”
suara kaki Emak menjauh dari lokasi kesayanganku di pagi hari. Dengan enggan,
aku menyelesaikan acara meeting-ku di
kamar mandi tercinta dengan baju yang sudah kuyup.
Setelah terlihat tampan
dengan setelan kaos gombrong aku keluar
rumah. Belum genap jarum pendek melaju ke angka 6 pagi, aku berjalan menyusuri
lembah dan perbukitan, menyelami samudra – dan sepertinya ini kelewat
berlebihan.
“Nyi Sanak!” Teriakku
memanggil sesosok punggung wanita yang membuat ‘Togar’ di bawah sana
menggelinjang. Tubuh itu menoleh dan betapa terkejutnya diriku saat mengetahui
siapa dibalik tubuh bohai itu.
“Sapri?”
“Oi, Din!” Sapanya
dengan suara khas lelaki.
Sialan si Sapri! Untung
si Togar sudah kembali terlelap di sana.
“Itu kenapa pake baju
heboh begini?” Tanyaku menyaksikan baju berwarna merah jambu yang dikenakan
Sapri begitu ketat dan perjalanan mencari kitab suci, eh maksudnya Sophie-pun
sekali lagi tertunda.
Sapri tersenyum
kegirangan sambil berputar-putar layaknya model papan atas. “Seksi, nggak?”
suaranya mendadak berubah menjadi genit dan dengan sikap defensif aku memasang
jurus kamekameha.
“Jijik, Pri!” Aku
bergidik sedangkan Sapri hanya terkekeh.
“Lo ngapain pagi-pagi
begini udah pake baju gituan?” Aku melangkah mundur untuk menjaga jarak dari
sentuhan mautnya.
“Suka-suka, Lo sendiri
ngapain pagi-pagi gini udah keluyuran?” Suaranya kembali seperti lelaki dan aku
berjengit menahan geli.
Sapri terbatuk, “Ih,
cin ... suka godain eke deh,” suara wanita paling mengerikanpun terdengar dan
tanpa tedeng aling-aling aku memasang
jurus kaki seribu sebelum belaian Sapri menjamah lebih jauh pada tubuhku yang
kekar dan berototkan tulang ini.
Napasku terengah-engah.
Kelelahan karena menghindari Sapri kampret itu. Aku melihat ke sekeliling dan
beberapa ibu-ibu menjinjing tas belanjaan yang mungkin baru pulang dari pasar.
“Eh, Bocah!” Teriakku
pada seorang bocah lelaki yang melintasiku dengan sepeda jengki ala punk. “Lo liat Sophie?” tanyaku penuh harap. Bocah
laki-laki dengan ingus saling berlarian keluar dari lubang hidungnya berhenti,
menyetandarkan sepedanya dan menatapku hampa – dan cukup lama.
Ini
anak mudeng gak sih? Batinku berucap.
“Abang ngomong sama
saya?” Sebuah pukulan mendarat di kepalanya yang botak kinclong namun itu hanya
ada dalam imajinasiku.
Ya
iyalaaahhh .... Emang sama sapa lagi? Sama rumput yang bergoyang? Ebiet G.
Abecede dong! Aku mengutuk dalam hati.
Aku mengangguk kaku.
“Tadi sih aku liat di
sono, Bang,” katanya dengan menunjuk ke arah lapangan dengan telunjuk kanannya
sedangkan telapak tangan kirinya sibuk mengusap ingusnya yang sudah mencapai
bibir.
“Makasih,” jawabku
dingin sambil bersiap menuju lapangan.
“Bagi permen dong,
Bang!” Sebuah genggaman menahanku melanjutkan perjalanan. Aku menoleh dan
menatap horor genggaman bocah itu.
Itukan
abis dibuat lap ingus!
Aku menepis keras-keras
dan melesat pergi tanpa menyadari kubangan di depanku dan ... Lumpur sukses
berpindah dari kubangan itu menuju kaos hitam yang aku kenakan sekaligus nyeri
di pantat karena aku terpeleset.
“Sial bener hari ini!”
Aku mengumpat keras.
Eeeemmbeekk ....
Aku mendongak saat
menyaksikan Sophie tengah menyapaku di ujung lapangan sepak bola di kampungku.
“Sophieee!” Teriakku
sambil berlari dan melupakan rasa nyeri yang menyerang tubuhku. Melihat sosok
Sophie membuatku lega karena mungkin kesialanku hari ini berakhir. Sosok yang
aku cari akhirnya kutemukan. “Emak mencarimu, Phie,” kataku lembut sambil
mengusap kepalanya.
Eeemmmbbeekk ....
Aku tersenyum mendengar
balasan rasa rindu dan kelegaanku dari suara tenor Sophie, kambing gembel
kesayangan Emak.
“Ayo, pulang!” Aku
menggeret tambang yang menjulur panjang dari leher Sophie dan berjalan pulang
berdampingan bersama Sophie.
Eemmbbbeeekk ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar