Jumat, 19 April 2013

Pencarian Sophie



“Udin!” Aku mendengar Emak memanggilku saat pekerjaan penting sedang menuntut perhatian lebih.

“Entar, Mak!” teriakku sembari terus berkonsentrasi. Pekerjaan ini terlalu penting melebihi seorang bodyguard menjaga seorang presiden!

Langkah kaki setengah berlari menghampiri tempat dimana aku bekerja. “Diiin! Bantuin Emak!” Suara cempreng emak memasuki lubang telingaku dan berhasil membuat membran timpaniku bergetar – dan bahkan bergoyang ngebor ala Inul Dara-ngibul. “Elu ngapain sih di dalem lama bener? Semedi? Cari wangsit?” Suara Emak tak kalah tinggi dari seriosa manapun dan membuat pekerjaanku tertahan sejenak.

“Suruh ngapain sih, Maaak?” tanyaku kesal sambil terus berkutat sendirian.

“Bantuin Emak nyariin Sophie,” tukas Emak.

“Ya elah, Mak! Dia bisa pulang sendiri ...” balasku sama-sama berteriak.

Gedoran pintu mulai terdengar. “Kalo elu masih semedi, Emak guyur pake air!” ancam Emak. Aku mendengus sebal karena acara paling sakralku tertunda gegara Sophie.

“Tapi ini belom kelar, Mak,” kilahku mencari alasan.

“Buang hajat lama bener daah! Lo buang hajat apa gali lubang?” geram Emak.

“Ya buang hajatlah, M--”

Byuurr! Hantaman segayung air sukses mendarat di sekujur tubuhku sebelum penyerangan mulut bersama Emak di pagi hari dimulai.

“Emaaakk!”

“Makanya cepetan,” suara kaki Emak menjauh dari lokasi kesayanganku di pagi hari. Dengan enggan, aku menyelesaikan acara meeting-ku di kamar mandi tercinta dengan baju yang sudah kuyup.
Setelah terlihat tampan dengan setelan kaos gombrong aku  keluar rumah. Belum genap jarum pendek melaju ke angka 6 pagi, aku berjalan menyusuri lembah dan perbukitan, menyelami samudra – dan sepertinya ini kelewat berlebihan.

“Nyi Sanak!” Teriakku memanggil sesosok punggung wanita yang membuat ‘Togar’ di bawah sana menggelinjang. Tubuh itu menoleh dan betapa terkejutnya diriku saat mengetahui siapa dibalik tubuh bohai itu.

“Sapri?”

“Oi, Din!” Sapanya dengan suara khas lelaki. 

Sialan si Sapri! Untung si Togar sudah kembali terlelap di sana.

“Itu kenapa pake baju heboh begini?” Tanyaku menyaksikan baju berwarna merah jambu yang dikenakan Sapri begitu ketat dan perjalanan mencari kitab suci, eh maksudnya Sophie-pun sekali lagi tertunda.

Sapri tersenyum kegirangan sambil berputar-putar layaknya model papan atas. “Seksi, nggak?” suaranya mendadak berubah menjadi genit dan dengan sikap defensif aku memasang jurus kamekameha.

“Jijik, Pri!” Aku bergidik sedangkan Sapri hanya terkekeh.

“Lo ngapain pagi-pagi begini udah pake baju gituan?” Aku melangkah mundur untuk menjaga jarak dari sentuhan mautnya.

“Suka-suka, Lo sendiri ngapain pagi-pagi gini udah keluyuran?” Suaranya kembali seperti lelaki dan aku berjengit menahan geli.

Sapri terbatuk, “Ih, cin ... suka godain eke deh,” suara wanita paling mengerikanpun terdengar dan tanpa tedeng aling-aling aku memasang jurus kaki seribu sebelum belaian Sapri menjamah lebih jauh pada tubuhku yang kekar dan berototkan tulang ini.

Napasku terengah-engah. Kelelahan karena menghindari Sapri kampret itu. Aku melihat ke sekeliling dan beberapa ibu-ibu menjinjing tas belanjaan yang mungkin baru pulang dari pasar.

“Eh, Bocah!” Teriakku pada seorang bocah lelaki yang melintasiku dengan sepeda jengki ala punk. “Lo liat Sophie?” tanyaku penuh harap. Bocah laki-laki dengan ingus saling berlarian keluar dari lubang hidungnya berhenti, menyetandarkan sepedanya dan menatapku hampa – dan cukup lama.

Ini anak mudeng gak sih? Batinku berucap.

“Abang ngomong sama saya?” Sebuah pukulan mendarat di kepalanya yang botak kinclong namun itu hanya ada dalam imajinasiku.

Ya iyalaaahhh .... Emang sama sapa lagi? Sama rumput yang bergoyang? Ebiet G. Abecede dong! Aku mengutuk dalam hati.

Aku mengangguk kaku.

“Tadi sih aku liat di sono, Bang,” katanya dengan menunjuk ke arah lapangan dengan telunjuk kanannya sedangkan telapak tangan kirinya sibuk mengusap ingusnya yang sudah mencapai bibir.
“Makasih,” jawabku dingin sambil bersiap menuju lapangan.

“Bagi permen dong, Bang!” Sebuah genggaman menahanku melanjutkan perjalanan. Aku menoleh dan menatap horor genggaman bocah itu.

Itukan abis dibuat lap ingus!

Aku menepis keras-keras dan melesat pergi tanpa menyadari kubangan di depanku dan ... Lumpur sukses berpindah dari kubangan itu menuju kaos hitam yang aku kenakan sekaligus nyeri di pantat karena aku terpeleset.

“Sial bener hari ini!” Aku mengumpat keras.

Eeeemmbeekk ....

Aku mendongak saat menyaksikan Sophie tengah menyapaku di ujung lapangan sepak bola di kampungku.

“Sophieee!” Teriakku sambil berlari dan melupakan rasa nyeri yang menyerang tubuhku. Melihat sosok Sophie membuatku lega karena mungkin kesialanku hari ini berakhir. Sosok yang aku cari akhirnya kutemukan. “Emak mencarimu, Phie,” kataku lembut sambil mengusap kepalanya.

Eeemmmbbeekk ....

Aku tersenyum mendengar balasan rasa rindu dan kelegaanku dari suara tenor Sophie, kambing gembel kesayangan Emak.

“Ayo, pulang!” Aku menggeret tambang yang menjulur panjang dari leher Sophie dan berjalan pulang berdampingan bersama Sophie.
Eemmbbbeeekk ....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar