Jumat, 19 April 2013

My Stark Shadows - Prolog -



PROLOG



"Christin! Sembunyi di lemari kamarmu. Sekarang!" teriak ayah dari luar kamar. 
Aku segera berlari ke lemari di sebelah meja belajar dan bersembunyi disana. Ruang di lemari itu cukup luas untukku. Tubuhku bergetar karena takut karena teriakan ayah dan sempat mendengar desingan peluru melundur. Dalam hati untaian doa terus berkumandang untuk ayah.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa ayah memintaku bersembunyi?
Suara ledakan terdengar dari luar dan kadarnya lebih besar dari sebuah peluru yang selalu ayah tunjukkan padaku. Revolver kesayangan ayah yang selalu aku lihat dengan mata berbinar karena kagum akan kekuatannya.
Aku terlonjak kaget saat ledakan berikutnya begitu dekat dengan lokasi dimana aku bersembunyi.
Ya Tuhan, apakah ada orang jahat yang akan membunuh kami? Apa dia sudah membunuh ayah?
Aku menggeleng keras pada pikiran paling mengerikan yang baru saja terlintas dalam benakku.
Suara tembakan dimana-mana. Oh Tuhan! Lindungi ayah. Aku berdoa untuk ayah. Entah apa yang sedang terjadi di luar sana yang jelas ayah sedang berjuang menyelamatkan hidupku dan hidupnya. Aku mengutuk diriku akan ketidakbecusanku membantunya. 
Oh Tuhan! Aku mohon ... Jangan lagi ... Jangan ayah! Aku menangis membayangkan ayah. Aku tidak ingin kehilangannya. Suara tembakan dan perkelahian masih bergaung. Aku semakin khawatir dengan ayah. 
"Ayah...," ucapku lirih. 
Aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat menuju lemari. Kepanikan segera merayap ke seluruh tubuh. Aku bahkan mampu mendengar pijakanku bergetar karena kepanikan yang muncul.
Dengan keberanian yang terkumpul, aku segera bangkit dan bersiap untuk menyerang, menghadapi apapun yang akan terjadi. Saat itu tiba-tiba pintu terbuka, napasku tertahan, peluhku mulai menetes dari kening. Tanganku terkepal siap memukul siapa yang akan muncul dari balik pintu lemari. Sesaat aku melihat sosok lelaki, aku memukulkan tinjuku ke arahnya dan terkejut. 
"Christ, berhenti!" jerit ayah.
"Ayah!" aku berteriak. 
Ayah terkapar di lantai. Aku melihat sekelilingku yang sudah tidak lagi layak disebut rumah karena sebagian besar kamarku sudah hancur. Bagian pintu kamar sudah tidak ada lagi papan yang menutup, lantai bolong dan menyisakan kepulan asap tipis, barang-barang tergeletak sembarangan.
Aku membantu ayah bangkit dan memapahnya menuju tempat tidur yang masih berbentuk dari sekian banyak barang yang hancur. 
"Ayah ada apa ini? Siapa yang menyerang kita?" tanyaku penasaran pada ayah. 
Ayah masih terdiam memandangku. 
"Ayah, beritahu aku! Aku sudah 14 tahun dan aku berhak tahu!" tuntutku dengan berang pada ayah. 
"Musuh ayah sekaligus musuh berbahaya CIA, Thomas Brown. Dia mengejar-ngejar ayah. Dia tahu persis apa kelemahan ayah makanya dia tadi ada disini." Ayah menatap langit-langit. Ada kedukaan mendalam di matanya yang persis sama seperti yang aku miliki. 
Tadi? Apa dia mati? Kabur? "Tadi?" Aku mengernyitkan keningku. 
"Dia berhasil lolos sayang ... dan...,” ujar ayah terlihat ragu,  “mulai sekarang maukah kau mengikuti permohonan ayah?" pinta ayah tiba-tiba. 
"Apa yang dapat aku lakukan untukmu, Yah?" Aku mengiyakan. 
Aku melihat ada kecemasan dari raut wajahnya. 
"Kita akan pindah dari sini, tempat ini sudah tidak aman," kata ayah. 
Aku terkejut mendengar ini.
"Ayah ... tapi ... aku menyukai tempat ini ... kenangan ... Ibu ... CG ...." Aku tidak sanggup merangkai kata-kataku. 
"Ayah mengerti. Namun ini semua demi keamananmu sayang." Ayah terlihat frustasi. 
"Ayah tidak ingin kehilangan harta terakhir yang ayah miliki... ayah sangat menyayangimu Christin dan ayah takut ... takut ... jika ...." Ayah tidak sanggup melanjutkan kata-katanya dan aku mengerti. 
Aku sangat mengerti dan aku tidak lagi memprotes keputusannya. 
"Baiklah, Yah." Aku menatapnya, mengelus tangannya yang tidak lagi sehalus dulu. 
Aku membawa tanganku, merengkuh ayah. Pria ini telah membesarkan aku sendirian dan aku sangat menyayanginya. Pria yang kini tidak lagi sehebat dulu dengan kepala yang kini tidak berambut, mata birunya yang memiliki sorotan tajam sekaligus lembut padaku, raut muka ketegasan namun didalamnya tersimpan sejuta kasih sayang yang tak terukur kepadaku. Aku tidak ingin melihatnya bersedih. Aku sangat menyayanginya.
"...dan satu lagi sayang," ucap ayah tiba-tiba. "Di tempat yang baru nanti, ayah akan mengubah identitas kita. Namamu dan nama ayah juga harus berubah, semua informasi yang berkaitan tentang kita akan berubah. Ayah akan menghubungi kantor pusat CIA untuk segera mengubah identitas kita" 
APA?! 
"Ayah! Aku bersedia pindah bersama ayah, tapi mengubah identitas?" Aku menderita mendengarnya. 
Kalau seperti ini, bagaimana CG menemukanku? Aku masih berharap dia kembali dan mencariku. 
Ayah menggeleng. 
"Ini demi keselamatanmu sayang. Mengertilah ayahmu ini. Thomas adalah orang yang sangat hebat namun berbahaya. Dia mampu mencari kita sampai disini karena dia telah berhasil mendapatkan informasi. Ayah tidak ingin kehilangan lagi," ujarnya parau. Aku mengerti. 
'Kehilangan lagi' yang ayah maksud adalah ibu. 
Aku menatapnya penuh kepedulian dan sayang. 
"Baiklah." Aku begitu berat mengatakannya namun ini semua demi ayah. 
Aku tidak ingin melihatnya sangat khawatir. Aku yang akan mencarimu, CG, ucapku dalam hati. 
"Terimakasih sayang." Ayah kembali memelukku erat. "Mulai sekarang kau akan memiliki nama baru," lanjut ayah. 
"Apakah ayah sudah memilihkan nama baru untukku?" tanyaku.
"Sudah. Aku harap kau menyukainya. Namamu sekarang adalah Mary Natalie Christ. Bagaimana?" tanya ayah. 
Mary Natalie Christ? Tidak buruk. 
Nama itu indah dan masih ada namaku disitu. Aku tersenyum dan mengangguk ke arahnya.
“Bagaimana dengan ayah?” 
"Ayah bernama William Arthur Christ" lanjut ayah. 
"Keren, Yah!" Aku terkekeh mendengar nama baru yang ayah tujukan untuk dirinya. 
"Baiklah Mary, sekarang kita akan berkemas dan pindah ke Brooklyn," kata ayah. 
"Ayah," aku berkata pelan padanya. 
"Ya Mary?"
"Bolehkah jika aku dipanggil Christ?" pintaku ragu-ragu. 
Aku melihatnya mengernyitkan keningnya dan aku mengerti maksudnya karena terdengar aneh seseorang memanggil nama keluarganya dan bukan nama depannya untuk anak seumuran diriku jika aku suatu saat nanti bersekolah dan memiliki ... teman. 
"Meski namaku berubah, aku ingin dipanggil Christ ... dan itu ada pada nama baruku ... juga nama lamaku. Aku ... aku hanya ingin nama pemberian ibu masih melekat padaku... Christin ... Christ ... aku menyukainya, Yah," ucapku jujur. 
"Baiklah, Christku sayang, harta paling berharga yang ayah miliki, maukah kau segera mengemasi barang-barangmu yang tersisa? Kita akan segera pindah." 
Dia menatapku dengan senyum pedihnya. 
"Aiai, Kapten" aku membalasnya dengan senyum lebar dan dia pun tertawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar