PROLOG
"Christin!
Sembunyi di lemari kamarmu. Sekarang!" teriak ayah dari luar kamar.
Aku segera
berlari ke lemari di sebelah meja belajar dan bersembunyi disana. Ruang di
lemari itu cukup luas untukku. Tubuhku bergetar karena takut karena
teriakan ayah dan sempat mendengar desingan peluru melundur. Dalam hati untaian
doa terus berkumandang untuk ayah.
Sebenarnya apa
yang sedang terjadi? Kenapa ayah memintaku bersembunyi?
Suara ledakan
terdengar dari luar dan kadarnya lebih besar dari sebuah peluru yang selalu
ayah tunjukkan padaku. Revolver kesayangan ayah yang selalu aku lihat dengan
mata berbinar karena kagum akan kekuatannya.
Aku terlonjak
kaget saat ledakan berikutnya begitu dekat dengan lokasi dimana aku
bersembunyi.
Ya Tuhan, apakah
ada orang jahat yang akan membunuh kami? Apa dia sudah membunuh ayah?
Aku menggeleng
keras pada pikiran paling mengerikan yang baru saja terlintas dalam benakku.
Suara tembakan
dimana-mana. Oh Tuhan! Lindungi ayah. Aku berdoa untuk ayah. Entah apa yang
sedang terjadi di luar sana yang jelas ayah sedang berjuang menyelamatkan
hidupku dan hidupnya. Aku mengutuk diriku akan ketidakbecusanku membantunya.
Oh Tuhan! Aku
mohon ... Jangan lagi ... Jangan ayah! Aku menangis membayangkan ayah. Aku
tidak ingin kehilangannya. Suara tembakan dan perkelahian masih bergaung. Aku
semakin khawatir dengan ayah.
"Ayah...,"
ucapku lirih.
Aku mendengar
suara langkah kaki yang mendekat menuju lemari. Kepanikan segera merayap ke
seluruh tubuh. Aku bahkan mampu mendengar pijakanku bergetar karena kepanikan
yang muncul.
Dengan
keberanian yang terkumpul, aku segera bangkit dan bersiap untuk menyerang,
menghadapi apapun yang akan terjadi. Saat itu tiba-tiba pintu terbuka, napasku
tertahan, peluhku mulai menetes dari kening. Tanganku terkepal siap memukul
siapa yang akan muncul dari balik pintu lemari. Sesaat aku melihat sosok
lelaki, aku memukulkan tinjuku ke arahnya dan terkejut.
"Christ,
berhenti!" jerit ayah.
"Ayah!"
aku berteriak.
Ayah terkapar di
lantai. Aku melihat sekelilingku yang sudah tidak lagi layak disebut rumah
karena sebagian besar kamarku sudah hancur. Bagian pintu kamar sudah tidak ada
lagi papan yang menutup, lantai bolong dan menyisakan kepulan asap tipis,
barang-barang tergeletak sembarangan.
Aku membantu
ayah bangkit dan memapahnya menuju tempat tidur yang masih berbentuk dari
sekian banyak barang yang hancur.
"Ayah ada
apa ini? Siapa yang menyerang kita?" tanyaku penasaran pada ayah.
Ayah masih
terdiam memandangku.
"Ayah,
beritahu aku! Aku sudah 14 tahun dan aku berhak tahu!" tuntutku dengan
berang pada ayah.
"Musuh ayah
sekaligus musuh berbahaya CIA, Thomas Brown. Dia mengejar-ngejar ayah. Dia tahu
persis apa kelemahan ayah makanya dia tadi ada disini." Ayah menatap
langit-langit. Ada kedukaan mendalam di matanya yang persis sama seperti yang
aku miliki.
Tadi? Apa dia
mati? Kabur? "Tadi?" Aku mengernyitkan keningku.
"Dia
berhasil lolos sayang ... dan...,” ujar ayah terlihat ragu, “mulai sekarang maukah kau mengikuti
permohonan ayah?" pinta ayah tiba-tiba.
"Apa yang
dapat aku lakukan untukmu, Yah?" Aku mengiyakan.
Aku melihat ada
kecemasan dari raut wajahnya.
"Kita akan
pindah dari sini, tempat ini sudah tidak aman," kata ayah.
Aku terkejut
mendengar ini.
"Ayah ...
tapi ... aku menyukai tempat ini ... kenangan ... Ibu ... CG ...." Aku
tidak sanggup merangkai kata-kataku.
"Ayah
mengerti. Namun ini semua demi keamananmu sayang." Ayah terlihat
frustasi.
"Ayah tidak
ingin kehilangan harta terakhir yang ayah miliki... ayah sangat menyayangimu
Christin dan ayah takut ... takut ... jika ...." Ayah tidak sanggup
melanjutkan kata-katanya dan aku mengerti.
Aku sangat
mengerti dan aku tidak lagi memprotes keputusannya.
"Baiklah, Yah."
Aku menatapnya, mengelus tangannya yang tidak lagi sehalus dulu.
Aku membawa tanganku,
merengkuh ayah. Pria ini telah membesarkan aku sendirian dan aku sangat
menyayanginya. Pria yang kini tidak lagi sehebat dulu dengan kepala yang kini
tidak berambut, mata birunya yang memiliki sorotan tajam sekaligus lembut
padaku, raut muka ketegasan namun didalamnya tersimpan sejuta kasih sayang yang
tak terukur kepadaku. Aku tidak ingin melihatnya bersedih. Aku sangat
menyayanginya.
"...dan
satu lagi sayang," ucap ayah tiba-tiba. "Di tempat yang baru
nanti, ayah akan mengubah identitas kita. Namamu dan nama ayah juga harus
berubah, semua informasi yang berkaitan tentang kita akan berubah. Ayah akan
menghubungi kantor pusat CIA untuk segera mengubah identitas kita"
APA?!
"Ayah! Aku
bersedia pindah bersama ayah, tapi mengubah identitas?" Aku menderita
mendengarnya.
Kalau seperti
ini, bagaimana CG menemukanku? Aku masih berharap dia kembali dan
mencariku.
Ayah
menggeleng.
"Ini demi
keselamatanmu sayang. Mengertilah ayahmu ini. Thomas adalah orang yang sangat
hebat namun berbahaya. Dia mampu mencari kita sampai disini karena dia telah
berhasil mendapatkan informasi. Ayah tidak ingin kehilangan lagi," ujarnya
parau. Aku mengerti.
'Kehilangan
lagi' yang ayah maksud adalah ibu.
Aku menatapnya
penuh kepedulian dan sayang.
"Baiklah."
Aku begitu berat mengatakannya namun ini semua demi ayah.
Aku tidak ingin
melihatnya sangat khawatir. Aku yang akan mencarimu, CG, ucapku dalam
hati.
"Terimakasih
sayang." Ayah kembali memelukku erat. "Mulai sekarang kau akan
memiliki nama baru," lanjut ayah.
"Apakah
ayah sudah memilihkan nama baru untukku?" tanyaku.
"Sudah. Aku
harap kau menyukainya. Namamu sekarang adalah Mary Natalie Christ.
Bagaimana?" tanya ayah.
Mary Natalie
Christ? Tidak buruk.
Nama itu indah
dan masih ada namaku disitu. Aku tersenyum dan mengangguk ke arahnya.
“Bagaimana
dengan ayah?”
"Ayah
bernama William Arthur Christ" lanjut ayah.
"Keren,
Yah!" Aku terkekeh mendengar nama baru yang ayah tujukan untuk dirinya.
"Baiklah
Mary, sekarang kita akan berkemas dan pindah ke Brooklyn," kata ayah.
"Ayah,"
aku berkata pelan padanya.
"Ya
Mary?"
"Bolehkah
jika aku dipanggil Christ?" pintaku ragu-ragu.
Aku melihatnya
mengernyitkan keningnya dan aku mengerti maksudnya karena terdengar aneh
seseorang memanggil nama keluarganya dan bukan nama depannya untuk anak
seumuran diriku jika aku suatu saat nanti bersekolah dan memiliki ... teman.
"Meski
namaku berubah, aku ingin dipanggil Christ ... dan itu ada pada nama baruku ...
juga nama lamaku. Aku ... aku hanya ingin nama pemberian ibu masih melekat
padaku... Christin ... Christ ... aku menyukainya, Yah," ucapku
jujur.
"Baiklah,
Christku sayang, harta paling berharga yang ayah miliki, maukah kau segera
mengemasi barang-barangmu yang tersisa? Kita akan segera pindah."
Dia menatapku
dengan senyum pedihnya.
"Aiai,
Kapten" aku membalasnya dengan senyum lebar dan dia pun tertawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar