*Cerpen ini pernah diikutkan dalam : Lomba Cipta Cerpen
Valentine Story Club 2013
Pesta
valentine yang hingar bingar akan segera dimulai malam itu. Toby dan pasangan
kencannya Alice berjalan memasuki ruangan aula yang telah dihias dengan lampu
penerangan seperti diskotik yang memusingkan. Alunan musik yang tidak begitu
keras mengisi kemeriahan pesta di sebuah rumah besar bergaya Georgia.
Toby
menggamit pinggang Alice dan membawanya menuju ke sebuah sudut ruangan yang di
situ terdapat kursi kosong. Dengan gagah, Toby menarik salah satu kursi dan
mempersilakan Alice untuk duduk.
“Kau
tahu aku tidak menyukai pesta!” Wajah Alice menekuk.
“Kau
berjanji padaku untuk ikut, kan?” bujuk
Toby.
Alice
menggeleng kepalanya dan menghentikan seorang lelaki yang sedang membawa nampan
berisi minuman. Si lelaki itu dengan sigap memberikan segelas minuman dan
dengan cepat Alice menenggak minuman itu sampai habis. “Aku tidak menyukai
keramaian!” Alice menggeram.
“Aku
tahu itu dengan sangat baik.” Tukas Toby lembut. Wajahnya tegas seperti batu
granit bertolak belakang saat dia berhadapan dengan gadisnya, Alice, yang
sekarang begitu cantik. Balutan gaun malam berwarna kuning salem, rambut bergelombang
yang tergerai berwarna coklat dan perona wajah yang tidak mencolok membuat
wajahnya semakin bercahaya. Toby selalu menyukai Alice yang seperti itu. Alice
yang apa adanya.
“Lalu
mengapa kau mengajakku kemari?” tanya Alice semakin kesal. Tobias hanya
tersenyum menahan geli melihat tingkah kekasihnya yang polos itu.
“Toby!”
bentak Alice karena melihat Toby menatapnya dengan senyum mencurigakan.
Toby
bangkit dari kursinya, menggeretnya mendekati Alice dan kembali duduk. Matanya
menatap Alice dengan serius karena dia tahu hanya ini satu-satunya cara
meredakan kekesalan pacarnya itu.
Benar
saja, Alice merona saat tatapan Toby sama sekali tidak terbaca dan lurus menatap
manik matanya seakan menelanjangi apapun yang ada di dalamnya.
“Kau
membuatku—”
“Ssshh!”
sela Toby dan tetap diam tanpa melepas pandangannya dari Alice.
“Baiklah
kau menang!” Alice tertunduk karena dia merasa suhu tubuhnya meningkat akibat
perlakuan Toby. Tepat seperti dugaan Toby. Gadisnya terlalu mudah untuk digoda
dan hanya dia yang mampu menggoda Alice.
“Dansa?”
ajak Toby seraya bangkit dari duduknya.
“Tidak.
Aku—” Toby melihat Alice menggigit bibir bawahnya.
Toby
melengkungkan tubuhnya dan mengamati wajah gadisnya begitu dekat. “Kau
menikmatinya?” Tanya Toby dibalik seringai bibirnya yang tajam.
“Apa?”
sahut Alice terkejut.
“Bibirmu...,”
Toby menjawab.
“Jangan,
Tobias Smith!” Alice memperingati. Tobias menyeringai penuh kemenangan saat
Alice turut bangkit dan memasukkan lengannya ke lengan Toby.
Mereka
berjalan menuju lantai dansa. Toby sedikit menyentakkan tubuh Alice ke depan
dan menariknya kembali ke dalam dekapannya. Dengan lembut, Toby mengalungkan
tangan Alice ke lehernya sedangkan tangannya sendiri memeluk erat pinggang
kecil Alice.
“Apa
kau tahu bahwa Cleopatra hidup kembali?” Kening Toby dan Alice saling menempel.
“Benarkah?”
Toby
mengangguk pelan dan senyuman menawan terbentuk di bibirnya. “Alicia Cleopatra
Parker.” Tangan kanannya kini telah
berpindah menuju dagu Alice. Alice mampu merasakan elusan lembut ibu jari Toby.
“Sejak
kapan namaku berubah?” Alice mengerucutkan mulutnya dan berpura-pura marah.
“Sejak
kau membuatku tidak bisa tidur. Saat kau membuat semua orang yang ada di dunia
ini menghilang dan hanya ada ada dirimu. Saat kau membuat hari-hariku menjadi
hitam dan putih bukan lagi abu-abu.” Ini adalah ungkapan paling panjang kedua
yang pernah Alice dengar dari mulut paling tertutup di seluruh belahan bumi
yang pernah Alice kunjungi. Lelaki yang telah mengusik hidupnya jauh di saat
Alice menyadari bahwa lelaki paling dingin, paling kejam dan paling menakutkan
telah menandainya sebagai wanitanya.
“Apa yang kau
inginkan?” Suara amarah keluar dari mulut seorang gadis yang selama ini dianggap
perempuan lemah dan jarang sekali berbicara. Wanita itu bahkan bukan termasuk dalam
kawanan top di universitasnya. Dia juga bukan gerombolan kutu buku yang
membebani punggungnya dengan tas punggung super besar ditambah tas jinjing yang
tak kalah beratnya.
“Tidak ada,” kata Toby
datar dan menarik kasar tangan Alice untuk keluar dan menjauh dari zona
kasak-kusuk mahasiswa yang menyaksikan adegan gratis si Dingin-Kejam Tobias
Smith dan si Tak Dikenal Alicia Parker.
Hiruk pikuk orang-orang
melihat adegan tarik menarik Toby dan Alice mulai berkurang saat mata tajam
elang Toby menyisir semua orang yang melihat mereka.
“Alice!” Teriakan keras
menghentikan laju Toby dan Alice.
“Harry, tolong aku!” teriak
Alice. Tangannya meronta-ronta berusaha melepas cengkraman Toby yang mengetat.
“Jangan macam-macam,
Bagman!” ujar Toby dingin dan penuh ancaman.
“Kau menyakitinya,
Smith!” balas Harry sama sengitnya. Tatapan mematikan saling terlempar dan
Alice bergidik melihat temannya, Harry, ternyata memiliki sisi menakutkan.
“Kau berani denganku?”
Intonasi suara Toby tidak berubah dari kadar mengerikan. Mata para penonton
bergulir saat Toby dan Harry hanya melempar pandangan yang sanggup membunuh
siapapun.
“Kau monster!” Alice
berucap. Ekspresi Toby menjadi lebih datar namun justru semakin terlihat kejam.
Beberapa mahasiswa lain memilih meninggalkan pergelutan itu agar tidak terkena
sasaran.
“Begitu?” Kepala Toby
miring ke samping, menatap Alice tanpa ekspresi.
“Kau ancaman bagi semua
orang. Kekuasaanmu menakuti orang-orang! Kau kira kau pantas memperlakukan
mereka seperti itu? Memperlakukanku seperti ini? Apa aku memiliki masalah
denganmu? Lepaskan aku!” teriak Alice yang telah berhasil mengumpulkan segenap
kekuatannya untuk meluapkan segala emosi yang dia tahan. Dia tidak ingin
diperlakukan seperti hewan oleh si Dingin-Kejam Toby. Tidak! Dia tidak ingin
menjadi salah satu permainan lelaki itu.
“Kau tidak mendengarku
Smith? Apa perlu aku menggunakan bahasa hewan agar kau mengerti?” cibir Alice.
“Kalian semua pergi
jika tidak ingin menyesal!” Toby berkoar tanpa mengalihkan pandangannya dari
satu-satunya wanita yang berani menghinanya.
“Apa kau tidak ingin
pergi Bagman?” kata Toby kelewat tenang setenang gunung api yang tertidur namun
lava yang meleburkan siap membumihanguskan apapun yang menghalangi jalannya.
“Kau
mempesona malam ini, Al!” ucap Toby. Telunjuknya terasa gatal saat melihat
beberapa helai rambut Alice keluar dari daun telinga indah gadis itu. Dia
membawa telunjuknya dan membenarkan helaian-helaian itu dengan menyelipkannya
di balik daun telinga Alice.
“Kau
juga terlihat begitu tampan!” desah Alice. Bibir Toby mendekat dan dia mampu
merasakan jantung Alice berdetak lebih cepat dan membuat Alice merona sekaligus
menginginkan. Kedua hidung mereka menempel.
“Aku memang monster.
Dan Bagman, tolong tinggalkan kami berdua. Aku berjanji aku akan
mengembalikannya padamu dan tidak akan aku menyentuhnya. Aku hanya perlu ...
bicara padanya.” Sejenak Harry memandang Alice dan Alice mengangguk.
“Jika kau menyakitinya,
kau akan menyesal!” Harry meninggalkan mereka.
“Kau tidak takut pada
monster ini?” tantang Toby. Suara dinginnya tidak berubah.
“Apa yang harus aku
takutkan dengan monster sepertimu?” Mata Alice menyipit.
Dingin dan tak ada
ampun melingkupi suasana sepi mereka.
“Cepat selesaikan
urusanmu!” sambung Alice sinis.
Toby menatap Alice
menembus iris matanya yang berwarna hijau cerah. “Jadilah kekasihku!” ucap Toby
tanpa babibu.
Kedua alis Alice saling
bertaut membentuk kerut di antara selanya. Terlalu terkejut mendengar ocehan
Toby yang baru saja terlontar dari mulutnya yang tidak pernah mengeluarkan kata
manis.
Inikah maksud dari
ungkapan tidak biasa Toby? Pernyataan.... cinta? Dia pasti bercanda!
Alice memperhatikan
raut Toby yang tidak berubah. Pandangannya fokus dan intensitas kedipannya
stabil namun Alice merasakan getaran pada pegangan Toby yang tidak lagi sama
seperti tadi – yang cenderung menyakiti.
Alice menelisik mata
Toby mencari celah bahwa dia sedang mempermainkannya sama seperti wanita-wanita
lain. Mata biru Toby masih sama beningnya dengan air di lautan pasifik yang
teduh.
Semua terdengar konyol!
Alice menahan tawa yang menggelegak dalam tenggorokannya dan menuntut untuk
dilepaskan namun sorot mata Toby mengisyaratkan keseriusan.
Lelaki ini gila!
“Aku
gila karenamu, Al!”
“Kau
milikku, Al!” timpal Toby tegas.
“Al, aku menunggu
jawabanmu.”
“Kau hanya
mempermainkanku, kan? Kau sedang dalam taruhan, kan?” Suara sarkatis Alice
lebih menyentuh garis ejekan.
“Kau menemukan
kebohongan di mataku?” Toby kembali menantang dan Alice tidak mampu menemukan
setitikpun kebohongan dari mata Toby atau mungkin Toby terlalu ahli dalam
menyembunyikan kebohongan.
“Kau konyol! Mana
mungkin kau memintaku menjadi kekasihmu secara tiba-tiba. Apa kau melakukan
pendekatan padaku sebelumnya? Tidak! Maka aku menyimpulkan bahwa matamu sudah
terlatih untuk berbohong!”
“Apa kau terlalu membenciku sehingga kau
memandang rendah orang sepertiku?” Toby mendekati Alice namun Alice mundur
memasang sikap defensif.
“Al, bisakah kau
memberiku alasan mengapa kau bersikap seperti ini... padaku? Mengapa kau bisa
begitu baik pada Harry tapi tidak padaku?” tanya Toby yang sekarang sudah
berdiri 10 senti di hadapan Alice.
Kau kejam! Kau melukai
hati banyak wanita, kau memukuli setiap orang yang tidak kau sukai. Batin Alice
berucap.
“Apa karena aku
memperlakukan orang lain dengan tidak baik?” tebak Toby. “Apa itu begitu
membuatmu tidak menyukaiku?” Suara Toby perlahan berubah menjadi orang yang
tengah menghadapi pengakuan dosa.
Alice mengangguk pelan.
“Tidakkah kau ingin
mengetahui alasannya?” Pertanyaan Toby memberi Alice perhatian.
Toby memandang Alice
yang masih belum mengucapkan sepatah katapun dan ini menyakitinya. Dia memang
telah melakukan kesalahan dengan berlaku kasar pada setiap orang yang
mengganggunya, dia suka menantang siapa saja yang berani mengusik
ketenangannya. Dia suka menggoda para wanita dan jatuh ke dalam pelukannya agar
dia mendapatkan apa yang dia butuhkan!
“Kau
berbeda, Al! Ketidakpedulianmu padaku! Pada orang paling brengsek di kampus
ini. Tingkahmu yang membuatku iri pada Harry dan sikap sinismu tidak aku
dapatkan dari siapapun! Dan saat aku harus menyentuhmu...” Suara Toby tercekat. Ini adalah ungkapan
pertama paling panjang yang Alice dengarkan dari mulut Toby yang pendiam.
“Kau
tahu aku adalah milikmu, By,” balas Alice. Jemari Alice memainkan rambut hitam
Toby yang mencuat berantakan.
“Dan
kau adalah milikku,” sambung Toby. Kaki Alice berjinjit berusaha menggapai hal
paling dia inginkan saat itu dan bibirnya akhirnya memperoleh apa yang dia
ingin raih yaitu bibir Toby dan mengecupnya lembut.
“Al, apakah kau
bersedia menjadi kekasihku?” tanya Toby lagi berbisik dekat dengan telinga
Alice.
“Aku akan menjawabnya
saat pesta valentine nanti.” Alice akhirnya menjawab.
“Begitu?”
Bulan
purnama di tengah malam yang sudah menggelayut di langit semakin menerangi
kediaman mewah Georgia milik keluarga Smith. Pesta meriah dengan tamu-tamu
bercanda dan Toby telah menikmati malam valentine bersama Alice yang telah
menerimanya menjadi kekasihnya.
“Al,
mau menemaniku keluar?” pinta Toby lembut di telinga Alice.
“Tentu,”
jawab Alice. Sikap Toby begitu berbeda saat dia menjadi sosok Toby si
Dingin-Kejam. Dia begitu manis dan selama Alice mulai memperhatikannya, Toby
adalah sosok yang baik. Dia tidak akan mengganggu jika tidak ada yang memulai
dengannya.
Kedua
insan itu berjalan menyusuri taman belakang rumah. Hampir jam 12 malam saat
itu.
“Aku
khawatir nyonya Parker mencarimu, Al.” Toby menggandeng tangan Alice dan tidak
ingin sedetikpun melepaskannya.
“Aku
sudah mengatakan pada ibu bahwa aku pergi ke rumahmu,” jawab Alice riang.
Mereka
tiba di sebuah bangku kayu yang memiliki sandaran berbentuk ukiran rumit. Angin
malam berhembus dan mereka memutuskan untuk berhenti sejenak. Alice
menyandarkan kepalanya pada dada Toby yang bidang.
“Apa
kau mendengar detak jantungku?” tanya Toby. Tangannya mengelus punggung Alice.
“Ya....”
“Kau
bohong, Al.” Seringai kembali terbentuk di bibir Toby.
“Apa
peduliku?” jawab Alice spontan.
“Aku
menyukaimu yang tidak peduli, Al!” Toby terkekeh.
“Kau
lihat purnama itu? Kebetulan sekali tepat hari valentine,” ujar Toby. Alice
semakin mempererat tubuhnya dalam dekapan Toby. Ia ingin merasakan kehangatan
tubuh Toby yang terbungkus jas hitam yang tebal dan membuat Toby semakin
terlihat rupawan.
“Indah
sekali,” kata Alice.
“Ya,
Indah namun tidak saat ini!” ucap Toby yang membuat Alice berkerenyit.
Alice
merasakan tubuh Toby mulai menegang.
“Toby?
Kau baik-baik saja?” tanya Alice yang tampak kebingungan dan mulai khawatir.
“Aku
hanya kedinginan,” jawab Toby. Tangan Toby membawa wajah Alice menuju arah
pandangannya.
Toby
menghembuskan napasnya yang kelewat dibuat-buat dan terasa menyesakkan.
“Aku
pernah mengatakan padamu bahwa kau berbeda, kan?”
Alice
mengangguk dan kembali mengingat memori saat Toby memintanya untuk menjadi
kekasihnya.
“Aku
bisa membaca pikiranmu saat itu. Saat kau ragu menerimaku. Kau pasti berpikir
bahwa aku adalah seorang playboy. Aku
mempermainkan mereka untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Betulkah
tebakanku?”
Alice
mendengus saat mendengar penjelasan Toby. “Kau benar, Tobias Smith!” ujar
Alice.
“Kau
memang berbeda, Al. Namun apa yang aku butuhkan tetaplah sama!” Tiba-tiba
tangan Toby yang memegang dagu Alice mengetat dan menyakitkan. Wajah Toby
berubah suram dan beberapa otot kebiruan menonjol di kening dan pipinya.
Matanya menggelap tidak hanya area iris tetapi seluruhnya. Dan sepasang taring
atasnya memanjang. Alice menjerit sekuat-kuatnya namun gigi Toby telah berakhir
pada leher Alice dan darah dari dalam tubuh wanita itu telah habis tersedot
oleh jiwa Toby yang terkutuk yang harus mendapatkan darah saat bulan purnama
tiba dan saat ini wanita bernama Alice telah menjadi korban ‘berbeda’ Toby
namun wanita itu memiliki hal yang menjadi kebutuhan Toby untuk tetap
mempertahankan eksistensinya di dunia. Darah.
“Happy Valentine, Al!” Senyum iblis Toby tidak akan pernah dipandang
oleh wajah Alice yang telah berubah menjadi mayat. Alice yang buta. Alice yang
terbuai oleh kebohongan yang tersusun rapi oleh iblis Toby.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar