Jumat, 19 April 2013

Hening.

"Kau ingin makan sesuatu?"

Lelaki yang ada di hadapanku, yang sedang duduk sambil menatap fokus pada lembaran kertas bertuliskan reaksi-reaksi kimia dan bahasa obat-obatan lainnya, sama sekali tidak menjawabku.

"Ethan!"

Dengan malas, lelaki itu mendongak, memberi tatapan layu dan mengangguk sekali lalu kembali membaca kumpulan kertas itu.

"Kau ingin makan apa?"

Hening...

"Et-han," ucapku mulai terdengar putus asa. Ingin rasanya mengeplak kepalanya yang ditutupi rambut blonde itu dengan panci penggorengan yang ada di dapur.

Bunyi kertas yang dibolak-balik mengisi keheningan diantara kami. Ethan masih berkutat pada kertas itu dengan ekspresi datar.

Sesak rasanya jika diacuhkan seperti ini. Lelaki itu benar-benar menyebalkan!

"Aku akan memasak ayam panggang untuk makan malam kita,"

Hening...

Apa aku ini sedang hidup di kuburan? Cukup sabar aku menghadapinya selama seminggu ini. Pria pendiam yang membuatku menelan ludah berkali-kali karena ketampanannya tapi juga mengumpat sesering mungkin karena sepertinya aku hidup bersama orang bisu ...dan tuli!

Sepertinya memang aku harus lebih bersabar padanya. Aku mendesah berat lalu berpaling menuju dapur dengan perasaan dongkol.

Bunyi pisau yang memotong seledri mengisi keheningan yang selalu menjadi ciri khas rumah ini. Ah, maksudku rumah Ethan. Seandainya saja Ethan tahu bahwa kelakuannya membuatku tertekan, aku frustasi dengan sikap diamnya. Apa aku ini dia anggap batu nisan? Alat pendengar yang menghubungkan telingaku dengan pemutar musik I-pod memperdengarkan lagu kesukaanku, seize the day.

Saat mencapai refren, aku bernyanyi keras, berharap keheningan rumah ini pudar meski hanya aku yang memenuhinya. Memenuhi keheningan ini dengan teriakanku. Toh, tidak akan ada yang mendengar mengingat Ethan memiliki kondominium kelewat besar, mewah, dan yang terpenting -dan sepertinya dia menyukainya- adalah jauh dari kebisingan.

Aku tidak peduli dia terganggu. Aku malah bersyukur dia terganggu dan setidaknya cap 'kuburan' di rumah ini luruh karena ocehan dan teriakanku.

Aku memasukkan beberapa rempah ke dalam panci yang berisi air yang sudah mendidih. "Sabar Lave, sabar...." aku mengelus dada dan kembali berkutat pada bawang bombay dan lagi bernyanyi lagu berikutnya.

"Seize the day or die regretting the time you lo--," suaraku berhenti dan berganti kekagetan luar biasa saat sebuah tangan menepuk bahuku.

Terkejut? Jelas! Pertama kali aku merasa hidup bersama mahkluk hidup lain.

Aku menoleh dan menemukan Ethan menatapku datar. Tanpa babibu, Ethan menggeser tubuhku dan merebut pisau yang kugenggam. Dalam diam, Ethan mulai mengiris bawang bombay dan beberapa lainnya.

Keterkejutanku belum berakhir saat Ethan membuka mulutnya dan bibirnya meliuk-liuk.

Ini benar-benar Ethan, kan?

Ethan berbalik menatapku dengan tatapan dinginnya. Hah! Apalagi sekarang? Aku masih diam dalam keterkejutanku.

Tiba-tiba saja Ethan menangkup kedua pipiku dan melepas alat pendengar yang menempel sedari tadi di telingaku.

"Kau tidak boleh pakai itu." Ethan memberi kesan bahwa dia peduli padaku. Dan itu kata-kata paling panjang yang pernah kudengar dari mulutnya yang kukira sudah karatan karena tidak pernah digunakan untuk berbicara.

"Kau ... Ethan ..., kan?" Heran? Terkejut? Pasti! Dia itu mayat! Mayat karena tidak pernah berbicara. Tapi sekarang? Ya Tuhan suaranya benar-benar indah!

"Iya."

Dia ... berbicara. Setelah aku mengenalnya selama seminggu akhirnya dia berbicara? Apa dia tidak akan mengacuhkanku lagi?

Bodoh! Waktumu bersamanya tinggal 1 minggu lagi. Maklumi saja! Sisi lain dariku memberi peringatan.

Benar. Ini semua benar. Dan terasa menyakitkan saat tahu jika hari final itu tiba. Hari dimana kami selesai menjadi pasangan pura-pura di depan orang tua Ethan yang khawatir putranya penganut homogen.

Entah sejak kapan aku mulai tertarik padanya. Sebagai perempuan kadang aku tidak mengerti rasa tertarik itu muncul. Ethan sama sekali tidak pernah berkomunikasi padaku bahkan ketika orang tuanya datang mengunjungi kami. Hanya bedanya, komunikasi yang dia tunjukkan lebih pada tingkah laku yang manja tanpa suara jika berhadapan dengan orang tuanya.

Menyebalkan? Tentu. Dan lebih menyebalkan lagi ketika tahu bahwa kepura-puraan ini malah menjebakku lebih dalam pada aura Ethan yang pendiam.

Dunia kejam, huh? Membuatku tertarik pada lelaki yang bahkan tidak berbicara padaku sama sekali?

"Et-han," panggilku saat melihatnya masih berkonsentrasi mengiris buah apel dan jeruk untuk salad.

Bunyi dehaman terdengar dan hatiku mencelos.

Dia hanya berbicara 2 kalimat dan sekarang, dia lagi-lagi diam. Aku menatap makanan yang sudah matang dan tanpa sadar tersenyum. Senyum yang teramat pilu jika definisi berlebihan yang diinginkan.

"Tolong bawakan ini ke meja. Aku akan mengambil peralatan makan kita," Ethan menatapku sejenak lalu bergegas melakukan apa yang aku pinta. Membawa ayam panggang, buah-buahan dan minuman dingin menuju ruang makan.

Aku menyerah.

Rasa searah itu menyakitkan dan lebih menyakitkan jika orang yang membuat kita merasakan rasa itu berada di dekat kita dan parahnya menganggap kita hanya angin, hanya batu nisan, hanya dengungan lebah. Aku seperti hidup seorang diri tanpa tahu apa yang akan Ethan lakukan dan apa yang sedang Ethan pikirkan.

Sebulir air mata jatuh dan aku mengusap cepat.

Aku menyerah.

Jika Ethan menginginkan keheningan, aku akan membantunya. Tinggal 1 minggu lagi maka hidupku akan kembali normal.

Iya, kan?

Ethan sudah menanti dengan manis di ruang makan. Kertas-kertas yang menjadi pasangannya tidak tampak. Di bibirnya seulas senyum tampak dan beberapa detik yang lalu hilang.

Aku mengerjap untuk memastikan senyuman tadi dan aku tahu itu mungkin hanya imajinasiku saja.

Ethan? Tersenyum? Semua hantu akan takut jika itu terjadi.

Kami makan dalam hening.

Dan inilah aku. Aku akan memulainya sesuai skenario Ethan. Hening tanpa kata. Hening tanpa ekspresi. Sama seperti yang Ethan lakukan padaku.

Tidak! Bukan balas dendam. Ini semata agar besok saat aku dan Ethan mengakhiri kepura-puraan ini, rasa ngilu pada hatiku tidak akan sesakit yang aku takutkan.

"La-ven-der?" Aku tersentak saat suara indah itu kembali bergaung. Aku menoleh pada Ethan yang sudah selesai makan dan kini menatapku dengan senyuman.

Dia ... Ethan, kan?

"Kenapa ... diam?" suaranya terdengar kaku saat berbicara.

Butuh waktu beberapa detik sebelum menyadari aku belum menjawab pertanyaannya.

"Kenapa kau juga diam?" Demi seluruh pikiran frustasiku, itulah yang ingin aku tanyakan pada Ethan sejak awal. Mengapa dia mengacuhkanku?

Ethan sejenak ragu karena aku melihat mulutnya membuka lalu menutup lagi.

Bungkam lagi, huh?

Aku yang terlalu lelah dengan sikap Ethan melambaikan bendera putih dalam imajinasiku dan berteriak dalam hati 'aku menyerah, Ethan.'

Berniat menghindari Ethan, aku bangkit dan memberesi peralatan makan yang kotor dan aku bisa menangis dalam hati sepuasnya tanpa Ethan tahu. Heh, lagi pula apa pedulinya?

"Aku ... suka ... kamu," Langkahku terhenti. Bunyi macam apa yang menggema barusan?

"Aku ... suka ... Lavender," Aku kembali menatap Ethan yang masih duduk dengan kepala menunduk.

"Aku ... Aku suka saat Lavender bicara, saat Lavender ... berteriak. Aku ... suka Lavender." Wajah Ethan memerah, "Aku diam karena..." Ethan bergerak tidak nyaman saat aku tidak bergeming dan terus memperhatikannya. "Karena aku suka Lavender. Aku suka suara Lavender dan ingin terus menikmatinya. Aku ingin menggunakan waktu 2 minggu ini untuk mendengar Lavender sepenuhnya. Karena setelah itu ... Aku mungkin tidak akan mendengar suara Lavender lagi."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar