Jumat, 19 April 2013

Behind You



“Halo? Bian?”

“Jea?” Suara di ujung terdengar terkejut.

“Apa kabarmu?” Tanyaku letih.

“Aku? Aku baik. Kau dimana, Je?” Suara Fabian itu membuat hatiku semakin terasa sakit.

“Aku? Aku seperti biasa.” Jawabku getir. Fabian adalah kekasihku yang sudah menjalin hubungan denganku selama satu tahun ini.

“Lagi?” Suaranya masih sama seperti Fabian yang aku kenal. Suara tenor yang jarang dimiliki lelaki pada umumnya. “Aku ingin bertemu denganmu, Je. Kupikir kau sakit karena sudah seminggu tidak berangkat sekolah.” Sambungnya.

Aku melihat jam tangan berbentuk bulat dengan motif hati di setiap angka yang sekarang menunjukkan pukul 5 sore. Tanpa sadar salah satu ujung mulutku terangkat dan setetes air mata mulai mengalir di lekukan pipi kanan. “Tentu.” Balasku.

“Kau baik-baik saja?” Suaranya setengah memaksaku menjawab.

“Aku baik, Bi.” Aku mencoba membuatnya tenang.

“Kau dimana sekarang?”

“Aku?” Suaraku semakin lama tertelan dan rasa sakit yang telah lama aku pendam semakin tidak tertahankan. Aku menggigit bibir bawahku menahan isakan yang mungkin akan pecah sebentar lagi.

“Jea, kau kenapa?” Suara Fabian mulai mengeras. “Katakan padaku!” Tuntutnya.

“Ya Tuhan... Sanggupkah aku mengatakan ini semua?” Batinku berucap.

“Aku ada dibelakangmu, Bi!” Lirihku dan menutup sambungan telepon itu.

Fabian menoleh cepat dan matanya membelalak saat melihatku yang berdiri di samping sebuah pohon besar di taman kota. Taman yang menjadi tempat favoritnya.

“Jea..” Ujarnya terkejut dan menatapku seolah-olah aku bukanlah Jea. Jeandra, kekasihnya.

Aku berjalan tertatih-tatih saat sebuah tangan meraihku cepat sebelum aku terjatuh. Aku menoleh padanya. “Aku baik-baik saja, Bu.” Gumamku sembari membelai lembut lengan bawah ibuku dan melepasnya.

Aku kembali memandang Fabian yang seperti mematung. Usaha besar bagiku berjalan sejauh 15 meter untuk sekadar mendekatinya, menyentuhnya dan membelainya.

“Sedikit lagi, Je!” Semangatku dalam hati.

“Hai, Bian.” Sapaku pada lelaki yang berdiri tenang namun sorot matanya memberiku sinyal akan kebingungan.

“Apa yang terjadi padamu?”

“Aku? Aku baik-baik saja mungkin hanya beberapa helai rambutku menghilang. Aku mirip tuyul ya?” Candaku berusaha mencairkan keterkejutan Fabian.

“Hentikan, Je!” Tangannya kini membelai pipiku dan aku merasakan kembali kelembutan Fabian dan belaian itu cukup menjadi obat bagiku melawan penyakit yang aku derita.

“Kau sakit?” Suara Fabian bergetar menyiratkan ketakutan. Aku memalingkan wajahku berusaha menahan sekuat tenaga genangan air yang sudah memenuhi pelupuk mataku.

“Je___” Panggil Fabian.

“Aku harus kuat! Aku harus kuat!” Aku kembali menyemangati hatiku.

“Kanker batang otak stadium 4.” Ucapku pedih dan memberanikan diri menatap manik mata Fabian yang berwarna coklat gelap.

“Apa?” Teriak Fabian. Suaranya tercekik dan air mata yang sedari tadi kutahan telah merembes keluar.

“Aku mencintai Fabian, Tuhan. Kumohon beri aku waktu.” Harapku dalam hati.

“Kenapa kau diam saja? Kenapa kau melakukan ini padaku, Je?” Ratap Fabian yang kini mendekapku dalam pelukannya. Napasnya terasa sesak dan aku tahu diapun juga menahan rasa sakit dalam hatinya.

“Aku tidak ingin kau khawatir padaku. Aku ingin kau memandangku sebagai gadis yang ceria.” Kataku di sela tangisku yang sudah pecah.

“Dengan berbohong?” Kekesalannya memuncak.

“Aku tahu aku salah maka dari itu aku mendatangimu.” Aku melepas pelukannya. Fabian membawa mataku menatap lurus padanya.

“Kau tahu aku begitu mencintaimu. Jangan pernah menyimpan ini semua sendiri! Aku akan ada di belakangmu. Aku akan menjagamu meski... Meski kau dalam keadaan sekarat sekalipun! Ingat itu Jea!” Tegasnya. Matanya merah, yah, dia menahan tangisnya. Dia ingin terlihat kuat dan akupun ingin terlihat kuat di depannya.

Aku tersenyum tulus melihat bahwa seseorang yang aku cintai membuatku merasa menjadi lebih berharga di hari-hari terakhirku. “Aku akan mengingatnya.” Ucapku dan Fabian kembali memelukku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar