“Halo?
Bian?”
“Jea?”
Suara di ujung terdengar terkejut.
“Apa
kabarmu?” Tanyaku letih.
“Aku?
Aku baik. Kau dimana, Je?” Suara Fabian itu membuat hatiku semakin terasa
sakit.
“Aku?
Aku seperti biasa.” Jawabku getir. Fabian adalah kekasihku yang sudah menjalin
hubungan denganku selama satu tahun ini.
“Lagi?”
Suaranya masih sama seperti Fabian yang aku kenal. Suara tenor yang jarang
dimiliki lelaki pada umumnya. “Aku ingin bertemu denganmu, Je. Kupikir kau
sakit karena sudah seminggu tidak berangkat sekolah.” Sambungnya.
Aku
melihat jam tangan berbentuk bulat dengan motif hati di setiap angka yang sekarang
menunjukkan pukul 5 sore. Tanpa sadar salah satu ujung mulutku terangkat dan
setetes air mata mulai mengalir di lekukan pipi kanan. “Tentu.” Balasku.
“Kau
baik-baik saja?” Suaranya setengah memaksaku menjawab.
“Aku
baik, Bi.” Aku mencoba membuatnya tenang.
“Kau
dimana sekarang?”
“Aku?”
Suaraku semakin lama tertelan dan rasa sakit yang telah lama aku pendam semakin
tidak tertahankan. Aku menggigit bibir bawahku menahan isakan yang mungkin akan
pecah sebentar lagi.
“Jea,
kau kenapa?” Suara Fabian mulai mengeras. “Katakan padaku!” Tuntutnya.
“Ya
Tuhan... Sanggupkah aku mengatakan ini semua?” Batinku berucap.
“Aku
ada dibelakangmu, Bi!” Lirihku dan menutup sambungan telepon itu.
Fabian
menoleh cepat dan matanya membelalak saat melihatku yang berdiri di samping
sebuah pohon besar di taman kota. Taman yang menjadi tempat favoritnya.
“Jea..”
Ujarnya terkejut dan menatapku seolah-olah aku bukanlah Jea. Jeandra,
kekasihnya.
Aku
berjalan tertatih-tatih saat sebuah tangan meraihku cepat sebelum aku terjatuh.
Aku menoleh padanya. “Aku baik-baik saja, Bu.” Gumamku sembari membelai lembut
lengan bawah ibuku dan melepasnya.
Aku
kembali memandang Fabian yang seperti mematung. Usaha besar bagiku berjalan
sejauh 15 meter untuk sekadar mendekatinya, menyentuhnya dan membelainya.
“Sedikit
lagi, Je!” Semangatku dalam hati.
“Hai,
Bian.” Sapaku pada lelaki yang berdiri tenang namun sorot matanya memberiku
sinyal akan kebingungan.
“Apa
yang terjadi padamu?”
“Aku?
Aku baik-baik saja mungkin hanya beberapa helai rambutku menghilang. Aku mirip
tuyul ya?” Candaku berusaha mencairkan keterkejutan Fabian.
“Hentikan,
Je!” Tangannya kini membelai pipiku dan aku merasakan kembali kelembutan Fabian
dan belaian itu cukup menjadi obat bagiku melawan penyakit yang aku derita.
“Kau
sakit?” Suara Fabian bergetar menyiratkan ketakutan. Aku memalingkan wajahku
berusaha menahan sekuat tenaga genangan air yang sudah memenuhi pelupuk mataku.
“Je___”
Panggil Fabian.
“Aku
harus kuat! Aku harus kuat!” Aku kembali menyemangati hatiku.
“Kanker
batang otak stadium 4.” Ucapku pedih dan memberanikan diri menatap manik mata
Fabian yang berwarna coklat gelap.
“Apa?”
Teriak Fabian. Suaranya tercekik dan air mata yang sedari tadi kutahan telah
merembes keluar.
“Aku
mencintai Fabian, Tuhan. Kumohon beri aku waktu.” Harapku dalam hati.
“Kenapa
kau diam saja? Kenapa kau melakukan ini padaku, Je?” Ratap Fabian yang kini
mendekapku dalam pelukannya. Napasnya terasa sesak dan aku tahu diapun juga
menahan rasa sakit dalam hatinya.
“Aku
tidak ingin kau khawatir padaku. Aku ingin kau memandangku sebagai gadis yang
ceria.” Kataku di sela tangisku yang sudah pecah.
“Dengan
berbohong?” Kekesalannya memuncak.
“Aku
tahu aku salah maka dari itu aku mendatangimu.” Aku melepas pelukannya. Fabian
membawa mataku menatap lurus padanya.
“Kau
tahu aku begitu mencintaimu. Jangan pernah menyimpan ini semua sendiri! Aku
akan ada di belakangmu. Aku akan menjagamu meski... Meski kau dalam keadaan
sekarat sekalipun! Ingat itu Jea!” Tegasnya. Matanya merah, yah, dia menahan
tangisnya. Dia ingin terlihat kuat dan akupun ingin terlihat kuat di depannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar