"Kau main apa?" Aku
menatap seorang anak laki-laki yang memakai kaos berlubang-lubang berwarna
putih pucat dan celana pendek berwarna merah pudar.
Matanya berwarna hijau cerah,
rambutnya yang berwarna gelap dan berantakan ironi dengan tubuh kecilnya tidak
sesuai dengan umurnya yang 10 tahun. Dia diam saja tidak menjawab pertanyaanku.
"Hei?" panggilku
sekali lagi.
Perlahan dia mulai menatapku.
Dia memandangku seolah aku bukanlah mahkluk yang berasal dari dunia ini.
Kemudian dia mulai memandang sekeliling, seperti seorang anak yang sedang
khawatir jika dia sedang melakukan tindakan nakal dan melarikan diri dari orang
tuanya. Setelah dirasa aman, dia mulai bermain mobil-mobilannya yang sudah
usang itu lagi.
Sebal rasanya tidak didengarkan
olehnya, maka aku mendekat ke arahnya dan mulai bermain bersamanya walau dia
sama sekali tidak berbicara dan melihat kepadaku. Aku mulai meraih sendok yang
tergeletak tidak jauh dari anak laki-laki itu dan mulai mengeruk-eruk tanah dan
aku mulai membangun sebuah rumah tanah. Kami berdua bermain dalam diam.
"Christin Erin
Granger!" Aku terkejut dan menghentikan pembangunan rumahku dan aku juga
melihat anak laki-laki itu juga tersentak dari keasyikannya bermain
mobil-mobilan.
"Christin, Pulang!" Aku
melihat ayah memanggilku dari balik pekarangan rumah.
"Aku datang, Ayah!"
teriakku padanya.
Aku tidak langsung bergegas,
tetapi masih melihat anak laki-laki itu.
"Aku akan kembali
lagi!" janjiku kepadanya.
Dia tidak memperhatikanku dan
lebih memilih asyik bermain dengan mobil-mobilannya. Aku berlari menuju rumah. Ayah
telah berdiri di pintu belakang rumah.
Ayah adalah seorang pensiunan
anggota CIA yang sangat disegani oleh anggota-anggota lain. Dia sangat tinggi,
memiliki mata biru seperti milikku. Rambutnya hampir habis karena mungkin dia
terlalu banyak berpikir. Aku sangat menyayanginya. Dia pun juga. Hanya aku yang
dia punya. Dia melatihku seni beladiri meski usiaku masih 6 tahun. Dia
mengajariku banyak hal.
Pengalamannya menjadi anggota
terbaik CIA dia ceritakan kepadaku. Namun hari ini dia memelototiku.
Oh tidak! Apa salahku?
Aku berjalan gontai masuk ke
rumah. Ayah mengikutiku dari belakang.
"Apa yang kau lakukan
bersama anak kotor itu?" teriak ayah kepadaku.
Aku hanya diam saja. Aku tidak
berani memandangnya. Aku menatap tanganku dan memainkan jari-jari.
"Lihat ayah, Christin!"
Aku terkesiap dan menatapnya.
Aku takut tapi juga marah. Apa
salahku bermain dengan anak itu? Aku kesepian. Aku membutuhkan teman dan hanya
dia yang selalu ada di halaman belakang dan dia juga sendiri! Ayah melemparkan
tangan ke kepala yang kini tak berambut lagi.
"Oh, Christin, ayah sangat
khawatir kepadamu. Ayah mencarimu kemana-mana dan ternyata kau bermain dengan
anak itu. Christin, jangan!" Ayah terlihat gusar. Aku tidak mengerti
mengapa dia begitu cemas aku bermain dengan anak itu.
"Ayah, aku ingin seorang
teman, aku kesepian," kataku lirih kepadanya dan aku tahu ucapanku ini
telah menyetuh hatinya.
Ayah menatapku dengan penuh sayang
dan mulai membelai rambut coklatku yang panjang.
"Christin sayang, kau tidak
harus bermain dengannya," ayah memohon.
Aku masih bingung dengan ucapan
ayah ini.
"Ayah, dia tidak
menyakitiku. Bahkan dia sama sekali tidak berbicara denganku," ucapku
kepadanya sambil mengalungkan tanganku ke lehernya.
Ayah memelukku dengan erat
kemudian perlahan melepaskanku dan menatapku dalam-dalam.
"Benarkah dia tidak
berbicara denganmu?" Ayah mengejapkan matanya kepadaku dan aku
menganggukkan kepalaku dengan tulus.
"Ayah, bolehkah aku
berteman dengannya? Aku merasa kesepian ketika ayah harus pergi jauh."
Untuk anak seumurku aku harus
kehilangan sesosok ibu dalam kejadian kecelakaan ketika usiaku 1 tahun.
Ya, ayah telah menceritakan
hal-hal yang tidak semua anak berusia 6 tahun dapat memahami cerita ini dari ayah.
Kehilangan ibu, aksi-aksi ayahu sebagai anggota CIA, pertahanan diri, teknologi
canggih, kecakapan berbicara. Ayah telah memberikanku banyak hal yang belum
pernah anak berusia 6 tahun manapun pernah menerimanya.
Ayah menatapku sekali lagi
"Baiklah kalau itu maumu, tapi ayah berharap kamu dapat menjaga dirimu.
Ayah selalu mengkhawatirkanmu, selalu." Ayah memejamkan matanya dan
memelukku dengan erat.
"Tenang ayah, aku akan
selalu menjaga diriku baik-baik. Aku menyayangi ayah." Aku pun memelukknya
erat.
Saat ini pukul 9 malam dan aku
bersama ayah pergi mengantarkanku ke tempat tidur.
Ayah mengecup keningku. "Selamat
malam, Sayang."
"Selamat malam ayah. Aku
menyayangimu," kataku lirih.
Ayah mematikan lampu kamarku dan
segera aku terlelap dalam tidurku.
Aku melihat anak laki-laki itu,
manatapku dengan perasaan ketakutan dan mengharapkan pertolonganku. Aku meraih
tangannya, dia menggenggam erat tanganku. Tanpa ada kata terucap di antara kami
berdua. Namun perlahan aku merasakan genggaman itu makin lama makin lemah dan
anak laki-laki itu menghilang menjadi kabut.
"Jangan pergiiii!"
teriakku.
Aku terengah-engah dan panik.
Keringatku bercucuran, aku merasakan bajuku basah. Aku melihat sekelilingku dan
aku sadar bahwa itu hanyalah mimpi. Aku terkejut. Aku memimpikannya. Memimpikan
bocah bermata hijau itu dan aku berteriak karena aku kehilangannya.
Apa maksud mimpi ini? Perlahan
aku menenangkan diriku dan aku sama sekali tidak perlu cemas lagi bahwa aku
masih berada di kamar dan sepertinya ayah tidak mendengarkan teriakanku.
Aku melihat jam weker yang ada
di meja samping tempat tidur. Jam 3 pagi! Aku mencoba kembali tidur namun aku
masih memikirkan mimpiku namun akhirya aku tertidur kembali.
Esok paginya aku bangun. Aku
menggeliat masih setengah tertidur aku bangun dan melihat jam weker.
Jam 6 pagi. Hmmm, aku
bertanya-tanya apakah ayah sudah bangun? Aku mulai bangit dan menuju ke kamar
mandi. Aku mencuci mataku dan mulai menggosok gigiku. Kebiasaan ini telah
diajarkan oleh ayah setiap aku bangun tidur dan lagi aku selalu malu ketika aku
harus berbicara padahal aku baru saja bangun tidur. Mulut yang bau selalu
menghantuiku setiap kali harus diajak berbicara dan aku lebih memilih diam atau
segera berlari ke kamar mandi untuk menyikat gigi.
Udara dingin sekali di bulan November
ini. Aku membuka tirai jendela dan aku tertegun. Anak itu lagi! Dia sedang
asyik bermain ayunan yang dibuatkan ayah untukku. Dan dia sendiri lagi! Aku
bertanya-tanya apa dia juga kesepian seperti aku? Apa dia tidak mempunyai
saudara? Aku tidak pernah dia dipanggil oleh siapapun, aku tidak pernah
melihatnya bersama siapapun. Aku hanya melihat bahwa dia tinggal di rumah yang
sangat besar dan banyak orang laki-laki yang masuk ke rumah itu. Aku tidak tahu
siapa mereka. Mungkin ayahnya? Mungkin pamannya? Atau saudaranya? Yah mungkin
itu.
Aku segera berlari menyusulnya.
Menuruni tangga dengan hati-hati agar tidak membangunkan ayah. Setelah mencapai
halaman belakang rumah aku masih dapat melihatnya bermain ayunan. Dia
mengayunkan ayunan itu semakin lama semakin tinggi. Aku terus
memperhatikannya.
Braggghh!!!
"Aaargghh!" teriak
anak itu.
Aku bergegas menuju ke arahnya,
panik sekaligus khawatir. Aku melihatnya terkapar bersama tali ayunan yang
putus di atasnya. Di merintih kesakitan. Rintihannya tidak cukup keras untuk
mengalihkan perhatian orang yang lewat di jalan depan rumah. Aku segera
mendekatinya namun dia justru menjauhiku. Aku mendekat lagi namun kali ini dia
diam saja dan masih memegang siku tangan kanannya yang berdarah dan penuh debu.
Aku memegang tangan kanannya. Awalnya dia enggan ku pegang namun akhirnya dia
membiarkanku memegangnya.
"Sakit?" tanyaku.
Dia mengangguk kecil. Ada air
mata di ujung matanya dan aku tahu pasti itu sangat sakit.
"Tunggu sebentar!"
perintahku padanya.
Aku berlari secepat mungkin ke
dapur dan mengambil kotak p3k yang sering aku gunakan untuk bermain bersama
boneka-bonekaku. Aku mengambil mangkok plastik dan segera mengisinya dengan
air. Aku mengambil kain handuk kecil di samping meja makan dan segera kembali ke
anak itu.
Dia masih diam di tempatnya dan
masih memegang siku tangan kanannya yang berdarah. Aku bertimpuh pada kakiku
dan mulai mencuci handuk kecil yang kubawa tadi dalam air dan mulai
membersihkan lukanya. Dia merintih kesakitan namun dia tahan. Perlahan aku
mulai meniup-niup lukanya berharap apa yang aku lakukan dapat mengurangi rasa
sakit itu.
Aku menatap mata hijau cerahnya
dengan rambut hitam yang berantakan dan dia menatapku juga. Aku membuka perban
dan menuangkan cairan obat luka ke sikunya dan mulai membalut lukanya. Memang
tidak rapi, tapi aku harap darah pada lukanya tidak mengalir terus menerus. Dia
menatapku terus. Akhirnya aku selesai mengobatinya. Dia tetap menatapku.
"Terimakasih," ucapnya
tiba-tiba.
Aku terkejut sekaligus senang.
Akhirnya dia berbicara. Dia berbicara kepadaku.
"Sama-sama,"
balasku.
Aku mengulurkan tanganku "Christin...
Christin Granger." Dia menjabat tanganku namun sama sekali tidak berkata
apa-apa.
Aku sebal sekali tetapi aku
senang, akhirnya dia berbicara kepadaku. Dia bangkit berdiri dan berlari
kembali ke rumahnya. Aku melongo, berkata dalam hati apakah hanya terimakasih?
Hei aku ingin tahu namamu mata hijau!
Aku sedih melihatnya sama sekali
tidak memandangku lagi. Harapanku memiliki sahabat seperti hilang, padahal aku
berharap aku bisa tahu namanya, bermain dengannya, menghabiskan waktu
dengannya. Aku membereskan handuk kecilku yang penuh noda darah dan debu dengan
air yang tersisa dan memasukkan semua peralatan p3kku dalam tas.
Aku berdiri dan melangkah
pulang. Sebelum aku mulai berjalan terdengar langkah kaki berlari ke arahku dan
melihatnya.
Melihatnya kembali!
Dia membawa sebuah boneka burung
usang berwarna putih namun kumal penuh debu. Dia mengulurkan boneka itu
kepadaku. Aku masih menatapnya dan beralih ke boneka itu. Aku tidak mengerti
apa yang sedang dia lakukan.
"Ambillah!"
katanya.
Aku terkejut lalu aku
mengulurkan tanganku dan menerima burung itu.
"Untuk apa ini?"
tanyaku kepadanya.
"Sebagai ungkapan
terimakasihku karena kau telah menolongku," ucapnya sambil tersenyum tulus
kepadaku.
Oh, apakah dia bisa menjadi
temanku sekarang? Bisakah? Harapan itu kembali ada.
"Maukah kau berteman
denganku?" ucapku tanpa pikir.
"Tentu saja!" jawabnya
riang.
Ayah, aku punya teman
sekarang!
Hari-hari aku lalui bermain
bersamanya. Berkejar-kejaran, bermain layangan, bahkan bermain boneka-bonekaku.
Aku memberi nama boneka burung pemberiannya Greenty karena anak itu memiliki
warna mata hijau cerah yang paling aku sukai. Dan dia menyukai nama itu. Kami
sangat senang bermain bersama. Menghabiskan waktu bersama. Ayah telah menjadi
jauh lebih ramah terhadap anak itu. Dan sampai sekarang aku masih belum tahu
namanya. Aku tidak pernah memanggilnya karena dia selalu mengunjungiku. Dia
tidak pernah menyiggung tntang namanya maka aku putuskan ku beri dia nama
"CG (SiJey)" bukan dari singkatan namaku tapi dari kata Cool and
Green. Anak yang memiliki mata hijau dan begitu dingin dan dia memanggilku
Grangy! Nama yang tidak umum aku dengar tapi entah mengapa aku menyukainya.
Sangat menyukainya.
Salju telah memenuhi seluruh
daratan. Aku dan CG bermain di halaman belakang bersama ayah. Selama aku
mengenal CG aku tidak pernah sekalipun melihat keluarganya keluar dari rumah
dan aku pun tidak mempermasalahkannya. Hingga suatu saat di bulan Januari di
tahun berikutnya aku tidak melihatnya lagi mengunjungiku. Sudah 3 hari dia
tidak mengunjungiku dan aku mulai mengkhawatirkannya.
"Ayah, mengapa CG tidak
mengunjungiku lagi?" aku bertanya kepada ayah.
"Entahlah Christin, ayah pun
mencemaskannya," jawab ayah yang juga mencemaskan CG.
"Cobalah ayah datang ke
rumahnya dan temui dia. Aku merindukannya," pintaku pada ayah.
"Baiklah ayah akan mencoba
ke rumahnya besok." Aku memeluk ayah erat-erat.
Paginya, masih setengah bangun
aku tidak langsung ke kamar mandi. Aku membuka tirai berharap CG ada di bawah
pohon di tempat biasa dia menungguku untuk pergi bermain dan 4 hari ini aku
tidak melihatnya lagi. Namun pagi ini aku melihatnya! Ya aku melihatnya.
Aku segera bergegas berlari
keluar rumah dan menemuinya. Terengah-engah aku menatapnya.
"Dari mana saja kau? Aku
menunggumu tapi 4 hari ini kau tidak ada!" Suaraku bergetar akibat marah,
rindu, kesal bercampur menjadi satu kepadanya.
Namun bukan penjelasan yang ku
terima namun tatapan ketakutan dan linangan air mata.
"Maukah kau menikah
denganku?" tanyanya tak terduga.
Menikah? Namun aku segera
mengiyakan ajakannya.
"Ya," gumamku.
"Tunggulah aku, kau
mau?" tanyanya sekali lagi.
Tunggu?
Setelah 4 hari dia tidak muncul
kemudian dia datang hari ini dan memintaku menikahinya dan kemudian meyuruhku
untuk menunggunya. Ada apa ini? Terdengar ada mobil polisi berdatangan ke
rumahnya banyak sekali dan ayah berlari ke arahku. Aku masih belum dapat
memahami semua ini.
"Maukah kau
menungguku?" tanyanya lagi dan seperti mendesakku untuk menjawabnya
segera.
Aku mengangguk sekali lagi. “Apa
kau akan pergi lagi?" tanyaku yang masih belum mengerti dirinya.
Aku melihat mata CG berair. "Kau menangis?"
CG hanya diam memandangku seperti ingin mengucapkan sesuatu sebelum
seorang wanita datang menghambur bersama ayah yang menggandeng tanganku.
Wanita itu tinggi
berbaju putih, berambut pirang dan berombak datang bersama polisi dan berbicara kepada ayah.
Aku merasa ketakutan namun CG meraih tanganku meletakkannya didadanya.
"Tunggu aku," pintanya
dengan lirih. Aku mengangguk namun aku sama sekali tidak mengerti semua ini.
Kemudian tiba-tiba ayah menggendongku melepaskan genggaman CG dan membawaku
menjauhi CGku.
“Tidak ... Tidakkkk! Aku tidak
mau jauh dari CG. CG!” teriakku sambil meronta-ronta dari pelukan ayah.
CG kemudian dibawa oleh wanita
itu. Aku tidak tahu CG pergi kemana namun dia pergi. Pergi dengan wanita
itu.
"Tidaaakkkkkk...
jangannn pergiiiiii!!!" teriakku.